Perbincangan itu berakhir dengan sebuah kesepakatan. Di mana Alvin tetap pada pendiriannya, dan Rina pun akhirnya tetap akan menikah.
Semua cerita terungkap dari mulut Rina. Ia tak melebihkan ataupun menyembunyikan. Biarkan Alvin tahu apa yang terjadi.
Alvin sendiri menjadwalkan Rina bisa bertemu dengan orang tuanya nanti malam.
Siap tak siap. Bahkan Rina merasa ia tengah bermimpi kali ini. Mimpi panjang yang sulit sekali terbangun.
“Berikan nomor ponselmu,” pinta Alvin.
Kalimat itulah yang terakhir Rina dengar dari Alvin di ujung pembicaraan mereka siang ini.
Seperti yang sudah disepakati, Rina datang ke rumah Alvin dengan pakaian yang sopan.
Pak Arga juga Bu Lala menyambutnya dengan gembira. Rina pun bisa menyesuaikan diri dengan kondisi keluarga Alvin.
“Di mana orang tuamu, Nak? Tante sama Om harus melamarmu dulu,” tanya Pak Arga.
Rina diam. Sesekali mencuri pandang pada Alvin yang duduk di sampingnya.
“Rina anak yatim piatu, Yah,” jawab Alvin.
“Astagfirullah, maaf, Nak,” ujar Bu Lala.
Rina tersenyum. Memang benar kenyataannya begitu. Ia sebatang kara di sini tanpa keluarga, berjuang sendiri untuk bertahan hidup dengan segala kekejaman dunia.
“Kalian saling suka?” Pak Arga rupanya mencium sesuatu yang tak baik. Ia melihat gerak-gerik Rina yang seolah tak nyaman saat berdekatan dengan Alvin. “Kamu tidak merasa terpaksa?”
Pertanyaan itu diajukan pada Rina, hingga membuat si Gadis serba salah. Keringat dingin mulai membasahi kedua tangannya. Ia gugup. Lebih tepatnya, takut salah bicara.
“Kami setuju menikah karena keputusan berdua,” sela Alvin
Mata Rina sontak melirik Alvin,, sedangkan yang diliriknya santai tanpa beban.
“Jadi, tidak ada paksaan, Yah!” jelas Alvin.
Tanpa diduga, sudut mata kiri Alvin melirik Rina. Seakan lelaki itu memberi kode agar Rina diam.
“Syukurlah.” Pak Arga tak lagi mengulik.
Rina diam. Alvin mendominasi di pembicaraan ini. Sampai akhirnya tanggal pernikahan pun ditentukan. Rina hanya meminta diberi waktu untuk bisa menyelesaikan tugas sebelum hari ijab Qabul. Tentu, Alvin menyetujui. Ia tak punya hak dalam melarang Rina.
“Setelah nikah nanti. Kami berencana pindah rumah.” Tiba-tiba keputusan itu dibuat Alvin tanpa berdiskusi dahulu dengan Rina.
Rina langsung menatap Alvin. Melayangkan tatapan tajam. Namun, lelaki itu tak menghiraukannya sedikit pun.
“Kamu sudah beli rumah?” tanya Bu Lala.
“Mungkin hari ini, Bun,” jawab Alvin.
“Kalian yakin?” Bu Lala kini tak hanya bertanya pada Alvin. Akan tetapi, juga pada Rina. “Padahal tinggal di sini juga nggak masalah.”
Mulut Rina ingin terbuka. Namun, Alvin dengan cepat menjawab pertanyaan bundanya.
“Bunda, bukannya sudah seharusnya setelah menikah pasangan itu hidup mandiri? In syaa Allah, aku cari rumah yang enggak terlalu jauh dari sini,” jawab Alvin.
Pak Arga paham. Ia tak bisa melarang jika itu memang yang terbaik. Semua pembicaraan pun berakhir. Rina pamit pulang tanpa ingin diantar Alvin. Ia berangkat sendiri, maka pulang pun tetap ingin sendiri.
Alvin hanya mengantarkan sampai teras. Melepaskan Rina dari pandangannya.
“Sampai jumpa lagi di hari pernikahan. Kita mulai dunia baru bersama,” kata Alvin begitu entengnya.
Rina menarik nafas panjang. Menghembuskannya perlahan. “Bapak, jangan hubungi aku tanpa kepentingan. Terima kasih makan malamnya. Aku pamit. Assalamualaikum.”
Alih-alih memperpanjang percakapan, Rina memilih pergi dari depan Alvin. Ia membawa hati kesal, karena lelaki yang akan menjadi suaminya itu seenaknya saja membuat keputusan.
“Dasar dosen gila!” umpat Rina saking kesalnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Ia pun tak bisa menarik ucapannya. Sebab, janji adalah hutang. Sebuah ucapan sembarangan yang sekarang mengantarkannya pada sebuah gerbang yang pernikahan.
