Bab.3.

NATASHA sudah setengah melupakan Reno, ketika dua hari kemudian telepon berbunyi. Dengan terengah-engah dia mendengarkan, lalu dengan napas hampir putus diletakkannya kembali teleponnya sepuluh menit kemudian.

"Siapa?" tanya kakaknya tak acuh, sekadar ingin tahu,

"Reno!" serunya bangga, sambil mengatur napas yang blingsatan hingga tidak terlihat olehnya Nadia kejang sesaat.

"Reno yang mana?" tanyanya datar.

"Reno yang aku jumpai di pesta ultah kawanku. Dia ini saudara sepupunya. Orangnya begini deh! Kalah Mas Boy. Malam minggu nanti mau mengajak aku ke luar!"

"Reno yang dokter?"

Natasha menatap kakaknya dengan heran. "Eh, kau kenal dia juga?"

"Kalau yang dokter, mungkin aku tahu. Tapi belum tentu orangnya sama. Demi kebaikanmu sendiri, aku harap saja bukan Reno yang aku tahu!" Nadia menghela napas dan kembali membaca diktat.

"Memangnya kenapa?" Natasha jadi ingin tahu dan menjatuhkan diri di samping kakaknya. Yang ditanya cuma menghela napas. Kelihatannya enggan sekali menjawab. Tapi Natasha memaksa. Akhirnya, setelah menghela napas sekali lagi, Nadia menyerah.

"Reno yang aku tahu ini tak boleh didekati. Dia sensitif. Mudah tersinggung. Dia... dia... ah, tak ada yang bisa kuceritakan. Soalnya aku tak begitu kenal, sih. Tak baik bukan menjelekkan orang? Apalagi belum tentu dia orang yang di telepon tadi. Ah, sudahlah! Biarkanlah aku sendiri! Aku harus belajar untuk tentamen, nih!"

Natasha mendecah, mengangkat bahu, kemudian berdiri sambil bersiul-siul. Memang begitu model Nadia. Selalu tak mau terus terang. Tapi apa urusannya dengan dia? Renonya bukanlah Reno yang tak boleh didekati. Renonya adalah manusia paling simpatik di seantero dunia.

Sambil berdendang dan bersiul, Natasha menghilang ke dalam kamarnya. Nadia mendengarkan tingkah adiknya dan konsentrasinya pun buyar sudah. Sia-sia dia mencoba mempelajari penyakit gondok yang terbentang di depannya. Otaknya sudah butek. Yang melayang di sana hanyalah gambar-gambar lamunan. masa lampau.

......................

Ketika malam Minggu tiba, sesuai dengan janjinya, Reno muncul. Bukan main bengkak hati Natasha, tak usah dibilang lagi. Malah susah dibayangkan. Izin dari ibu sudah diperolehnya dua hari sebelumnya.

Ketika gadis itu mau meneteskan parfum ke belakang telinga, didapatinya botol sudah kosong. Wah, pikirnya. Terpaksa pinjam dari Nadia.

Diketuknya pintu kakaknya.

"Nadia, Nadia," serunya. "Aku minta parfum, dong." Tapi dari dalam tak terdengar jawaban Hening. Dia berlari ke kamar ibu.

"Mam, Nadia ke mana? Kamarnya terkunci."

"Entah. Dia tidak bilang mau ke mana. Barangkali tidur. Kau perlu apa?"

"Parfum saya sudah habis, Mam."

"Nah, mau nebeng pada kakakmu lagi? Sana, pakai parfum Mama. Apa temanmu itu sudah datang?" "Sudah, Mam. Ayo dong keluar, biar saya kenalkan."

Sambil tersenyum ibunya mengabulkan permintaannya. Natasha gembira bukan main. Dilihatnya Reno menatap ibunya penuh kagum. Dia tahu, ibunya memang cantik, bekas juara ratu kecantikan di masa lampau. Ah, rasanya malam Minggu ini akan membawa bahagia, pikir Natasha.

