Aku bukan gadis

Esok pun tiba. Di rumah, Alvin sudah siap berangkat mengajar. Lelaki itu memakai kemeja hitam dengan celana hitam pula. Penampilannya sederhana.

Alvin turun ke lantai bawah. Di mana Bunda dan ayahnya sudah ada di ruangan makan. Kedua orang tua itu menatap Alvin dengan lekat seakan sidang pun masih belum berakhir.

“Selamat pagi, Bun. Selamat pagi, Ayah,” sapa Alvin seperti biasa. Ia menarik kursi, duduk di depan kedua orang tuanya.

Menu sarapan kali ini hanyalah nasi goreng dengan telur dadar juga sosis goreng. Lumayan memberikan tenaga untuk memulai hari.

“Pagi juga,” jawab kedua orang tuanya hampir bersamaan.

Alvin langsung mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk. Tak lupa ia berdoa sesuai ajaran keyakinannya, lalu siap makan.

“Kamu udah siap ketemu anak temen Bunda, Nak?” tanya Bu Lala –bundanya Alvin.

Alvin tersedak. Kemarin ia sengaja pulang sedikit larut malam agar menghindari pembicaraan seperti ini. Rupanya, pagi ini ia tak bisa menghindar lagi.

Pak Arga –ayahnya Alvin—cukup menyimak. Ia terlalu lelah untuk mengingatkan tentang pernikahan pada anak semata wayangnya.

Alvin tersenyum pada Sang Bunda. “Maaf, Bun, aku enggak bisa.”

“Kenapa?” Bu Lala penasaran.

“Aku ada janji sama calon istri.”

Sontak pasangan paruh baya itu terdiam, kemudian saling melempar pandangan.

“Calon istri?” ulang Bu Lala.

“Iya. Seperti yang Bunda mau,” jawab Alvin. Lelaki itu sudah lebih santai menghadapi persidangan kali ini. Ah ... ia akhirnya bisa terbebas dari namanya perjodohan.

“Siapa namanya?” tanya Bu Lala dengan wajah penasaran. Ia tidak pernah mendengar menyebut satu pun nama wanita. Jelas, ini akan menimbulkan banyak tanda tanya. “Kamu enggak berniat ngehindar dari rencana Bunda, kan? Makanya, kamu ngarang cerita.”

Alvin melongo. Ia menggelengkan kepala dua kali. “Astagfirullah, Bun. Aku enggak mungkin niat begitu. Memang benar, kok, aku punya calon istri.”

Alvin yakin dan percaya jika Rina tak mungkin ingkar janji. Setidaknya, ia akan menikah dengan orang pilihannya sendiri. Bukan dengan gadis muda yang masih belia.

“Bawa ke rumah. Kenalkan ke Bunda dan Ayah,” sela Pak Arga.

Kini pandangan Alvin terfokus pada ayahnya. “In syaa Allah, Yah.”

“Kalau sudah sama-sama siap. Tidak perlu menunda lagi. Jangan sampai timbul fitnah di antara kalian!” tegas Pak Arga. Sebagai seorang Ayah, ia harus mengajari anak lelakinya itu tentang bagaimana bersikap. Apa lagi tentang tak pentingnya bermain-main di usia yang sudah matang seperti ini.

“In syaa Allah, Yah,” jawab Alvin.

Sarapan kembali diteruskan. Pak Arga ataupun Bu Lala tidak banyak bertanya. Mereka percaya pada pilihan anaknya. Lebih baik menyetujui daripada tak melihat Alvin menikah.

Sehabis sarapan. Alvin kembali ke kamar. Pagi ini ia ada kelas, lalu siangnya ia pun harus bertemu dengan Rina. Entah benar atau tidak keputusannya ini. Yang jelas, ia tak ingin terus menerus disidang orang tuanya.

Alvin berangkat dengan mobil kesayangannya. Tak lupa ia pamit pada Sang Bunda. Dan, segera meluncur ke tempat tujuan.

Jarak rumah dan kampus memang tak begitu jauh. Sekitar lima belas menit, Alvin sudah sampai di sana. Tempat di mana ia bisa memberikan ilmu pada anak didiknya.

Sebagai dosen muda di sini, Alvin sendiri tidak terlalu bangga. Ia terus belajar dari dosen senior dan mengembangkan ilmu yang sudah dimilikinya.

Kelas di mulai. Alvin masuk ruangan seperti biasa. Sambutan meriah dari para mahasiswi menjadi santapannya sehari-hari. Wibawanya pun tetap terlihat.

“Assalamualaikum. Selamat pagi semuanya,” ujar Alvin santai.

“Waalaikum salam. Pagi, Pak,” jawab seluruh penghuni ruangan di sana.

Ujung netra Alvin menemukan Rina di bangku ke tiga. Di mana gadis itu seolah tak berani menatap ke arahnya.

Alvin fokus kembali. Ini bukan waktunya urusan pribadi terlibat.

