Nuna Callista mengangkat kepalanya memandang langit kelabu yang menghalangi sinar mentari. Jam telah menunjukkan pukul 06.30. Masih ada waktu satu jam sebelum pelajaran pertama dimulai.
"Nona, silakan jaketnya," seorang pria di awal 20 berdiri di samping gadis itu mengulurkan jaket merah muda.
Pria ini bernama Tanio, seorang asisten pribadi yang mengurus keperluan Nona Muda Keluarga Pangestu.
Alis Nuna mengerut, dengan enggan dia mengambil jaket dan memberikan tasnya untuk dipegang sementara kepada Tanio. Lalu mulai membungkus seragamnya dengan jaket merah muda. Nuna melihat lengan jaket terlalu panjang, dengan hati - hati dia melipat dan menyesuaikan lengan jaket dengan panjang tangannya.
Setelah merasa jaket merah muda ini rapi, Nuna mengambil tasnya dan mengucapkan, "Terima kasih, Nio."
Bibir Tanio melengkung. "Sama - sama, Nona. Silakan masuk ke dalam mobil."
Nuna masuk ke dalam mobil dan memasang earphone. Suara pembawa berita berbahasa Inggris menjadi musik pagi bagi gadis itu. Hanya butuh tiga puluh menit untuk sampai di sekolah. Hujan telah turun dengan deras, Tanio membuka pintu dan memayungi Nuna dengan hati - hati.
"Serahkan payungnya, kamu bisa kembali." Nuna mengulurkan tangan namun kalah cepat dengan Tanio yang mengelak.
"Apakah Nona tega membiarkan saya basah kuyup?"
Nuna tertegun dan menyadari bahwa pria itu hanya membawa satu payung ini. Menghela nafas tak berdaya,dia mulai berjalan. Tanio berjalan berdampingan mengantar Nonanya memasuki sekolah.
Mengabaikan tatapan siswa lainnya, Nuna berhenti di lorong yang dekat dengan kelasnya. "Kamu bisa pergi, terima kasih." Tanpa menunggu balasan, dia berjalan kembali.
"Semangat belajarnya, Nona."
◾◾◾
.
Nuna memasuki kelas XI MIA 1 yang masih sepi. Dia duduk di barisan paling depan dan membuka buku pelajaran Biologi. Dirinya tenggelam dalam sel - sel mahluk hidup. Setelah jarum panjang jam menunjuk angka lima, kelas mulai ramai.
"Aduh males banget gue sekolah, hujan gini enaknya tidur, ya enggak?" Bimo, kapten tim basket kebanggaan sekolah bertanya pada temannya, Joshua yang sedang mendribble bola basket.
Joshua memutar bola di ujung telunjuknya, "Haha, yoi bro." Lalu mengoper bola ke Bimo,
Buk.
Bola meleset dan membentur meja dengan keras. Para siswa di kelas menahan nafas saat melihat dimana bola itu mendarat. Bimo menatap jejak hitam pada meja tempat Nuna sedang membaca buku.
Untungnya enggak kena tuh buku, batin Bimo.
"Sorry, sorry. Gue enggak sengaja, gue bantu lap." Bimo mengangkat sudut bajunya untuk mengelap meja namun langkahnya terhenti ketika Nuna mengeluarkan sapu tangan dan dengan anggun menghapus jejak tanah di meja, kemudian menyemprot disinfektan dan mengeluarkan sapu tangan baru untuk menghapusnya, selanjutnya dia berdiri membuang dua sapu tangan itu ke tempat sampah.
Nuna menatap Bimo yang masih berdiri ditempatnya. "Tidak perlu." Dia lalu duduk dan melanjutkan membaca.
Ada hening sejenak sebelum Joshua tertawa garing. "Sini, Bim. Bentar lagi guru datang, lo buruan duduk."
Bimo mengambil bola basketnya dan menghampiri Joshua. Dia memukul bahu Joshua, "Gara - gara lo, nih."
Joshua cengengesan, "Maaf, bro. Untung Tuan Putri enggak marah."
Bimo mendengus. "Diem lo."
Keduanya duduk di bangku masing - masing. Para siswa yang menonton diam - diam menghela nafas lega.
Di mata para siswa, Nuna Callista bagaikan karakter yang keluar dari novel kerajaan. Temperamennya yang anggun, lembut dan tidak tersentuh membuatnya memiliki julukan Tuan Putri sehingga mereka merasa berbeda dimensi dengannya.
Mereka beberapa kali mencoba menjalin pertemanan dengan mengajak mengobrol, namun Nuna akan memberikan jawaban seadanya tanpa minat untuk melanjutkan percakapan. Mereka pun mundur perlahan dan membentuk pemahaman bahwa setiap orang memiliki pilihan masing - masing sehingga walaupun dengan jumlah murid yang genap, tidak ada yang duduk di samping Nuna.
Nuna sendiri tidak peduli dengan pendapat teman sekelasnya, dia hanya ingin menjadi kehidupan yang di sekolah tanpa ada gangguan. Kebiasaan hidup sedari kecil yang mengharuskan dia rapi dan teratur menjadikan pribadinya perfeksionis. Sehingga dia tidak akan membiarkan gangguan sekecil apapun mengacaukan ritme ini.
Setelah bel berbunyi, Guru Biologi Citra memasuki kelas.
"Halo, anak - anak. Ayo ketua kelas pimpin do'a."
"Siap bu. Duduk siap, gerak. Berdoa dimulai." Ketua kelas memimpin do'a. "Do'a selesai. Istirahat di tempat, gerak."
"Selamat pagi, Bu."
"Selamat pagi, sebelum belajar, saya akan membagikan hasil ujian minggu lalu. Selamat kepada Nuna Callista yang meraih nilai tertinggi di kelas. Beri tepuk tangan, anak - anak."
Para siswa bertepuk tangan dan menatap kagum pada sosok Nuna yang berjalan ke depan kelas.
Nuna mengambil hasil ujiannya dan melihat angka 99 pada kolom nilai. "Guru, mengapa saya tidak mendapat nilai penuh?"
Para siswa yang mendengar hanya mengamati dalam diam. Mungkin jika siswa kelas lain mendengar ini, siswa itu akan memandang sinis pada Nuna. Tetapi tidak dengan mereka. Mereka tahu bahwa gadis ini selalu mencetak 100 poin dalam ujian selama satu semester menjadi teman sekelas. Dalam hati, mereka bersyukur bahwa Nuna hanya teman sekelas mereka, bukan anak tetangga yang akan dibandingkan oleh orangtua mereka.
Citra menunjuk jawaban yang dicoret merah, "Tidak ada jawaban yang benar untuk pertanyaan ini. Guru lupa menambahkan kata 'kecuali'."
"Tapi saya memilih jawaban yang benar jika Guru menambah kata 'kecuali'."
"Tapi faktanya Guru lupa. Jadi tidak ada jawaban. Tetapi kamu tetap memilih jawaban di sini, sehingga Guru mengurangi poin kamu."
Nuna terdiam. Penjelasan Guru Biologi terdengar masuk akal, namun dia merasa ada yang mengganjal. "Baik, terima kasih Guru. Saya akan belajar lebih giat lagi."