Hari belum begitu gelap ketika mereka berangkat. Natasha memperhatikan mobil Reno dan hatinya berdetak. Di situ terdapat stiker Kedokteran. Jadi betul, ini Reno yang dokter, pikirnya. Namun sedetik itu juga senyum simpatik pria itu telah menggebah pergi lamunannya yang setengah matang. Natasha mengangkat bahu dan meluncur ke samping Reno.

Udara sejuk dan cerah. Langit jernih tanpa awan, bening seperti kaca dilapisi tirai biru tua. Sayang sekali mereka terpaksa menonton pertunjukan sore, sebab ibu menuntut agar dia sudah kembali pukul sepuluh. Memang kedengarannya kampungan, pikir Natasha dengan wajah merah ketika menyampaikan perintah itu pada Reno. Untung sekali laki-laki itu tidak sedikit pun kelihatan mau ketawa atau kecewa.

Ah, laki-laki seperti ini pasti sudah sering keluar sampai malam. Sekarang dia terpaksa mengajak anak kecil yang harus pulang sebelum bintang-bintang pergi tidur! Huh, memalukan jadi anak kecil, keluhnya.

Seakan bisa meraba isi pikirannya, Reno menoleh dan mengajaknya tersenyum.

"Murung? Kesal sebab harus pulang jam sepuluh? Itu normal, untuk gadis-gadis seperti kau! Perawan perawan manis yang terhormat, memang tak boleh kelayapan sampai larut malam! Nah, kau tak boleh cemberut. Setelah nonton nanti, kita makan, oke? Kau mau di mana?"

Di mana ya, pikirnya panik. Sebulan sekali, mereka sekeluarga memang pergi makan ke luar. Tapi restorannya sudah tua dan tidak cocok untuk pacaran. Ayah selalu ingin ke sana, sebab masakannya sangat kena bagi lidahnya. Karena itu mereka tak pernah pergi ke tempat lain. Sekarang dia ditanya mau makan di mana! Tempat apa yang akan disebutkannya? Ah, menyesal tidak mengajak Alia atau Zaza. Makhluk-makhluk rakus itu pasti tahu tempat yang anggun, santai, redup-redup, dan... pokoknya serasi dengan keadaan.

"Di mana saja, deh," katanya akhirnya.

Reno menoleh dan kembali tersenyum. "Kau serahkan pilihan padaku?"

Natasha mengangguk.

Mereka masuk ke gedung bioskop dan Natasha menghabiskan sembilan puluh menit energi untuk melotot ke layar, tanpa melihat apa-apa. Natasha sama sekali tak ingat film apa, cerita kayak apa, bintangnya siapa. Yang diingatnya hanyalah tangan Reno di atas tangannya, dan pipi Reno melekat di pipinya.

Dengan tidak sabar mereka menerobos ke luar gedung, dikejar perut yang mulai lapar. Dengan mulus, mobil melaju ke tempat tujuan, sebuah restoran kecil yang temaram di antara pohon-pohon perdu dan musik yang lembut mengayun hati.

Natasha kembali blackout. Dia tak bisa ingat apa yang dimakannya, berapa macam yang dipesan dan bagaimana rasanya. Dia cuma teringat dan terpukau pada Reno yang duduk di depannya.

Sampai sukar rasanya dia menelan makanan dan minuman. Belum pernah ada cowok segagah dan sedewasa ini mengajaknya kencan begini. Biasanya paling-paling dengan komplotan Fadila, beramai-ramai, sekaligus satu batalyon. Dan setelah es alpukat serta gado-gado lenyap ditelan tenggorokan (mereka tentu saja cuma berani masuk warung, tak pernah masuk restoran), maka selalu ada keributan. Siapa yang harus bayar. Kebanyakan pada ogah. Tak dikenal sukarelawan-membuka-dompet.

