Bab.4.

"OH, hai, NADIA! Nanti pasti akan hujan lebat!" Yang disapa melirik ke luar jendela, menatap langit yang begitu cerah biru lazuardi.

"Dari mana bisa hujan?" tanyanya heran.

"Habis kau kesini, menemui aku! Tumben." Nadia mendengus kesal, tapi Reno malah ketawa lebih gencar.

"Ada perlu, barangkali?" Dia menghampiri gadis itu hingga mereka berdiri dekat sekali, kurang dari sejengkal.

"Tentu saja."

"Ya, betul. Kalau tak ada perlu, masa burung merak mau menjumpai gagak jelek begini! Silahkan duduk. Mau konsul pasien?"

Nadia menggeleng dua kali. "Tak usah duduk. Bukan mau konsul."

Karena gadis itu ngotot mau tetap berdiri, Reno terpaksa berdiri juga. Kedua tangannya dimasukkannya ke dalam saku, seolah mau melarang mereka berbuat yang tidak etis terhadap tamu, misalnya menyentuh atau celakanya, merangkul...!

"Lantas ada urusan apa, Sih? Wajahmu mendung banget, apa ramalan cuaca hari ini kurang baik?" Nadia menggigit bibir. Reno belum bosan bosannya juga menelurkan lelucon basi dari zaman purba, ketika mereka masih...

"Enggak lucu, ah. Aku serius, nih."

"Aku tahu. Kerut kening mu sudah mengatakan dengan gamblang nya."

"Bagus bila kau tahu. Jadi jangan main-main."

"Aku sedang main apa?" tanya Reno dengan lugu sambil memperlihatkan sebentar kedua tangan sebelum mengurung mereka kembali ke saku. Nadia menggigit bibir lagi. Ditahannya emosi agar jangan sampai habis sabar.

"Jangan bergurau, ah. Aku punya problem penting sekali. Maukah kau mendengarkan?"

"Tentu."

"Maukah kau menolong?"

"Oh? Nona Nadia butuh pertolongan hamba, si hina-dina ini?"

"Reno! Tidak bisakah engkau serius dikit?!" Nadia menjadi jengkel juga, padahal tadi sudah berjanji di dalam hati, akan menahan sabar. Bibirnya yang mungil bergerak-gerak, gemetar, dan menggeletar menahan sabar yang hampir bubar. Reno justru makin asyik memperhatikan dengan mata berbinar jenaka, menyembunyikan senyum.

"Maukah kau menolong?" ulang Nadia.

"Tentu."

"Nah, aku ingin minta agar kau menjauhi adikku!"

"Apakah itu minta tolong namanya? Siapakah adikmu? Aku tidak mengenalnya."

"Buset! Kau memang pintar berlagak lugu. Tapi di depanku, akal itu tak ada gunanya. Kau kenal Natasha, bukan?"

"Mungkin. Kenalanku begitu banyak, mana bisa aku ingat satu per satu."

"Keterlaluan! Natasha kau anggap cuma kenalan? Kau sudah timbuni anak itu dengan segala macam hadiah, lalu kau anggap dia cuma kenalan belaka?"

"Lho, apa salahnya memberi hadiah? Lantas, aku harus menganggapnya apa? Dia kan masih kecil. Belum lagi tamat SMA."

"Syukur kalau kau mengerti bahwa dia masih kecil. Sebab itu aku minta supaya kau jauhi anak itu."

"Hm. Jadi Natasha itu adikmu?"

"Huh! Kau sebenarnya sudah tahu! Kenapa mesti pura-pura lagi? Aku tegaskan sekali lagi, tinggalkan anak itu sebelum terjadi sesuatu."

"Kenapa harus ku tinggalkan? Aku senang padanya. Dia juga senang padaku! Kami tidak menyusahkan siapa pun."

"Kau menyusahkan aku!"

"Ah, masa?" Matanya berputar-putar mengawasi Nadia dengan jenaka, membuat gadis itu menggertak gigi menahan emosi.

