Pesta sudah berjalan setengahnya. Di halaman luar yang seluas lapangan bola telah didirikan panggung kayu yang ditutupi dengan vinyl supaya licin dan cocok buat joget. Untuk melindungi tamu dari hembusan angin, di atas panggung dipasang atap terpal.
Di sudut, sebuah grup band memeriahkan suasana. Hadirin kebanyakan merupakan kawan Alia dengan pasangan. Sebagian kecil juga kawan sekolah Fadila. Sebab Fadila emoh ikut pesta kalau teman-temannya tak ada yang diundang. Tidak enak kan, melongo sendirian menyaksikan wajah-wajah mulus bergandengan dengan manusia-manusia beruntung, sementara kita cuma bisa menelan ludah!
Sebagian hadirin sudah gatal mau ikut berjoget. Sayang Alia belum mau mulai. Mereka baru saja selesai makan. Alia masih ingin membiarkan perutnya bekerja dengan sepenuh energi tanpa gangguan.
Natasha duduk bersama beberapa gadis yang termasuk rombongan.Artinya mereka sekaligus diantar seorang cowok, pasangan dari salah satu.
Ketika tengah asik melayangkan pandangan berkeliling, Natasha tiba-tiba terkejut melihat sepasang mata tengah mengawasinya dengan tajam. Hii apa-apaan orang itu, pikirnya bergidik. Lagaknya seakan mau menagih hutang saja! Tampang sih boleh, tapi air mukanya seperti hulk!
Dengan perasaan tidak enak, dipalingkannya muka ke arah lain. Dicobanya menghibur diri. Ah, barangkali orang itu memang begitu air mukanya . Buas seperti ikan piranha. Barangkali dia belum pernah melihat cewek yang termasuk paling cantik sejagat! Hiii. Pikiran itu memberi sedikit bonus semangat untuk mengusir ketakutannya barusan dan tanpa sadar dia sudah tersenyum kecil.
Lewat lima menit. Natasha berpikir, coba aku lihat lagi, apakah orang itu masih di situ? Dia menoleh lagi ke sudut dekat band. Aduh! orang itu masih tak bergeming di tempat. Masih mengawasinya. Malah sekarang kelihatan lebih garang! Ah, mana bisa! Itu perasaan belaka.
Zaza menjawil lengannya. Dia menoleh.
“Lihat tuh si Bimo. Baru isi bensin sudah ngebut! Gimana mau gemuk!”
Natasha memandang ke tengah panggung. Bimo memang sedang berjingkrakkan di hadapan pasangannya yang juga asik berloncatan atau meliuk ke sana kemari. Di sampingnya, Alia dan Dion juga sedang asyik ‘senam’ a la korea.
“Tumben mau didekati oleh si Dion.” komentar Natasha. Biasanya Alia alergi betul pada Dion. Begitu didekati, walau masih berjarak dua meter, sudah bersin, pipi merah padam dan mata mendelik.
Sementara mereka berdua menjadi reporter-pandangan-mata, sudah turun pula beberapa pasangan lain. Rupanya cepat sekali atraksi itu menarik minat. Begitu lihat, kontan ngiler mau ikut. Keinginan Zaza pun menggebu-gebu. Hasratnya menjalar cepat seperti api kebakaran.
“Sayang aku tak bawa pasangan.” keluhnya, padahal memang tak punya. Belum sempat Natasha menanggapi, Fadila sudah muncul di depan mereka. Wajahnya cerah seperti dompet-habis-bulan. Dipandangnya mereka bergantian. Maksud hatinya tentu saja mengajak Natasha. Apa lacur, dia kelewat lamban. Zaza sudah lebih dulu menguik kesenangan melihatnya. Malah langsung mengulurkan tangan. Mana sampai hatinya meredupkan hasrat yang begitu berbinar di dalam matanya. Namun dia masih mencoba menghindar.
“Apa betul kau bisa berjoget Zaza?” tanyanya sementara matanya merayapi tubuh dan kaki yang bengkak itu.
Zaza nyaris memekik seolah mau ditelanjangi.
“Huhh, apa sih susahnya joget kayak gitu? Kalau senam tari atau atletik, nah, baru perlu latihan.”
“Betul? kau takkan bikin malu nanti?” Fadila menegaskan, berharap jumbo betina itu akan ngambek dan menolak turun ke medan. Naasnya Natasha yang diharap-harap justru malah bikin runyam.
"Buktikan saja! Kenapa tidak di coba? Jangan-jangan malah kau yang tidak bisa!" sindirnya.
