Forever Young

Forever Young

Bab I Undangan Makan Malam

Nuna Callista mengangkat kepalanya memandang langit kelabu yang menghalangi sinar mentari. Jam telah menunjukkan pukul 06.30. Masih ada waktu satu jam sebelum pelajaran pertama dimulai.

"Nona, silakan jaketnya," seorang pria di awal 20 berdiri di samping gadis itu mengulurkan jaket merah muda.

Pria ini bernama Tanio, seorang asisten pribadi yang mengurus keperluan Nona Muda Keluarga Pangestu.

Alis Nuna mengerut, dengan enggan dia mengambil jaket dan memberikan tasnya untuk dipegang sementara kepada Tanio. Lalu mulai membungkus seragamnya dengan jaket merah muda. Nuna melihat lengan jaket terlalu panjang, dengan hati - hati dia melipat dan menyesuaikan lengan jaket dengan panjang tangannya.

Setelah merasa jaket merah muda ini rapi, Nuna mengambil tasnya dan mengucapkan, "Terima kasih, Nio."

Bibir Tanio melengkung. "Sama - sama, Nona. Silakan masuk ke dalam mobil."

Nuna masuk ke dalam mobil dan memasang earphone. Suara pembawa berita berbahasa Inggris menjadi musik pagi bagi gadis itu. Hanya butuh tiga puluh menit untuk sampai di sekolah. Hujan telah turun dengan deras, Tanio membuka pintu dan memayungi Nuna dengan hati - hati.

"Serahkan payungnya, kamu bisa kembali." Nuna mengulurkan tangan namun kalah cepat dengan Tanio yang mengelak.

"Apakah Nona tega membiarkan saya basah kuyup?"

Nuna tertegun dan menyadari bahwa pria itu hanya membawa satu payung ini. Menghela nafas tak berdaya,dia mulai berjalan. Tanio berjalan berdampingan mengantar Nonanya memasuki sekolah.

Mengabaikan tatapan siswa lainnya, Nuna berhenti di lorong yang dekat dengan kelasnya. "Kamu bisa pergi, terima kasih." Tanpa menunggu balasan, dia berjalan kembali.

"Semangat belajarnya, Nona."

◾◾◾

.

Nuna memasuki kelas XI MIA 1 yang masih sepi. Dia duduk di barisan paling depan dan membuka buku pelajaran Biologi. Dirinya tenggelam dalam sel - sel mahluk hidup. Setelah jarum panjang jam menunjuk angka lima, kelas mulai ramai.

"Aduh males banget gue sekolah, hujan gini enaknya tidur, ya enggak?" Bimo, kapten tim basket kebanggaan sekolah bertanya pada temannya, Joshua yang sedang mendribble bola basket.

Joshua memutar bola di ujung telunjuknya, "Haha, yoi bro." Lalu mengoper bola ke Bimo,

Buk.

Bola meleset dan membentur meja dengan keras. Para siswa di kelas menahan nafas saat melihat dimana bola itu mendarat. Bimo menatap jejak hitam pada meja tempat Nuna sedang membaca buku.

Untungnya enggak kena tuh buku, batin Bimo.

"Sorry, sorry. Gue enggak sengaja, gue bantu lap." Bimo mengangkat sudut bajunya untuk mengelap meja namun langkahnya terhenti ketika Nuna mengeluarkan sapu tangan dan dengan anggun menghapus jejak tanah di meja, kemudian menyemprot disinfektan dan mengeluarkan sapu tangan baru untuk menghapusnya, selanjutnya dia berdiri membuang dua sapu tangan itu ke tempat sampah.

Nuna menatap Bimo yang masih berdiri ditempatnya. "Tidak perlu." Dia lalu duduk dan melanjutkan membaca.

Ada hening sejenak sebelum Joshua tertawa garing. "Sini, Bim. Bentar lagi guru datang, lo buruan duduk."

Bimo mengambil bola basketnya dan menghampiri Joshua. Dia memukul bahu Joshua, "Gara - gara lo, nih."

Joshua cengengesan, "Maaf, bro. Untung Tuan Putri enggak marah."

Bimo mendengus. "Diem lo."

Keduanya duduk di bangku masing - masing. Para siswa yang menonton diam - diam menghela nafas lega.