"Kawan kencan mu pasti banyak. Buat apa kau dekati gadis cilik seperti itu? Natasha masih suka nangis kalau ulangannya jelek atau rapornya kebakaran. Dia belum cocok untuk diajak pacaran begitu serius."

"Lalu, siapa yang pacaran begitu serius? Aku? Ah, kau main-main."

Nadia menggigit bibir untuk ketiga kali. Hebat sekali lidahnya, pikir Nadia. Tidak disangka, begitu runcing. Hampir mati kutu dia dibuatnya.

"Nah, kebetulan juga bila kau memang tidak serius. Jadi tak ada alasan kenapa kau tidak bisa meninggalkannya!"

"Siapa yang bilang tidak bisa? Tentu saja aku bisa! Apa sih artinya seorang bocah cilik yang masih kuncup begitu? Tak ada manfaatnya bagiku tapi persoalannya adalah, aku memang punya alasan untuk tidak meninggalkannya. Aku tidak mau, belum mau meninggalkannya. Kecuali..."

Nadia membelalak seolah tak percaya apa yang didengarnya. Akal bulus apa yang sedang dicoba laki-laki ini terhadap adiknya? Mendadak dia teringat sesuatu. Air mukanya jadi pucat. Jantungnya berdetak dengan keras. Butir-butir keringat menetes di sana-sini. Punggungnya terasa dingin seperti dialiri air es.

"Kau... kau...," suaranya mendadak jadi parau.

"Kau mau mencelakakan dia! Kau ingin dia patah hati dan merana! Kau sudah tahu, betapa dia merasa - mencintaimu dan dengan sengaja mau kau hancurkan hatinya!"

"Tepat sekali!" kata Reno dengan tenang, penuh tantangan.

"Bajingan!" seru Nadia dengan amat gusar.

"Aku memang mau menghancurkan hati Natasha," kata Reno selanjutnya, dengan kalem.

"Tapi bukan tanpa sebab. Ingat, aku pernah bilang, suatu kali akan kubalas sakit hatiku padamu! Dan niat ini akan kulaksanakan. Jangan gegabah mengira bahwa aku berhati lembek dan cuma bisa menggertak saja! Kau akan lihat nanti, hati siapa yang akan lebih hancur. Hati adikmu atau hatiku, dulu!"

Nadia demikian berang, sampai dia tak bisa berkata-kata. Lehernya naik turun, menelan amarah dengan susah payah. Berbagai kata makian siap di ujung lidah, namun dia tak sanggup melontarkannya ke luar.

Reno menatapnya dengan senyum sinis penuh ejekan calon pemenang. Matanya yang biasanya hangat, kini mengecil hingga nyaris tak terlihat lagi. Dari celah-celah bulu matanya yang lebat, di teropongnya gadis ayu yang tengah frustasi dilanda amarah.

"Nah?" ejeknya menuang minyak. "Kau mau apa sekarang?"

Nadia tetap menahan diri, tidak berucap sepatah pun. Bibir bawahnya digigitnya erat-erat hingga terasa asin. Tercium olehnya bau besi dalam mulutnya. Dia tahu, bibirnya telah berdarah. Namun dia masih tetap bertahan. Bibirnya terkatup erat seperti capit kepiting. Sesungguhnya, dia putus akal tak tahu harus menyemprot dengan kalimat marah yang bagaimana. Akhirnya, yang keluar cuma keluhan putus asa.

"Tapi, dia kan tidak bersalah apa-apa...." ""

"Hm. Rupanya kau belum pernah mendengar tentang vendetta kaum mafia yang menyangkut semua anggota keluarga dari bayi sampai nenek kakek jompo!"

Nadia seolah siap meledak tiap saat. Hidungnya kembang kempis, matanya penuh api. Sayangnya tak mampu lagi membakar hangus orang depannya. Akhirnya, dia kembali mengeluh pelan hampir tanpa bunyi.

"Baiklah. Aku kasihan pada adikmu," kata Reno setelah beberapa menit, membuat hati Nadia melonjak penuh harap.

"Bukan padamu. Aku bersedia meninggalkannya sebelum hatinya patah, dengan syarat..." Didekatkannya wajahnya ke pipi gadis itu. Kepalanya menunduk, nyaris menyentuh kelopak mata Nadia. Nafasnya yang hangat mengelus hidungnya, membuatnya kegelian.

