“Mau cari sendiri atau Bunda cariin?”
Pertanyaan itu terus terngiang di telinga Alvin sepanjang hari. Saat sarapan tadi pagi, ia harus dihadapkan dengan persidangan yang dilakukan orang tuanya.
Cari istri? Hal ini mungkin tidak akan mudah. Sebab, untuk mendapatkan yang pas itu bisa dikatakan susah, susah, gampang.
“Ya Allah, dikira cari istri kayak nyari bakwan di tukang gorengan yang tinggal beli aja,” gumam Alvin di meja kerjanya.
Alvin adalah seorang dosen di universitas Cemara. Sebagai Dosen sekaligus pemilik butik di salah satu kota ini. Ia memang disibukkan dengan banyak pekerjaan. Tak jarang waktunya hanya habis untuk mengajar dan merancang busana.
“Pak Alvin, kenapa?” Seorang teman dosennya menghampiri Alvin. Langkahnya teratur, hingga berdiri di depan Alvin. “Mukanya kusut banget?”
Alvin tersenyum ramah. “Saya lagi sedikit enggak enak badan, Pak.”
Dosen senior itu tertawa kecil. “Makanya, Pak, cari istri. Pasti Pak Alvin kecapean kerja, tapi enggak ada yang nyambut di rumah.”
Pembahasan ini lagi. Sesuatu yang selalu Alvin hindari dari siapa pun. Pernikahan! Apakah tema itu sangat menarik? Sampai-sampai semua orang begitu senang membicarakannya.
Pria berkemeja hitam itu duduk di kursi depan meja Alvin, menatap Alvin dengan lekat. “Nikah itu enak tau, Pak. Ada yang nemenin tidur. Ada yang masakin. Ada yang mijitin. Pokoknya enak banget.”
Mendengar itu kening Alvin berkerut. Ia seperti tengah mendengarkan promosi dari sales yang tengah membanggakan produknya.
“Makanya, buruan nikah!”
Ujung perkataan temannya itu tidak jauh dari sana.
Alvin diam sejenak, memandangi wajah temannya yang hanya berbeda dua tahun lebih muda darinya. “Pak Ronal memang sudah berapa tahun menikah?”
“Saya?” Ronal –teman seprofesi Alvin—menunjuk dirinya sendiri.
Alvin mengangguk cepat. “Ya.” Ia ingin tahu betapa dalam pengamalan Ronal perihal pernikahan.
“Saya udah lima tahun, Pak. Udah punya anak satu umur tiga tahun.” Ronal menjawab dengan bangga. Sebab, pernikahannya ini sangat berlandaskan cinta.
“Wah, udah lumayan juga, Pak?” tanya Alvin.
“Iya. Makannya itu, saya bilang juga enak.” Ronal menjeda sejenak pembicaraannya. Lalu, berkata kembali, “Pak Alvin, kenapa belum mau nikah? Padahal umur Pak Alvin lebih tua dari saya.”
Alvin sudah menduga akan ada pertanyaan seperti ini. Ia bosan menjawabnya.
“Pak Alvin itu, kan, ganteng. Bukan cuman dosen aja, tapi juga punya butik. Harusnya banyak yang mau ngantri jadi istri,” ujar Ronal.
“Belum ketemu jodohnya, Pak,” jawab Alvin.
“Kalau enggak dicari. Mana dapat, Pak.”
“Saya masih sibuk.”
“Nanti keburu tua, Pak.”
“Baru tiga puluh lima tahun.”
“Itu udah cocok nikah, Pak.”
Alvin menyerah. Rasanya akan sia-sia saja berdebat tentang pernikahan dengan siapa pun. Pada akhirnya, ia cukup mendengarkan nasihat dari yang sudah terjun ke lapangan langsung.
Ronal berdiri. Ia baru saja mendapatkan pesan dari istrinya. Tangan kanan Ronal memegang ponsel. Jari jemarinya bermain di layar tersebut tengah mengetik.
“Saya pulang duluan, Pak Alvin. Ini Istri ngajak malam mingguan. Biasa, kencan berdua aja,” tutur Ronal.
Alvin cukup tersenyum simpul, lalu berkata, “Ya, Pak.” Matanya tetap fokus pada tumpukan kertas. Ia tengah memeriksa tugas dari anak muridnya.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Lega. Hati Alvin merasakan longgar dalam dada. Setidaknya, ia tak lagi harus memperpanjang perdebatan tentang pernikahan. Ia terlalu lelah. Sebab, tadi pagi pun sidang di rumah membahas topik yang sama.
