NovelToon NovelToon

Pertahankan Aku Sayang

Bab.1.

Sinar matahari menerobos lewat sela-sela jendela, membuat kelas terasa gerah. Sebenarnya sejak lima puluh tiga menit yang lalu temperatur ruangan sudah meningkat, ketika ulangan matematika dimulai.

Matematika memang termasuk salah satu musuh anak-anak kelas dua SMA. Sekali ini, Pak Mat memang keterlaluan. Beliau sampai hati merancang persamaan tersamar yang benar-benar begitu samar, hingga tidak juga bisa di pecahkan oleh mereka. Bahkan yang otaknya seencer minyak pun, misalnya Natasya, atau Alia, atau bahkan Arman sang juara kelas, masih geleng-geleng kepala, nyaris angkat tangan. Dan Pak Mat yang telengas itu duduk di atas singgasananya, pura-pura tidur, padahal dalam hati mungkin tersenyum simpul menyaksikan murid-murid gelisah.

Entah dari buku pedoman mana telah diconteknya soal gila ini, gerutu Arman dalam hati. Natasya lain lagi pikirannya. Dia teringat terus kesalahannya, dua kali tidak membuat pekerjaan rumah. Dan tentu saja yang ikut-ikutan banyak juga. Kalau orang main gampang saja dalam segala hal, pasti akan cepat dapat pengikut baaaanyaak. Sebaliknya, mencari sukarelawan untuk misalnya mengerjakan tugas piket sekolah, waduh, pasti susah banget.

Nah, Natasha yang merasa punya salah, jadi was-was jangan-jangan Pak Mat yang telengas itu sedang menghukum mereka. Barangkali kata be-li-au dalam hati, rasakan kalian anak-anak malas! Nah, saya beri kalian soal yang tidak kepalang tanggung.

Mendadak seorang anak yang duduk paling belakang mengetuk meja minta perhatian. Pak Mat mengangkat mukanya yang barusan tunduk melenggut.

“Ya, Susi?”

“Apa soal nomor tiga ini harus pakai rumus Planck? Kok dengan rumus biasa tidak terpecahkan?”

“Wah, apa itu rumus Planck?” Pak Mat (nama hadiah anak-anak) tertawa masam. Padahal dia pasti tahu, sebab kan pernah mampir di FT.

“Coba jelaskan!”

“Mana saya bisa!” desis Susi cemberut.

“Saya kan cuma lihat dalam buku Kakak!”

“Kakak yang mana nih?” sindir teman sebangkunya.

“Hiih! Emangnya kayak kamu, punya mata sebesar bola basket!” balas Susi makin sewot.

Melihat situasi menjurus ke arah kacau balau, seperti lalu lintas ibu kota, Pak Mat cepat-cepat turun takhta, masuk ke dalam barisan bangku.

“Sudah jangan ribut. Nanti waktunya habis, kalian belum selesai. Pokoknya, apa yang belum pernah diajarkan tak perlu dipakai. Tak usah pakai ‘plang-plung’ segala macam. Pakai saja yang sudah diajarkan!” Be-li-au kembali tersenyum manis, membuat Alia kesemutan tangannya ingin melempar punggung Pak guru dengan pulpen. Sayang be-li-au agaknya tahu di mana ada *******, dan tidak memberi kesempatan untuk dibidik.

Kelas memang hening, tapi tidak tenang. Malah tegang. makin dekat bunyi bel, semakin naik suhu udara. Sepertiga kelas sudah melepas kancing atas seragam, yang lain bahkan mencopot sepatu, yang memang sudah punya kebiasaan telanjang kaki dalam kelas, sebab kepanasan, kini melap keringat dengan sapu tangan kertas atau sesekali berkipas atau mendecah-decah seolah kepedasan.

Dalam keadaan begitulah, keheningan dirobek oleh dering bel yang kelewat nyaring, membuat anak-anak terlonjak panik. Rupanya tak ada yang selesai. Tak seorang pun bersedia menyerahkan kertasnya. Pak Mat terpaksa membujuk, lalu menggertak membawa-bawa nama Madam Stephanie yang galak, kemudian membujuk lagi.

“Sudah, sudah, ayo serahkan. Mau pulang enggak? Nanti kalau ternyata semuanya jelek, akan saya katrol. Ayo, lekas! Waktu sudah habis!”

Mendengar akan dikatrol, barulah beberapa anak dengan segan mengulurkan kertas mereka.

“Betul ya, dikatrol lho Pak. Sebab kertas saya pasti jelek.” kata Alia menegaskan. Semuanya ketakutan, sebab itu ulangan semester. Berarti akan mempengaruhi kenaikan kelas.

Dasar masih bocah yang baru hilang bau susu, begitu keluar dari kelas, sudah kembali haha-hihi, lupa susahnya ulangan barusan.

“Ngapain dipikirin.” kata Susi. Disambung oleh Alia,

“Nanti malam jangan pada lupa nih, ulang tahunku! Awas tidak datang yang diundang!”

Dan yang diundang tentu saja seluruh kelas. Tapi diperkirakan yang akan datang cuma dua pertiga saja. Lainnya banyak alasan : jauh, tak ada kendaraan (Alia menawarkan jemputan oleh kakaknya, namun ditolak dengan ‘ogah, malu, ah!’), tak ada baju, dan yang paling gawat, tak dapat izin. Ini yang paling banyak jadi alasan. Agaknya banyak juga orang tua yang perlu di-upgrade, sebab masih menganut sistem lama.

Natasya berlari ke kiri, tapi dengan gesit ditangkap oleh Alia.

“Hei, mau ke mana kau?” teriaknya dengan guncangan enam skala richter. Natasya nyaris roboh terbanting. Setengah melongo dipandangnya kawannya.

“Mau pulang tentu saja! Memangnya mau nginep menemani Madam!”

“Kau tak boleh pulang. Ikut ke rumahku dong. Banyak tugas nih!”

“Lho! Aku Lapar lah!”

“Astaga! Menghina betul kau! Dikira rumahku sudah kehabisan beras?”

“Harus minta izin dulu lah sama ibuku!”

“Telepon dulu aja deh boleh ga! Kayak ibumu belum kenal siapa Alia!”

Natasha mengangkat bahu. Tanpa banyak pikir, dia menurut saja. Menelepon lalu berbicara sebentar, kemudian melenggang di samping Alia. Susi juga kemudian dikepung oleh mereka berdua dan diciduk. Sekalian dengan Zaza yang gemuknya manis sekali sebab kebanyakan makan gula-gula.

Setiba di rumah Alia, Natasya mengira ada kebakaran. Begitu banyak orang di halaman. Ada yang mengangkat peti, ada yang membawa-bawa lampu hilir mudik, ada yang mengangkat kursi diatas kepala.

“Astaga serunya! Aku sangka ada kompor meledak! Tahunya sedang pasang tenda! Hebat-hebatan nih Al! Mentang-mentang masih muda! Mau lelang rupanya nanti malam ya?” Sindiran Natasha tidak mengguncangkan kegembiraan di hati yang disindir.

“Tentu dong.” Sahutnya enteng. “Kan tujuh belas itu usia ambang.! Masa enggak tahu? Kalau lewat itu, kan kita sudah dianggap tua!”

“Waduh! Jangan bilang begitu di dekat kakakku lho!” bisik Natasha kaget. “Nadia pasti takkan senang dibilang tua. Nanti dia ngadu pada Mami, aku yang celaka!”

Rumah Alia — di bilangan Selatan kota, lewat Cilandak — terletak di atas perbukitan yang sejuk. Luasnya lebih dari seribu meter, tapi bangunannya sendiri tidak seberapa besar. ‘cuma’ berkamar tidur delapan.