Di mata para siswa, Nuna Callista bagaikan karakter yang keluar dari novel kerajaan. Temperamennya yang anggun, lembut dan tidak tersentuh membuatnya memiliki julukan Tuan Putri sehingga mereka merasa berbeda dimensi dengannya.

Mereka beberapa kali mencoba menjalin pertemanan dengan mengajak mengobrol, namun Nuna akan memberikan jawaban seadanya tanpa minat untuk melanjutkan percakapan. Mereka pun mundur perlahan dan membentuk pemahaman bahwa setiap orang memiliki pilihan masing - masing sehingga walaupun dengan jumlah murid yang genap, tidak ada yang duduk di samping Nuna.

Nuna sendiri tidak peduli dengan pendapat teman sekelasnya, dia hanya ingin menjadi kehidupan yang di sekolah tanpa ada gangguan. Kebiasaan hidup sedari kecil yang mengharuskan dia rapi dan teratur menjadikan pribadinya perfeksionis. Sehingga dia tidak akan membiarkan gangguan sekecil apapun mengacaukan ritme ini.

Setelah bel berbunyi, Guru Biologi Citra memasuki kelas.

"Halo, anak - anak. Ayo ketua kelas pimpin do'a."

"Siap bu. Duduk siap, gerak. Berdoa dimulai." Ketua kelas memimpin do'a. "Do'a selesai. Istirahat di tempat, gerak."

"Selamat pagi, Bu."

"Selamat pagi, sebelum belajar, saya akan membagikan hasil ujian minggu lalu. Selamat kepada Nuna Callista yang meraih nilai tertinggi di kelas. Beri tepuk tangan, anak - anak."

Para siswa bertepuk tangan dan menatap kagum pada sosok Nuna yang berjalan ke depan kelas.

Nuna mengambil hasil ujiannya dan melihat angka 99 pada kolom nilai. "Guru, mengapa saya tidak mendapat nilai penuh?"

Para siswa yang mendengar hanya mengamati dalam diam. Mungkin jika siswa kelas lain mendengar ini, siswa itu akan memandang sinis pada Nuna. Tetapi tidak dengan mereka. Mereka tahu bahwa gadis ini selalu mencetak 100 poin dalam ujian selama satu semester menjadi teman sekelas. Dalam hati, mereka bersyukur bahwa Nuna hanya teman sekelas mereka, bukan anak tetangga yang akan dibandingkan oleh orangtua mereka.

Citra menunjuk jawaban yang dicoret merah, "Tidak ada jawaban yang benar untuk pertanyaan ini. Guru lupa menambahkan kata 'kecuali'."

"Tapi saya memilih jawaban yang benar jika Guru menambah kata 'kecuali'."

"Tapi faktanya Guru lupa. Jadi tidak ada jawaban. Tetapi kamu tetap memilih jawaban di sini, sehingga Guru mengurangi poin kamu."

Nuna terdiam. Penjelasan Guru Biologi terdengar masuk akal, namun dia merasa ada yang mengganjal. "Baik, terima kasih Guru. Saya akan belajar lebih giat lagi."

"Pooh hahaha, maaf maaf," Joshua menutup mulutnya berusaha menahan tawa.

Nuna mengabaikan hal itu dan kembali duduk di tempatnya. Citra memandang tidak puas pada siswa yang memiliki nilai terendah di pelajarannya. "Murid ini, kenapa kamu tertawa?"

Joshua tersedak, "Maaf, Bu."

"Kamu seharusnya menjadikan Nuna sebagai teladan. Lihat semangatnya dalam belajar." Citra melihat bola basket yang ada di samping meja Joshua. "Jangan hanya bermain - main di kelas, mengerti?"

"Mengerti, Bu." Menatap wajah marah Gurunya, Joshua segera menundukkan kepalanya dan mendorong bola basket ke bawah meja diam - diam.

"Oke bagus. Selanjutnya-" Citra tiba - tiba terhenti dan mengusap perutnya yang buncit. "Ketua kelas datang kemari dan bagikan hasilnya. Lalu kalian belajar mandiri, buka halaman 300 sampai 320 dan rangkum! Kumpulkan hari ini."

"Baik, Bu."

"Aduh." Citra mencengkram sudut meja dengan tangan satunya masih memeluk perutnya.

"Bu Guru!" Para siswa menghampiri dengan panik.

"Tolong telepon ambulans, Guru sepertinya mau melahirkan."