Alvin meregangkan kedua tangan. Ototnya terasa kaku. Mungkin terlalu banyak duduk di depan laptop sembari memeriksa lembar demi lembar tugas anak didiknya.
Di ruangan ini, ada tiga dosen wanita yang masih melakukan hal yang sama dengan Alvin. Dan, mereka jelas sudah senior.
Terkadang terdengar suara tawa dari ketiganya. Alvin berusaha diam, dan menjadi pendengar saja. Sebab, ia tak ingin lagi menyebur ke topik yang tengah mereka perbincangkan. Pernikahan!
Lima menit selanjutnya, dua dosen wanita keluar lebih dahulu. Tinggallah Alvin dan satu dosen senior. Mereka seolah sedang berlomba dengan waktu, tak ada suara sedikit pun dari keduanya.
Tiba-tiba pintu ruangan tergeser. Alvin tak terusik, sementara dosen perempuan tadi menengok ke arah sumber suara.
“Cari siapa?” tanya si Dosen perempuan.
Gadis berhijab merah itu masuk dengan senyuman manis sembari mengangguk hormat. “Assalamualaikum. Maaf, Bu Risma. Saya mau cari Pak Alvin.”
“Waalaikum salam. Oh, Itu di sana,” tunjuk Bu Risma pada Alvin.
“Terima kasih, Bu.” Kembali lagi gadis itu mengangguk. Kedua kakinya melangkah mendekati Alvin yang berada di pojok kanan. Matanya mengamati, meneliti wajah Alvin yang begitu serius.
“Maaf, Pak Alvin,” ujar gadis tersebut dengan suara sopan.
Alvin bergeming. Matanya tetap fokus pada untaian kata di lembaran kertas yang tengah dibacanya.
Gadis itu diam. Tangannya mengetuk-etuk di maps biru yang dibawanya.
“Pak Alvin.” Sekali lagi gadis itu memanggil dosen paling muda tersebut. Berharap kali ini panggilannya tak diacuhkan.
Namun, nihil. Kali ini pun sama. Alvin terlalu fokus dengan pekerjaannya, sehingga ia sama sekali tak mendengar hal lain.
Gadis itu bimbang sekaligus malas. Mungkin rumor yang beredar itu benar, jika dosen muda di depannya itu memang sedikit cuek dan tegas pada anak muridnya. Alvin pun terkenal sering memberikan banyak tugas.
Tiga menit berdiri, rasa kesal mulai menggerogoti si Gadis. Ia pun memberanikan diri meninggikan suaranya. “Maaf, Pak Alvin!”
Kali ini berhasil. Alvin tersentak, dan mengangkat kepalanya mengarah pada si Gadis. Pandangan mata mereka bertemu. Saling memandang netra lawan satu sama lain.
Kening Alvin berkerut. “Iya, ada apa?”
Gadis tampak menahan kesal. Namun, demi kelancaran mata kuliahnya. Bibir mungil itu mengembangkan senyuman manis, lalu berkata, “Saya mau kumpulkan tugas.”
Alvin menatap tajam. “Tugas?”
Gadis itu mengangguk pelan. “Iya, Pak.”
“Bukannya tugas harus dikumpulkan di kelas saya tadi?” Alvin memutar bolpoin di tangan. “Kamu tidak hadir?”
“Maaf, Pak, saya terlambat.”
Alvin mengangguk-angguk. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu tau prinsip saya bukan?”
Gadis itu diam.
“Saya hanya menerima tugas yang dikumpulkan saat kelas berlangsung. Lewat dari itu, saya anggap tidak mengerjakan.”
“Tapi, Pak. Saya terlambat bukan sengaja.”
“Apa terlambat sama dengan tidak hadir?” Alis Alvin terangakat ke atas satu. “Kalau terlambat, kamu masih bisa menghadiri kelas saya, walaupun setengahnya!”
Gadis di depan Alvin mengembuskan nafas kasar. Ia pun tidak ingin hal ini terjadi.
“Saya tau, saya salah, Pak. Tapi, saya mohon kebaikan hati Bapak,” pinta si Gadis.
“Tidak bisa. Kamu saya anggap tidak mengerjakan tugas.” Alvin tetap pada pendiriannya.
Tak seperti mahasiswi lainnya. Kali ini Alvin melihat reaksi berbeda dari gadis ini. Wajahnya yang merah menahan marah, lalu terdengarlah luapan kekesalan.
Suasana di antara keduanya terasa tegang. Gadis itu memperlihatkan kekesalannya.