Alia hanya tiga saudaranya. Dua sudah menikah, tapi kamar mereka masih dibiarkan utuh. Kata ibunya, tak usah dibongkar, siapa tahu mereka kapan-kapan mau nginap. Dan Fadila, abang Alia sempat menambah, “Mana tahu kan, nanti bertengkar dengan suami, ngambek dan ingin mudik!” menyebabkan ibu mendelik sambil mengucapkan amit-amit, tiga kali.

Jadi dari delapan kamar itu cuma tiga yang sehari-hari dihuni. Dua lainnya penampung nyonya-nyonya yang akan ngambek terhadap suami. Sayang sekali mereka semua tinggal di luar Jawa, jadi takkan bisa hadir di pesta ultah nanti. Tiga kamar lagi memang disediakan buat tamu. Sebab kerabat dari daerah — dengan dalih begini-begitu — banyak yang punya urusan di Jakarta, lantas kepingin di undang bermalam di sana. Kapan lagi mencoba tinggal di gedongan, kata mereka tanpa malu-malu.

Mobil yang membawa mereka meluncur masuk disambut oleh kicauan si Bruno dan seringai si Fadila. Sudah bukan berita baru bahwa murid SMA kelas tiga itu ingin merampas hati cewek yang menjadi teman baik adiknya, Natasha. Sementara ini memang antena Natasha belum bergetar, Mungkin dia masih tidur. Atau boleh jadi itu memang taktik perempuan, supaya bisa berlagak jual mahal. Mumpung hari masih pagi. Masih jalan tujuh-belasan.

Fadila bisa maklum juga . Sebab Alia sendiri juga sok jual mahal terhadap kawan sekelasnya yang sudah lama jungkir balik dilanda cinta padanya. Lihat saja nanti malam kalau si Dion muncul, pasti Alia akan mendadak kelihatan sibuk mengatur ini itu. Tentu saja cuma kamuflase!! sebab biji-mata-mami mana pernah sih bekerja atau dibiarkan sibuk. Namun lagak itu perlu, agar Dion-malang itu akan menjadi gelisah., malah sedikit gelagapan, terlebih melihat si Manis-belang-tiganya dikerumuni cowok-cowok (yang sebenarnya pasangan teman-teman sekelas Alia).

Aaah. Fadila menaikkan alis dan bersiul kecil. Tiga gadis manis meluncur keluar setelah Alia. Si gendut Zaza pun sebenarnya tak kurang pula ayunya, cuma bobotnya itu yang selalu membuat Fadila serta teman-temannya banyak berpikir, apa bisa terlawan kalau pecah konfrontasi nanti? Orang pacaran kan — apalagi kalau sudah resmi —- lumrah saja terkadang perang sipil bukan? Namanya juga elektroda negatif dan positif. Kalau bersentuhan, pasti terpercik api panas.

Fadila pernah bilang pada adiknya, “Sungguh mati, aku cinta pada Nadia.” Tapi dalam hati dia sudah bersiaga. Seandainya cewek itu sampai kesetrum orang lain, agar hatinya sendiri tidak koyak, Fadila bersedia-sedia merampas hati yang lain. Karena itu dia selalu gembira setiap kali ada kesempatan “memperluas pandangan mata’” seperti saat ini.

Tiga cewek cakep bro, pikirnya dengan gairah. Si Susi itu pun tak terlalu bego sebenarnya. Asal dipupuri dan di bedakin, pasti akan kelihatan lebih meriah!

“Wahh, bakal ramai sekali sirkus nanti malam nih!” Seru Fadila yang tengah membersihkan motor di garasi. Zaza kena tersindir, dia menunduk malu. Kaos yang dikenakannya memang terlalu menyala. T-shirt itu hadiah dari orang. Bergaris-garis lebar lima centi, selang-seling jingga dan merah, mengingatkan orang pada tenda sirkus. Sebaliknya, Si Ceking Susi justru memakai loreng-loreng hitam putih. Tak pelak lagi, dilihat-lihat memang tak jauh bedanya dengan zebra kesasar atau jerapah kelaparan. Cuma Natasha yang Fadila tak berani mengusik.

“Fadil, kau jangan bikin teman-temanku malu dong”. kata Alia. 

“Nanti kami boikot semua teman-temanmu baru tahu! Ayo, mari kita ke dalam. Jangan ladeni abang ku yang geblek itu!” Seperti induk ayam, Alia menghalau semuanya masuk. Fadila mencibir sambil melirik geli. Ingin sekali rasanya mencubit lengan montok si Tenda sirkus. Sayang nanti bisa terjadi gempa bumi!

Alia membawa teman-temannya menyalami ibunya yang sedang repot di dapur. Sambil tertawa lebar disuruhnya mereka segera makan supaya bisa lekas ikut membantu.

“Wahh, aku dibawa kemari mau di suruh kerja rupanya.” bisik Zaza di kamar makan.

“Tentu saja.” sahut Alia tenang. “Kau pikir, orang kalau memberi makan orang lain, apa dengan percuma?”

“Brengsek kau! Aku kan harus tidur siang. Kalau tidak, mana aku bisa tahan sampai malam?”

“Wow , wow , badan sudah selebar gajah, apa masih mau diperbesar lagi, biar jadi gajah jumbo? Ayo, makan dulu deh. Kalau perut kosong memang suka pada loyo ya.”

Tanpa sungkan, mereka berebut ditengah meja. Sudah tentu Zaza yang paling rakus. Jari-jarinya yang sebesar wortel itu amat gesit meraup piring dan mangkok, lalu mengangkatnya sementara yang lain melongo menunggu giliran.

Tengah asik-asiknya makan, mendadak Susi teringat bahwa dia tak membawa baju pesta.

“Wah gimana ya.” seru Zaza ikut-ikutan. Perutnya yang sudah setengah terisi rupanya membuat pikirannya lebih terang.

“Aku juga baru ingat! Masa akan kupakai baju ini! Bisa-bisa abang mu dan kawan-kawannya pada mati ketawa dong!”

“Betul juga ya.” kata Alia berpikir.

“Baju-bajuku terang takkan ada yang pas dengan kalian berdua.. Dengan Natasha mungkin masih bisa.”

“Iiihh, aku sih paling pantang pakai baju orang lain! Amit-amit. Nanti kumannya pada nular! Biar rombengan, harus baju sendiri.

“Nah, habis gimana nih? masa kalian mau pulang semua mengambil baju? Rumahmu di utara , kau di timur, kau di barat. Capek dijalan saja, kalau mesti mondar-mandir.”

Sambil menyelesaikan makan, mereka semua berpikir. Tapi jalan tengah tak ketemu. Ketika Fadila masuk mengambil air minum, Alia menanyakan pendapatnya.

“Ohh, gampang. Suruh saja Pak Hasan mengambil ke rumah masing-masing. Kalian telepon saja, kasih tahu mami, baju mana yang harus diambil.”

“Tapi kalau nanti mobil perlu dipakai mami atau Pak Hasan harus ke toko beli ini-itu?” Alia ragu-ragu. “Tiga rumah Jauh-jauh lagi.”

Fadila termenung sejenak, lalu wajahnya terlihat cerah.

“Ahh, begini saja. Siapa yang rumahnya paling dekat, aku ambilkan bajunya.” Dalam hati dia berharap itu Natasha. Tahunya Alia menunjuk si Gajah. Dasar nasib lagi jelek, keluhnya dalam hati. Tapi sudah berjanji, ya mesti ditepati.

Tanpa memperlihatkan kekecewaannya, Fadila menyatakan bersedia ke rumah Zaza mengambilkan bajunya. Dia pergi ke garasi untuk menunggu di situ, sekalian mengatakan pada Pak Hasan tugasnya. Sementara ketiga tamu harus menelepon ibu masing-masing.

Setelah soal baju dibereskan, tahu-tahu gajah mereka sudah terjelepak di atas sofa di dalam kamar makan.

