Pertahankan Aku Sayang

Pertahankan Aku Sayang

Bab.1.

Sinar matahari menerobos lewat sela-sela jendela, membuat kelas terasa gerah. Sebenarnya sejak lima puluh tiga menit yang lalu temperatur ruangan sudah meningkat, ketika ulangan matematika dimulai.

Matematika memang termasuk salah satu musuh anak-anak kelas dua SMA. Sekali ini, Pak Mat memang keterlaluan. Beliau sampai hati merancang persamaan tersamar yang benar-benar begitu samar, hingga tidak juga bisa di pecahkan oleh mereka. Bahkan yang otaknya seencer minyak pun, misalnya Natasya, atau Alia, atau bahkan Arman sang juara kelas, masih geleng-geleng kepala, nyaris angkat tangan. Dan Pak Mat yang telengas itu duduk di atas singgasananya, pura-pura tidur, padahal dalam hati mungkin tersenyum simpul menyaksikan murid-murid gelisah.

Entah dari buku pedoman mana telah diconteknya soal gila ini, gerutu Arman dalam hati. Natasya lain lagi pikirannya. Dia teringat terus kesalahannya, dua kali tidak membuat pekerjaan rumah. Dan tentu saja yang ikut-ikutan banyak juga. Kalau orang main gampang saja dalam segala hal, pasti akan cepat dapat pengikut baaaanyaak. Sebaliknya, mencari sukarelawan untuk misalnya mengerjakan tugas piket sekolah, waduh, pasti susah banget.

Nah, Natasha yang merasa punya salah, jadi was-was jangan-jangan Pak Mat yang telengas itu sedang menghukum mereka. Barangkali kata be-li-au dalam hati, rasakan kalian anak-anak malas! Nah, saya beri kalian soal yang tidak kepalang tanggung.

Mendadak seorang anak yang duduk paling belakang mengetuk meja minta perhatian. Pak Mat mengangkat mukanya yang barusan tunduk melenggut.

“Ya, Susi?”

“Apa soal nomor tiga ini harus pakai rumus Planck? Kok dengan rumus biasa tidak terpecahkan?”

“Wah, apa itu rumus Planck?” Pak Mat (nama hadiah anak-anak) tertawa masam. Padahal dia pasti tahu, sebab kan pernah mampir di FT.

“Coba jelaskan!”

“Mana saya bisa!” desis Susi cemberut.

“Saya kan cuma lihat dalam buku Kakak!”

“Kakak yang mana nih?” sindir teman sebangkunya.

“Hiih! Emangnya kayak kamu, punya mata sebesar bola basket!” balas Susi makin sewot.

Melihat situasi menjurus ke arah kacau balau, seperti lalu lintas ibu kota, Pak Mat cepat-cepat turun takhta, masuk ke dalam barisan bangku.

“Sudah jangan ribut. Nanti waktunya habis, kalian belum selesai. Pokoknya, apa yang belum pernah diajarkan tak perlu dipakai. Tak usah pakai ‘plang-plung’ segala macam. Pakai saja yang sudah diajarkan!” Be-li-au kembali tersenyum manis, membuat Alia kesemutan tangannya ingin melempar punggung Pak guru dengan pulpen. Sayang be-li-au agaknya tahu di mana ada *******, dan tidak memberi kesempatan untuk dibidik.

Kelas memang hening, tapi tidak tenang. Malah tegang. makin dekat bunyi bel, semakin naik suhu udara. Sepertiga kelas sudah melepas kancing atas seragam, yang lain bahkan mencopot sepatu, yang memang sudah punya kebiasaan telanjang kaki dalam kelas, sebab kepanasan, kini melap keringat dengan sapu tangan kertas atau sesekali berkipas atau mendecah-decah seolah kepedasan.

Dalam keadaan begitulah, keheningan dirobek oleh dering bel yang kelewat nyaring, membuat anak-anak terlonjak panik. Rupanya tak ada yang selesai. Tak seorang pun bersedia menyerahkan kertasnya. Pak Mat terpaksa membujuk, lalu menggertak membawa-bawa nama Madam Stephanie yang galak, kemudian membujuk lagi.

“Sudah, sudah, ayo serahkan. Mau pulang enggak? Nanti kalau ternyata semuanya jelek, akan saya katrol. Ayo, lekas! Waktu sudah habis!”

Mendengar akan dikatrol, barulah beberapa anak dengan segan mengulurkan kertas mereka.

“Betul ya, dikatrol lho Pak. Sebab kertas saya pasti jelek.” kata Alia menegaskan. Semuanya ketakutan, sebab itu ulangan semester. Berarti akan mempengaruhi kenaikan kelas.