Nadia terlonjak dengan dada meledak mendengar kata-katanya,

"... dengan syarat, kau rela menyerahkan diri padaku! Barulah dengan begitu sakit hatiku boleh dianggap impas!" Belum lagi selesai dia menyeringai dengan sinis, belum lagi bunyi suaranya lenyap dari telinga Nadia, Reno sudah mengaduh. Tangannya. serentak keluar dari saku. Yang kiri langsung mendekap pipi. Matanya menyala buas seolah ingin menelan korban di depannya.

Nadia juga menatapnya tanpa kedip. Seakan tidak sadar dia apa yang terjadi. Dia sama sekali tidak ingat telah melayangkan tangan. Tapi telapak kanannya terasa pedih. Jadi memang dia yang telah menampar Reno. Cukup pantas, katanya dalam hati. Dia sama sekali tidak menyesal. Lebih dari pantas, untuk kekurangajaran yang melewati batas!

Sebelum dia sempat memberi selamat atas keberaniannya, tahu-tahu Reno sudah bergerak. Begitu kilat, hingga Nadia tidak bersiaga. Mendadak saja Reno sudah lenyap dari hadapannya. Ketika dia mau menoleh, tiba-tiba didapatinya kedua tangannya ditelikung ke belakang. Sama sekali tak bisa digerakkan. Pitingannya bukan main kerasnya, menimbulkan nyeri yang sangat.

"Kau minta maaf?" desis suara di pinggir telinga.

Nadia menggigit bibir. Pitingan diperkeras. "Ibuku sendiri pun belum pernah menampar aku! Kau tidak tahu konsekuensinya menampar seorang lelaki! Minta maaf atau tidak?"

Nadia berdiam diri. Bibir atasnya kini giliran berdarah ketika digigitnya keras-keras. Dia berharap dengan begitu rasa sakit dari tangan dan sendi bahu takkan terlalu disadarinya. Tapi dia keliru. Nyeri itu demikian menyengat hingga air matanya nyaris meleleh turun. Namun dia masih tetap membandel.

"Buat apa minta maaf pada bajingan!"

"Oke. Kita akan terus begini di sini. Kalau perlu, malam, sampai rumah sakit ini ditinggalkan orang. Dan aku bisa memperlakukan kau sesuka hati nanti. Silakan membayangkan kira-kira apa yang bakal terjadi pada gadis sok yang ringan tangan dan gemar membikin orang sakit hati!"

Ancaman itu mengecutkan hati Nadia, namun tak mau diperlihatkannya.

"Kau gila!" dengusnya. "Aku akan berteriak sampai ada yang datang."

"Siapa? Suster? Ha, silahkan. Bila kau sudah ingin dijadikan bahan gosip. Berduaan di kamar dokter yang sempit, lengkap dengan kasur dan bantal... silakan menjerit sekuat tenaga!"

Nadia mati kutu. Pitingan terasa tidak tertahankan lagi. Butir-butir keringat sebesar mutiara bermunculan seperti mahkota di dahi. Pandangan matanya mulai gelap menahan nyeri. Kepalanya terasa pusing dan ringan. Aku bisa pingsan, pikirnya sesaat sebelum didengarnya kembali desis di belakangnya.

"Nah, mau minta maaf?"

"Aku... minta... ma... af."

"Kepada siapa? Kambing? Babi? Kerbau? Sebut namaku!" perintahnya dengan tegas.

Nadia menggigit bibir dan memejamkan mata. "Aku minta maaf, Reno," bisiknya secepat angin lalu.

Pitingan segera dilepas.

"Begitu lebih baik. Lain kali, harus ingat-ingat dulu sebelum menggerakkan tangan!" Lalu tanpa perhatian sedikit pun, Reno berbalik menuju meja kerjanya, meninggalkan Nadia berdiri di dekat jendela.