"Pooh hahaha, maaf maaf," Joshua menutup mulutnya berusaha menahan tawa.
Nuna mengabaikan hal itu dan kembali duduk di tempatnya. Citra memandang tidak puas pada siswa yang memiliki nilai terendah di pelajarannya. "Murid ini, kenapa kamu tertawa?"
Joshua tersedak, "Maaf, Bu."
"Kamu seharusnya menjadikan Nuna sebagai teladan. Lihat semangatnya dalam belajar." Citra melihat bola basket yang ada di samping meja Joshua. "Jangan hanya bermain - main di kelas, mengerti?"
"Mengerti, Bu." Menatap wajah marah Gurunya, Joshua segera menundukkan kepalanya dan mendorong bola basket ke bawah meja diam - diam.
"Oke bagus. Selanjutnya-" Citra tiba - tiba terhenti dan mengusap perutnya yang buncit. "Ketua kelas datang kemari dan bagikan hasilnya. Lalu kalian belajar mandiri, buka halaman 300 sampai 320 dan rangkum! Kumpulkan hari ini."
"Baik, Bu."
"Aduh." Citra mencengkram sudut meja dengan tangan satunya masih memeluk perutnya.
"Bu Guru!" Para siswa menghampiri dengan panik.
"Tolong telepon ambulans, Guru sepertinya mau melahirkan."
"Apa?" Kepanikan langsung menyebar di ruang kelas.
Siswa laki - laki menghubungi ambulans, sedangkan siswa perempuan berkumpul di dekat Citra.
"Bu Guru air ketubannya pecah!"
"Oh tidak."
"Bu Guru, hati - hati"
"Gimana ini?"
"Minggir kalian, jangan rampas oksigen Bu Guru!"
"Doni, badan lo menghalangi pintu."
Ambulans segera tiba dan membawa Citra ke rumah sakit. Para siswa menghela nafas lega.
Nuna baru saja menyadari analisisnya. Jika Guru Biologi lupa tidak menuliskan kata 'Kecuali', maka hal itu seharusnya dianggap sebagai kesalahan soal. Sehingga soal tersebut dihapuskan dan dia akan mendapatkan nilai sempurna. Nuna hendak memberitahu Guru Biologi namun dia tidak menemukan jejaknya. Sebaliknya dia menemukan teman - teman sekelasnya berkumpul di depan papan tulis memandangnya rumit.
Joshua berbisik di telinga Bimo, "Sebenarnya anti sosial ama apatis beda tipis."
"Shhh. Percuma lo bisik - bisik kalau volume lo kayag toa." Bimo menghadiahi Joshua pukulan lagi.
Nuna tentu saja mendengarnya, namun dia tidak peduli.
"Uhuk," Elang, ketua kelas segera mengumumkan, "Udah tenang - tenang. Ayo balik ke kursi masing - masing, baca halaman 300 - 320 dan rangkum. Dikumpulin ke gue hari ini."
Nuna yang mendengarnya segera membaca buku dan merangkum. Tiba - tiba seseorang membayangi buku catatannya, Nuna mendongak dan menemukan Elang tersenyum cerah.
"Jangan dimasukin hati, Joshua sarapan cabe hari ini."
"Woi, Lang. Jangan sok iye lo! Maju sini lo kalau berani." Joshua memprotes.
Bima memukul punggungnya kali ini. "Diem."
Nuna sebenarnya ingin bertanya, apa maksud dari perkataan Elang. Joshua sarapan cabe? Apa hubungannya dengannya? Bagaimana memberikan tanggapan yang benar kepada Ketua Kelas? Apakah dengan memberitahunya menu sarapan yang dia makan tadi pagi?
Elang memandang Nuna yang linglung. Dia hendak berbicara tetapi Nuna membuka bibirnya.
"Cabai mengandung capcaisin yang dapat membuat perut mulas hingga diare."
Nuna lalu menatap Joshua yang duduk di barisan paling belakang. "Jadi jangan makan cabai saat perut kosong."
Joshua menganga, Bima buru - buru mengambil kaos olahraga Joshua yang belum dicuci dan menggulungnya acak. Lalu memasukkannya di mulut Joshua yang terbuka lebar.
"Uhuk uhuk uhuk." Mata Joshua memerah akibat tawanya yang tertahan dan rasa asam di mulutnya. Dia ingin memukul Bima tapi menahannya. Tidak ingin melukai tangannya sendiri untuk memukul otot kawat baja itu.
Elang tercengang dengan balasan Nuna. Dia terkekeh dan berjalan ke tempat duduknya. Sepertinya dia terlalu khawatir.
◾◾◾
Sisa kelas hari itu berjalan lancar, Nuna seperti biasa mendapatkan 100 pada ujian lainnya. Setelah kelas berakhir, dia langsung berjalan keluar kelas.
"Selamat sore, Nona," sambut Tanio sambil membuka pintu mobil.
"Sore, Nio."
Setelah duduk di kursi pengemudi, Tanio menyampaikan jadwal kegiatan berikutnya. "Kami akan menuju ke tempat les piano, Nona. Dilanjutkan pukul 6 untuk melukis dengan Guru Tang. Dan ada les privat di rumah pukul 8 sampai 10 malam. Apakah ada perubahan, Nona?"
"Tidak."
"Baik, kami berangkat sekarang, Nona."
Nuna membuka ponselnya dan menekan tombol nomor 2. Panggilan tersambung.
"Kakek."
"Cucuku, kakek merindukanmu." suara pria tua terdengar di telepon.
"Saya juga merindukan Kakek. Kakek, keluarga ayah ingin mengundang saya makan malam bersama keluarganya. Bagaimana menurut, kakek?"
Ada hening sejenak. "Kakek akan mendukung keputusanmu. Jika kamu ingin datang, maka datanglah."
"Saya tidak akan datang." Nuna membuka laptopnya dan mengetik sesuatu.
"Cucuku tersayang, sebenarnya kakek berharap kamu bisa mengakhiri perang dingin dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah ayahmu."
"Saya tahu, kakek. Baiklah, saya akan datang."
"Bagus. Bagus. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?"
"Saya sedang membuat pengaduan ke Wali Kelas."
"Cucu.. apakah ada masalah?" suara kakek terdengar gugup.
Nuna mengirim pesan ke Wali Kelas dan menutup laptopnya. "Tidak ada. Hanya melaporkan kesalahan nilai ujian."
Jauh di rumah sakit swasta, Citra yang tengah menggendong bayi lucunya tiba - tiba merasakan dingin di punggungnya.
"Oh. Bagaimana hasilnya?"
"Saya mendapat 100 kecuali satu ujian mendapat 99."
"Cucu kakek memang junius!"
"Nona, kami akan tiba dalam sepuluh menit," ucap Tanio.
Nuna memandang pemandangan sekitar dan berkata, "Kakek, saya akan menutup telepon sekarang. Jaga kesehatan, kakek."
"Oke cucu, kamu juga jangan terlalu lelah."
"Baik, kakek."
Klik. Telepon dimatikan.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah tingkat tiga. Setelah gerbang rumah dibuka, Tanio mengemudikan mobil memasuki halaman rumah itu.