“Huhh!” keluh Alia berdiri bingung di samping sofa, diawasi yang lain.

“Gimana ini? tugas masih banyak. Membungkus kue, menghias podium, mencantumkan bunga-bunga di meja dan dinding. Masa kita akan tidur?”

“Sebenarnya aku pun ngantuk.” Natasha mengaku tanpa menyembunyikan mulutnya yang menguap.

“Ya, sebenarnya aku juga.” Alia mengangguk.

“Kalau enggak tidur, nanti kita enggak segar kelihatannya.” Susi menambahkan, sebab dia tahu betul, Alia paling takut kelihatan tidak menarik.

“Lebih baik kita tidur barang setengah jam saja deh. Setelah itu baru kerja. Gimana sus?”

“Setuju banget. Tapi kalau sudah tidur, biasanya akau susah bangun lagi. Paling tidak, harus sejam aku habiskan.”

Alia makin kelihatan mengantuk mendengar diskusi kedua temannya. Akhirnya dia memandang mereka dan Zaza bergantian, menghela napas, dan mengangkat bahu.

“Setengah jam saja ya,. Kita pasang alarm” Lalu digiringnya mereka ke loteng.

“Ehh, Zaza gimana?” tanya Susi.

“Biarkan saja di situ. Siapa yang sanggup menggotongnya? Dia sudah pulas, tak boleh dibangunkan, nanti kaget.” Dan memang benar Zaza sudah mulai kedengaran mendengkur halus.

Fadila masih menunggu di garasi. Ketika dirasanya bicara-bicara di telepon sudah lebih dari kelamaan, dia masuk kembali untuk menerima order di mana alamat. Ternyata hening yang dijumpainya.

“Lho!”  gumamnya kaget.Lebih kaget lagi ketika matanya menerpa sosok buncit terjelepak di atas sofa. Nyaris ketawa geli dia, Ketika mau di bangunkannya Alia , terdampar matanya ke atas meja makan. Disitu terdapat sebuah nota kecil berisi tiga alamat.

Waktu pamitan dengan ibu, beliau bertanya mana mereka yang mau membantu. Fadila nyengir. “Semuanya tidur! Namanya juga masih bocah-bocah!”

...----------------...

Bab.2.

Pesta sudah berjalan setengahnya. Di halaman luar yang seluas lapangan bola telah didirikan panggung kayu yang ditutupi dengan vinyl supaya licin dan cocok buat joget. Untuk melindungi tamu dari hembusan angin, di atas panggung dipasang atap terpal.

Di sudut, sebuah grup band memeriahkan suasana. Hadirin kebanyakan merupakan kawan Alia dengan pasangan. Sebagian kecil juga kawan sekolah Fadila. Sebab Fadila emoh ikut pesta kalau teman-temannya tak ada yang diundang. Tidak enak kan, melongo sendirian menyaksikan wajah-wajah mulus bergandengan dengan manusia-manusia beruntung, sementara kita cuma bisa menelan ludah!

Sebagian hadirin sudah gatal mau ikut berjoget. Sayang Alia belum mau mulai. Mereka baru saja selesai makan. Alia masih ingin membiarkan perutnya bekerja dengan sepenuh energi tanpa gangguan.

Natasha duduk bersama beberapa gadis yang termasuk rombongan.Artinya mereka sekaligus diantar seorang cowok, pasangan dari salah satu.

Ketika tengah asik melayangkan pandangan berkeliling, Natasha tiba-tiba terkejut melihat sepasang mata tengah mengawasinya dengan tajam. Hii apa-apaan orang itu, pikirnya bergidik. Lagaknya seakan mau menagih hutang saja! Tampang sih boleh, tapi air mukanya seperti hulk!

Dengan perasaan tidak enak, dipalingkannya muka ke arah lain. Dicobanya menghibur diri. Ah, barangkali orang itu memang begitu air mukanya . Buas seperti ikan piranha. Barangkali dia belum pernah melihat cewek yang termasuk paling cantik sejagat! Hiii. Pikiran itu memberi sedikit bonus semangat untuk mengusir ketakutannya barusan dan tanpa sadar dia sudah tersenyum kecil.

Lewat lima menit. Natasha berpikir, coba aku lihat lagi, apakah orang itu masih di situ? Dia menoleh lagi ke sudut dekat band. Aduh! orang itu masih tak bergeming di tempat. Masih mengawasinya. Malah sekarang kelihatan lebih garang! Ah, mana bisa! Itu perasaan belaka.

Zaza menjawil lengannya. Dia menoleh.

“Lihat tuh si Bimo. Baru isi bensin sudah ngebut! Gimana mau gemuk!”

Natasha memandang ke tengah panggung. Bimo memang sedang berjingkrakkan di hadapan pasangannya yang juga asik berloncatan atau meliuk ke sana kemari. Di sampingnya, Alia dan Dion juga sedang asyik ‘senam’ a la korea.

“Tumben mau didekati oleh si Dion.” komentar Natasha. Biasanya Alia alergi betul pada Dion. Begitu didekati, walau masih berjarak dua meter, sudah bersin, pipi merah padam dan mata mendelik.

Sementara mereka berdua menjadi reporter-pandangan-mata, sudah turun pula beberapa pasangan lain. Rupanya cepat sekali atraksi itu menarik minat. Begitu lihat, kontan ngiler mau ikut. Keinginan Zaza pun menggebu-gebu. Hasratnya menjalar cepat seperti api kebakaran.

“Sayang aku tak bawa pasangan.” keluhnya, padahal memang tak punya. Belum sempat Natasha menanggapi, Fadila sudah muncul di depan mereka. Wajahnya cerah seperti dompet-habis-bulan. Dipandangnya mereka bergantian. Maksud hatinya tentu saja mengajak Natasha. Apa lacur, dia kelewat lamban. Zaza sudah lebih dulu menguik kesenangan melihatnya. Malah langsung mengulurkan tangan. Mana sampai hatinya meredupkan hasrat yang begitu berbinar di dalam matanya. Namun dia masih mencoba menghindar.

“Apa betul kau bisa berjoget Zaza?” tanyanya sementara matanya merayapi tubuh dan kaki yang bengkak itu.

Zaza nyaris memekik seolah mau ditelanjangi.

“Huhh, apa sih susahnya joget kayak gitu? Kalau senam tari atau atletik, nah, baru perlu latihan.”

“Betul? kau takkan bikin malu nanti?” Fadila menegaskan, berharap jumbo betina itu akan ngambek dan menolak turun ke medan. Naasnya Natasha yang diharap-harap justru malah bikin runyam.

"Buktikan saja! Kenapa tidak di coba? Jangan-jangan malah kau yang tidak bisa!" sindirnya.

Wadow! Pantang dong ya diremehkan oleh cewek! Tanpa banyak komentar lagi, disergapnya tangan Zaza yang selebar piring, lalu diseretnya ke tengah.

Zaza sempat melirik temannya dan mengedip sambil tersenyum. Natasya ikut geli. Mudah sekali Fadila kena diobor! Ha-ha!

Dengan cermat diawasinya kedua orang itu. Ternyata Zaza memang jago. Dia melejit ke sana kemari, begitu lincah penuh variasi, sehingga dalam ronde kedua, Fadila sudah tampak keteter. Dia sudah rikuh mengimbangi. Terkadang disangkanya Zaza akan meliuk ke kiri, tahunya ke kanan. Dikiranya cewek itu mau melengkung ke belakang, tahunya malah doyong ke depan.

Yang paling lucu waktu Zaza menurunkan sedikit tubuhnya, lalu berkepak-kepak seperti ayam dengan lututnya. Fadila tidak bersiaga. Dia sempat mengga-ruk kepala dulu sebelum terjun ikut contoh. Tapi ternyata kurang mahir. Itu memang kepandaian Zaza. yang mutakhir. Natasha pun pasti tak bisa.