“Astagfirullah, sabar, Rin. Ini ujian.” Rina mengusap dadanya dua kali. Gadis itu berjalan ke arah kanan. Di mana rumah Alvin tidak jauh dari halte bus. Ia bisa menaiki bus untuk pulang.
Waktu berjalan begitu cepat. Hari pernikahan pun tiba. Rina dijemput Bu Lala untuk ke rumah mereka. Sebab, ijab Qabul akan dilakukan di rumah Alvin.
Rina menurut saja. Ia bahkan sudah tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Sampai detik ini, hanya Caca yang tahu tentang pernikahan gila ini. Gadis itu pun ikut untuk menemani Rina.
Di kamar yang luas, Rina selesai dirias. Gaun kebaya melekat di tubuhnya dengan hijab yang tetap menutupi dada. Riasan sederhana, tetapi tampak cantik di wajah Rina. Itulah yang bisa dilihat Caca saat ini.
“Rin, kamu nggak mau kabur?” tanya Caca yang masih belum percaya dengan semua ini.
Rina diam sejenak. Ada dua perias yang sedang membereskan alat-alatnya.
“Untuk apa?” tanya Rina balik.
Caca menepuk kedua bahu Rina pelan. “Daripada kayak gini. Duh, aku jadi gila sendiri.” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Rina tersenyum manis, menyembunyikan apa yang sebenarnya dalam sudut hati. “Udahlah jangan dipikirin. Lagian, aku juga udah janji.”
“Beneran?”
“Ya, dong. Aku mana mungkin bercanda.”
Caca mencubit pipi kanan Rina, gemas. “Abisnya kamu sering jailin aku. Jadi ... aku pikir kamu lagi prank.”
Tawa kecil keluar dari mulut Rina. Ia seolah menikmati waktu yang pasti terus berlalu, dan akan segera mengantarkannya pada status baru.
Istri. Status yang akan segera disandang Rina beberapa menit lagi.
Benar saja. Bu Lala datang dengan wajah tersenyum. Mendekati Rina pelan, lalu berkata, “Suamimu sudah menunggu, Sayang.”
Kalimat itu pendek, tetapi begitu menakutkan bagi Rina. Debaran di hatinya tak kunjung berakhir. Ia tengah berperang dengan kenyataan.
Rina mengangguk pelan dengan pandangan tetap lurus ke depan cermin. “Ya, Tan.” Ia berdiri, menyiapkan hati untuk segala hal yang akan terjadi ke depannya.
Bu Lala dan Caca pun menggandeng tangan Rina. Membawa gadis itu keluar kamar, dan menuruni tangga.
Keluarga besar Alvin datang semuanya. Rencananya, pesta pun akan dilaksankan nanti malam di sebuah gedung.
Langkah kaki Rina, Bu Lala, dan Caca pelan. Namun, pasti. Saat sudah sampai di tengah-tengah tangga. Semua pandangan pun tertuju pada mereka. Terutama Alvin yang terus saja menatap Rina.
Langkah ke tiganya baru sampai di akhir tangga. Tepatnya di lantai bawah. Tak sengaja ujung netra Rina menangkap kehadiran seseorang. Orang yang ada di kerumunan di depannya.
Jantung Rina berdegup kencang. Seluruh persendiannya mendadak lemas, hingga ia sulit sekali berjalan.
Alvin menyadari itu. Ia tak tahu apa yang terjadi.
Rina berhenti sejenak. Membuat Caca dan Bu Lala saling melempar pandangan.
“Sayang, kenapa berhenti?” tanya Bu Lala.
Rina tersadar. Ia tak menjawab dan kembali mengayunkan langkah ke depan. Di mana Alvin sudah menunggunya di sana.
Rina berada di hadapan Alvin. Bu Lala menyatukan kedua tangan kanan pasangan itu seraya berkata, “Mulai detik ini. Kalian adalah pasangan yang harus saling melengkapi satu sama lain.”
Rina tak bisa berkonsentrasi.
“Nah, Alvin. Pegang ubun-ubun istrimu dan ucapkan doa,” sambung Bu Lala.
Alvin mengerti. Ia melepaskan tangan kanannya dari Rina, lalu memindahkannya ke kepala istrinya tersebut seraya berdoa.
Pernikahan itu sudah terjadi. Mereka resmi menjadi suami istri yang tak tahu ke depannya akan seperti apa. Layaknya air, semua mengalir begitu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Nur fadillah
Selamat ya..Samawa selalu...❤❤
2022-12-30
0
Ummi Alfa
Makin penasaran dengan sosok Rina dan masa lalunya.
Siapa kira2 orang yang duduk di depan yang membuat lutut Rina lemas? apa salah satu keluarga Alvin.
2022-11-05
0
@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️
apakah Rina melihat orang yang terlah menodainya,🤔
2022-06-08
2