Jodoh Dadakan

Jodoh Dadakan

Terlambat

“Mau cari sendiri atau Bunda cariin?”

Pertanyaan itu terus terngiang di telinga Alvin sepanjang hari. Saat sarapan tadi pagi, ia harus dihadapkan dengan persidangan yang dilakukan orang tuanya.

Cari istri? Hal ini mungkin tidak akan mudah. Sebab, untuk mendapatkan yang pas itu bisa dikatakan susah, susah, gampang.

“Ya Allah, dikira cari istri kayak nyari bakwan di tukang gorengan yang tinggal beli aja,” gumam Alvin di meja kerjanya.

Alvin adalah seorang dosen di universitas Cemara. Sebagai Dosen sekaligus pemilik butik di salah satu kota ini. Ia memang disibukkan dengan banyak pekerjaan. Tak jarang waktunya hanya habis untuk mengajar dan merancang busana.

“Pak Alvin, kenapa?” Seorang teman dosennya menghampiri Alvin. Langkahnya teratur, hingga berdiri di depan Alvin. “Mukanya kusut banget?”

Alvin tersenyum ramah. “Saya lagi sedikit enggak enak badan, Pak.”

Dosen senior itu tertawa kecil. “Makanya, Pak, cari istri. Pasti Pak Alvin kecapean kerja, tapi enggak ada yang nyambut di rumah.”

Pembahasan ini lagi. Sesuatu yang selalu Alvin hindari dari siapa pun. Pernikahan! Apakah tema itu sangat menarik? Sampai-sampai semua orang begitu senang membicarakannya.

Pria berkemeja hitam itu duduk di kursi depan meja Alvin, menatap Alvin dengan lekat. “Nikah itu enak tau, Pak. Ada yang nemenin tidur. Ada yang masakin. Ada yang mijitin. Pokoknya enak banget.”

Mendengar itu kening Alvin berkerut. Ia seperti tengah mendengarkan promosi dari sales yang tengah membanggakan produknya.

“Makanya, buruan nikah!”

Ujung perkataan temannya itu tidak jauh dari sana.

Alvin diam sejenak, memandangi wajah temannya yang hanya berbeda dua tahun lebih muda darinya. “Pak Ronal memang sudah berapa tahun menikah?”

“Saya?” Ronal –teman seprofesi Alvin—menunjuk dirinya sendiri.

Alvin mengangguk cepat. “Ya.” Ia ingin tahu betapa dalam pengamalan Ronal perihal pernikahan.

“Saya udah lima tahun, Pak. Udah punya anak satu umur tiga tahun.” Ronal menjawab dengan bangga. Sebab, pernikahannya ini sangat berlandaskan cinta.

“Wah, udah lumayan juga, Pak?” tanya Alvin.

“Iya. Makannya itu, saya bilang juga enak.” Ronal menjeda sejenak pembicaraannya. Lalu, berkata kembali, “Pak Alvin, kenapa belum mau nikah? Padahal umur Pak Alvin lebih tua dari saya.”

Alvin sudah menduga akan ada pertanyaan seperti ini. Ia bosan menjawabnya.

“Pak Alvin itu, kan, ganteng. Bukan cuman dosen aja, tapi juga punya butik. Harusnya banyak yang mau ngantri jadi istri,” ujar Ronal.

“Belum ketemu jodohnya, Pak,” jawab Alvin.

“Kalau enggak dicari. Mana dapat, Pak.”

“Saya masih sibuk.”

“Nanti keburu tua, Pak.”

“Baru tiga puluh lima tahun.”

“Itu udah cocok nikah, Pak.”

Alvin menyerah. Rasanya akan sia-sia saja berdebat tentang pernikahan dengan siapa pun. Pada akhirnya, ia cukup mendengarkan nasihat dari yang sudah terjun ke lapangan langsung.

Ronal berdiri. Ia baru saja mendapatkan pesan dari istrinya. Tangan kanan Ronal memegang ponsel. Jari jemarinya bermain di layar tersebut tengah mengetik.

“Saya pulang duluan, Pak Alvin. Ini Istri ngajak malam mingguan. Biasa, kencan berdua aja,” tutur Ronal.

Alvin cukup tersenyum simpul, lalu berkata, “Ya, Pak.” Matanya tetap fokus pada tumpukan kertas. Ia tengah memeriksa tugas dari anak muridnya.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Lega. Hati Alvin merasakan longgar dalam dada. Setidaknya, ia tak lagi harus memperpanjang perdebatan tentang pernikahan. Ia terlalu lelah. Sebab, tadi pagi pun sidang di rumah membahas topik yang sama.