Diurut-urutnya pergelangannya yang terasa berdenyut nyeri. Ada bercak merah menyala di situ. Bekas-bekas jari dan kukunya yang kuat terlihat jelas. Nadia menggerakkan gigi. Rasanya ingin sekali menangis, namun sekuat hati ditahannya. Diurutnya terus bercak merah itu. Dia takkan berani keluar dari ruangan ini selama merah-merah itu masih kentara. Pasti akan ada teman yang melihat dan bertanya. Oh, berduaan di kamar dokter Reno?! Aduh, ke mana dia mau sembunyi nanti.

Lewat lima menit, warnanya mulai redup. Nyerinya juga sudah berkurang, tinggal pedih sedikit. Tanpa menoleh lagi, Nadia melangkah ke pintu dan membukanya pelan. Coba dia menoleh, pasti akan didapatinya dokter Reno tengah mengawasinya dengan tatapan yang sulit dianalisa. Tapi dia tidak menoleh. Dia berjanji dalam hati, takkan pernah mau menoleh lagi ke arah laki-laki itu.

"Ingatlah syaratku!" kata suara tenang dari belakang. "Begitu kau bersedia memenuhinya, akan kulepas adikmu!"

Nadia menghilang di balik pintu. Dia tidak menoleh. Tidak pula menunjukkan bahwa dia sudah mendengar.

...****************...

Nadia menelungkup mencoba tidur. Namun yang muncul di kepala adalah sepotong sampul putih pembawa bencana. Seseorang yang dengki telah menyelipkannya di bawah pintu pada suatu siang tiga tahun yang lalu. Isinya sehelai foto. Biadab. Reno dan...

Mula-mula dia ingin ketawa. Lelucon dari mana ini. Lama-lama dia merasa penasaran. Siapa sih yang jail mengirimnya kemari? Kemudian dia meradang, merasa terhina, Jadi begini ulah Reno di belakangnya? Bajingan sekali rupanya dia! Jadi tidak sedikit pun dia merasa perlu setia pada pacar! Terang-terangan ber….

Nadia menangis. Kaget, Kecewa. Marah. Pilu. Dan Sedih. Dia menjauh dari Reno. Tiap kali dicari, selalu tidak di tempat. Salah satu teman kuliah yang telah lama mengincarnya tidak membiarkan kesempatan bagus ini berlalu. Opus mendekati. Nadia tidak merasa terikat lagi oleh kesetiaan pada Reno. Dia merasa bebas bergaul dengan siapapun, termasuk Opus.

Reno akhirnya tahu. Pada suatu hari, anak-anak menunggu kedatangannya di depan gedung. Mereka bersorak sorai melihatnya. Maklum, rupanya belum pada makan, dan Nadia sudah berjanji akan mentraktir bakso. Hari itu ulang tahunnya.

Opus dengan gembira berlari menyongsongnya, mirip anjing yang kegirangan melihat majikan. Lengannya yang kekar berbulu dilingkarkannya tanpa permisi lagi di sekeliling bahu Nadia. Mereka berjalan berdampingan menuju tempat teman-teman berkumpul.

Satu-satu memberinya selamat. Ketika tiba giliran Opus, lagi-lagi lengannya melingkar jail. Kemudian anak-anak menagih janji. Nadia mengajak berangkat ke tempat bakso. Saking gembiranya, Opus serta merta memeluk erat dan mengecup pipinya lama-lama sampai dia blingsatan kehabisan napas.

Ketika dia berhasil melepaskan diri, Nadia dengan tidak sengaja menoleh ke kiri. Di sana, di bawah pohon akasia yang rindang, berdiri Reno dengan wajah membeku. Tangannya ada di pinggang. Stetoskop tergantung di leher. Rahangnya yang kuat berotot kelihatan jelas sekali, saling menekan seolah menahan marah. Jaraknya dari tempat Nadia ada lima puluh meter, namun gadis itu bisa melihat api kemarahan berkobar di dalam matanya.

Seakan belum tahu bencana yang telah ditimbulkannya, Opus kembali merangkulnya dari belakang. Kedua tangannya melingkari pinggang. Sikapnya memang memberi kesan intim. Nadia yang melongo seperti orang hilang ingatan, tidak segera terpikir untuk membebaskan diri. Reno dilihatnya makin menyala. Akhirnya tampak seperti kobaran api yang menjilat-jilat dengan ganas.