Tapi sikap Reno betul-betul sempurna. Begitu lembut, begitu penuh perhatian, dan pasti takkan memintanya bayar separuh rekening. Karena itu tasnya juga cuma berisi lipstik, bedak, bolpen, dan tisu sachet.

Ah, untung Alia dan Zaza tidak ikut. Jadi perhatiannya tidak usah dibagi tiga! Ah, betapa mata itu memukau! Setiap pandangnya seakan mengelus dan membelai pelupuk hatinya, membuat kuncup kuncup yang lelap selama ini, mulai menggeliat ingin merekah. Inikah yang disebut cinta, pikirnya senewen bercampur bangga. Hatinya debar-debu terus sejak keluar dari bioskop. Belum pernah dia bertemu dengan laki-laki seperti Reno.

Dibayangkannya sejenak Fadila. Lalu dibandingkannya. Mau tak mau dia harus tersenyum. Alangkah jauh bedanya!

"Ada yang lucu?" sergap Reno tiba-tiba, melihat senyum yang misterius. Natasha jadi gelagapan. Jantungnya berdegup kencang seperti mobil.

"Ah, oh! Ti... dak!"

"Lantas, kok ketawa?" desak Reno. Natasha teringat ucapan kakaknya. Reno yang dokter itu amat sensitif. Apakah dia takut ditertawakan? Mana-laa berani aku, oh, tuhan!

"Aku ingat teman-teman sekelas...."

"Kau tahu, Tasha, kau mirip sekali dengan seseorang!" Suaranya pelan, hampir berbisik dan Natasha nyaris pingsan saking tergetar hatinya. Mirip seseorang! Mirip siapa? Mirip eks pacar? atau mirip Nad... oh, jangan, Mam!

Natasha menanti dengan tegang penjelasannya. Semenit. Dua menit. Dia hampir tak tahan dipandangi terus seperti itu. Lebih tak tahan lagi menahan ingin tahu "mirip siapa". Ketika dia serasa ingin menjerit, Reno menghela napas, menunduk, lalu memutar-mutar gelasnya.

"Ah," keluhnya ketika mengangkat kembali kepalanya, menatap Natasha. "Kau begini lugu, begini menarik, dan manis. Aku tidak seharusnya membawamu kemari! Aku tidak seharusnya mendekatimu!"

Reno kembali melenguh seperti kerbau di depan pintu kandang. Wajahnya sejenak muram.

"Oh, tapi aku senang sekali kau dekati, Reno." cetus Natasha dengan antusias, tanpa sedikit melihat perubahan air muka Reno. "Kawan kawanku pasti akan menjadi hijau karena iri!"

Reno memaksakan sebuah senyum sayu yang terlihat oleh Natasha amat romantis. "Itu karena kau dan kawan-kawanmu masih amat lugu!"

"Kau akan mengajak aku nonton lagi, bukan?". pintanya setengah panik. Kalau cuma sekali ini saja, wah, pasti teman-teman akan meledek. Dan takkan bisa membuat Fadila sakit hati. Dia malah akan ngakak, lalu mungkin mengusirnya dari pintu rumah seperti anjing gembel.- Dengan Alia pun hubungan bisa retak.

"Kau ingin pergi lagi denganku?" tanya Reno halus seraya menyentuh tangan gadis itu di tengah meja. Natasha mengangguk dengan penuh semangat. Reno ketawa lebih lebar.

"Baiklah. Nanti kalau aku tidak jaga malam, ya."

"O, ya, kau betul dokter, ya? Aku tahu dari..." Nalurinya membuat Natasha menghentikan kalimat itu. Untung sekali Reno tidak menyadari, sebab sibuk memotong daging. Tak ada gunanya membawa-bawa nama Nadia. Salah-salah, nanti Reno ingin berkenalan! Rezekinya bisa melejit ke tangan kakaknya! Hiii! Bukannya dia tidak sayang pada Nadia, tapi ini kan kesempatannya yang pertama dan paling bagus. Nadia kan sudah anak kedokteran, jadi kesempatannya pasti juga berlipat. Tapi bila dia lebih suka pacaran dengan diktat, ya salah sendiri kalau tidak sempat kenal dengan Reno!