Dasar masih bocah yang baru hilang bau susu, begitu keluar dari kelas, sudah kembali haha-hihi, lupa susahnya ulangan barusan.

“Ngapain dipikirin.” kata Susi. Disambung oleh Alia,

“Nanti malam jangan pada lupa nih, ulang tahunku! Awas tidak datang yang diundang!”

Dan yang diundang tentu saja seluruh kelas. Tapi diperkirakan yang akan datang cuma dua pertiga saja. Lainnya banyak alasan : jauh, tak ada kendaraan (Alia menawarkan jemputan oleh kakaknya, namun ditolak dengan ‘ogah, malu, ah!’), tak ada baju, dan yang paling gawat, tak dapat izin. Ini yang paling banyak jadi alasan. Agaknya banyak juga orang tua yang perlu di-upgrade, sebab masih menganut sistem lama.

Natasya berlari ke kiri, tapi dengan gesit ditangkap oleh Alia.

“Hei, mau ke mana kau?” teriaknya dengan guncangan enam skala richter. Natasya nyaris roboh terbanting. Setengah melongo dipandangnya kawannya.

“Mau pulang tentu saja! Memangnya mau nginep menemani Madam!”

“Kau tak boleh pulang. Ikut ke rumahku dong. Banyak tugas nih!”

“Lho! Aku Lapar lah!”

“Astaga! Menghina betul kau! Dikira rumahku sudah kehabisan beras?”

“Harus minta izin dulu lah sama ibuku!”

“Telepon dulu aja deh boleh ga! Kayak ibumu belum kenal siapa Alia!”

Natasha mengangkat bahu. Tanpa banyak pikir, dia menurut saja. Menelepon lalu berbicara sebentar, kemudian melenggang di samping Alia. Susi juga kemudian dikepung oleh mereka berdua dan diciduk. Sekalian dengan Zaza yang gemuknya manis sekali sebab kebanyakan makan gula-gula.

Setiba di rumah Alia, Natasya mengira ada kebakaran. Begitu banyak orang di halaman. Ada yang mengangkat peti, ada yang membawa-bawa lampu hilir mudik, ada yang mengangkat kursi diatas kepala.

“Astaga serunya! Aku sangka ada kompor meledak! Tahunya sedang pasang tenda! Hebat-hebatan nih Al! Mentang-mentang masih muda! Mau lelang rupanya nanti malam ya?” Sindiran Natasha tidak mengguncangkan kegembiraan di hati yang disindir.

“Tentu dong.” Sahutnya enteng. “Kan tujuh belas itu usia ambang.! Masa enggak tahu? Kalau lewat itu, kan kita sudah dianggap tua!”

“Waduh! Jangan bilang begitu di dekat kakakku lho!” bisik Natasha kaget. “Nadia pasti takkan senang dibilang tua. Nanti dia ngadu pada Mami, aku yang celaka!”

Rumah Alia — di bilangan Selatan kota, lewat Cilandak — terletak di atas perbukitan yang sejuk. Luasnya lebih dari seribu meter, tapi bangunannya sendiri tidak seberapa besar. ‘cuma’ berkamar tidur delapan.

Alia hanya tiga saudaranya. Dua sudah menikah, tapi kamar mereka masih dibiarkan utuh. Kata ibunya, tak usah dibongkar, siapa tahu mereka kapan-kapan mau nginap. Dan Fadila, abang Alia sempat menambah, “Mana tahu kan, nanti bertengkar dengan suami, ngambek dan ingin mudik!” menyebabkan ibu mendelik sambil mengucapkan amit-amit, tiga kali.

Jadi dari delapan kamar itu cuma tiga yang sehari-hari dihuni. Dua lainnya penampung nyonya-nyonya yang akan ngambek terhadap suami. Sayang sekali mereka semua tinggal di luar Jawa, jadi takkan bisa hadir di pesta ultah nanti. Tiga kamar lagi memang disediakan buat tamu. Sebab kerabat dari daerah — dengan dalih begini-begitu — banyak yang punya urusan di Jakarta, lantas kepingin di undang bermalam di sana. Kapan lagi mencoba tinggal di gedongan, kata mereka tanpa malu-malu.

Mobil yang membawa mereka meluncur masuk disambut oleh kicauan si Bruno dan seringai si Fadila. Sudah bukan berita baru bahwa murid SMA kelas tiga itu ingin merampas hati cewek yang menjadi teman baik adiknya, Natasha. Sementara ini memang antena Natasha belum bergetar, Mungkin dia masih tidur. Atau boleh jadi itu memang taktik perempuan, supaya bisa berlagak jual mahal. Mumpung hari masih pagi. Masih jalan tujuh-belasan.