"Apa?" Kepanikan langsung menyebar di ruang kelas.

Siswa laki - laki menghubungi ambulans, sedangkan siswa perempuan berkumpul di dekat Citra.

"Bu Guru air ketubannya pecah!"

"Oh tidak."

"Bu Guru, hati - hati"

"Gimana ini?"

"Minggir kalian, jangan rampas oksigen Bu Guru!"

"Doni, badan lo menghalangi pintu."

Ambulans segera tiba dan membawa Citra ke rumah sakit. Para siswa menghela nafas lega.

Nuna baru saja menyadari analisisnya. Jika Guru Biologi lupa tidak menuliskan kata 'Kecuali', maka hal itu seharusnya dianggap sebagai kesalahan soal. Sehingga soal tersebut dihapuskan dan dia akan mendapatkan nilai sempurna. Nuna hendak memberitahu Guru Biologi namun dia tidak menemukan jejaknya. Sebaliknya dia menemukan teman - teman sekelasnya berkumpul di depan papan tulis memandangnya rumit.

Joshua berbisik di telinga Bimo, "Sebenarnya anti sosial ama apatis beda tipis."

"Shhh. Percuma lo bisik - bisik kalau volume lo kayag toa." Bimo menghadiahi Joshua pukulan lagi.

Nuna tentu saja mendengarnya, namun dia tidak peduli.

"Uhuk," Elang, ketua kelas segera mengumumkan, "Udah tenang - tenang. Ayo balik ke kursi masing - masing, baca halaman 300 - 320 dan rangkum. Dikumpulin ke gue hari ini."

Nuna yang mendengarnya segera membaca buku dan merangkum. Tiba - tiba seseorang membayangi buku catatannya, Nuna mendongak dan menemukan Elang tersenyum cerah.

"Jangan dimasukin hati, Joshua sarapan cabe hari ini."

"Woi, Lang. Jangan sok iye lo! Maju sini lo kalau berani." Joshua memprotes.

Bima memukul punggungnya kali ini. "Diem."

Nuna sebenarnya ingin bertanya, apa maksud dari perkataan Elang. Joshua sarapan cabe? Apa hubungannya dengannya? Bagaimana memberikan tanggapan yang benar kepada Ketua Kelas? Apakah dengan memberitahunya menu sarapan yang dia makan tadi pagi?

Elang memandang Nuna yang linglung. Dia hendak berbicara tetapi Nuna membuka bibirnya.

"Cabai mengandung capcaisin yang dapat membuat perut mulas hingga diare."

Nuna lalu menatap Joshua yang duduk di barisan paling belakang. "Jadi jangan makan cabai saat perut kosong."

Joshua menganga, Bima buru - buru mengambil kaos olahraga Joshua yang belum dicuci dan menggulungnya acak. Lalu memasukkannya di mulut Joshua yang terbuka lebar.

"Uhuk uhuk uhuk." Mata Joshua memerah akibat tawanya yang tertahan dan rasa asam di mulutnya. Dia ingin memukul Bima tapi menahannya. Tidak ingin melukai tangannya sendiri untuk memukul otot kawat baja itu.

Elang tercengang dengan balasan Nuna. Dia terkekeh dan berjalan ke tempat duduknya. Sepertinya dia terlalu khawatir.

◾◾◾

Sisa kelas hari itu berjalan lancar, Nuna seperti biasa mendapatkan 100 pada ujian lainnya. Setelah kelas berakhir, dia langsung berjalan keluar kelas.

"Selamat sore, Nona," sambut Tanio sambil membuka pintu mobil.

"Sore, Nio."

Setelah duduk di kursi pengemudi, Tanio menyampaikan jadwal kegiatan berikutnya. "Kami akan menuju ke tempat les piano, Nona. Dilanjutkan pukul 6 untuk melukis dengan Guru Tang. Dan ada les privat di rumah pukul 8 sampai 10 malam. Apakah ada perubahan, Nona?"

"Tidak."

"Baik, kami berangkat sekarang, Nona."

Nuna membuka ponselnya dan menekan tombol nomor 2. Panggilan tersambung.

"Kakek."

"Cucuku, kakek merindukanmu." suara pria tua terdengar di telepon.

"Saya juga merindukan Kakek. Kakek, keluarga ayah ingin mengundang saya makan malam bersama keluarganya. Bagaimana menurut, kakek?"