Nuna turun dari mobil dan memencet bel pintu.
Pintu dibuka, "Silakan masuk Nona Callista." Pembantu rumah tangga menyambut Nuna.
"Terima kasih, Bibi."
Nuna meletakkan tasnya dan menyapa Guru Piano, "Selamat sore, Guru."
Karina tersenyum memandang murid jeniusnya, "Sore, Nuna. Hari ini kita akan belajar Sonata in C Major, op. 1, no. 2 (II) by Giovanni Benedetto Platti."
"Baik, Guru."
Alunan lagu piano pun menggema di ruang tamu. Tanio memandang kagum pada Nona Muda yang setiap hari semakin bersinar.
Dert. Dert. Panggilan telepon masuk.
Tanio memandang nama pemanggil yang muncul di layar ponsel.
Tuan Ferdinan
Ragu - ragu dia menekan tombol terima dan berjalan keluar. Nuna menangkap pergerakannya dari sudut mata sedetik sebelum fokus kembali menekan tuts piano.
"Selamat sore, Tuan."
"Halo, Tanio. Apakah putriku sudah menerima undangannya?" tanya Ferdinan di ujung telepon.
"Nona telah menerimanya, Tuan."
"Dia pasti datang, kan? Dia harus datang, jika menolak, kamu harus membujuknya!"
Tanio mengingat percakapan Nuna dengan kakeknya. "Nona belum memberitahu saya secara langsung, Tuan."
"Anak itu sama keras kepalanya dengan ibunya."
Alis Tanio mengernyit.
"Nanti kabarin saya, dia harus datang."
Klik. Panggilan diputus sepihak.
Tanio menatap ponselnya kesal, kasihan Nonanya untuk memiliki ayah seperti Ferdinan.
◾◾◾
Setelah menyelesaikan les piano, saat ini Nuna tengah melukis di kanvas di dampingi Guru Tang.
"Ada apa denganmu, nak? Hari ini kamu kelihatan tidak fokus?"
Jari Nuna yang memegang kuas gemetar. "Maaf, Guru. Murid izin istirahat sebentar."
Guru Tang melambaikan tangannya. "Ya, ya, minum dulu."
Tanio menyerahkan botol minum Nonanya, Nuna menerima dan mengumamkan terima kasih.
Setelah meminum beberapa teguk air putih dan memberikan botol minumnya. Nuna menatap lurus pada asisten pribadinya. "Tolong sampaikan pada ayah, saya akan datang."
Botol minum di tangan Tanio hampir jatuh karena kaget Nonanya tiba - tiba berkata seperti itu. Apakah Nona tahu ayahnya menelepon tadi sore?
Melihat ekspresi Tanio, Nuna berkata, "Saya tahu."
Suara ayahnya sangat keras dan dia telah menyelesaikan latihan piano sehingga dia dengan jelas mendengar percakapan mereka. Bahkan kalimat sang ayah,
"Anak itu sama keras kepalanya dengan ibunya."
masih mengganggunya.
"Nona.. "
"Saya akan berlatih sekarang."
Nuna memotong perkataan Tanio dan memulai teknik pernafasan sitali. Dia membuka mulutnya membentuk huruf O dan meletakkan lidahnya di belakang gigi bawah yang membuat ekspresinya seperti sedang menyeruput mie. Menarik nafas, Nuna kemudian menutup mulutnya dan membuang nafasnya melalui hidung.
Tanio mengamati Nonanya melakukan hal itu sampai tiga kali. Nona pasti marah!
Dia sudah hafal dengan kebiasaan Nonanya yang menarik nafas seperti itu di saat - saat tertentu, salah satunya adalah saat Nonanya sedang marah.
Nuna berhasil menenangkan dirinya. Dia meraih kuas dan meneruskan lukisannya.
Melirik Tanio yang masih kaku di sebelahnya, Nuna mengingatkan lagi, "Tolong sampaikan pada ayah, saya akan datang."
Tanio menatap Nonanya.
"Sekarang," ucap Nuna.
Tanio buru - buru keluar dan menelepon Ferdinan.
Nuna memandang punggung Tanio yang menghilang di balik pintu. Dia lalu merasakan tatapan dari Guru Lukisnya.
"Apakah ada yang salah dengan lukisan saya, Guru?"
"Tidak, kerja bagus hari ini."
"Terima kasih, Guru."
Guru Tang pura - pura batuk dan menepuk puncak kepala muridnya. "Kelas hari ini selesai. Kita lanjut lusa. Kamu bisa pulang istirahat sekarang."
Pupil Nuna bergetar, dia segera berdiri dan membungkuk. "Maafkan murid ini, Guru. Murid tidak fokus dan mengabaikan pelajaran Guru."
"Tidak, tidak." Guru Tang dengan panik meraih bahu Nuna dan menegakkan tubuhnya. "Uhuk, Guru lupa ada janji makan malam dengan kolega. Jadi kamu bisa pulang sekarang."
Nuna menatap curiga namun Guru Tang hanya memalingkan wajahnya dan mengambil tas Nuna yang ada di sofa.
Tanio yang baru masuk ke ruang tamu tiba - tiba menerima uluran tas dari Guru Tang.
"Ini.. "
Guru Tang terbatuk lagi. "Saya ada janji makan malam dengan kolega, jadi kelas berakhir lebih awal."
Tanio mengangguk mengerti lalu menatap Nonanya. "Mari pulang, Nona."
"Iya." Nuna lalu memandang Guru Tang. "Terima kasih atas pelajaran hari ini, Guru. Murid izin pulang sekarang."
Guru Tang tersenyum. "Iya, Tanio perhatikan saat mengemudi. Kalian hati - hati di jalan."
"Siap, Tuan Tang," jawab Tanio tegas.
"Selamat malam, Guru."
"Malam."
◾◾◾
Cerita sampingan
Nuna : (melakukan teknik pernafasan sitali)
Tanio : (mengambil buku dan mencatat) WASPADA!!!
Gerakan menyeruput mie :
3x Nona sangat marah
2x Nona marah medium
1x Nona sedikit marah
Nuna : Apa yang kamu tulis? (memandang curiga)
Tanio : Hehe (kabur)
Nuna turun dari mobil dan membuka pintu rumah. Sesosok tubuh kecil tiba - tiba berlari memeluk pahanya.
"Kakak!" suara manis dari bayi berumur lima tahun menyambutnya.
Nuna mengangkat bayi itu dan terhuyung.
"Hati - hati," Tanio bergegas menahan bahu Nonanya.
"Terima kasih," ucap Nuna setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Dia lalu menatap bayi di pelukannya dan memberi ciuman di pipi bulat itu. "Kenapa kamu bertambah berat?"
Bayi cemberut tidak setuju. "Nino enggak berat, Nino masih tumbuh, huh."
Nuna berjalan ke ruang makan dengan menggendong Nino. "Iya, Nino kita masih proses pertumbuhan. Nino, udah makan?"
Nino menggeleng dan menggeliat ingin turun. "Ayo makan bareng, kak!"
"Oke, kamu duduk sini." Nuna meletakan adiknya di sofa. "Kakak mandi, ganti baju dulu." Pandangannya lalu beralih ke asisten pribadinya. "Tanio, tolong jaga Nino."