Fadila bisa maklum juga . Sebab Alia sendiri juga sok jual mahal terhadap kawan sekelasnya yang sudah lama jungkir balik dilanda cinta padanya. Lihat saja nanti malam kalau si Dion muncul, pasti Alia akan mendadak kelihatan sibuk mengatur ini itu. Tentu saja cuma kamuflase!! sebab biji-mata-mami mana pernah sih bekerja atau dibiarkan sibuk. Namun lagak itu perlu, agar Dion-malang itu akan menjadi gelisah., malah sedikit gelagapan, terlebih melihat si Manis-belang-tiganya dikerumuni cowok-cowok (yang sebenarnya pasangan teman-teman sekelas Alia).

Aaah. Fadila menaikkan alis dan bersiul kecil. Tiga gadis manis meluncur keluar setelah Alia. Si gendut Zaza pun sebenarnya tak kurang pula ayunya, cuma bobotnya itu yang selalu membuat Fadila serta teman-temannya banyak berpikir, apa bisa terlawan kalau pecah konfrontasi nanti? Orang pacaran kan — apalagi kalau sudah resmi —- lumrah saja terkadang perang sipil bukan? Namanya juga elektroda negatif dan positif. Kalau bersentuhan, pasti terpercik api panas.

Fadila pernah bilang pada adiknya, “Sungguh mati, aku cinta pada Nadia.” Tapi dalam hati dia sudah bersiaga. Seandainya cewek itu sampai kesetrum orang lain, agar hatinya sendiri tidak koyak, Fadila bersedia-sedia merampas hati yang lain. Karena itu dia selalu gembira setiap kali ada kesempatan “memperluas pandangan mata’” seperti saat ini.

Tiga cewek cakep bro, pikirnya dengan gairah. Si Susi itu pun tak terlalu bego sebenarnya. Asal dipupuri dan di bedakin, pasti akan kelihatan lebih meriah!

“Wahh, bakal ramai sekali sirkus nanti malam nih!” Seru Fadila yang tengah membersihkan motor di garasi. Zaza kena tersindir, dia menunduk malu. Kaos yang dikenakannya memang terlalu menyala. T-shirt itu hadiah dari orang. Bergaris-garis lebar lima centi, selang-seling jingga dan merah, mengingatkan orang pada tenda sirkus. Sebaliknya, Si Ceking Susi justru memakai loreng-loreng hitam putih. Tak pelak lagi, dilihat-lihat memang tak jauh bedanya dengan zebra kesasar atau jerapah kelaparan. Cuma Natasha yang Fadila tak berani mengusik.

“Fadil, kau jangan bikin teman-temanku malu dong”. kata Alia. 

“Nanti kami boikot semua teman-temanmu baru tahu! Ayo, mari kita ke dalam. Jangan ladeni abang ku yang geblek itu!” Seperti induk ayam, Alia menghalau semuanya masuk. Fadila mencibir sambil melirik geli. Ingin sekali rasanya mencubit lengan montok si Tenda sirkus. Sayang nanti bisa terjadi gempa bumi!

Alia membawa teman-temannya menyalami ibunya yang sedang repot di dapur. Sambil tertawa lebar disuruhnya mereka segera makan supaya bisa lekas ikut membantu.

“Wahh, aku dibawa kemari mau di suruh kerja rupanya.” bisik Zaza di kamar makan.

“Tentu saja.” sahut Alia tenang. “Kau pikir, orang kalau memberi makan orang lain, apa dengan percuma?”

“Brengsek kau! Aku kan harus tidur siang. Kalau tidak, mana aku bisa tahan sampai malam?”

“Wow , wow , badan sudah selebar gajah, apa masih mau diperbesar lagi, biar jadi gajah jumbo? Ayo, makan dulu deh. Kalau perut kosong memang suka pada loyo ya.”

Tanpa sungkan, mereka berebut ditengah meja. Sudah tentu Zaza yang paling rakus. Jari-jarinya yang sebesar wortel itu amat gesit meraup piring dan mangkok, lalu mengangkatnya sementara yang lain melongo menunggu giliran.

Tengah asik-asiknya makan, mendadak Susi teringat bahwa dia tak membawa baju pesta.

“Wah gimana ya.” seru Zaza ikut-ikutan. Perutnya yang sudah setengah terisi rupanya membuat pikirannya lebih terang.