“Sebelumnya saya minta maaf jika perkataan saya kasar. Tapi, andaikan saya di posisi Bapak. Saya pasti akan tetap menerima tugas ini,” lanjut gadis itu.
Alvin tak langsung menjawab. Ia menyimpan bolpoin di meja, melipat kedua tangannya di dada. “Kamu mau saya menerimanya?”
“Ya.”
“Alasannya?”
“Karena saya sudah mengerjakan.”
Alvin mengangguk dua kali. Tatapan si Gadis itu masih saja tak bisa ia lewatkan. “Simpan di meja, dan kamu bisa keluar.”
Sontak mata gadis itu berbinar terang. Seolah ada cahaya di antara kegelapan yang tengah melandanya.
“Cepat simpan! Saya masih banyak pekerjaan,” kata Alvin tegas.
Dengan sedikit mengomel dalam hati, gadis itu pun menurut. Akhirnya pertempuran ini ia menangkan. “Terima kasih, Pak.”
Alvin tak menjawab. Ia segera fokus dengan pekerjaannya, hingga gadis itu pun berbalik badan.
Dua langkah sudah si gadis berjalan. Telinga Alvin bisa mendengar jelas omelan dari mulut gadis itu.
“Kalau bukan butuh, tak bejek juga!” omel si Gadis.
“Siapa yang mau kamu bejek?” tanya Alvin.
Gadis itu berhenti seketika. Matanya tercengang. “Itu tahu, Pak.”
“Oh.”
Tanpa menunggu Alvin berkata lagu, si gadis langsung kabur keluar. Ia harus sesegera mungkin menyelamatkan diri dari amukan dosen paling muda.
“Rina!” Teriakan Caca terdengar menyambut gadis itu keluar dari ruangan dosen.
Gadis yang ternyata bernama Rina itu pun menoleh ke samping kanan, berjalan terburu-buru agar temannya tidak sampai ke depan ruangan dosen. “Kamu mau ngapain ke sini?”
“Mau nengokin kamu lah,” jawab Caca cemas. Netranya memperhatikan pintu ruangan dosen. Tak ada lagi yang keluar. “Gimana? Diterima?”
“Alhamdulillah.”
Caca tak percaya. “Serius?”
“Iya.”
“Wah, gila.”
“Loh, kok, gila?” Rina mengerutkan kening. Ia menyelipkan tangan kanan ke lengan kiri Caca, membawa gadis itu berbalik badan. “Yang penting udah sampai tujuan. Ayo, kita makan siang?”
Caca tak lagi berkomentar, walaupun hati kecilnya masih dilanda penasaran. Ia tetap mengikuti setiap jejak langkah kaki Rina yang akan membawanya ke kantin kampus.
“Kamu mau makan apa?” tanya Rina santai.
“Somay mungkin enak,” jawab Caca.
“Bisa jadi.”
“Kamu udah ketemu buku buat referensi nanti?”
Rina seketika berhenti berjalan. Ia hampir lupa dengan hal ini. “Belum. Nanti habis kelas siang, aku ke perpus lagi.”
“Tapi, aku enggak bisa temenin.” Wajah Caca berubah sendu. “Kamu tau, kan, aku harus kerja sif sore.”
Rina mengerti. Ia tersenyum manis. “Iya. Aku tau.” Tak ada rahasia di antara mereka. “Mending kita ke kantin dulu aja. Aku lapar.”
“Ok!” Caca antusias.
Pertemanan ini terjalin begitu saja. Setidaknya, hanya Caca yang selalu ada untuknya.
***
Waktu terus bergulir sampai sore pun datang. Alvin rasa sudah cukup untuk pemeriksaan tugas hari ini. Ia pun berniat pergi ke butik untuk meneruskan rancangan kemarin.
Alvin membereskan mejanya, meraih tas berisi laptop, lalu pergi. Ia tak lupa pamit pada beberapa dosen yang ada.
Suasana kampus memang masih ramai. Ada banyak mahasiswa dan mahasiswi yang masih menunggu kelas ataupun sekadar mengerjakan tugas.
Langkah Alvin baru saja akan turun tangga. Namun, pikirannya teringat sesuatu. Buku. Ah ... ia sampai lupa akan mencari buku referensi untuk rancangannya.
“Astagfirullah, aku harus ke perpustakaan dulu,” ujarnya sembari terus menuruni anak tangga.