Tanpa sadar, Natasha tersenyum - melihat Fadila k.o.- dan menjadi gelagapan ketika tangannya disentuh. Dia menoleh. ”Oh, eh.” Dia terperanjat. Ternyata laki-laki yang tadi asyik melotot padanya; sudah menghampirinya dan kini sedang berdiri tegak di depannya.

Natasha sedikit melongo menatapnya. Matanya bertanya. Mau apa dia, pikirnya. Masa mau ngajak joget? Kenal pun belum!

Tapi orang itu memang betul mau mengajaknya melejit ke tengah panggung. Natasha mengangkat bahu. Ayo saja, kenapa sungkan. Daripada duduk membikin subur wasir, kan lebih baik buang kalori!

Ketika mereka turun, lagu kebetulan sedang berganti.

”Udah dulu, ah,” seru Fadila angkat tangan. ”Habis energiku melayani kamu!”

”Makanya jangan sok menghina kebisaan cewek! Kapok, enggak?” tanya Zaza manja, sambil berjalan kembali ke kursi.

”Kapok, dong. Sangat kapok. Kau sudah terlalu mahir. Lagu begini saja kau sudah tak bisa ku tandingi, apalagi hal-hal lain!”

"Hal-hal lain apa?" tanya Zaza dengan

mata bersinar mengharap lebih banyak pujian.

"Yah, misalnya yudo, karate.. ,”

"Aku tak bisa," jawabnya dengan menyesal.

"...atau lompat galah...”

"Belum pernah.”

"..atau yah, nyontek waktu ulangan..."

"Brengsek, kau! Tentu adikmu yang lapor ya!"

serunya malu dan geram. Fadila tersenyum. Untuk

mengambil kembali hati Zaza, dibawakannya segelas minuman yang habis sekali teguk.

”Lagi, Dil!”

”Buset! Berapa jerigen sih kau sekali minum?” Dia

pergi lagi dan kembali dengan dua gelas. Satu

untuknya tentu saja. Tapi Zaza mengucap terimakasih dan mengambil keduanya. Fadila bengong mengawasi isi gelas-gelas itu mengalir turun ke dalam pipa leding si Gemuk. Hausnya seketika hilang. Dia duduk di samping Zaza dengan pikiran tak habis heran, kok ya ada cewek super kayak gitu.

”Apa kau makan hormon, Za?” bisik nya.

”Apa katamu? Musik ini hingar betul sih kupingku jadi tuli.”

Namun Fadila tidak mengulangi. Matanya sudah

nanar menatap ke tengah panggung. Zaza mengikuti pandangnya dan melihat Natasha sedang riuh meliuk-liuk bersama seorang laki-laki ganteng yang pasti bukan anak sekolah. Paling tidak, dia tahu bukan pacar salah satu teman mereka.

”Siapa laki-laki itu, Dil?” Tapi yang ditanya malah

menggumamkan pertanyaan juga.

”Siapa yang memperkenalkan Tasha dengannya?”

Dengan kening berkerut kayak jeruk kekeringan,

Fadila menoleh mencari adiknya.Ternyata Alia duduk di belakangnya sedang asyik mengunyah kacang bersama Dion. Hmm, pikir Fadila. Perkembangan baru nih. tumben Alia mau didekati.

Biasanya kan jual mahal. Tapi bukan itu yang menyita perhatiannya saat ini.

”Al, siapa yang memperkenalkan Tasha dengan

Reno?” tuntutnya.

Alia menatap sekilas ke panggung. Lalu mengangkat bahu sambil menunduk menyembunyikan senyum geli.

"Wah, sori banget, Fad. Tapi percayalah, bukan aku. Barangkali inisiatif Reno sendiri."

"Hmm" Mungkin Alia benar. Reno memang tajam Inderanya. Dari jarak ratusan meter pun dia sudah tahu di mana ada cewek yang pantas ditaksirnya. Brengsek! Ini sih para gara si Jumbo, minta-minta diajak joged. Jadi Tasha terlepas! Fadila Jadi uring-uringan.

Natasha sendiri sudah merasa kerasukan, Tak bisa stop. Dia menyayangkan bahwa mereka tidak berdansa cara konservatif saja. Pasti lebih menyenangkan. Berdekapan dengan... Ah, siapa ya namanya? Begitu asyik nya sampai lupa saling menyebut nama.

Laki-laki asing itu ternyata tidak mengerikan seperti yang dibayangkannya. Selain matanya yang seperti tabung rontgen bila sedang menatap, sebenarnya dia kurang lebih seperti lelaki kebanyakan juga. Cuma tentu saja, lebihnya melampaui kurangnya. Dibandingkan cowok lain, setidaknya yang hadir disini, pria ini jelas lebih dewasa. Paling sedikit, ubannya sudah rimbun. Bukti nyata bukan! Dan suaranya, Aduuuh Mam, lembutnya!!!

"Kau mengingatkan aku pada seseorang," katanya setelah mereka mengambil ancang-ancang untuk mulai dengan tarian mutakhir ini. Dan ampun mahirnya dia! Sebenarnya orang sudah "berumur" seperti oom-oom begini sama sekali tidak diharapkannya akan bisa gemeretak-gemeretik kayak bocah badung. Tapi nyatanya!

Wah, mungkin juga ubannya cuma kamuflase. Dia pernah diceritakan oleh kakaknya bahwa ada laki-laki tua bahkan banyak, yang ingin kelihatan cepat tua. Katanya, bagi laki-laki, makin tua makin berwibawa. Berarti makin disenangi noni-noni. Bukan seperti perempuan, makin tua, makin gawat! Yang belum dapat kereta menuju hidup baru, bisa-bisa akan makin ketinggalan kereta buat selamanya! Kejam memang filsafat Nadia. Tapi siapa tahu, itu terlahir dari pengalaman?! Sebab...

"Eh,aku belum tahu namamu!" tukas pasangannya dengan senyum yang... aduuuh, Mam, moga-moga jangan dia minta saya ikut! Sebab saya past mau! Diculik pun mau! Olehnya.

"Natasha," sahutnya, tak mau kalah pamer senyum yang paling menarik semangat (sampai berantakan) "Dan kau?"

Belum sempat dijawab, seseorang telah menepuk bahunya dan laki-laki itu menoleh. Natasha melihat Fadila berdiri di depan mereka, dengan wajah siap menyemburkan tiga ton TNT. Tangannya menggebah saingan supaya minggir. Mau apa lagi anak ini pikir Natasha sengit. Bikin keruh kali Ciliwung saja Tak bisa lihat orang bahagia!

"Oke," kata laki-laki itu dengan simpatik, lalu mengedip padanya. "Terima kasih, Natasha. Aku tunggu kau di sana." Dia menunjuk ke deretan kursi sebelum menghilang.

"Kau harus hati-hati terhadapnya," desah Fadila menggantikan tempat. "Kau kan tidak tahu siapa dia."

"Ya, aku baru mau tanya namanya, kau sudah mengganggu!"

"Nah! Kan nama saja kau enggak tahu? Lebih baik tak usah tahu, Tasha. Jangan gegabah. Kalau mau cari pacar, selidiki dulu siapa orangnya. Kalau dia sudah oke, selidiki juga bagaimana ibunya. Lho, jangan ketawa. Pacaran kan diharap keterusan jadi kawin, bukan? Nah, ibu mertua kayak apa, itu penting sekaliii. Sebab beliau akan mampu membuat hidupmu jadi surga atau neraka. Orang bilang Raja Henri kedelapan sangat malang. Kenapa? Sebab ibu mertuanya ada enam! Nah, itu di Barat! Apalagi di sini. Jangan meremehkan! Kita kan hidup di Timur. Sekali kawin, bukan cuma dua orang melainkan sekompi kerabat. Iya, betul! Tak percaya?"