Nadia sudah membuka mulut ingin mengucap sesuatu, namun tiba-tiba rasa muak mencegahnya. Dia teringat foto kaleng yang dikirim tempo hari. Hm, pikirnya gusar. Berlagak tak bersalah?! Mau marah padaku?! Aku sudah bukan pacarmu lagi!

Anak-anak akhirnya menyadari situasi. Semua mata menoleh ke pohon akasia. Seseorang menjawil Opus dan berbisik. Opus kaget dan segera melepas rangkulannya. Dokter Reno adalah asisten yang cukup berwibawa dan ditakuti ujian-ujiannya. Berani mati mencoba membuatnya naik pitam!

Reno marah besar. Dia tak mau mendengarkan sepotong pun penjelasan. Sedang Nadia tak berniat untuk memberi penjelasan. Reno menyangka bahwa gadis itu merasa bersalah dan tak bisa membela diri lagi. Marahnya menjadi. Harga dirinya terasa dipecut. Dia tak mau berbaik lagi dengan Nadia. Malah bersumpah akan membalas sakit hatinya ini bila ada kesempatan.

Dan kesempatan itu kini sudah tiba! Nadia mengeluh, membenamkan wajah di bantal. Reno telah menemukan jalan untuk membalas sakit hati. Dia telah menemukan Natasha yang lugu dan belum kenal bahaya.

Nadia ingin sekali menghapus kenangan buruk Namun dari tahun ke tahun harapannya menipis. Bukannya terhapus, malah makin sering terbayang. Sesekali dia berpikir, apa jadinya seandainya dia dulu bersumpah bahwa Opus cuma main-main. Bahwa anak itu memang kelewat spontan serta bebas. Bahwa dia tak pernah keluar malam dengannya. Bahwa baru kali itu Opus merangkul serta mengecupnya.

Apa kiranya yang akan terjadi?! Tak ada keluhnya. Reno takkan percaya. Semua akan sia-sia. Tapi dia tidak menyesal. Dia senang sudah tidak menjelaskan ini-itu pada Reno. Kenapa harus dijelaskan? Mestinya kan dia yang marah, dia sakit hati gara-gara foto laknat itu. Kenapa jadi Reno yang berbalik dendam padanya? Seandainya tak ada foto itu, tentunya dia takkan bergaul sebebas itu dengan pemuda lain. Salah siapakah?

Sejak insiden di dekat pohon akasia, teman-teman cowoknya, termasuk Opus, jadi ngeri mendekat. Mereka tahu, Reno jago karate dan punya bodyguard yang biasa mengawalnya ke niteclub untuk menyanyi. Rupanya dokter Reno amat sensitif dan posesif, bisik seorang teman. Huh, keluh Nadia. Bila dia betul berperasaan halus, kenapa sampai terjadi adegan seperti di dalam foto?! Disangkanya aman, Nadia takkan tahu?! Enak amat! Untung nasibnya masih mujur, ada tangan jahil mengiriminya foto itu. Terbuka kini matanya.

Namun celakanya, masa lalu itu seolah merupakan kutukan baginya. Tak ada laki-laki di kampus yang berani dekat. Sedang Reno sikapnya sudah lebih asing dari orang yang ketemu di tengah jalan. Selain itu, Nadia tak sudi lagi menjadi pacarnya. Jijik. Muak. Melihat orang dirangkul di siang bolong, di depan orang ramai, sudah marah-marah. Padahal diri sendiri! Munafik!

Dan kini kutukan itu akan bertambah lagi dengan ancaman bencana bagi Natasha. Si Munafik telah bertekad untuk membalas sakit hati! Aduh, seharusnya dulu itu aku lemparkan foto tersebut ke depan hidungnya, biar dia tak bisa lagi berkutik. Entah kenapa, Nadia tak sanggup melakukannya.