Pada akhirnya Alvin pun pergi ke perpustakaan yang berada di lantai dasar. Setiap kali dirinya bertemu mahasiswa atau mahasiswi, ia selalu mendapatkan anggukan hormat dari mereka.
Tak jarang Alvin menemukan anak didiknya berjalan berpasangan. Jelas, ia kalah tentang hal percintaan.
Tak ingin ambil pusing. Alvin memilih berjalan lurus ke tempat yang dituju. Ia masuk ke ruangan perpustakaan. Suasana di sana tak seramai pagi atau siang hari. Mungkin karena sudah sore. Hanya ada beberapa orang yang masih berkutat dengan buku-bukunya.
Alvin mendekati tak tinggi yang berjajar rapi. Menyelusuri setiap buku yang ada di rak, dan mencari apa yang dibutuhkannya.
Rak satu ke rak lainnya, hingga kini Alvin berada di rak ke lima. Matanya terus mencari, dan belum menemukan juga. Sampai akhirnya telinga Alvin mendengar suara yang pernah didengarnya hari ini.
“Duh, tinggi banget lagi!”
Suara Rina begitu jelas di telinga Alvin. Sepertinya gadis itu berada di rak belakang.
Alvin bersikap acuh. Semua orang berhak datang ke sini untuk kepentingan pribadi. Namun, lagu-lagi telinga Alvin mendengar omelan Rina.
“Coba ada yang bantuin. Minta imbalan juga enggak masalah,” kata Rina.
Alvin penasaran. Hatinya tergerak untuk melihat, hingga kedua kakinya pun berjalan ke arah belakang.
Benar saja. Ia menemukan Rina, mahasiswi yang tadi berdebat dengannya. Gadis itu ternyata kesulitan mengambil buku yang berada di jajaran paling atas di rak.
Rina masih berusaha. Ia melompat untuk meraih buku, tetapi nihil. Alvin menyunggingkan senyuman di bibir, kemudian dengan sadar mendekati Rina dan kini berada di samping gadis itu.
“Kamu mau buku itu?” tanya Alvin.
Kehadiran Alvin membuat Rina kaget. Gadis itu sampai bergeser sedikit menjauh dari Alvin. Parfum Alvin yang kalem pun tercium di hidungnya
“Pak Alvin,” kata Rina tak percaya.
Alvin mengambil buku dengan sampul berwarna merah. “Kamu mau ini?”
Rina bergeming.
“Ini ambillah.” Alvin menyodorkan buku itu ke Rina. “Tapi, sepertinya saya mendengar sesuatu tadi.” Alvin menatap lekat Rina.
Rina ingat perkataannya beberapa detik lalu. Ah ... Ia menyesal. Kenapa harus dosen gila ini yang mendengarnya? Bisa gawat!
“Ambil bukunya dan tepati janjimu,” ujar Alvin.
Rina mengambil cepat buku di tangan Alvin tanpa tahu apa yang diinginkan lelaki di hadapannya ini.
“Bapak, mau imbalan apa?” tanya Rina. Ia harap bukan sesuatu yang terlalu mahal. Minimal cukup mentraktir Alvin makanan kampus saja.
Alvin mengamati sekitar. Di rak yang sama ada dua mahasiswa yang juga tengah mengambil buku. Rasanya tak benar jika mengatakan di sekarang.
“Jangan mahal-mahal, ya, Pak, kalau minta. Kantong mahasiswi nggak setebal dosen,” sambung Rina.
“Kita bicara di luar saja,” jawab Alvin.
“Memangnya kenapa?”
“Saya ada keperluan mendesak.” Alvin sampai lupa dengan tujuannya ke sini.
Saat sedang berbicara, ponsel milik Alvin berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ibunda tercinta. Alvin meraih ponsel di saku celana, membuka pesan dan matanya pun terbelalak.
From Bunda
Assalamualaikum. Bunda, ketemu Cika. Anaknya teman Bunda yang sekarang udah tamat SMA. Kamu mau ketemu?
Sontak Alvin diam. Ia sudah bisa menebak alur selanjutnya.
Rina memperhatikan Alvin, dahinya berkerut kencang. “Pak Alvin, baik-baik aja?”
Alvin tersadar. Ia menyimpan kembali ponsel ke saku celana, lalu berujar, “Ayo, ikut saya!”
“Ke mana?” Rina sedikit takut.
“Yang jelas bukan ke jurang!” Alvin tak kalah tegas. “Janji itu hutang, dan saya sedang menagih imbalan.”
########
Pada akhirnya Rina pun mengikuti Alvin keluar perpustakaan. Mereka berjalan bersama, tetapi tak berdampingan.