"Buat apa aku percaya?" Natasha geli sekali. "Memangnya siapa yang mikir mau kawin? Iiih, amit-amit! Lebih enak tinggal terus dengan Mami!"

"Itu kan sebab kau masih ingusan!"

"Aku apa? Coba ulang lebih jelas, biar aku tinggalkan kau saat ini juga." Natasha cemberut. Bukannya kelihatan jelek, malah membikin Fadila makin siiir. Dia senang cewek yang bisa ngambek, bisa meledak-ledak -asal bobotnya masih bisa ditanggulangi-, jangan tawar seperti air bening.

"Sori sis. Maksudku, sebab kau masih sekolah. Coba nanti, beberapa tahun lagi! Nah, kalau saatnya sudah tiba, aku minta kau ingat baik-baik nasihatku barusan. Juga ingat, calon mertua sebaik ibuku, susah dicari. Lihat saja. Kita pesta semalam suntuk begini, dia tak keberatan. Ibuku bisa mengert perubahan zaman. Dia pasti takkan menuntut yang kuno-kuno dari menantunya."

"Amin," seru Natasha antara sebal dan geli "Ceramahmu sudah habis? Boleh dong sekarang aku tanya dikit?"

"Maksud baik memang selalu dicemoohkan!" gerutunya. "Mau tanya apa?"

"Siapa sih namanya?"

"Lebih baik tak usah tahu. Anggap tak pernah ketemu!"

"Enggak lucu, ah! Sudah ngelantai berjam-jam kok nama saja tak boleh tahu?! Aku bukan ingin pacaran dengannya! Kasih tahu dong, Fadil. Kau kan baik sama aku? Atau enggak?" Mendengar nada ancaman begitu, Fadila menyerah.

"Oke deh, kalau mesti tahu juga. Tapi janji tak boleh mendekatinya lagi, ya? Reno. Namanya Reno."

Reno, ulangnya dalam hati. Hmm. Kena juga si Fadil dikibulin! Siapa yang sudi janji begini begitu? Memangnya dia punya hak paten atas diriku? Hiii.

Ketika kembali ke kursi, Reno dilihatnya sudah menyediakan kursi kosong. Fadila menariknya ke sebelah lain, tapi dia ogah.

"Aku mau duduk dengan Susi dan Zaza," kilahnya. Fadila tak bisa memaksa..

Dengan gembira Natasha menerima kursi yang dikosongkan khusus menunggunya. Lalu Reno mengambilkannya minum.

"Cepat betul intimnya," sindir Zaza. "Kayak uni dan Soviet saja!"

"Itu tandanya kau iri!" kata Susi 'mengipas'.

"Iri? Siapa? Aku? Kok ya bisa mikir ke situ? Lucu! Oom-oom kayak gitu sih untukku sudah apkiran. Tak berapa lama lagi pun pasti bannya sudah kempes, kipas anginnya tidak jalan, karburatornya mesti diganti. Apanya yang menawan? Kalau mau, itu dong yang macam Dion kek. Atau, nah, Fadila pun masih jauh lebih mending. Masih mulus, belum jalan banyak kilometer."

"Buset! Mentang-mentang bapakmu buka bengkel!" cetus Alia.

"Sableng! Showroom begitu megah kaubilang bengkel?" Zaza naik pitam dan nyaris memiting kawannya. Jari-jarinya yang sebesar wortel sudah melekuk seperti cakar monyet.

"Megah sih boleh megah. Tapi yang di show kan barang bekas semua," kata Susi kembali mengipas.

"Ooh! Iya deh, ayahku sih miskin. Jualan yang bekas-bekas! Sedang ayahmu itu kan, yang punya dua belas bank dan selusin perkebunan?" ejek Zaza yang bangga bukan main pada ayahnya.

Diskusi hangat ini terpaksa ditunda sebab Reno sudah balik dengan minuman untuk Natasha. Sayang sekali cuma sampai di situ rezekinya. Belum sempat mereka meningkatkan hubungan, sudah datang telepon untuk Reno.

"Aku permisi dulu," katanya, lalu pergi dan tidak muncul lagi. Natasha menunggu sia-sia. Sampai Alia mendekatinya dan bilang, bahwa Reno harus pergi setelah mendapat telepon.

"Apa dia titip salam untukku?" tanyanya berharap. Alia menatap sejenak seolah ingin ketawa, tapi akhirnya cuma menggeleng dengan pura-pura serius. "Barangkali lupa."

...----------------...

Bab.3.

NATASHA sudah setengah melupakan Reno, ketika dua hari kemudian telepon berbunyi. Dengan terengah-engah dia mendengarkan, lalu dengan napas hampir putus diletakkannya kembali teleponnya sepuluh menit kemudian.

"Siapa?" tanya kakaknya tak acuh, sekadar ingin tahu,

"Reno!" serunya bangga, sambil mengatur napas yang blingsatan hingga tidak terlihat olehnya Nadia kejang sesaat.

"Reno yang mana?" tanyanya datar.

"Reno yang aku jumpai di pesta ultah kawanku. Dia ini saudara sepupunya. Orangnya begini deh! Kalah Mas Boy. Malam minggu nanti mau mengajak aku ke luar!"

"Reno yang dokter?"

Natasha menatap kakaknya dengan heran. "Eh, kau kenal dia juga?"

"Kalau yang dokter, mungkin aku tahu. Tapi belum tentu orangnya sama. Demi kebaikanmu sendiri, aku harap saja bukan Reno yang aku tahu!" Nadia menghela napas dan kembali membaca diktat.

"Memangnya kenapa?" Natasha jadi ingin tahu dan menjatuhkan diri di samping kakaknya. Yang ditanya cuma menghela napas. Kelihatannya enggan sekali menjawab. Tapi Natasha memaksa. Akhirnya, setelah menghela napas sekali lagi, Nadia menyerah.

"Reno yang aku tahu ini tak boleh didekati. Dia sensitif. Mudah tersinggung. Dia... dia... ah, tak ada yang bisa kuceritakan. Soalnya aku tak begitu kenal, sih. Tak baik bukan menjelekkan orang? Apalagi belum tentu dia orang yang di telepon tadi. Ah, sudahlah! Biarkanlah aku sendiri! Aku harus belajar untuk tentamen, nih!"

Natasha mendecah, mengangkat bahu, kemudian berdiri sambil bersiul-siul. Memang begitu model Nadia. Selalu tak mau terus terang. Tapi apa urusannya dengan dia? Renonya bukanlah Reno yang tak boleh didekati. Renonya adalah manusia paling simpatik di seantero dunia.

Sambil berdendang dan bersiul, Natasha menghilang ke dalam kamarnya. Nadia mendengarkan tingkah adiknya dan konsentrasinya pun buyar sudah. Sia-sia dia mencoba mempelajari penyakit gondok yang terbentang di depannya. Otaknya sudah butek. Yang melayang di sana hanyalah gambar-gambar lamunan. masa lampau.

......................

Ketika malam Minggu tiba, sesuai dengan janjinya, Reno muncul. Bukan main bengkak hati Natasha, tak usah dibilang lagi. Malah susah dibayangkan. Izin dari ibu sudah diperolehnya dua hari sebelumnya.

Ketika gadis itu mau meneteskan parfum ke belakang telinga, didapatinya botol sudah kosong. Wah, pikirnya. Terpaksa pinjam dari Nadia.

Diketuknya pintu kakaknya.

"Nadia, Nadia," serunya. "Aku minta parfum, dong." Tapi dari dalam tak terdengar jawaban Hening. Dia berlari ke kamar ibu.

"Mam, Nadia ke mana? Kamarnya terkunci."