“Aku juga baru ingat! Masa akan kupakai baju ini! Bisa-bisa abang mu dan kawan-kawannya pada mati ketawa dong!”

“Betul juga ya.” kata Alia berpikir.

“Baju-bajuku terang takkan ada yang pas dengan kalian berdua.. Dengan Natasha mungkin masih bisa.”

“Iiihh, aku sih paling pantang pakai baju orang lain! Amit-amit. Nanti kumannya pada nular! Biar rombengan, harus baju sendiri.

“Nah, habis gimana nih? masa kalian mau pulang semua mengambil baju? Rumahmu di utara , kau di timur, kau di barat. Capek dijalan saja, kalau mesti mondar-mandir.”

Sambil menyelesaikan makan, mereka semua berpikir. Tapi jalan tengah tak ketemu. Ketika Fadila masuk mengambil air minum, Alia menanyakan pendapatnya.

“Ohh, gampang. Suruh saja Pak Hasan mengambil ke rumah masing-masing. Kalian telepon saja, kasih tahu mami, baju mana yang harus diambil.”

“Tapi kalau nanti mobil perlu dipakai mami atau Pak Hasan harus ke toko beli ini-itu?” Alia ragu-ragu. “Tiga rumah Jauh-jauh lagi.”

Fadila termenung sejenak, lalu wajahnya terlihat cerah.

“Ahh, begini saja. Siapa yang rumahnya paling dekat, aku ambilkan bajunya.” Dalam hati dia berharap itu Natasha. Tahunya Alia menunjuk si Gajah. Dasar nasib lagi jelek, keluhnya dalam hati. Tapi sudah berjanji, ya mesti ditepati.

Tanpa memperlihatkan kekecewaannya, Fadila menyatakan bersedia ke rumah Zaza mengambilkan bajunya. Dia pergi ke garasi untuk menunggu di situ, sekalian mengatakan pada Pak Hasan tugasnya. Sementara ketiga tamu harus menelepon ibu masing-masing.

Setelah soal baju dibereskan, tahu-tahu gajah mereka sudah terjelepak di atas sofa di dalam kamar makan.

“Huhh!” keluh Alia berdiri bingung di samping sofa, diawasi yang lain.

“Gimana ini? tugas masih banyak. Membungkus kue, menghias podium, mencantumkan bunga-bunga di meja dan dinding. Masa kita akan tidur?”

“Sebenarnya aku pun ngantuk.” Natasha mengaku tanpa menyembunyikan mulutnya yang menguap.

“Ya, sebenarnya aku juga.” Alia mengangguk.

“Kalau enggak tidur, nanti kita enggak segar kelihatannya.” Susi menambahkan, sebab dia tahu betul, Alia paling takut kelihatan tidak menarik.

“Lebih baik kita tidur barang setengah jam saja deh. Setelah itu baru kerja. Gimana sus?”

“Setuju banget. Tapi kalau sudah tidur, biasanya akau susah bangun lagi. Paling tidak, harus sejam aku habiskan.”

Alia makin kelihatan mengantuk mendengar diskusi kedua temannya. Akhirnya dia memandang mereka dan Zaza bergantian, menghela napas, dan mengangkat bahu.

“Setengah jam saja ya,. Kita pasang alarm” Lalu digiringnya mereka ke loteng.

“Ehh, Zaza gimana?” tanya Susi.

“Biarkan saja di situ. Siapa yang sanggup menggotongnya? Dia sudah pulas, tak boleh dibangunkan, nanti kaget.” Dan memang benar Zaza sudah mulai kedengaran mendengkur halus.

Fadila masih menunggu di garasi. Ketika dirasanya bicara-bicara di telepon sudah lebih dari kelamaan, dia masuk kembali untuk menerima order di mana alamat. Ternyata hening yang dijumpainya.

“Lho!”  gumamnya kaget.Lebih kaget lagi ketika matanya menerpa sosok buncit terjelepak di atas sofa. Nyaris ketawa geli dia, Ketika mau di bangunkannya Alia , terdampar matanya ke atas meja makan. Disitu terdapat sebuah nota kecil berisi tiga alamat.

Waktu pamitan dengan ibu, beliau bertanya mana mereka yang mau membantu. Fadila nyengir. “Semuanya tidur! Namanya juga masih bocah-bocah!”

...----------------...

Terpopuler

Comments

Sanusi Harahap

Sanusi Harahap

up

2023-06-03

0

widodo arifin

widodo arifin

up

2022-12-09

2

hary cutesmile1

hary cutesmile1

terus

2022-12-06

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!