"Siap, Nona."
Setelah mandi dan berganti dengan kaos longgar serta celana panjang, Nuna menghampiri adiknya, dia juga menawarkan Tanio untuk tinggal makan malam bersama namun Tanio menolak dan berpamitan pulang. Sehingga di meja makan yang luas ini hanya ada Nuna dan Nino yang menyantap makan malam.
Nuna tengah memotong steak saat merasakan dirinya ditatap seseorang. Dia mengangkat pandangannya dan menemukan bayi itu mengamatinya.
"Masih lapar?"
Nino menggeleng.
"Nino ingin belajar!"
"Belajar?"
"Biar bisa kayag kakak." Dengan susah payah Nino turun dari kursinya dan berlari kecil menuju meja belajar yang digunakan Nuna saat les privat.
"Jangan lari," hati Nuna menegang. Tanpa memperhatikan table manner yang biasa dia terapkan, dia berlari memeluk Nino. "Kenapa buru - buru, hm?"
Mengedipkan mata bingung, Nino menjawab, "Nino ingin belajar." Dia lalu melepaskan diri dari pelukan Nuna dan meraih sebuah buku yang lumayan tebal. Diletakkannya buku itu di atas kepala. Sebelum berhasil melangkah, badan kecilnya bergoyang dan dia jatuh di pelukan Nuna.
Nuna memeluk tubuh Nino erat dan jarinya sedikit gemetar. Dia mengerti dengan apa yang dimaksud oleh bayi itu dan berkata dengan lembut, "Iya nanti, tunggu Nino tumbuh lebih tinggi lagi, baru nanti belajar. Nanti kakak temani Nino waktu belajar."
Kedua mata Nino berbinar menatap saudarinya. "Janji?" Dia mengulurkan jari kelingkingnya.
"Janji." Nuna mengaitkan jari kelingkingnya dan mencap segel perjanjian di jari jempol.
Jam menunjukkan pukul 8, seharusnya guru les privat nya hadir di sini, tetapi gurunya mengirim pesan menjelaskan bahwa akan datang terlambat karena banjir di beberapa ruas jalan yang dilewati.
"Sudah waktunya tidur, ayo kakak antar ke kamar."
Nino menggeleng. "Nino belum ngantuk."
"Kakak lanjutin cerita yang kemarin."
"Oke." Nino memeluk leher Nuna.
Keduanya lalu masuk ke kamar tidur Nino.
"Selamat malam, Nona," sapa Vian, petugas yang berjaga di kamar Nino untuk malam ini.
"Malam."
"Kakak, Nino berani tidur sendiri."
Nuna mengusap kepala adiknya dengan lembut, "Iya, Nino berani tidur sendiri, tunggu Nino tumbuh lebih tinggi ya."
Nino cemberut namun tidak menentang perkataan sang kakak.
"Anak pintar." Meletakkan Nino di tempat tidur, Nina mengambil tempat di sampingnya dan memulai bercerita. Tidak butuh waktu lama untuk bayi kecil berusia lima tahu tertidur lelap.
Sebelum keluar kamar, Nuna menatap Vian dan berpesan, "Jaga dia."
"Tentu, Nona."
Nuna meraih ponselnya dan menelepon asisten pribadinya.
"Selamat malam, Nona."
"Malam, Tanio. Tolong atur penjaga seperti peraturan awal. Penjaga harus ada dalam radius setengah meter di sekitar Nino."
Hening.
"Halo?"
"Baik, Nona."
"Bagus. Terima kasih."
"Apakah ada masalah tadi Nona?"
"Tidak ada, saya tutup telepon sekarang."
Klik. Panggilan dimatikan.
◾◾◾
Keesokan harinya, Nuna dipanggil oleh Wali Kelas ke ruangannya.
"Saya sudah membaca email yang kamu kirimkan, nilai telah diperbaiki," ucap Hendra sambil menunjukkan daftar ranking umum. "Kamu murid yang pandai, Guru Fisika dan Guru Kimia menghubungi saya untuk meminta kamu berpartisipasi dalam Olimpiade bulan depan."
"Terima kasih, Guru. Apakah wajib menginap sebelum lomba?"
"Olimpiade kali ini diselenggarakan di luar kota. Sekolah akan mengakomodasi biaya perjalanan selama menginap empat hari di sana."
"Mohon maaf, Guru. Saya tidak akan berpartisipasi."
Alis Hendra berkerut tak setuju. "Kenapa? Kamu murid berbakat, jangan sia - siakan bakat kamu, nak."
"Saya punya bayi."
Bayi??! Muridnya baru berusia 16 tahun! Namun tatapan polosnya mengatakan kejujuran.
"Bayi?"
"Ya. Lima tahun."
"Keponakan?"
Nuna menggeleng. "Adik kandung saya, Guru."
Ekspresi Hendra menghalus. "Oh, titipkan saja ke saudara yang lain. Olimpiade ini hanya setahun sekali."
"Saya tidak punya kerabat. Maaf, Guru. Saya benar - benar tidak bisa berpartisipasi," ucap Nuna dengan tegas.
Hendra menghela nafas menyesal. "Sangat disayangkan. Baiklah, kamu boleh kembali ke kelas."
"Terima kasih, Guru."
"Tuh, orangnya udah keluar." Panji, perwakilan tim Olimpiade Fisika mencolek Yudha, perwakilan tim Olimpiade Kimia.
Nuna mengabaikan mereka.
"Tunggu," ucap Yudha menghalangi jalan.
"Ada keperluan dengan saya?" Nuna memandang ragu remaja laki - laki di depannya.
"Lo beneran ikut Olimpiade?" Sebelum Nuna menjawab, Panji merespon cepat. "Dengan modal nilai 100 doang lo bisa ikut Olimpiade? Soal Olimpiade beda ama soal anak kelas sebelas,girl. Jangan bikin malu sekolah lah."
Nuna hendak membalas tuduhan sepihak, namun Yudha memotong dengan tergesa - gesa. "Jangan dengerin dia. Gue- maksud gue, kami di tim Olimpiade dengan senang hati menerima lo sebagai perwakilan tambahan di tim. Tetapi dengan syarat, lo wajib hadir di pelatihan sepulang sekolah setiap hari."
"Yudha!"
Nuna tertegun. Sepulang sekolah? Setiap hari? Untungnya dia menolak.
"Gimana?" tanya Yudha mengabaikan keberatan Panji. "Kami sudah mempertimbangkan hal ini lama. Sebenarnya kami enggak yakin dengan kemampuan lo tapi kalau lo-"
"Saya tidak berpatisipasi."
"Hah?" Yudha terkejut. Panji tersenyum puas. Yudha bergegas maju. "Maksud lo apa?"
"Tolong jaga jarak." Nuna mengambil dua langkah mundur dan berkata dengan tegas. "Saya tidak berpatisipasi."
"Baguslah lo sadar diri." Panji mencemooh.
"Ini.. oke itu keputusan lo. Tim kami udah ngasih kesempatan hari ini dan lo enggak ambil. Jadi jangan coba masuk tim Olimpiade lewat jalur belakang lagi," ancam Yudha kemudian pergi dengan Panji mengekor di belakang.