"Entah. Dia tidak bilang mau ke mana. Barangkali tidur. Kau perlu apa?"

"Parfum saya sudah habis, Mam."

"Nah, mau nebeng pada kakakmu lagi? Sana, pakai parfum Mama. Apa temanmu itu sudah datang?" "Sudah, Mam. Ayo dong keluar, biar saya kenalkan."

Sambil tersenyum ibunya mengabulkan permintaannya. Natasha gembira bukan main. Dilihatnya Reno menatap ibunya penuh kagum. Dia tahu, ibunya memang cantik, bekas juara ratu kecantikan di masa lampau. Ah, rasanya malam Minggu ini akan membawa bahagia, pikir Natasha.

Hari belum begitu gelap ketika mereka berangkat. Natasha memperhatikan mobil Reno dan hatinya berdetak. Di situ terdapat stiker Kedokteran. Jadi betul, ini Reno yang dokter, pikirnya. Namun sedetik itu juga senyum simpatik pria itu telah menggebah pergi lamunannya yang setengah matang. Natasha mengangkat bahu dan meluncur ke samping Reno.

Udara sejuk dan cerah. Langit jernih tanpa awan, bening seperti kaca dilapisi tirai biru tua. Sayang sekali mereka terpaksa menonton pertunjukan sore, sebab ibu menuntut agar dia sudah kembali pukul sepuluh. Memang kedengarannya kampungan, pikir Natasha dengan wajah merah ketika menyampaikan perintah itu pada Reno. Untung sekali laki-laki itu tidak sedikit pun kelihatan mau ketawa atau kecewa.

Ah, laki-laki seperti ini pasti sudah sering keluar sampai malam. Sekarang dia terpaksa mengajak anak kecil yang harus pulang sebelum bintang-bintang pergi tidur! Huh, memalukan jadi anak kecil, keluhnya.

Seakan bisa meraba isi pikirannya, Reno menoleh dan mengajaknya tersenyum.

"Murung? Kesal sebab harus pulang jam sepuluh? Itu normal, untuk gadis-gadis seperti kau! Perawan perawan manis yang terhormat, memang tak boleh kelayapan sampai larut malam! Nah, kau tak boleh cemberut. Setelah nonton nanti, kita makan, oke? Kau mau di mana?"

Di mana ya, pikirnya panik. Sebulan sekali, mereka sekeluarga memang pergi makan ke luar. Tapi restorannya sudah tua dan tidak cocok untuk pacaran. Ayah selalu ingin ke sana, sebab masakannya sangat kena bagi lidahnya. Karena itu mereka tak pernah pergi ke tempat lain. Sekarang dia ditanya mau makan di mana! Tempat apa yang akan disebutkannya? Ah, menyesal tidak mengajak Alia atau Zaza. Makhluk-makhluk rakus itu pasti tahu tempat yang anggun, santai, redup-redup, dan... pokoknya serasi dengan keadaan.

"Di mana saja, deh," katanya akhirnya.

Reno menoleh dan kembali tersenyum. "Kau serahkan pilihan padaku?"

Natasha mengangguk.

Mereka masuk ke gedung bioskop dan Natasha menghabiskan sembilan puluh menit energi untuk melotot ke layar, tanpa melihat apa-apa. Natasha sama sekali tak ingat film apa, cerita kayak apa, bintangnya siapa. Yang diingatnya hanyalah tangan Reno di atas tangannya, dan pipi Reno melekat di pipinya.

Dengan tidak sabar mereka menerobos ke luar gedung, dikejar perut yang mulai lapar. Dengan mulus, mobil melaju ke tempat tujuan, sebuah restoran kecil yang temaram di antara pohon-pohon perdu dan musik yang lembut mengayun hati.

Natasha kembali blackout. Dia tak bisa ingat apa yang dimakannya, berapa macam yang dipesan dan bagaimana rasanya. Dia cuma teringat dan terpukau pada Reno yang duduk di depannya.

Sampai sukar rasanya dia menelan makanan dan minuman. Belum pernah ada cowok segagah dan sedewasa ini mengajaknya kencan begini. Biasanya paling-paling dengan komplotan Fadila, beramai-ramai, sekaligus satu batalyon. Dan setelah es alpukat serta gado-gado lenyap ditelan tenggorokan (mereka tentu saja cuma berani masuk warung, tak pernah masuk restoran), maka selalu ada keributan. Siapa yang harus bayar. Kebanyakan pada ogah. Tak dikenal sukarelawan-membuka-dompet.

Tapi sikap Reno betul-betul sempurna. Begitu lembut, begitu penuh perhatian, dan pasti takkan memintanya bayar separuh rekening. Karena itu tasnya juga cuma berisi lipstik, bedak, bolpen, dan tisu sachet.

Ah, untung Alia dan Zaza tidak ikut. Jadi perhatiannya tidak usah dibagi tiga! Ah, betapa mata itu memukau! Setiap pandangnya seakan mengelus dan membelai pelupuk hatinya, membuat kuncup kuncup yang lelap selama ini, mulai menggeliat ingin merekah. Inikah yang disebut cinta, pikirnya senewen bercampur bangga. Hatinya debar-debu terus sejak keluar dari bioskop. Belum pernah dia bertemu dengan laki-laki seperti Reno.

Dibayangkannya sejenak Fadila. Lalu dibandingkannya. Mau tak mau dia harus tersenyum. Alangkah jauh bedanya!

"Ada yang lucu?" sergap Reno tiba-tiba, melihat senyum yang misterius. Natasha jadi gelagapan. Jantungnya berdegup kencang seperti mobil.

"Ah, oh! Ti... dak!"

"Lantas, kok ketawa?" desak Reno. Natasha teringat ucapan kakaknya. Reno yang dokter itu amat sensitif. Apakah dia takut ditertawakan? Mana-laa berani aku, oh, tuhan!

"Aku ingat teman-teman sekelas...."

"Kau tahu, Tasha, kau mirip sekali dengan seseorang!" Suaranya pelan, hampir berbisik dan Natasha nyaris pingsan saking tergetar hatinya. Mirip seseorang! Mirip siapa? Mirip eks pacar? atau mirip Nad... oh, jangan, Mam!

Natasha menanti dengan tegang penjelasannya. Semenit. Dua menit. Dia hampir tak tahan dipandangi terus seperti itu. Lebih tak tahan lagi menahan ingin tahu "mirip siapa". Ketika dia serasa ingin menjerit, Reno menghela napas, menunduk, lalu memutar-mutar gelasnya.

"Ah," keluhnya ketika mengangkat kembali kepalanya, menatap Natasha. "Kau begini lugu, begini menarik, dan manis. Aku tidak seharusnya membawamu kemari! Aku tidak seharusnya mendekatimu!"

Reno kembali melenguh seperti kerbau di depan pintu kandang. Wajahnya sejenak muram.

"Oh, tapi aku senang sekali kau dekati, Reno." cetus Natasha dengan antusias, tanpa sedikit melihat perubahan air muka Reno. "Kawan kawanku pasti akan menjadi hijau karena iri!"

Reno memaksakan sebuah senyum sayu yang terlihat oleh Natasha amat romantis. "Itu karena kau dan kawan-kawanmu masih amat lugu!"

"Kau akan mengajak aku nonton lagi, bukan?". pintanya setengah panik. Kalau cuma sekali ini saja, wah, pasti teman-teman akan meledek. Dan takkan bisa membuat Fadila sakit hati. Dia malah akan ngakak, lalu mungkin mengusirnya dari pintu rumah seperti anjing gembel.- Dengan Alia pun hubungan bisa retak.

"Kau ingin pergi lagi denganku?" tanya Reno halus seraya menyentuh tangan gadis itu di tengah meja. Natasha mengangguk dengan penuh semangat. Reno ketawa lebih lebar.