Wadow! Pantang dong ya diremehkan oleh cewek! Tanpa banyak komentar lagi, disergapnya tangan Zaza yang selebar piring, lalu diseretnya ke tengah.
Zaza sempat melirik temannya dan mengedip sambil tersenyum. Natasya ikut geli. Mudah sekali Fadila kena diobor! Ha-ha!
Dengan cermat diawasinya kedua orang itu. Ternyata Zaza memang jago. Dia melejit ke sana kemari, begitu lincah penuh variasi, sehingga dalam ronde kedua, Fadila sudah tampak keteter. Dia sudah rikuh mengimbangi. Terkadang disangkanya Zaza akan meliuk ke kiri, tahunya ke kanan. Dikiranya cewek itu mau melengkung ke belakang, tahunya malah doyong ke depan.
Yang paling lucu waktu Zaza menurunkan sedikit tubuhnya, lalu berkepak-kepak seperti ayam dengan lututnya. Fadila tidak bersiaga. Dia sempat mengga-ruk kepala dulu sebelum terjun ikut contoh. Tapi ternyata kurang mahir. Itu memang kepandaian Zaza. yang mutakhir. Natasha pun pasti tak bisa.
Tanpa sadar, Natasha tersenyum - melihat Fadila k.o.- dan menjadi gelagapan ketika tangannya disentuh. Dia menoleh. ”Oh, eh.” Dia terperanjat. Ternyata laki-laki yang tadi asyik melotot padanya; sudah menghampirinya dan kini sedang berdiri tegak di depannya.
Natasha sedikit melongo menatapnya. Matanya bertanya. Mau apa dia, pikirnya. Masa mau ngajak joget? Kenal pun belum!
Tapi orang itu memang betul mau mengajaknya melejit ke tengah panggung. Natasha mengangkat bahu. Ayo saja, kenapa sungkan. Daripada duduk membikin subur wasir, kan lebih baik buang kalori!
Ketika mereka turun, lagu kebetulan sedang berganti.
”Udah dulu, ah,” seru Fadila angkat tangan. ”Habis energiku melayani kamu!”
”Makanya jangan sok menghina kebisaan cewek! Kapok, enggak?” tanya Zaza manja, sambil berjalan kembali ke kursi.
”Kapok, dong. Sangat kapok. Kau sudah terlalu mahir. Lagu begini saja kau sudah tak bisa ku tandingi, apalagi hal-hal lain!”
"Hal-hal lain apa?" tanya Zaza dengan
mata bersinar mengharap lebih banyak pujian.
"Yah, misalnya yudo, karate.. ,”
"Aku tak bisa," jawabnya dengan menyesal.
"...atau lompat galah...”
"Belum pernah.”
"..atau yah, nyontek waktu ulangan..."
"Brengsek, kau! Tentu adikmu yang lapor ya!"
serunya malu dan geram. Fadila tersenyum. Untuk
mengambil kembali hati Zaza, dibawakannya segelas minuman yang habis sekali teguk.
”Lagi, Dil!”
”Buset! Berapa jerigen sih kau sekali minum?” Dia
pergi lagi dan kembali dengan dua gelas. Satu
untuknya tentu saja. Tapi Zaza mengucap terimakasih dan mengambil keduanya. Fadila bengong mengawasi isi gelas-gelas itu mengalir turun ke dalam pipa leding si Gemuk. Hausnya seketika hilang. Dia duduk di samping Zaza dengan pikiran tak habis heran, kok ya ada cewek super kayak gitu.
”Apa kau makan hormon, Za?” bisik nya.
”Apa katamu? Musik ini hingar betul sih kupingku jadi tuli.”
Namun Fadila tidak mengulangi. Matanya sudah
nanar menatap ke tengah panggung. Zaza mengikuti pandangnya dan melihat Natasha sedang riuh meliuk-liuk bersama seorang laki-laki ganteng yang pasti bukan anak sekolah. Paling tidak, dia tahu bukan pacar salah satu teman mereka.
”Siapa laki-laki itu, Dil?” Tapi yang ditanya malah
menggumamkan pertanyaan juga.
”Siapa yang memperkenalkan Tasha dengannya?”
Dengan kening berkerut kayak jeruk kekeringan,
Fadila menoleh mencari adiknya.Ternyata Alia duduk di belakangnya sedang asyik mengunyah kacang bersama Dion. Hmm, pikir Fadila. Perkembangan baru nih. tumben Alia mau didekati.
Biasanya kan jual mahal. Tapi bukan itu yang menyita perhatiannya saat ini.