...****************...

Begitulah waktu berlalu. Persahabatan mereka sudah berjalan beberapa bulan. Reno makin sayang pada Natasya. Sebaliknya, gadis itu pun sudah tak bisa lagi berpisah dengan pemuda pujaannya itu. Bila Reno kebetulan mesti ke luar kota atau bahkan ikut seminar di luar negeri, Natasha murung sekali seperti seorang janda kembang. Tiap hari kerjanya tiduran bila libur sekolah.

Nadia memperhatikan semua itu dengan bibir terkunci rapat. Reno agaknya juga membalas seruan hati adiknya dengan sama hebatnya. Setiap pulang dari mana-mana, pasti tak pernah lupa membawa oleh-oleh untuk Natasha. Terkadang malah barang mahal, sampai ibu pun sempat mengerutkan kening.

"Jam?" tanya ibu. "Itu kan kurang pantas sebagai kado untuk kawan gadis, Tasha. Kenapa tidak kau tolak saja dengan halus?"

"Sudah saya tolak, Mam," sahutnya sedikit bohong. "Tapi dia memaksa." Natasha memang menolak. Bukan karena ogah, tapi karena takut dimarahi ibu. "Katanya, kami kan sudah erat, boleh dong dia memberi oleh-oleh yang sedikit lain dari biasa. Katanya, hadiah ulang tahun nanti."

"Itu kan bila sudah resmi pacaran, Tasha," Nadia nimbrung, merasa makin prihatin terhadap perkembangan antara adiknya dan pemuda itu..

"Ya, memang kami juga sudah resmi pacaran, kok," tantang Natasha membuat ibu hampir semaput.

"Apa kau bilang, Tasha? Pacaran? Kau kan belum tamat sekolah? Baru mau naik ke kelas tiga. Tak boleh dulu pacaran. Berteman saja yang baik-baik, Untuk pacaran masih banyak waktu nanti. Kalau Papa tahu, pasti kau akan kena marah dan tak boleh lagi pergi-pergi dengannya."

"Ah, dari mana Papa tahu kalau tidak ada yang kasih tahu," katanya membandel. "Kami pun sebenarnya cuma berteman saja. Baik-baik."

"Tadi katamu sudah resmi pacaran," ejek Nadia. Natasha menelan ludah. Sebenarnya dia kurang paham apa sih resmi pacaran itu, apa tanda-tandanya. Kalau dipikir bahwa kebanyakan laki-laki biasanya pelit, maka bisa dong diduga bahwa Reno sangat cinta padaku, pikirnya. Kalau tidak, masa dia mau keluar uang begini banyak bagiku? Tapi memang, selain perhatian yang segerobak ini, Reno belum pernah menyebut sebuah pun kalimat cinta. Paling-paling cuma memuji manis, menarik, dan... mirip seseorang. Mirip siapakah?

Natasya mencuri pandang wajah kakaknya. Ah, sama sekali tak mirip. Atau mirip? Tidak. Tidak mirip. Reno pasti belum pernah melihat Nadia. Kalau tidak, masa dibiarkannya Nadia jadi gelandangan terus, tanpa pemilik sah!

"Jangan kau terlalu sinis pada Reno, Nad," kata Natasha mau mengambil hati kakaknya. "Sebenarnya dia juga punya oleh-oleh untukmu. Dia kerap bertanya mana sih kakakmu, kok tak pernah kau perkenalkan padaku?" Ya, mereka belum pernah ketemu, pikir Natasha. Kalau tidak, tentunya Reno takkan minta dikenalkan.