"Baiklah. Nanti kalau aku tidak jaga malam, ya."

"O, ya, kau betul dokter, ya? Aku tahu dari..." Nalurinya membuat Natasha menghentikan kalimat itu. Untung sekali Reno tidak menyadari, sebab sibuk memotong daging. Tak ada gunanya membawa-bawa nama Nadia. Salah-salah, nanti Reno ingin berkenalan! Rezekinya bisa melejit ke tangan kakaknya! Hiii! Bukannya dia tidak sayang pada Nadia, tapi ini kan kesempatannya yang pertama dan paling bagus. Nadia kan sudah anak kedokteran, jadi kesempatannya pasti juga berlipat. Tapi bila dia lebih suka pacaran dengan diktat, ya salah sendiri kalau tidak sempat kenal dengan Reno!

...****************...

Begitulah waktu berlalu. Persahabatan mereka sudah berjalan beberapa bulan. Reno makin sayang pada Natasya. Sebaliknya, gadis itu pun sudah tak bisa lagi berpisah dengan pemuda pujaannya itu. Bila Reno kebetulan mesti ke luar kota atau bahkan ikut seminar di luar negeri, Natasha murung sekali seperti seorang janda kembang. Tiap hari kerjanya tiduran bila libur sekolah.

Nadia memperhatikan semua itu dengan bibir terkunci rapat. Reno agaknya juga membalas seruan hati adiknya dengan sama hebatnya. Setiap pulang dari mana-mana, pasti tak pernah lupa membawa oleh-oleh untuk Natasha. Terkadang malah barang mahal, sampai ibu pun sempat mengerutkan kening.

"Jam?" tanya ibu. "Itu kan kurang pantas sebagai kado untuk kawan gadis, Tasha. Kenapa tidak kau tolak saja dengan halus?"

"Sudah saya tolak, Mam," sahutnya sedikit bohong. "Tapi dia memaksa." Natasha memang menolak. Bukan karena ogah, tapi karena takut dimarahi ibu. "Katanya, kami kan sudah erat, boleh dong dia memberi oleh-oleh yang sedikit lain dari biasa. Katanya, hadiah ulang tahun nanti."

"Itu kan bila sudah resmi pacaran, Tasha," Nadia nimbrung, merasa makin prihatin terhadap perkembangan antara adiknya dan pemuda itu..

"Ya, memang kami juga sudah resmi pacaran, kok," tantang Natasha membuat ibu hampir semaput.

"Apa kau bilang, Tasha? Pacaran? Kau kan belum tamat sekolah? Baru mau naik ke kelas tiga. Tak boleh dulu pacaran. Berteman saja yang baik-baik, Untuk pacaran masih banyak waktu nanti. Kalau Papa tahu, pasti kau akan kena marah dan tak boleh lagi pergi-pergi dengannya."

"Ah, dari mana Papa tahu kalau tidak ada yang kasih tahu," katanya membandel. "Kami pun sebenarnya cuma berteman saja. Baik-baik."

"Tadi katamu sudah resmi pacaran," ejek Nadia. Natasha menelan ludah. Sebenarnya dia kurang paham apa sih resmi pacaran itu, apa tanda-tandanya. Kalau dipikir bahwa kebanyakan laki-laki biasanya pelit, maka bisa dong diduga bahwa Reno sangat cinta padaku, pikirnya. Kalau tidak, masa dia mau keluar uang begini banyak bagiku? Tapi memang, selain perhatian yang segerobak ini, Reno belum pernah menyebut sebuah pun kalimat cinta. Paling-paling cuma memuji manis, menarik, dan... mirip seseorang. Mirip siapakah?

Natasya mencuri pandang wajah kakaknya. Ah, sama sekali tak mirip. Atau mirip? Tidak. Tidak mirip. Reno pasti belum pernah melihat Nadia. Kalau tidak, masa dibiarkannya Nadia jadi gelandangan terus, tanpa pemilik sah!

"Jangan kau terlalu sinis pada Reno, Nad," kata Natasha mau mengambil hati kakaknya. "Sebenarnya dia juga punya oleh-oleh untukmu. Dia kerap bertanya mana sih kakakmu, kok tak pernah kau perkenalkan padaku?" Ya, mereka belum pernah ketemu, pikir Natasha. Kalau tidak, tentunya Reno takkan minta dikenalkan.

"Aku bilang, habis gimana mau dikenalkan, orangnya tak pernah ada di rumah bila kau datang. Atau sekalipun ada, pasti sedang tidur nyenyak dan. pantang diganggu."

"Hm. Aku tak ingin dikenal-kenalkan! Memangnya barang jualan? Katakan saja padanya, tak usah bawa apa-apa bagiku!"

"Eh, kok jadi marah? Itu kan cuma itikad baiknya."

"Hm. Itikad baik! Coba, apa sih yang dibawanya?"

"Ini, lho." Natasya memperlihatkan sebuah bantal. kecil berenda putih yang barusan diterimanya. Dibawanya benda itu ke hidung, dicium-ciumnya dua tiga kali.

"Wangi, Nad. Bantal ini gunanya untuk mengharumkan baju-baju kita. Reno punya sebuah lagi. Tadinya untukmu. Tapi kau ogah keluar kamar walau sudah dua belas kali diketuk. Dan Reno tentunya tidak bisa memberikan hadiahnya, sebab belum pernah berkenalan. Jadi terpaksa dibawa pulang. Aku usulkan supaya diberikan saja pada Alia, anak bibinya."

"Hm." Sambutan Nadia dingin saja. Dan memang perhatiannya saat itu lebih terarah pada netbook di tangan. Apa gunanya pewangi baju, pikirnya. Toh takkan bisa membantunya dalam tentamen minggu depan.

Namun setelah tentamen berlalu dengan aman sentosa dan angkanya juga lumayan bagus, Nadia mendekati adiknya.

"Aku mau bicara dengan serius," katanya dengan kesan seolah Natasha sudah mencemarkan nama baiknya. Tanpa permisi lagi, dikuncinya pintu kamar adiknya, lalu dia menarik kursi dan duduk.

"Soal apa, sih?" tanya Natasha yang sedang asyik tiduran.

"Soal Reno."

"Lho!" Natasha jadi bangun dari telungkup dan duduk tegak di atas ranjang. Bukunya tersingkir dibiarkan menutup sendiri di dekat kakinya.

"Ada apa dengan Reno?"

"Ada banyak hal! Kau cuma tahu senyumnya yang simpatik, dan bicaranya yang memikat, bukan? Tahukah kau kehidupan pribadinya? Pekerjaannya?"

"Ya. Dia dokter, bukan? Dan masih bujangan? Atau... kau ingin kasih tahu bahwa dia sudah kawin?"

"Dia memang bujangan. Tapi profesinya bukan cuma dokter, Tasha. Dia juga seorang penyanyi!"????

"Wow!!!" Natasha mendelik kagum, membuat Nadia mengeluh dalam hati.

"Memang susah berurusan dengan anak puber. Penyanyi dianggap hebat! Penyanyi mana dulu, Tasha. Dia bukannya penyanyi populer yang keluar masuk TV. Reno itu cuma penyanyi lokal dalam sebuah niteclub!"

"Apa katamu, Nad? Niteclub? Ah, kau bohong! Kau bikin lelucon! Dari mana kau dengar? Pasti salah info!"

Nadia menatap adiknya dengan tenang. Wajah bandel itu tampak mulai bimbang.

"Tidak. Aku tidak salah info. Aku tidak bohong."

"Orang baik-baik seperti dia, pasti takkan menyanyi di situ. Apalagi dokter."

"Maukah kau melihat bukti?" tantang Nadia. "Kenapa tidak?" jawab si Bandel.

......................