Ada hening sejenak. "Kakek akan mendukung keputusanmu. Jika kamu ingin datang, maka datanglah."

"Saya tidak akan datang." Nuna membuka laptopnya dan mengetik sesuatu.

"Cucuku tersayang, sebenarnya kakek berharap kamu bisa mengakhiri perang dingin dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah ayahmu."

"Saya tahu, kakek. Baiklah, saya akan datang."

"Bagus. Bagus. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?"

"Saya sedang membuat pengaduan ke Wali Kelas."

"Cucu.. apakah ada masalah?" suara kakek terdengar gugup.

Nuna mengirim pesan ke Wali Kelas dan menutup laptopnya. "Tidak ada. Hanya melaporkan kesalahan nilai ujian."

Jauh di rumah sakit swasta, Citra yang tengah menggendong bayi lucunya tiba - tiba merasakan dingin di punggungnya.

"Oh. Bagaimana hasilnya?"

"Saya mendapat 100 kecuali satu ujian mendapat 99."

"Cucu kakek memang junius!"

"Nona, kami akan tiba dalam sepuluh menit," ucap Tanio.

Nuna memandang pemandangan sekitar dan berkata, "Kakek, saya akan menutup telepon sekarang. Jaga kesehatan, kakek."

"Oke cucu, kamu juga jangan terlalu lelah."

"Baik, kakek."

Klik. Telepon dimatikan.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah tingkat tiga. Setelah gerbang rumah dibuka, Tanio mengemudikan mobil memasuki halaman rumah itu.

Nuna turun dari mobil dan memencet bel pintu.

Pintu dibuka, "Silakan masuk Nona Callista." Pembantu rumah tangga menyambut Nuna.

"Terima kasih, Bibi."

Nuna meletakkan tasnya dan menyapa Guru Piano, "Selamat sore, Guru."

Karina tersenyum memandang murid jeniusnya, "Sore, Nuna. Hari ini kita akan belajar Sonata in C Major, op. 1, no. 2 (II) by Giovanni Benedetto Platti."

"Baik, Guru."

Alunan lagu piano pun menggema di ruang tamu. Tanio memandang kagum pada Nona Muda yang setiap hari semakin bersinar.

Dert. Dert. Panggilan telepon masuk.

Tanio memandang nama pemanggil yang muncul di layar ponsel.

Tuan Ferdinan

Ragu - ragu dia menekan tombol terima dan berjalan keluar. Nuna menangkap pergerakannya dari sudut mata sedetik sebelum fokus kembali menekan tuts piano.

"Selamat sore, Tuan."

"Halo, Tanio. Apakah putriku sudah menerima undangannya?" tanya Ferdinan di ujung telepon.

"Nona telah menerimanya, Tuan."

"Dia pasti datang, kan? Dia harus datang, jika menolak, kamu harus membujuknya!"

Tanio mengingat percakapan Nuna dengan kakeknya. "Nona belum memberitahu saya secara langsung, Tuan."

"Anak itu sama keras kepalanya dengan ibunya."

Alis Tanio mengernyit.

"Nanti kabarin saya, dia harus datang."

Klik. Panggilan diputus sepihak.

Tanio menatap ponselnya kesal, kasihan Nonanya untuk memiliki ayah seperti Ferdinan.

◾◾◾

Setelah menyelesaikan les piano, saat ini Nuna tengah melukis di kanvas di dampingi Guru Tang.

"Ada apa denganmu, nak? Hari ini kamu kelihatan tidak fokus?"

Jari Nuna yang memegang kuas gemetar. "Maaf, Guru. Murid izin istirahat sebentar."

Guru Tang melambaikan tangannya. "Ya, ya, minum dulu."

Tanio menyerahkan botol minum Nonanya, Nuna menerima dan mengumamkan terima kasih.

Setelah meminum beberapa teguk air putih dan memberikan botol minumnya. Nuna menatap lurus pada asisten pribadinya. "Tolong sampaikan pada ayah, saya akan datang."

Botol minum di tangan Tanio hampir jatuh karena kaget Nonanya tiba - tiba berkata seperti itu. Apakah Nona tahu ayahnya menelepon tadi sore?

Melihat ekspresi Tanio, Nuna berkata, "Saya tahu."