"Aku bilang, habis gimana mau dikenalkan, orangnya tak pernah ada di rumah bila kau datang. Atau sekalipun ada, pasti sedang tidur nyenyak dan. pantang diganggu."

"Hm. Aku tak ingin dikenal-kenalkan! Memangnya barang jualan? Katakan saja padanya, tak usah bawa apa-apa bagiku!"

"Eh, kok jadi marah? Itu kan cuma itikad baiknya."

"Hm. Itikad baik! Coba, apa sih yang dibawanya?"

"Ini, lho." Natasya memperlihatkan sebuah bantal. kecil berenda putih yang barusan diterimanya. Dibawanya benda itu ke hidung, dicium-ciumnya dua tiga kali.

"Wangi, Nad. Bantal ini gunanya untuk mengharumkan baju-baju kita. Reno punya sebuah lagi. Tadinya untukmu. Tapi kau ogah keluar kamar walau sudah dua belas kali diketuk. Dan Reno tentunya tidak bisa memberikan hadiahnya, sebab belum pernah berkenalan. Jadi terpaksa dibawa pulang. Aku usulkan supaya diberikan saja pada Alia, anak bibinya."

"Hm." Sambutan Nadia dingin saja. Dan memang perhatiannya saat itu lebih terarah pada netbook di tangan. Apa gunanya pewangi baju, pikirnya. Toh takkan bisa membantunya dalam tentamen minggu depan.

Namun setelah tentamen berlalu dengan aman sentosa dan angkanya juga lumayan bagus, Nadia mendekati adiknya.

"Aku mau bicara dengan serius," katanya dengan kesan seolah Natasha sudah mencemarkan nama baiknya. Tanpa permisi lagi, dikuncinya pintu kamar adiknya, lalu dia menarik kursi dan duduk.

"Soal apa, sih?" tanya Natasha yang sedang asyik tiduran.

"Soal Reno."

"Lho!" Natasha jadi bangun dari telungkup dan duduk tegak di atas ranjang. Bukunya tersingkir dibiarkan menutup sendiri di dekat kakinya.

"Ada apa dengan Reno?"

"Ada banyak hal! Kau cuma tahu senyumnya yang simpatik, dan bicaranya yang memikat, bukan? Tahukah kau kehidupan pribadinya? Pekerjaannya?"

"Ya. Dia dokter, bukan? Dan masih bujangan? Atau... kau ingin kasih tahu bahwa dia sudah kawin?"

"Dia memang bujangan. Tapi profesinya bukan cuma dokter, Tasha. Dia juga seorang penyanyi!"????

"Wow!!!" Natasha mendelik kagum, membuat Nadia mengeluh dalam hati.

"Memang susah berurusan dengan anak puber. Penyanyi dianggap hebat! Penyanyi mana dulu, Tasha. Dia bukannya penyanyi populer yang keluar masuk TV. Reno itu cuma penyanyi lokal dalam sebuah niteclub!"

"Apa katamu, Nad? Niteclub? Ah, kau bohong! Kau bikin lelucon! Dari mana kau dengar? Pasti salah info!"

Nadia menatap adiknya dengan tenang. Wajah bandel itu tampak mulai bimbang.

"Tidak. Aku tidak salah info. Aku tidak bohong."

"Orang baik-baik seperti dia, pasti takkan menyanyi di situ. Apalagi dokter."

"Maukah kau melihat bukti?" tantang Nadia. "Kenapa tidak?" jawab si Bandel.

......................

Pada suatu malam di tengah minggu, Nadia mengajak adiknya ke sebuah niteclub yang punya nama mentereng berwarna biru. Mereka cuma datang berdua, sehingga nyaris ditolak masuk, dikira mau beroperasi tak halal. Sekuriti tentu saja keberatan. Tapi Nadia dengan tenang mengatakan bahwa mereka adalah tamu Reno. Sekuriti segera berubah air mukanya dan dengan manis budi menyilakan mereka masuk.