Alvin meregangkan kedua tangan. Ototnya terasa kaku. Mungkin terlalu banyak duduk di depan laptop sembari memeriksa lembar demi lembar tugas anak didiknya.

Di ruangan ini, ada tiga dosen wanita yang masih melakukan hal yang sama dengan Alvin. Dan, mereka jelas sudah senior.

Terkadang terdengar suara tawa dari ketiganya. Alvin berusaha diam, dan menjadi pendengar saja. Sebab, ia tak ingin lagi menyebur ke topik yang tengah mereka perbincangkan. Pernikahan!

Lima menit selanjutnya, dua dosen wanita keluar lebih dahulu. Tinggallah Alvin dan satu dosen senior. Mereka seolah sedang berlomba dengan waktu, tak ada suara sedikit pun dari keduanya.

Tiba-tiba pintu ruangan tergeser. Alvin tak terusik, sementara dosen perempuan tadi menengok ke arah sumber suara.

“Cari siapa?” tanya si Dosen perempuan.

Gadis berhijab merah itu masuk dengan senyuman manis sembari mengangguk hormat. “Assalamualaikum. Maaf, Bu Risma. Saya mau cari Pak Alvin.”

“Waalaikum salam. Oh, Itu di sana,” tunjuk Bu Risma pada Alvin.

“Terima kasih, Bu.” Kembali lagi gadis itu mengangguk. Kedua kakinya melangkah mendekati Alvin yang berada di pojok kanan. Matanya mengamati, meneliti wajah Alvin yang begitu serius.

“Maaf, Pak Alvin,” ujar gadis tersebut dengan suara sopan.

Alvin bergeming. Matanya tetap fokus pada untaian kata di lembaran kertas yang tengah dibacanya.

Gadis itu diam. Tangannya mengetuk-etuk di maps biru yang dibawanya.

“Pak Alvin.” Sekali lagi gadis itu memanggil dosen paling muda tersebut. Berharap kali ini panggilannya tak diacuhkan.

Namun, nihil. Kali ini pun sama. Alvin terlalu fokus dengan pekerjaannya, sehingga ia sama sekali tak mendengar hal lain.

Gadis itu bimbang sekaligus malas. Mungkin rumor yang beredar itu benar, jika dosen muda di depannya itu memang sedikit cuek dan tegas pada anak muridnya. Alvin pun terkenal sering memberikan banyak tugas.

Tiga menit berdiri, rasa kesal mulai menggerogoti si Gadis. Ia pun memberanikan diri meninggikan suaranya. “Maaf, Pak Alvin!”

Kali ini berhasil. Alvin tersentak, dan mengangkat kepalanya mengarah pada si Gadis. Pandangan mata mereka bertemu. Saling memandang netra lawan satu sama lain.

Kening Alvin berkerut. “Iya, ada apa?”

Gadis tampak menahan kesal. Namun, demi kelancaran mata kuliahnya. Bibir mungil itu mengembangkan senyuman manis, lalu berkata, “Saya mau kumpulkan tugas.”

Alvin menatap tajam. “Tugas?”

Gadis itu mengangguk pelan. “Iya, Pak.”

“Bukannya tugas harus dikumpulkan di kelas saya tadi?” Alvin memutar bolpoin di tangan. “Kamu tidak hadir?”

“Maaf, Pak, saya terlambat.”

Alvin mengangguk-angguk. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu tau prinsip saya bukan?”

Gadis itu diam.

“Saya hanya menerima tugas yang dikumpulkan saat kelas berlangsung. Lewat dari itu, saya anggap tidak mengerjakan.”

“Tapi, Pak. Saya terlambat bukan sengaja.”

“Apa terlambat sama dengan tidak hadir?” Alis Alvin terangakat ke atas satu. “Kalau terlambat, kamu masih bisa menghadiri kelas saya, walaupun setengahnya!”

Gadis di depan Alvin mengembuskan nafas kasar. Ia pun tidak ingin hal ini terjadi.

“Saya tau, saya salah, Pak. Tapi, saya mohon kebaikan hati Bapak,” pinta si Gadis.

“Tidak bisa. Kamu saya anggap tidak mengerjakan tugas.” Alvin tetap pada pendiriannya.

Tak seperti mahasiswi lainnya. Kali ini Alvin melihat reaksi berbeda dari gadis ini. Wajahnya yang merah menahan marah, lalu terdengarlah luapan kekesalan.

Terpopuler

Comments

Khuriatul Ikrimah

Khuriatul Ikrimah

baru mampir kak,semoga ceritanya seru,😊

2023-05-31

0

Ummi Alfa

Ummi Alfa

Awal yang menarik.

2022-11-05

0

A_wulandary⚞ል☈⚟

A_wulandary⚞ል☈⚟

baru mampir kak

2022-10-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!