Setiap berjumpa dengan orang, Rina mencoba menundukkan pandangan. Ia berharap tak ada gosip aneh setelah ini. Sebab, Alvin ini termasuk dosen yang paling banyak penggemar perempuannya.
“Jangan ada gosip,” gumam Rina pelan.
Keduanya berjalan cepat keluar area gedung kampus, bergerak perlahan ke arah parkiran. Di mana mobil Alvin berada di sana.
Rina tak khawatir dosen muda ini melakukan hal yang aneh. Pasalnya, banyak orang di sekitar mereka. Masih banyak mahasiswa dan mahasiswi yang tengah berada di parkiran untuk sekadar mengambil kendaraan mereka.
Sampailah keduanya di dekat mobil Alvin. Rina berhenti ketika melihat Alvin pun berhenti. Hatinya menebak-nebak apa yang diinginkan Alvin.
“Apa saya bisa minta apa pun sebagai imbalan?” tanya Alvin seraya berbalik ke arah Rina. Mereka memberi jarak sekitar satu meter.
Rina sejenak diam, lalu menjawab. “Iya. Pak Alvin, minta apa?”
Netra cantik milik Rina itu bagaikan menghipnotis Alvin, hingga diam. Sepertinya ia baru melihat Rina hari ini.
“Kamu mahasiswi baru di kelas saya?” tanya Alvin lagi.
Rina menggeleng. “Bukan, Pak. Tapi, saya sempat cuti dua minggu, karena sakit.”
“Kenapa saya baru melihat kamu?”
“Mungkin karena Bapak nggak memperhatikan anak didik.” Rina langsung memberi bidikan panah ke Alvin. Ia tak suka basa-basi, apa lagi untuk hal yang sepele.
Alvin patut mengacungi jempol dengan keberanian Rina. Pasalnya, banyak sekali mahasiswi yang canggung bahkan takut saat berhadapan dengannya. Padahal ia bukan seekor singa lapar yang akan menerkam mangsa. Kadang ia terdengar mengerikan jika mengingat hal itu.
“Ok. Langsung ke intinya saja,” kata Alvin.
“Ya. Saya juga enggak mau terlalu membuang waktu. Banyak tugas yang harus dikerjakan, apa lagi kalau itu tugas dari Bapak,” sahut Rina sedikit menyindir.
“Kamu menyindir saya?” Alvin paham.
Kepala Rina menggeleng. “Saya enggak berani, Pak. Itu, kan, memang kenyataan. Kalau enggak mengerjakan, bisa saja nilai mata kuliah saya diperjelek.”
Alvin menarik nafas kasar. Mencoba bersabar dengan sikap Rina yang jauh berbeda. “Saya minta pernikahan untuk imbalannnya.”
“Apa?” Rina kaget. Segerombolan mahasiswa yang sedang berdiam di dekat kendaraan roda empat mereka pun mengamati mereka. “Jangan bercanda, Pak!”
Sudut mata kanan Alvin melirik ke arah gerombolan mahasiswa itu, lalu mereka pun segera pergi dengan kendaraan masing-masing.
Alvin menunggu suasana sedikit sepi, karena ia tak mungkin membawa Rina ke dalam mobil untuk sekadar mengobrol. Sudah pasti akan tersebar fitnah yang tidak-tidak.
“Saya tidak pernah bercanda untuk hal serius!” tegas Alvin ketika merasa suasananya pas.
Rina memijat pelipisnya, sakit. “Sebentar. Saya enggak ngerti sama jalan pikiran, Pak Alvin. Maaf, kalau saya lancang.”
“Memang kenapa dengan jalan pikiran saya?” Alvin justru bertanya balik.
Ingin rasanya Rina berteriak langsung ke telinga dosen muda tersebut. Namun, ia sadar tak mungkin.
“Bapak, sadar, kan?” tanya Rina.
“Ya. Saya sadar.”
“Perkataan Bapak itu lucu.”
“Salah?” Kening Alvin berkerut. “Bukannya saya cuman meminta imbalan?”
Rina kehabisan kata-kata. Ini gila.
“Maaf, ya, Pak. Segilanya saya, enggak mungkin minta pernikahan juga. Bapak dan saya itu, enggak ada apa-apa.”
“Makanya, mari mulai apa-apa di antara kita!” Alvin tetap pada pendiriannya.
Rina tercengang. Alvin begitu kokoh dengan permintaannya. “Enggak! Ini gila.”