Jalur belakang? Mengapa majas metafora remaja sekarang beraneka ragam? Nuna menatap mereka berdua yang menghilang di tikungan sebelum berjalan ke kelasnya.
Elang mondar - mandir di dalam kelas. Sebagai Ketua Kelas dia tidak terima anggota kelasnya dihina seperti ini!
"Nuna!" Elang bergegas menghampiri Nuna yang baru saja duduk di bangkunya. "Lo enggak papa, kan?"
Nuna tidak menjawab dan hanya menampilkan ekspresi bingung di wajahnya.
"Ah itu.. anak - anak pada heboh katanya lo masuk tim Olimpiade lewat jalur belakang."
"Saya tidak berpartisipasi." Nuna mulai lelah mengulang kalimat ini.
"Bagus deh lo nolak." Joshua menimpali. "Cyrcle mereka itu buruk. Ya emang sih, mewakili nama sekolah, pintar tapi tanpa attitude is big NO."
Bimo yang berdiri di depan meja Nuna, menatap horor pada Joshua, "Sejak kapan lo bisa bahasa Inggris?"
Joshua terkekeh dan melempar bola basket di tangannya dengan keras ke arah Bimo.
Jantung Bimo melompat dan dia segera menangkap bola basket. Bergegas dia berjalan menjauhi meja Nuna. Kemarin dia iseng memfoto sapu tangan yang dibuang oleh Nuna dan membagikannya ke grup tim basket.
...Grup Chat...
...LAKIK!! 💪...
^^^Bimo : (mengirim foto sapu tangan)^^^
Joshua : NGAPAIN LO FOTO WKWKWK
^^^Bimo : Gegara lo nih^^^
Kevin : Kenapa tuh?
Ray : (2)
Hans : (3)
Joshua : Bima kagak bisa nangkep bola, jadi bolanya ngotorin meja Tuan Putri Nuna 🤣🤣🤣
Leo : !!!
Jaka : !!!
Dian : !!!
Sean : Bentar deh, motifnya kayag punya mama gue
^^^Bimo : ???^^^
Sean : (mengirim foto) Iya kan?
Joshua : Wah beli dimana tuh, bisa kembaran?
Sean : Di Guli
Leo : Whoa, parah lo Bim!
^^^Bimo : Kenapa woy?^^^
Joshua : Firasat gue enggak enak, nih
Kevin : Eh iya nyokap beli juga kemarin, persis, 7 juta apa ya
Dian : Hayo lo, Bim
^^^Bima : ...^^^
^^^Bimo : Joshua ******^^^
...Bimo kicked Joshua from Grup Lakik!! 💪...
Mengingat isi grup chat kemarin, Bimo membuang bola basket di tangannya dan mengeluarkan kotak kecil dari tasnya. Dia dengan cepat meletakan kotak kecil itu di depan Nuna dan kembali menjauh.
Nuna membaca logo di kotak kecil, "Guli?"
"Buat ganti sapu tangan lo kemarin," ucap Bimo. Setelah mengetahui harganya kemarin, dia merasa bersalah. Jadi di malam hari dia pergi ke mall, merelakan sebagian uang saku bulan ini untuk mengganti sapu tangan Nuna dengan yang sama persis. Bimo menatap pahit pada Joshua.
"Sebenarnya tidak perlu," Nuna menolak. Dia masih memiliki banyak sapu tangan di ruang gantinya.
"Enggak, gue udah beli, lo simpan."
Nuna mengedipkan matanya perlahan dan memandang Bimo ragu - ragu, "Terima kasih."
"Sama - sama."
Nuna masih merasa bahwa dia tidak bisa menerima hadiah secara cuma - cuma. Dia mengingat ajaran kakeknya untuk tidak menerima pemberian orang lain dengan santai, karena bisa saja ada tujuan lain yang tersembunyi.
Misalnya Paman yang merupakan saudara ayahnya yang tiba - tiba memberinya tas seharga 20 juta, ternyata setelah dia menerima tas itu, Paman meminta bantuannya untuk menjual lima persen saham perusahaan kakek di pihak ibu yang ada di tangan adiknya Nuno. Tentu saja dia menolak. Dia menggandakan tas itu dan mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak akan pernah menerima hadiah dalam bentuk apapun saat mengembalikan ke Pamannya.
Nuna mengambil konsol game yang masih ada di dalam tasnya. Awalnya dia berniat memberikan hadiah kepada adiknya, namun Tanio mengatakan bahwa Nino masih terlalu dini untuk memainkan game ini.
"Kalau begitu, ini buat kamu."
Bimo memandang terkejut pada konsol game yang ada di depannya. Dengan hati - hati dia mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
"Gilak! Ini kan merk Turtle Switch yang terbaru!" Joshua berseru dan dengan cepat merebut konsol game dari tangan Nuna.
Bimo mengerutkan bibirnya. "Punya gue, sini in!"
Joshua mengabaikan Bimo dan menyalakan game konsol itu. Dia lalu bermain sebentar.
"Ya sesuai deskripsi spesifikasinya di web lah, performanya bagus." Joshua memberikan komentar, lalu melempar game konsol itu ke Bimo.
Jantung Bimo berdenyut nyeri ketika hampir tidak berhasil menangkapnya. "Joshua! Lama - lama gue ama lo bisa sakit jantung!"
Joshua mencibir.
Bimo mendengus lalu mengamati konsol game di telapak tangannya. Ah ah akhirnya! Setelah kehabisan karena hanya tersedia 100 unit, dia punya satu di tangannya!!
"Thanks Nuna. Ini udah di tangan gue, jadi jangan diminta balik ya." Bimo tersenyum lebar sambil menatap was - was Nuna.
"Iya."
Elang yang sedari tadi hanya menonton akhirnya mengeluarkan suara, "Syukurlah kalau lo enggak papa. Jangan ragu buat ngomong ke kita kalau lo diganggu."
"Iya bener! Gue siap maju membela lo!" Bimo mengangguk setuju.
Joshua melirik konsol game yang masih dipeluk Bimo lalu melingkarkan lengannya di bahu Bimo. "Limabelas juta ternyata cukup buat membeli lo. Gue kasih 30 juta, jadi babu gue sebulan gimana?"
"Mau berantem sekarang hah?" Bimo menepis tangan di bahunya.
"Tsk. Canda bro." Joshua menatap Nuna. "Two in ya, gue ama Bimo satu paket. Walau kadang kita ngerasa beda dimensi ama lo, tapi kita masih sama - sama di satu ruangan XI MIA 1. Jadi kita masih teman sekelas."
Ada jeda sejenak sebelum Nuna menolak. "Terima kasih. Saya bisa mengatasi masalah saya sendiri."
Bimo dan Elang bergegas menghimpit tubuh Joshua. Tangan Bimo segera menutup mulut Joshua dengan erat. Mereka bertiga lalu meninggalkan ruang kelas, mencegah lidah beracun Joshua berkicau lagi.
◾◾◾
Nuna baru sampai di rumah pukul 5 sore. Tanio telah mengosongkan jadwalnya hari ini untuk menghadiri undangan makan malam di keluarga ayahnya. Tanpa terburu - buru dia mulai bersiap - siap.