Suara ayahnya sangat keras dan dia telah menyelesaikan latihan piano sehingga dia dengan jelas mendengar percakapan mereka. Bahkan kalimat sang ayah,

"Anak itu sama keras kepalanya dengan ibunya."

masih mengganggunya.

"Nona.. "

"Saya akan berlatih sekarang."

Nuna memotong perkataan Tanio dan memulai teknik pernafasan sitali. Dia membuka mulutnya membentuk huruf O dan meletakkan lidahnya di belakang gigi bawah yang membuat ekspresinya seperti sedang menyeruput mie. Menarik nafas, Nuna kemudian menutup mulutnya dan membuang nafasnya melalui hidung.

Tanio mengamati Nonanya melakukan hal itu sampai tiga kali. Nona pasti marah!

Dia sudah hafal dengan kebiasaan Nonanya yang menarik nafas seperti itu di saat - saat tertentu, salah satunya adalah saat Nonanya sedang marah.

Nuna berhasil menenangkan dirinya. Dia meraih kuas dan meneruskan lukisannya.

Melirik Tanio yang masih kaku di sebelahnya, Nuna mengingatkan lagi, "Tolong sampaikan pada ayah, saya akan datang."

Tanio menatap Nonanya.

"Sekarang," ucap Nuna.

Tanio buru - buru keluar dan menelepon Ferdinan.

Nuna memandang punggung Tanio yang menghilang di balik pintu. Dia lalu merasakan tatapan dari Guru Lukisnya.

"Apakah ada yang salah dengan lukisan saya, Guru?"

"Tidak, kerja bagus hari ini."

"Terima kasih, Guru."

Guru Tang pura - pura batuk dan menepuk puncak kepala muridnya. "Kelas hari ini selesai. Kita lanjut lusa. Kamu bisa pulang istirahat sekarang."

Pupil Nuna bergetar, dia segera berdiri dan membungkuk. "Maafkan murid ini, Guru. Murid tidak fokus dan mengabaikan pelajaran Guru."

"Tidak, tidak." Guru Tang dengan panik meraih bahu Nuna dan menegakkan tubuhnya. "Uhuk, Guru lupa ada janji makan malam dengan kolega. Jadi kamu bisa pulang sekarang."

Nuna menatap curiga namun Guru Tang hanya memalingkan wajahnya dan mengambil tas Nuna yang ada di sofa.

Tanio yang baru masuk ke ruang tamu tiba - tiba menerima uluran tas dari Guru Tang.

"Ini.. "

Guru Tang terbatuk lagi. "Saya ada janji makan malam dengan kolega, jadi kelas berakhir lebih awal."

Tanio mengangguk mengerti lalu menatap Nonanya. "Mari pulang, Nona."

"Iya." Nuna lalu memandang Guru Tang. "Terima kasih atas pelajaran hari ini, Guru. Murid izin pulang sekarang."

Guru Tang tersenyum. "Iya, Tanio perhatikan saat mengemudi. Kalian hati - hati di jalan."

"Siap, Tuan Tang," jawab Tanio tegas.

"Selamat malam, Guru."

"Malam."

◾◾◾

Cerita sampingan

Nuna : (melakukan teknik pernafasan sitali)

Tanio : (mengambil buku dan mencatat) WASPADA!!!

Gerakan menyeruput mie :

3x Nona sangat marah

2x Nona marah medium

1x Nona sedikit marah

Nuna : Apa yang kamu tulis? (memandang curiga)

Tanio : Hehe (kabur)

Terpopuler

Comments

AdindaRa

AdindaRa

Karya mu Kereeeeen kaaaak. Baru pertama baca udah bikin insecure akunya.

Emang ya kalo dapet nilai 99 tuh berasa nyesek. Kenapa gak 100 sekalian coba? Apalagi ampe ada guru mau melahirkan segala 😅 pecaaaah.