“Jadi, kamu enggak mau menepati janji?” Alis kanan Alvin terangkat ke atas. “Bukannya kamu tau kalau janji itu hutang di ajaran kita?”
Rina menyerah. Alvin punya sejuta cara untuk membuat lawan bicaranya sulit mencari celah. Lelaki itu menggunakan umpan yang paling baik untuk memancing ikan terbesar. “Ok, saya paham. Tapi, ini tuh tetap saja kedengaran gila, Pak.”
Rina tak lagi berbicara formal. Ia terlalu shock mendengar permintaan Alvin yang mendadak seperti tahu bulat di tukang dagang.
“Terserah kamu. Yang dosa pun bukan saya. Kamu sendiri yang berjanji,” kata Alvin.
Ah ... Alvin memang pandai membuat orang merasa terpojokkan. Rina tak lagi bisa mengeluarkan kalimat yang benar.
Alvin membalikkan badan. Waktunya sudah banyak terbuang hanya sekadar berbicara dengan Rina. Kepalanya pun mulai sakit memikirkan pernikahan yang terus didesak orang tuanya akhir-akhir ini.
Terlebih sang Bunda terus saja bertekad menjodohkannya dengan anak temannya yang sepantasnya menjadi adik Alvin.
Rina berpikir sejenak. Sampai akhirnya sang Otak pun memberikannya jawaban gila pada Alvin. “Ok. Saya turuti imbalan buat Bapak.”
Alvin belum membuka pintu mobil, ia bergeming lebih dahulu beberapa detik.
“Ini memang gila. Saya dan Bapak jarang terlibat interaksi. Bahkan Bapak sendiri tidak tau kalau saya anak didik Bapak. Lalu, kita terlibat pernikahan. Gila bukan?” tanya Rina sedang mengasihi dirinya sendiri.
“Kenapa gila? Toh, jalan kehidupan tidak ada yang tau.” Alih-alih menjawab pertanyaan, Alvin justru bertanya balik. “Di dunia ini tidak ada yang tak mungkin kalau Tuhan sudah ikut campur.”
Perkataan Alvin memang benar. Siapa yang bisa melawan kehendak Tuhan.
“Kita bahas ini besok siang. Kamu bisa temui saya di ruangan dosen. Saya pamit. Assalamualaikum.” Tanpa banyak bertanya, Alvin sesegera mungkin masuk mobil. Mengenderai kendaraan roda empat berwarna hitam itu, lalu pergi meninggalkan Rina sendirian.
Rina masih diam di tempat. Kesepakatan itu terjadi hanya beberapa detik saja. Ini berawal dari kecerobohannya dalam berbicara. Mulut ini memang harus diberi pelajaran.
“Dasar, mulut!” Rina memukul bibirnya dua kali. Kecerobohannya kali ini mengantarkannya ke sebuah komitmen gila. “Kayaknya aku harus beli gembok buat mulut biar enggak ngomong sembarang aja!”
Daripada terus mengutuk mulutnya, Rina pun bergegas meninggalkan parkiran.
Langit sore tampak mendung. Awan hitam menggantung di angkasa. Pertanda dalam waktu beberapa menit lagi, mungkin saja sang Hujan akan datang menyapa bumi.
Rina berjalan lesu menuju gerbang kampus. Rintik hujan benar-benar datang. Terpaksa Rina berlarian ke arah pos satpam dan menumpang berteduh di sana.
“Eh, Neng Rina. Baru pulang, Neng?” tanya Pak Anwar –satpam kampus.
Rina mengurai senyum. “Iya, Pak. Numpang neduh sebentar, ya, Pak.”
“Neduh aja, Neng. Hujannya lumayan gede.” Pak Anwar memberikan kursi dari plastik pada Rina agar perempuan itu bisa duduk. “Duduk, Neng. Biar enggak pegel.”
Rina menerima dengan baik. Ia pun duduk di sana, matanya memperhatikan setiap tetesan air hujan yang mengguyur semesata.
Sudut mata kanannya tak sengaja melihat sepasang kekasih yang asyik berboncengan sepeda motor. Kedua orang itu berhenti di depan pos satpam, dan si lekaki memasangkan jas hujan pada wanitanya.
Pikiran Rina jauh terbang ke udara. Andai dan andai waktu bisa diputar. Ia mungkin bisa merasakan moment seperti ini. Hal yang tak pernah ia rasakan, dan hanya kesakitan semata yang ia dapatkan.
“Hidup memang nggak bisa ditebak,” gumam Rina sembari tersenyum simpul.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!