Setelah mandi dan memakai handuk kimono, Nuna keluar dari kamar mandi dan di sambut oleh dua wanita yang telah berdiri di walk in closet. Mereka adalah Fashion Stylist dan Penata Rias yang dia rekrut. Mereka selalu siap sedia setiap saat dibutuhkan.
"Nona, saya telah menyiapkan tiga gaun yang sesuai dengan acara malam ini. Manakah yang Nona pilih?" Catlin, Fashion Stylist memperlihatkan ketiga gaun yang digantung dengan rapi.
Nuna mengamati mereka. Gaun pertama berjenis off shoulder berwarna ruby yang memiliki panjang selutut. Gaun kedua berwarna canary yang setinggi tubuhnya dengan desain backless. Gaun ketiga berbahan sifon berwarna peach sepanjang gaun kedua dengan perbedaan terdapat lengan pendek di kedua sisinya.
"Saya memilih ini." Nuna menunjuk gaun ketiga.
"Baik, Nona." Catlin kemudian membantunya berpakaian.
"Sesuai permintaan Nona, saya tidak akan menerapkan bedak," ucap Adora, Penata Rias. "Kulit Nona sangat sehat dan bercahaya." Adora memuji wajah Nonanya.
Butuh waktu satu jam untuk Nuna bisa berdiri menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis di cermin memiliki tinggi 165 cm setelah memakai heels, tingginya bertambah 5 cm. Gaun sifon membuat penampilannya elegan. Make up tipis juga sesuai dengan usianya, tidak berlebihan.
Nuna mengambil anting - anting dan memasangnya di telinga, dia juga memakai gelang dan jam tangan.
"Perfect." Catlin memandang Nonanya kagum.
"Benar, benar." Adora menimpali.
"Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini." Nuna mengambil tas berwarna putih.
Tanio mengamati pakaian yang dikenakan oleh Nonanya. "Nona, maafkan saya, bukankah undangan Tuan Ferdinan adalah makan malam biasa?" Dia sedikit penasaran menemukan Nonanya berdandan seperti akan ke pesta semi formal.
Nuna memperbaiki letak jam tangan ke posisi yang pas. "Nio, saya tidak pergi untuk makan malam. Saya pergi ke medan perang."
Melihat wajah tanpa ekspresi Nonanya, Tanio tidak bisa menahan menggigil.
◾◾◾
*Cerita Sampingan
Adora : Nona sangat cantik! Dia memiliki wajah kecil yang bebas dari jerawat tanpa terlihat pori - porinya. Bibirnya bahkan merah muda alami!!
Catlin : Kamu benar. Proporsi tubuhnya juga bagus. Lengannya kecil, kakinya lebih panjang dari punggungnya, dan bahu itu juga! Padahal Nona tergolong tinggi dengan 165 cm, tetapi dia terlihat imut!!
Tanio : Saya berpikir kalian adalah penggemar fanatik Nona.
Adora & Catlin : (mengangguk setuju)
Tanio : (mengambil buku catatan) WASPADA!!!
Lampu Kuning! Dua bahaya berada sangat dekat dengan Nona*.
Nuna memandang vila tingkat dua di depannya tanpa ada rasa nostalgia. Sudah lama sekali dia datang ke sini sehingga bahkan dia hampir tidak memiliki kenangan yang patut diingat.
Nuna memasuki vila dan menemukan sekelompok orang tengah duduk melingkari meja makan. Di sana ada ayah kandungnya bersama istri dan dua anaknya, ada dua paman dan dua bibi serta tiga sepupunya.
Ferdinan yang pertama menyadari kedatangannya. "Sayang, kamu akhirnya sampai. Ayo duduk di dekat ayah."
"Selamat malam, Ayah." Nuna berjalan ke ruang makan dan menyapa, "Selamat malam, Paman, Bibi, dan Sepupu."
Ketiga wajah yang tidak disapa oleh Nuna menjadi jelek. Mereka adalah Sinta, istri Ferdinan yang menikah lima tahun lalu, serta Dion dan Indah, kedua anak Sinta dari pernikahan pertama.
Indah mengamati gaun yang dipakai oleh Nuna dan dia terbakar cemburu. Minggu lalu dia melihat gaun itu di etalase dan langsung jatuh cinta, dia segera meminta ibunya untuk membelikan gaun itu sebelum sold out. Namun permintaannya ditolak karena dia baru saja membeli tiga pakaian baru senilai 25 juta. Ibunya merasa dia terlalu boros sehingga mulai membatasi pengeluarannya.
"Selamat malam, kak," Menahan masam, Indah berinisiatif menyapa.
Nuna menatap gadis yang memakai gaun polos berwarna putih yang duduk di posisi depan ayahnya. "Saya hanya mempunyai satu adik dan dia laki - laki."
Senyum Indah menghilang. Matanya berkaca - kaca menatap Ferdinan dengan keluhan.
Ferdinan mengerutkan bibirnya, "Nuna, jangan bersikap kasar."
Nuna mengabaikan ayahnya dan mengamati meja makan. Sebagian besar piring kosong, dan sebagian lainnya hanya beberapa yang tersisa. "Sepertinya ayah sudah makan malam?"
Indah menatap panik, "Saudari, maaf. Indah lapar jadi kami makan dulu, tapi kami baru saja mulai kok."
Orang buta percaya akan omong kosongnya.
"Saya bukan saudarimu." Nuna mengingatkan lagi.
"Nuna!" Ferdian berteriak kesal.
Nuna meluruskan pandangan, menatap ayahnya. "Saya sudah makan malam. Katakan saja keperluan ayah, apakah tentang saham lagi?"
"Ayo, makan malam dulu." Ferdinan meraih lengan putrinya berusaha mencairkan suasana, namun Nuna mengelak.
"Katakan saja sekarang. Tidak perlu membuang waktu."
Ferdian menghela nafas panjang. "Dua sepupumu, Bagas dan Bagus telah menyelesaikan kuliahnya. Tolong bantu mereka bekerja di perusahaan kakek."
Nuna merasakan dirinya ditatap dengan penuh harap oleh kedua bersaudara itu. "Mengapa tidak bekerja di perusahaan ayah saja?"
"Saudari, perusahaan Paman tidak sesuai dengan jurusan kami. Justru jurusan kami sesuai dengan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan kakek, ya kan Gas?" Bagus menyenggol lengan saudaranya meminta dukungan.
Bagas mengangguk. "Benar saudari. Tolong bantu kami. Kami akan bekerja dengan sungguh - sungguh."
"Saya tidak bisa membantu."
Ferdinan mengerutkan kening.
"Ayah, saya tidak pernah berurusan dengan perusahaan kakek. Jika kalian tetap ingin bekerja di sana, silakan hubungi kakek secara pribadi." Nuna dengan tegas menolak.
"Tapi kamu cucu tersayangnya. Saudari tolong bantu kami sekali saja." Bagas bersikukuh..
Nuna menggeleng. "Saya benar - benar tidak bisa, urusan kami telah selesai. Saya akan pulang sekarang. Selamat malam."
Ferdinan melihat punggung putrinya yang semakin menjauh. "Nuna, berhenti! Ayah bilang berhenti kamu!"