Aku sawer pake Iklan kaaak. Mampir juga yuk ke novelku, Complicated Mission

2022-07-28

2

Phoo

Phoo

uwaaw rapi banget tulisannya jd enjoy bacanya👏👏👏

2022-07-19

2

naumiiii🎈✨

naumiiii🎈✨

Wahhh seru nihh muhehehe ncicil baca dulu ya🤭🤭🤭

2022-06-17

2

lihat semua
Episodes
1 Bab I Undangan Makan Malam
2 BAB II Sapu Tangan 7 Juta
3 BAB III Makan Malam 'Keluarga'
4 BAB IV Salah Paham
5 BAB V Permintaan Maaf Ditolak
6 BAB VI Siswa Baru
7 Bab VII Tanggung Jawab!
8 BAB VIII Telepon dari Sekolah
9 BAB IX Anggota Baru Tim Basket
10 BAB X Surat Perjanjian Kompensasi
11 BAB XI Keraguan Datang
12 BAB XII Pekan Olahraga
13 BAB XIII Praktek Lari
14 BAB XIV Eternal Squad vs Jealousy Squad
15 BAB XV Tim Basket SMA Menang
16 BAB XVI Makan Siang Bersama
17 BAB XVII Lomba Memanah
18 BAB XVIII Kebenaran Terungkap
19 BAB XIX Equestrian, Show Jumping
20 BAB XX Lomba Memasak
21 BAB XXI Enam Bintang
22 BAB XXII Malam Penghargaan
23 BAB XXIII Liburan ke Bali
24 BAB XXIV Balapan Mobil
25 BAB XXV Explore Bali
26 BAB XXVI Jangan Keluar Malam Sendirian
27 BAB XXVII Gangguan di Jalan Tol
28 BAB XXVIII Olahraga Air yang Menyenangkan!
29 BAB XXIX Belanja Oleh - Oleh
30 BAB XXX Tantangan Lagi
31 BAB XXXI Balap Motor
32 BAB XXXII Percakapan Rahasia
33 BAB XXXIII Olimpiade Summer
34 BAB XXXIV Babak Final
35 BAB XXXV Pergi ke Sekolah?
36 BAB XXXVI Melukis Bersama
37 BAB XXXVII Rencana Mark
38 BAB XXXVIII Jalan-jalan ke Aquarium
39 BAB XXXIX Tantangan 1 vs 1
40 BAB XL Pergi ke Taman Bermain
41 BAB XLI Balap Motor
42 BAB XLII Suka?
43 Pengumuman
44 BAB XLIII Kencan Pertama
45 BAB XLIV Pertemuan Tak Terduga
Episodes

Updated 45 Episodes

1
Bab I Undangan Makan Malam
2
BAB II Sapu Tangan 7 Juta
3
BAB III Makan Malam 'Keluarga'
4
BAB IV Salah Paham
5
BAB V Permintaan Maaf Ditolak
6
BAB VI Siswa Baru
7
Bab VII Tanggung Jawab!
8
BAB VIII Telepon dari Sekolah
9
BAB IX Anggota Baru Tim Basket
10
BAB X Surat Perjanjian Kompensasi
11
BAB XI Keraguan Datang
12
BAB XII Pekan Olahraga
13
BAB XIII Praktek Lari
14
BAB XIV Eternal Squad vs Jealousy Squad
15
BAB XV Tim Basket SMA Menang
16
BAB XVI Makan Siang Bersama
17
BAB XVII Lomba Memanah
18
BAB XVIII Kebenaran Terungkap
19
BAB XIX Equestrian, Show Jumping
20
BAB XX Lomba Memasak
21
BAB XXI Enam Bintang
22
BAB XXII Malam Penghargaan
23
BAB XXIII Liburan ke Bali
24
BAB XXIV Balapan Mobil
25
BAB XXV Explore Bali
26
BAB XXVI Jangan Keluar Malam Sendirian
27
BAB XXVII Gangguan di Jalan Tol
28
BAB XXVIII Olahraga Air yang Menyenangkan!
29
BAB XXIX Belanja Oleh - Oleh
30
BAB XXX Tantangan Lagi
31
BAB XXXI Balap Motor
32
BAB XXXII Percakapan Rahasia
33
BAB XXXIII Olimpiade Summer
34
BAB XXXIV Babak Final
35
BAB XXXV Pergi ke Sekolah?
36
BAB XXXVI Melukis Bersama
37
BAB XXXVII Rencana Mark
38
BAB XXXVIII Jalan-jalan ke Aquarium
39
BAB XXXIX Tantangan 1 vs 1
40
BAB XL Pergi ke Taman Bermain
41
BAB XLI Balap Motor
42
BAB XLII Suka?
43
Pengumuman
44
BAB XLIII Kencan Pertama
45
BAB XLIV Pertemuan Tak Terduga

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!