”Al, siapa yang memperkenalkan Tasha dengan
Reno?” tuntutnya.
Alia menatap sekilas ke panggung. Lalu mengangkat bahu sambil menunduk menyembunyikan senyum geli.
"Wah, sori banget, Fad. Tapi percayalah, bukan aku. Barangkali inisiatif Reno sendiri."
"Hmm" Mungkin Alia benar. Reno memang tajam Inderanya. Dari jarak ratusan meter pun dia sudah tahu di mana ada cewek yang pantas ditaksirnya. Brengsek! Ini sih para gara si Jumbo, minta-minta diajak joged. Jadi Tasha terlepas! Fadila Jadi uring-uringan.
Natasha sendiri sudah merasa kerasukan, Tak bisa stop. Dia menyayangkan bahwa mereka tidak berdansa cara konservatif saja. Pasti lebih menyenangkan. Berdekapan dengan... Ah, siapa ya namanya? Begitu asyik nya sampai lupa saling menyebut nama.
Laki-laki asing itu ternyata tidak mengerikan seperti yang dibayangkannya. Selain matanya yang seperti tabung rontgen bila sedang menatap, sebenarnya dia kurang lebih seperti lelaki kebanyakan juga. Cuma tentu saja, lebihnya melampaui kurangnya. Dibandingkan cowok lain, setidaknya yang hadir disini, pria ini jelas lebih dewasa. Paling sedikit, ubannya sudah rimbun. Bukti nyata bukan! Dan suaranya, Aduuuh Mam, lembutnya!!!
"Kau mengingatkan aku pada seseorang," katanya setelah mereka mengambil ancang-ancang untuk mulai dengan tarian mutakhir ini. Dan ampun mahirnya dia! Sebenarnya orang sudah "berumur" seperti oom-oom begini sama sekali tidak diharapkannya akan bisa gemeretak-gemeretik kayak bocah badung. Tapi nyatanya!
Wah, mungkin juga ubannya cuma kamuflase. Dia pernah diceritakan oleh kakaknya bahwa ada laki-laki tua bahkan banyak, yang ingin kelihatan cepat tua. Katanya, bagi laki-laki, makin tua makin berwibawa. Berarti makin disenangi noni-noni. Bukan seperti perempuan, makin tua, makin gawat! Yang belum dapat kereta menuju hidup baru, bisa-bisa akan makin ketinggalan kereta buat selamanya! Kejam memang filsafat Nadia. Tapi siapa tahu, itu terlahir dari pengalaman?! Sebab...
"Eh,aku belum tahu namamu!" tukas pasangannya dengan senyum yang... aduuuh, Mam, moga-moga jangan dia minta saya ikut! Sebab saya past mau! Diculik pun mau! Olehnya.
"Natasha," sahutnya, tak mau kalah pamer senyum yang paling menarik semangat (sampai berantakan) "Dan kau?"
Belum sempat dijawab, seseorang telah menepuk bahunya dan laki-laki itu menoleh. Natasha melihat Fadila berdiri di depan mereka, dengan wajah siap menyemburkan tiga ton TNT. Tangannya menggebah saingan supaya minggir. Mau apa lagi anak ini pikir Natasha sengit. Bikin keruh kali Ciliwung saja Tak bisa lihat orang bahagia!
"Oke," kata laki-laki itu dengan simpatik, lalu mengedip padanya. "Terima kasih, Natasha. Aku tunggu kau di sana." Dia menunjuk ke deretan kursi sebelum menghilang.
"Kau harus hati-hati terhadapnya," desah Fadila menggantikan tempat. "Kau kan tidak tahu siapa dia."
"Ya, aku baru mau tanya namanya, kau sudah mengganggu!"
"Nah! Kan nama saja kau enggak tahu? Lebih baik tak usah tahu, Tasha. Jangan gegabah. Kalau mau cari pacar, selidiki dulu siapa orangnya. Kalau dia sudah oke, selidiki juga bagaimana ibunya. Lho, jangan ketawa. Pacaran kan diharap keterusan jadi kawin, bukan? Nah, ibu mertua kayak apa, itu penting sekaliii. Sebab beliau akan mampu membuat hidupmu jadi surga atau neraka. Orang bilang Raja Henri kedelapan sangat malang. Kenapa? Sebab ibu mertuanya ada enam! Nah, itu di Barat! Apalagi di sini. Jangan meremehkan! Kita kan hidup di Timur. Sekali kawin, bukan cuma dua orang melainkan sekompi kerabat. Iya, betul! Tak percaya?"