Suasana temaram di dalam banyak membantu menyelimuti perasaan Natasha yang galau. Nadia mengajaknya duduk di pojok yang lebih suram lagi, dari mana mereka bebas mengawasi panggung kecil tanpa menarik perhatian. Bagaimanapun dia berdandan, Natasha masih tetap punya tampang anak sekolah. Kalau terjadi razia, bukan tak mungkin dia akan kena jaring.

Tak lama kemudian. Mata Natasha membulat bagaikan mata kucing dalam gelap Wajahnya serentak bercahaya. Nadia pun tidak urung, ikut-ikutan pula menatap ke panggung Cahaya spot mengurung Reno. Senyumnya yang paten menyeruak ke hati hadirin. Nadia tiba-tiba melihat ada beberapa tante dan gadis yang hadir. Hmm. Para penggemar Reno?

Laki-laki itu mengenakan setelan putih. Pada lubang kancingnya terselip sekuntum anyelir merah. Nadia takkan heran bila itu hadiah dari salah seorang penggemar juga.

Natasha juga melalap semua dengan matanya. Dilihatnya sisiran Reno agak lain dari biasa. Berjambul dan bercambang. Berarti cambangnya itu palsu, pikirnya. Dia sedikit menyesal sudah duduk di pojok begini dan Reno tidak sekali pun menoleh ke sini. Coba mereka memilih tempat di tengah.....

Nadia memperhatikan adiknya. Dia berharap. Natasha akan merengut melihat Reno obral senyum ke kiri ke kanan. Paling tidak, Natasha diharapkannya akan ngambek dan cemburu. Tapi betapa kecewanya dia melihat adiknya menatap lurus ke depan tanpa kedip. Wajahnya begitu penuh kagum. Seandainya saat itu Reno mengecup seorang penonton pun, dia pasti akan bertepuk tangan dan sama sekali tidak marah.

Ketika suaranya mulai mengalun -Nadia harus mengakui, suara laki-laki itu memang mendebarkan serta memukau- Natasha seolah berhenti bernapas. Tepatnya, ditahannya napasnya. Nadia mulai khawatir jangan-jangan dia telah melakukan kekeliruan dengan mengajaknya ke sini. Maksudnya mau membubarkan hubungan yang pincang itu. Tahunya, adiknya malah tambah terpikat!

Memikir sampai ke situ, Nadia tidak berani. menunggu sampai acara selesai. Gawat sekali bila Reno sampai menjumpai Natasha di sini. Diantar pula sang kakak yang selama ini tak pernah mau keluar berkenalan! Runyam, pikirnya.

"Yok, pulang. Sudah malam," ajaknya tanpa digubris. Nadia mengulangi. "Yok, pulang." Natasha tidak bergeming. Tidak mendengar. Nadia mengguncangnya. "Ayo, pulang."

Natahsa menoleh. "Sebentar lagi. Belum juga selesai."

"Kenapa mesti selesai? Kan sudah kau lihat buktinya? Cukup, dong. Nanti Mama curiga kalau terlalu telat pulang. Kan permisinya cuma ke bioskop. Kalau Papa juga tahu...."

Natasha paling takut pada ayah. Jadi taktik halusnya kena juga akhirnya. Dia mau didorong-dorong ke pintu. Sesekali dia masih menoleh ke belakang, dan Nadia berdoa semoga Reno tidak melihat ke arah mereka.

Tapi tentu saja Reno melihat keduanya. Dia menanyakan hal itu ketika datang lagi. Natasha tidak berniat bohong. Dia malah bangga mengatakan sudah melihat Reno bernyanyi. Begitu merdu. Begitu merayu.