Pada suatu malam di tengah minggu, Nadia mengajak adiknya ke sebuah niteclub yang punya nama mentereng berwarna biru. Mereka cuma datang berdua, sehingga nyaris ditolak masuk, dikira mau beroperasi tak halal. Sekuriti tentu saja keberatan. Tapi Nadia dengan tenang mengatakan bahwa mereka adalah tamu Reno. Sekuriti segera berubah air mukanya dan dengan manis budi menyilakan mereka masuk.

Suasana temaram di dalam banyak membantu menyelimuti perasaan Natasha yang galau. Nadia mengajaknya duduk di pojok yang lebih suram lagi, dari mana mereka bebas mengawasi panggung kecil tanpa menarik perhatian. Bagaimanapun dia berdandan, Natasha masih tetap punya tampang anak sekolah. Kalau terjadi razia, bukan tak mungkin dia akan kena jaring.

Tak lama kemudian. Mata Natasha membulat bagaikan mata kucing dalam gelap Wajahnya serentak bercahaya. Nadia pun tidak urung, ikut-ikutan pula menatap ke panggung Cahaya spot mengurung Reno. Senyumnya yang paten menyeruak ke hati hadirin. Nadia tiba-tiba melihat ada beberapa tante dan gadis yang hadir. Hmm. Para penggemar Reno?

Laki-laki itu mengenakan setelan putih. Pada lubang kancingnya terselip sekuntum anyelir merah. Nadia takkan heran bila itu hadiah dari salah seorang penggemar juga.

Natasha juga melalap semua dengan matanya. Dilihatnya sisiran Reno agak lain dari biasa. Berjambul dan bercambang. Berarti cambangnya itu palsu, pikirnya. Dia sedikit menyesal sudah duduk di pojok begini dan Reno tidak sekali pun menoleh ke sini. Coba mereka memilih tempat di tengah.....

Nadia memperhatikan adiknya. Dia berharap. Natasha akan merengut melihat Reno obral senyum ke kiri ke kanan. Paling tidak, Natasha diharapkannya akan ngambek dan cemburu. Tapi betapa kecewanya dia melihat adiknya menatap lurus ke depan tanpa kedip. Wajahnya begitu penuh kagum. Seandainya saat itu Reno mengecup seorang penonton pun, dia pasti akan bertepuk tangan dan sama sekali tidak marah.

Ketika suaranya mulai mengalun -Nadia harus mengakui, suara laki-laki itu memang mendebarkan serta memukau- Natasha seolah berhenti bernapas. Tepatnya, ditahannya napasnya. Nadia mulai khawatir jangan-jangan dia telah melakukan kekeliruan dengan mengajaknya ke sini. Maksudnya mau membubarkan hubungan yang pincang itu. Tahunya, adiknya malah tambah terpikat!

Memikir sampai ke situ, Nadia tidak berani. menunggu sampai acara selesai. Gawat sekali bila Reno sampai menjumpai Natasha di sini. Diantar pula sang kakak yang selama ini tak pernah mau keluar berkenalan! Runyam, pikirnya.

"Yok, pulang. Sudah malam," ajaknya tanpa digubris. Nadia mengulangi. "Yok, pulang." Natasha tidak bergeming. Tidak mendengar. Nadia mengguncangnya. "Ayo, pulang."

Natahsa menoleh. "Sebentar lagi. Belum juga selesai."

"Kenapa mesti selesai? Kan sudah kau lihat buktinya? Cukup, dong. Nanti Mama curiga kalau terlalu telat pulang. Kan permisinya cuma ke bioskop. Kalau Papa juga tahu...."

Natasha paling takut pada ayah. Jadi taktik halusnya kena juga akhirnya. Dia mau didorong-dorong ke pintu. Sesekali dia masih menoleh ke belakang, dan Nadia berdoa semoga Reno tidak melihat ke arah mereka.

Tapi tentu saja Reno melihat keduanya. Dia menanyakan hal itu ketika datang lagi. Natasha tidak berniat bohong. Dia malah bangga mengatakan sudah melihat Reno bernyanyi. Begitu merdu. Begitu merayu.

"Kakakmu yang mengajak?" Reno tersenyum menegaskan. "Tumben kakakmu yang selalu sibuk itu katamu, mau mengantar ke sana! Barangkali dia tidak senang aku terlalu rapat denganmu?" Reno menatap begitu mesra, sehingga hati Natasha menggelepar seperti ikan keluar dari air. Dan jawab yang meluncur dari mulut seakan tidak disadarinya terloncat begitu saja.

"Ah, biar amat dia tidak senang. Kan aku tidak menyusahkan nya, bukan? Kenapa Nadia mesti campur tangan?"

"Nama kakakmu Nadia?" tanya Reno dengan mata setengah terpicing. Natasha tergelak-gelak.

"Ya, ampun, Pak Dokter. Kita kan sudah berteman berbulan-bulan. Jadi kau belum tahu siapa nama kakakku? Apa betul aku sudah pikun tidak memberi tahu? Atau kau yang linglung, sudah lupa lagi?"

"Mungkin aku yang lupa," kata Reno mengaku salah, padahal memang Natasha belum pernah menyebut nama kakaknya. Secara tidak sadar, gadi itu merasa jeri menyebut nama Nadia, khawatir Reno akan tertarik mendengarnya dan memaksa mau kenal. Bukankah Nadia jauh lebih dewasa dan serba menarik? Lagi pula sama-sama kedokteran. Tinggal dia nanti gigit jari! Tak mau dong.

"Itu sih, kebanyakan pasien. Kau pasti repot terus sepanjang hari, ya. Untung masih bisa santai seperti ini."

"Menjadi pacar dokter tidak enak, Tasha. Menjadi istrinya apalagi. Santai begini pun tidak bisa tiap minggu, harus melihat-lihat keadaan. Terkadang sibuk sekali di rumah sakit, hingga aku harus mau lembur. Terkadang seorang rekan mau cuti, terpaksa aku gantikan bila dimintanya. Nanti bila tiba giliran ku, aku pun akan minta digantikan oleh orang lain."

Natsha berdebar-debar menatapnya. Tanpa sadar, tangannya sudah merayap menemui tangan Reno Laki-laki itu menggenggamnya dengan hangat. Reno tersenyum dan meremas jari - jarinya.

"Karena itu janganlah masuk FK. Kalau aku punya anak perempuan, aku tidak akan mengizinkannya masuk FK. Anak perempuan harus mempelajari hal-hal yang penuh dinamika, cerah, dan feminim jelita seperti... kau!"

Reno mendekatkan kepalanya. Sedetik Natasha menanti dengan berdebar. Dilihatnya Reno seolah mau mengecupnya. Namun entah kenapa, kepalanya berhenti di tengah udara, tidak diteruskan. Digoyangnya kepala yang berombak itu, lalu diluruskannya kembali menjauh dari pipi Natasha. Ada sedikit rasa kecewa menyelinap di hati gadis itu, tapi dia tidak bereaksi. Di samping kecewa, ada pula rasa lega.

Nadia kan anak FK. Nah, kalau Reno tidak bohong, berarti dia takkan tertarik pada cewek FK! Itu cocok juga dengan kenyataan. Sebab Reno kan tidak punya pacar, padahal cewek FK tentunya banyak yang manis. Sedikitnya, Nadia pasti termasuk manis. Sedangkan dia sama-sama satu unit dengan Reno. Masa belum pernah ketemu? Mendadak dia ingat, kedua orang itu memang belum pernah ketemu. Nah, ya, walaupun hal itu lucu, tapi takkan jadi masalah. Seandainya ketemu pun, pasti Reno akan buang muka. Dia tidak suka cewek masuk FK! Hah! Pulang dari kencan malam Minggu itu, Natasha melambung diayun harapan setinggi bintang. Rasa rasa sudah terbang dia melayang ke nirwana.

...***************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!