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menasihati Natasha akan percuma saja. Anak puber yang sedang mabuk cinta takkan percaya secuil pun apa yang akan dikatakannya. Dan Nadia tak sampai hati mengoyak kesentosaan hidup adiknya dengan menunjukkan foto itu.

Lebih terkutuk lagi, Reno kini berani menghinanya dengan mengajukan syarat yang begitu kurang ajar! Nadia menggertak gigi. Walau dalam kamar sekalipun, dia tak mau menangis untuk Reno. Oh, kalau dia bisa mencekik laki-laki itu! Atau meracuninya... atau... oh, betapa bencinya dia. Kenapa tak ada orang yang terpikir untuk menyingkirkannya? Sebagai penyanyi club malam yang begitu dipuja, pasti pernah juga dia mendekati atau didekati wanita-wanita kesepian. Foto itu buktinya. Tak adakah suami yang mau menembaknya?

"Nadia, kau tidur? Tolong buka dong pintumu. Akú minta parfum. Botol ku kosong....”

Nadia berbalik menelentang lagi, menoleh ke pintu. Entah sudah berapa bulan parfum Natasha habis. Tentunya dia tak punya uang untuk membeli yang baru. Uang sakunya sekarang habis untuk baju baru terus. Setiap kali kencan - dengan Reno tentunya - selalu mesti pakai baju baru.

Ah, anak bego ini tak tahu bahaya yang mengancamnya. Disangkanya Reno setengah mati mencintainya. Padahal laki-laki itu sama sekali tidak serius. Dia cuma merencanakan sebuah pembalasan dendam. Dendam yang sebenarnya cuma tercipta di dalam pikirannya sendiri.

"Nadia, kau tidur?" Suara merengek itu membuat nya jadi kasihan. Natasha sebenarnya bisa memakai parfum Mama, tapi dia tak mau. Tidak cocok dengan baunya, katanya. Atau Reno yang tidak menyukainya? Hatinya terguncang sebentar ketika teringat bahwa Reno amat menyukai parfum yang dipakainya. Apakah karena itu selama tiga tahun ini dia belum pernah berganti merk? Bah! sungutnya dalam hati. Mana mungkin! Aku tak peduli sepeserpun apa yang disukainya dan apa yang tidak.

"Nadia..." Suara adiknya begitu memelas.

"Ya, sabaaar. Aku bangun." Huh. Rupanya Reno betul-betul serius dengan ancamannya. Dia tak mau melepaskan Natasha, kecuali...

Seakan tak bertenaga, dibukanya grendel pintu. Natasha menyerbu masuk. Gaunnya baru. Sutra sintetik berwarna merah hati. Cantik. Cuma itu predikat yang mampir di kepala Nadia sementara dia menggeleng dan menghela napas.

“Kapan sih kau mau mendengarkan aku, Tasha? Laki-laki itu tidak cocok untukmu! Kau belum pantas pacaran!”

Natasha mengambil beberapa tetes parfum yang diolesnya ke belakang telinga, leher dan pergelangan tangan. Dengan senyum selembut beledu dia menoleh pada kakaknya.

“Trims ya, Yuk mari. Kami telat nih!” Lalu dia menghambur ke luar tanpa sedikitpun memberi kesan bahwa dia mendengar ocehan kakaknya. Nadia berkacak pinggang dengan kesal. Ibu yang kebetulan lewat menegurnya. Nadia tersentak kaget.

“Mam, kenapa Tasha dibiarkan terus bersama pria gadungan itu?”

“Gadungan bagaimana Nad?” tanya ibu tersenyum. “Dia kan dokter. Spesialis penyakit dalam. Apanya yang gadungan?”

Tanpa menjawab ditutupnya kembali pintu kamar. Ah, Mama pun sudah ikut-ikutan ke pihak Reno. Ya! Ibu mana sih yang tak mau punya menantu dokter segagah dan sesimpatik Reno?

Oh, Tuhan, lindungilah Natasha.

...----------------...

Terpopuler

Comments

widodo arifin

widodo arifin

goo

2022-12-09

0

hary cutesmile4

hary cutesmile4

up.

2022-12-06

2

Yulia N.A

Yulia N.A

up..

2022-12-05

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!