"Kakakmu yang mengajak?" Reno tersenyum menegaskan. "Tumben kakakmu yang selalu sibuk itu katamu, mau mengantar ke sana! Barangkali dia tidak senang aku terlalu rapat denganmu?" Reno menatap begitu mesra, sehingga hati Natasha menggelepar seperti ikan keluar dari air. Dan jawab yang meluncur dari mulut seakan tidak disadarinya terloncat begitu saja.

"Ah, biar amat dia tidak senang. Kan aku tidak menyusahkan nya, bukan? Kenapa Nadia mesti campur tangan?"

"Nama kakakmu Nadia?" tanya Reno dengan mata setengah terpicing. Natasha tergelak-gelak.

"Ya, ampun, Pak Dokter. Kita kan sudah berteman berbulan-bulan. Jadi kau belum tahu siapa nama kakakku? Apa betul aku sudah pikun tidak memberi tahu? Atau kau yang linglung, sudah lupa lagi?"

"Mungkin aku yang lupa," kata Reno mengaku salah, padahal memang Natasha belum pernah menyebut nama kakaknya. Secara tidak sadar, gadi itu merasa jeri menyebut nama Nadia, khawatir Reno akan tertarik mendengarnya dan memaksa mau kenal. Bukankah Nadia jauh lebih dewasa dan serba menarik? Lagi pula sama-sama kedokteran. Tinggal dia nanti gigit jari! Tak mau dong.

"Itu sih, kebanyakan pasien. Kau pasti repot terus sepanjang hari, ya. Untung masih bisa santai seperti ini."

"Menjadi pacar dokter tidak enak, Tasha. Menjadi istrinya apalagi. Santai begini pun tidak bisa tiap minggu, harus melihat-lihat keadaan. Terkadang sibuk sekali di rumah sakit, hingga aku harus mau lembur. Terkadang seorang rekan mau cuti, terpaksa aku gantikan bila dimintanya. Nanti bila tiba giliran ku, aku pun akan minta digantikan oleh orang lain."

Natsha berdebar-debar menatapnya. Tanpa sadar, tangannya sudah merayap menemui tangan Reno Laki-laki itu menggenggamnya dengan hangat. Reno tersenyum dan meremas jari - jarinya.

"Karena itu janganlah masuk FK. Kalau aku punya anak perempuan, aku tidak akan mengizinkannya masuk FK. Anak perempuan harus mempelajari hal-hal yang penuh dinamika, cerah, dan feminim jelita seperti... kau!"

Reno mendekatkan kepalanya. Sedetik Natasha menanti dengan berdebar. Dilihatnya Reno seolah mau mengecupnya. Namun entah kenapa, kepalanya berhenti di tengah udara, tidak diteruskan. Digoyangnya kepala yang berombak itu, lalu diluruskannya kembali menjauh dari pipi Natasha. Ada sedikit rasa kecewa menyelinap di hati gadis itu, tapi dia tidak bereaksi. Di samping kecewa, ada pula rasa lega.

Nadia kan anak FK. Nah, kalau Reno tidak bohong, berarti dia takkan tertarik pada cewek FK! Itu cocok juga dengan kenyataan. Sebab Reno kan tidak punya pacar, padahal cewek FK tentunya banyak yang manis. Sedikitnya, Nadia pasti termasuk manis. Sedangkan dia sama-sama satu unit dengan Reno. Masa belum pernah ketemu? Mendadak dia ingat, kedua orang itu memang belum pernah ketemu. Nah, ya, walaupun hal itu lucu, tapi takkan jadi masalah. Seandainya ketemu pun, pasti Reno akan buang muka. Dia tidak suka cewek masuk FK! Hah! Pulang dari kencan malam Minggu itu, Natasha melambung diayun harapan setinggi bintang. Rasa rasa sudah terbang dia melayang ke nirwana.

...***************...

Terpopuler

Comments

widodo arifin

widodo arifin

hanzo

2022-12-09

0

hary cutesmile4

hary cutesmile4

up

2022-12-06

2

hary cutesmile4

hary cutesmile4

nice

2022-12-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!