“Baik. Mari, kita mulai kelas hari ini. Saya harap, semua memperhatikan materi hari ini!” kata Alvin tegas.

Jawaban serentak pun ia dapati. Dan, Alvin memulai kelas dengan cepat.

Di bangku, Rina pura-pura tak terjadi apa pun antara dirinya dan Alvin. Ia sesekali berbicara dengan Caca juga seorang mahasiswa yang berkemaja biru.

Alvin mencuri pandang ke arah Rina. Di mana gadis itu sedang asyik berbicara dengan teman lelakinya.

“Jangan ada yang mengobrol! Ini kelas bukan kantin!” Nada bicara Alvin tegas dan keras.

Rina seketika diam. Pandangannya bertemu dengan netra Alvin. Ia merasa lelaki itu seakan melayangkan peringatan tersebut padanya.

Kelas berjalan lancar. Satu per satu orang di ruangan keluar. Rina sendiri sedang membereskan buku ke tas, dan Caca sudah kabur lebih dahulu keluar ruangan dengan alasan ingin buang air kecil.

“Tasku udah enggak muat,” imbuh Rina dengan terus berusaha memasukkan lima buku ke tas.

Ia berdiri, membawa dua buku lain di tangannya. Gadis itu melangkah tanpa beban ke depan, melewati Alvin yang tak tahu sedang sibuk apa.

Suasana hanya tinggal mereka berdua. Semua orang sudah pergi sejak tadi.

“Jangan lupa ke ruangan saya lima menit lagi,” kata Alvin.

Rina berhenti.

“Kita perlu bicara untuk membahas sesuatu yang sudah disepakati,” sambung Alvin.

Gadis berhijab merah itu mengela nafas panjang. Membuangnya denagn cepat. “Apa yang perlu dibicarkan lagi? Bukannya Bapak udah dapat imbalannya.

Alvin menegakkan kepala, memokuskan pandangan ke arah Rina yang kini berdiri di depannya. “Kita bisa bicarakan tentang perjanjian pra-nikah. Kamu bisa mengajukan apa pun.”

“Apa pun?” Rina berbalik. Tubuhnya kini berhadapan langsung ke Alvin. “Pak Alvin, serius?”

Alvin mengangguk. “Ya, tentu. Ini semua untuk kenyamanan pernikahan kita juga.”

“Kalau begitu, aku mau tanya sama, Bapak?”

“Ya. Tanya saja.” Alvin mengambil maps kuning di depan, menggeser badannya ke arah kanan, dan kini jaraknya dengan Rina hanya dua meter. “Silakan tanyakan apa pun yang kamu mau.”

Rina diam sejenak. Dari tatapan Alvin, ia bisa melihat sebuah harapan yang bahkan ia pun tak tahu apa itu. Yang pasti, harapan indah. “Kenapa Bapak mau menikah?”

Mata Alvin bergerak ke kanan dan ke kiri. Bimbang. Haruskah ia membongkar rahasia? Rasanya itu tak mungkin.

“Menikah itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Lalu, pernikahan macam apa yang kita jalani nanti?” tanya Rina lagi.

Alvin kian bergeming. Manik-manik indah milik Rina memang cantik. Akan tetapi, Alvin bisa merasakan sorot kesakitan dalam dirinya.

“Saya menikah karena sudah waktunya,” jawab Alvin asal.

“Cuman itu?”

“Ya. Memang kenapa?”

“Kenapa Bapak enggak menikah dengan orang yang dicintai?”

“Karena saya tidak punya.”

“Mana mungkin.”

“Faktanya!” Alvin langsung menegaskan.

Mereka diam beberapa detik. Memberikan sedikit jeda dari percakapan ini.

“Ini mungkin yang paling penting, dan aku yakin setelah ini Pak Alvin bakal berpikir seribu kali untuk menikahiku,” imbuh Rina. Sorot mata gadis itu tak ramah. Begitu tajam dan sanggup mendobrak pertahanan lawan.

“Apa itu?” Alvin penasaran.

Rina menarik nafas panjang. Menyiapkan diri untuk mengutarakan yang sebenarnya. Sebuah hubungan memang harus dimulai dengan kejujuran. Jika tidak, semua akan terasa hampa.

“Aku bukan seorang gadis seperti yang orang lain ketahui,” ungkap Rina dengan yakin.

Terpopuler

Comments

Ummi Alfa

Ummi Alfa

Sebenarnya rahasia apa yang Rina pendam selama ini dan ndak ada orang yang tau.

2022-11-05

0

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

apa yang terjadi sebenernya pada lina

2022-06-08

1

ꪚ! ᴍiѕѕ ℤuւᴉᴅ 💋 💋𝄢⃟Ȿ⃝➢‮

ꪚ! ᴍiѕѕ ℤuւᴉᴅ 💋 💋𝄢⃟Ȿ⃝➢‮

maksdnya bukan gadis, nah iya apa rina nya si anu eh

2022-06-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!