Namun Nuna mengabaikan dan tetap berjalan keluar.
Tanio melihat Nonanya keluar dengan cepat. Dia tahu pasti tidak ada hal baik yang terjadi ketika datang ke tempat ini. Tanpa bersuara, Tanio mengantarkan Nonanya kembali ke rumah.
◾◾◾
Nuna yang telah berganti ke piyama merah muda menatap langit - langit kamarnya yang diterangi oleh lampu proyektor galaksi. Sambil mengenang kejadian tadi di benaknya.
Sebenarnya dari kecil, dia tidak pernah dekat dengan kedua orangtuanya. Setelah berumur lima tahun, dia dibesarkan oleh kakeknya untuk di didik dengan ketat sebagai penerus perusahaan Pangestu kelak.
Kakek dan nenek dari pihak ibu hanya memiliki satu anak, yaitu ibu kandungnya. Namun sang ibu mempunyai karir sendiri sehingga tidak tertarik dengan bisnis keluarga. Sang ayah juga memiliki perusahaan sendiri di bawah keluarganya sehingga kakeknya memfokuskan diri pada cucu perempuan yang memiliki IQ tinggi.
Nuna kecil sangat patuh mengikuti jadwal padat yang di susun sesuai pengaturan keluarga Pangestu yang turun - temurun di wariskan. Sehingga dia tidak mempunyai waktu untuk bersenang - senang seperti gadis kecil lainnya.
Saat gadis lain bermain boneka di usia SD, dia akan belajar matematika jenjang SMP. Ketika teman yang lainnya pergi belanja sepulang sekolah, dia akan pergi ke berbagai tempat les. Tuntutan pewaris Keluarga Pangestu sangat tinggi sehingga tidak jarang dia sering mimisan pada tahap awal pelatihan.
Kepribadian Nuna pun juga semakin menyendiri dan hanya berbicara ketika diperlukan. Kemudian di umurnya yang ke-11 tahun, ibunya meninggal dunia saat melahirkan, meninggalkan pangsit kecil berjenis kelamin laki - laki.
Nuna awalnya acuh tak acuh dengan saudara kandungnya, baginya itu hanya menambah satu orang lagi dalam keluarga. Tidak ada arti khusus. Hingga ayahnya menikah lagi dan tinggal bersama keluarga barunya dan kakek memberitahunya bahwa bayi kecil ini memiliki penyakit keturunan dari Keluarga Pangestu.
Itulah saat pertama kalinya Nuna merasakan ketidaknyamanan di dadanya seolah jantungnya sakit. Dia memandang sosok mungil dalam gendongan kakek. Bayi ini sangat rapuh. Dia memutuskan bahwa dia akan melindungi adiknya dengan baik.
Klik. Pintu kamar dibuka.
"Kakak?" bayi dalam piyama kartun itu berjalan dan naik ke tempat tidur kakaknya. "Nino mau tidur di sini."
Nino tengah bermain di sofa saat melihat kakaknya pulang. Dia ingin menyapa, namun berhenti ketika melihat ekspresi kakaknya. Walaupun hampir setiap hari ekspresinya sama, Nino dapat menemukan perbedaan. Kakaknya sedang sedih dan dia harus menghiburnya!
"Nona, maaf. Tuan Nino bersikeras ingin ke kamar Nona." Vian berdiri di depan pintu kamar menunggu instruksi Nonanya.
"Ya, kamu bisa pergi. Nino akan tidur dengan saya malam ini."
"Baik, Nona. Saya permisi. Selamat malam." Vian pun menutup pintu.
Nino memutar pantatnya, mencari posisi nyaman. Dengan tangannya yang gemuk dia memeluk perut rata Nuna. "Kakak, Nino ngantuk. Kakak tidur juga."
Nafas teratur Nino menerpa lehernya. Nuna mengusap pipi bulat adiknya. Pikirannya berangsur - angsur damai dan dia terlelap dengan cepat sambil memeluk pangsit kecil.
◾◾◾
Hari - hari berikutnya berjalan seperti biasa. Di sore hari Nuna menghadiri kelas bela diri yang baru berjalan tiga bulan. Sebelumnya diia telah mempelajari taekwondo dan sekarang dia menambah ilmunya ke Muay Thai.
Nuna mengganti seragamnya dengan kemeja hitam lengan pendek dan celana legging hitam.
"Halo, Nuna." Andre menyapa saat melihat muridnya sibuk memakai sarung tinju.
"Halo, Couch."
"Sudah pemanasan kan?"
Nuna mengangguk.
"Oke kita mulai dengan muay thai untuk mengatasi Neck Clinch. Neck Clinch ini sangat berbahaya karena menempatkan lawan pada posisi dominan."
Andre memulai memberi contoh dan Nuna memegang kedua sisi kepala Couch nya. "Seperti ini."
Dia menjelaskan, "Untuk melepaskan diri dari pegangan kuat lawan yang membatasi gerak leher, kita harus dengan cepat menyelipkan satu tangan ke dalam celah ini." Andre mengangkat tangan kirinya ke celah kedua tangan Nuna.
"Tangan yang lain menarik siku lawan ke bawah." Tangan kanan Andre menarik siku kiri Nuna.
"Jadi pukul dagu lawan dengan siku kiri kita, tarik siku kiri lawan dengan tangan kanan. Kaki maju ke depan. Lalu berputar ke samping." Andre telah berhasil melepaskan diri dari pegangan Nuna.
"Selanjutnya tangan kiri menekan tengkuk lawan dan tangan kanan menarik siku kiri lawan ke belakang. Seperti ini."
Posisi Nuna menjadi membungkuk dengan tangan kanan Couch di tengkuknya dan tangan kirinya yang tertarik ke belakang.
"Lalu kita angkat lutut untuk memukul wajah lawan." Andre mendemonstrasikan dengan mengangkat lutut kanannya ke arah wajah Nuna beberapa kali.
Andre melepaskan Nuna dan mengambil jarak. "Mengerti?"
Nuna menegakkan tubuhnya dan mengangguk yakin.. "Mengerti, Couch."
"Oke mulai." Andre memegang ke dua sisi kepala Nuna.
Nuna pun mengikuti gerakan yang diajarkan. Dengan cepat menyelipkan tangan kanannya dan memukul dagu Andre dengan siku kanannya. Bersamaan dengan itu menarik siku Andre ke bawah dan dia memutar tubuhnya ke samping. Tangan kanan nya menekan tengkuk Andre dan tangan kirinya menarik siku Andre ke belakang. Dia kemudian mengangkat lututnya ke wajah Andre beberapa kali.
Andre tercengang saat dirinya dengan cepat di posisi membungkuk. Murid ini memiliki daya ingat yang bagus! Biasanya dia perlu mengulang tiga hingga lima kali dalam mengajari muridnya yang lain.
Tanio yang mengawasi di samping tidak bisa menahan perasaan kagum pada Nonanya. Seingatnya dulu saat dia berlatih, dia perlu meminta Couch dua kali pengulangan sebelum benar - benar memahami.
Setelah mengambil jarak, Andre memuji, "Luar biasa. Kamu hebat, nak."
"Terima kasih, Couch."