"Buat apa aku percaya?" Natasha geli sekali. "Memangnya siapa yang mikir mau kawin? Iiih, amit-amit! Lebih enak tinggal terus dengan Mami!"
"Itu kan sebab kau masih ingusan!"
"Aku apa? Coba ulang lebih jelas, biar aku tinggalkan kau saat ini juga." Natasha cemberut. Bukannya kelihatan jelek, malah membikin Fadila makin siiir. Dia senang cewek yang bisa ngambek, bisa meledak-ledak -asal bobotnya masih bisa ditanggulangi-, jangan tawar seperti air bening.
"Sori sis. Maksudku, sebab kau masih sekolah. Coba nanti, beberapa tahun lagi! Nah, kalau saatnya sudah tiba, aku minta kau ingat baik-baik nasihatku barusan. Juga ingat, calon mertua sebaik ibuku, susah dicari. Lihat saja. Kita pesta semalam suntuk begini, dia tak keberatan. Ibuku bisa mengert perubahan zaman. Dia pasti takkan menuntut yang kuno-kuno dari menantunya."
"Amin," seru Natasha antara sebal dan geli "Ceramahmu sudah habis? Boleh dong sekarang aku tanya dikit?"
"Maksud baik memang selalu dicemoohkan!" gerutunya. "Mau tanya apa?"
"Siapa sih namanya?"
"Lebih baik tak usah tahu. Anggap tak pernah ketemu!"
"Enggak lucu, ah! Sudah ngelantai berjam-jam kok nama saja tak boleh tahu?! Aku bukan ingin pacaran dengannya! Kasih tahu dong, Fadil. Kau kan baik sama aku? Atau enggak?" Mendengar nada ancaman begitu, Fadila menyerah.
"Oke deh, kalau mesti tahu juga. Tapi janji tak boleh mendekatinya lagi, ya? Reno. Namanya Reno."
Reno, ulangnya dalam hati. Hmm. Kena juga si Fadil dikibulin! Siapa yang sudi janji begini begitu? Memangnya dia punya hak paten atas diriku? Hiii.
Ketika kembali ke kursi, Reno dilihatnya sudah menyediakan kursi kosong. Fadila menariknya ke sebelah lain, tapi dia ogah.
"Aku mau duduk dengan Susi dan Zaza," kilahnya. Fadila tak bisa memaksa..
Dengan gembira Natasha menerima kursi yang dikosongkan khusus menunggunya. Lalu Reno mengambilkannya minum.
"Cepat betul intimnya," sindir Zaza. "Kayak uni dan Soviet saja!"
"Itu tandanya kau iri!" kata Susi 'mengipas'.
"Iri? Siapa? Aku? Kok ya bisa mikir ke situ? Lucu! Oom-oom kayak gitu sih untukku sudah apkiran. Tak berapa lama lagi pun pasti bannya sudah kempes, kipas anginnya tidak jalan, karburatornya mesti diganti. Apanya yang menawan? Kalau mau, itu dong yang macam Dion kek. Atau, nah, Fadila pun masih jauh lebih mending. Masih mulus, belum jalan banyak kilometer."
"Buset! Mentang-mentang bapakmu buka bengkel!" cetus Alia.
"Sableng! Showroom begitu megah kaubilang bengkel?" Zaza naik pitam dan nyaris memiting kawannya. Jari-jarinya yang sebesar wortel sudah melekuk seperti cakar monyet.
"Megah sih boleh megah. Tapi yang di show kan barang bekas semua," kata Susi kembali mengipas.
"Ooh! Iya deh, ayahku sih miskin. Jualan yang bekas-bekas! Sedang ayahmu itu kan, yang punya dua belas bank dan selusin perkebunan?" ejek Zaza yang bangga bukan main pada ayahnya.
Diskusi hangat ini terpaksa ditunda sebab Reno sudah balik dengan minuman untuk Natasha. Sayang sekali cuma sampai di situ rezekinya. Belum sempat mereka meningkatkan hubungan, sudah datang telepon untuk Reno.
"Aku permisi dulu," katanya, lalu pergi dan tidak muncul lagi. Natasha menunggu sia-sia. Sampai Alia mendekatinya dan bilang, bahwa Reno harus pergi setelah mendapat telepon.
"Apa dia titip salam untukku?" tanyanya berharap. Alia menatap sejenak seolah ingin ketawa, tapi akhirnya cuma menggeleng dengan pura-pura serius. "Barangkali lupa."
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sanusi Harahap
next
2023-06-03
0
widodo arifin
up.
2022-12-09
2
Hary Hsjdkk
next
2022-12-08
3