"Oke kita ulang sekali lagi sebelum ke teknik berikutnya."
"Baik, Couch."
◾◾◾
Setelah olahraga, tubuh Nuna berkeringat. Dia ingin segera mandi untuk menyegarkan diri. Tetapi langkahnya terhenti ketika menemukan sepupu kembarnya duduk di sofa ruang tamu.
"Malam, Saudari," sapa mereka.
Nuna mengabaikan salam mereka. "Saya telah mengatakannya dengan jelas malam itu. Saya tidak bisa membantu. Jadi silakan kalian pulang, kami tidak menyambut tamu."
"Saudari, tolong pertimbangkan lagi." Bagas berkata dengan panik.
"Apa susahnya membantu sepupu sendiri, Saudari? Kita keluarga." Bagus berusaha membujuk.
Nuna menarik nafas dan menerapkan teknik pernafasan sitali. Tanio di sampingnya menghitung berapa banyak Nonanya mengambil nafas. Oh. Dua kali!!! Kemarahan Nona mencapai level medium! Dia memandang dua orang di sofa dengan tatapan kesal.
"Baik. Saya akan menghubungi kakek terkait hal ini. Kalian bisa pergi sekarang."
Bagas dan Bagus tersenyum lebar, "Terima kasih, Saudari."
Nuna hanya diam dan berjalan memasuki kamar tidurnya.
◾◾◾
Di malam hari. Ferdinan dan keluarga besarnya tengah berkumpul di ruang keluarga.
"Paman Ferdi, Nuna telah berjanji kepada kami untuk memberitahu kakek," ucap Bagas yang tersenyum bangga.
"Benar saja, Nuna masih menganggap kami saudaranya." Bagus menambahkan dan tertawa.
"Bagus, bagus," balas Ferdinan sambil memandang puas kepada keponakannya.
"Kalian berdua memang bisa diandalkan." Tirta, Paman mereka ikut memuji.
Indah yang masih kesal dengan makan malam dimana Nuna tampil sangat menawan tiba - tiba mengajukan pertanyaan, "Di bagian apa kak Bagas dan kak Bagus di tempatkan?"
Suasana menjadi hening seketika.
"Uhuk. Kami masih menunggu kabar."
Ding. Ding.
"Oh, Nuna menelepon!" Bagas berseru dan menyalakan loud speaker.
"Halo, Saudari."
"Kakek telah menyetujui kalian bekerja di perusahaan. Kalian bisa datang besok sebelum jam delapan."
"Posisi apa yang diberikan?" Indah tiba - tiba menyela.
Nuna di ujung telepon akhirnya tahu bahwa panggilannya didengar oleh satu keluarga besar. "Tentu saja staf biasa."
"Apa?!" Bagas berteriak kaget. "Bukan manager atau supervisor?"
"Jika tidak ingin datang, makan jangan lakukan."
Klik. Panggilan ditutup.
"Anak itu!" Ferdinan menepuk pahanya dengan keras. "Mengapa sangat keras kepala."
Indah menatap wajah ayah tirinya yang murka dan tersenyum puas. Hubungan ayah dan anak ini pasti akan semakin jauh dan sulit diperbaiki. Buat apa punya gaun mewah maupun uang berlimpah kalau dia kehilangan kasih sayang orangtuanya? Hmph! Rasa kesal Indah akhirnya sedikit berkurang.
"Bagaimana ini, Pa?" Bagas memandang ayahnya- Petra yang duduk berdampingan dengan ibunya, Rosa. Keduanya terlihat berumur di 30-an di umur aslinya yang hampir menginjak kepala lima.
Rosa mengerutkan kening namun hanya diam dan membiarkan suaminya yang memutuskan.
"Tidak papa, kalian bisa meniti karir dari bawah. Setidaknya pintu perusahaan Pangestu sudah terbuka sekarang," ucap Petra dengan tenang.
Tirta menambahkan. "Ya, ya betul. Kalian harus bekerja dengan keras untuk bisa menjadi Direktur kelak."
Setelah mendengar perkataan Pamannya, kekesalan saudara kembar itu menguap.
Mereka berbincang sebentar sebelum beristirahat di kamar masing - masing.
Indah menarik tangan kakaknya, Dion ke halaman belakang.
"Kakak! Lihat mereka, mereka berhasil memasuki pintu Pangestu. Bagaimana dengan kita? Apakah kakak akan diam saja?" Indah memarahi saudaranya.
Dion yang saat ini masih di bangku kuliah hanya menatap malas adiknya. "Mereka sepupu, itu wajar."
"Tapi kita saudara tirinya, kak!"
"Ya, kita 'hanya' saudara tiri. Tanpa ada hubungan darah, kita tidak punya hak untuk masuk ke Keluarga Pangestu."
"Tapi.. " Indah menggigit bibirnya. Memandang benci kakak laki - lakinya yang tidak sejalan dengannya.
"Ada lagi?"
"Tsk." Indah menginjak kaki Dion dengan keras dan masuk ke rumah.
Dion hanya menggeleng pasrah dan mengikutinya dari belakang.
Setelah keduanya menghilang, sesosok orang muncul dari balik tembok. Dia adalah Della, anak satu - satunya dari Tirta dan istrinya Lilian. Sebagai anak perempuan di keluarga yang mempunyai stigma Patriarki dimana anak laki - laki dipandang lebih tinggi dari anak perempuan, Della tidak terlalu diperhatikan oleh orangtuanya. Dia dapat melihat dengan jelas, bahwa orangtuanya lebih menyayangi kedua sepupu kembarnya
Della yang merasa diabaikan sejak kecil, memutuskan untuk menerima kondisi ini.
Della mengagumi sepupunya Nuna yang sangat kuat dan berpendirian teguh. Ambisi keluarga ini terhadap aset Keluarga Pangestu sudah menjadi rahasia umum, jadi dia diam - diam akan mengirimkan informasi kepada Nuna.
Termasuk hari ini, dia telah mengirimkan pesan kepada Nuna berisi rekaman audio percakapan di ruang keluarga tadi dan video percakapan Indah bersama Dion di taman belakang.
Ding. Sebuah pesan masuk.
Nuna : Terima kasih. Jangan kirim hal seperti ini lagi. Urus urusanmu sendiri.
Della menekuk bibirnya. Dia segera membalas pesan.
Della : Saya ingin melakukan ini, Saudari.
!!! Anda telah diblokir !!!
Della tertawa menatap layar ponselnya. Ah dia harus mengganti nomor lagi.
◾◾◾
Cerita sampingan
*Kakek : Ututu cucu kakek yang lucu.. ayo panggil kakek. Ka - kek
Nino usia dua tahun : Ca ca he he
Kakek : Ayo sayang panggil Kakek
Nuna : (mengamati dalam diam)
Nino usia dua tahun : (berjalan menghampiri Nuna dan menggenggam tangannya) Kakak
Kakek : !!!
Nuna : Panggil lagi
Nino usia dua tahun : Kakak!
Nuna : (mengusap sayang kepala Nino) Anak pintar.. (menatap kakek untuk pamer)
Kakek : Nino pasti typo, ya kan sayang? Yang dimaksud pasti Kakek
Nino usia dua tahun : Kakak*!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!