Suasana di antara keduanya terasa tegang. Gadis itu memperlihatkan kekesalannya.
“Sebelumnya saya minta maaf jika perkataan saya kasar. Tapi, andaikan saya di posisi Bapak. Saya pasti akan tetap menerima tugas ini,” lanjut gadis itu.
Alvin tak langsung menjawab. Ia menyimpan bolpoin di meja, melipat kedua tangannya di dada. “Kamu mau saya menerimanya?”
“Ya.”
“Alasannya?”
“Karena saya sudah mengerjakan.”
Alvin mengangguk dua kali. Tatapan si Gadis itu masih saja tak bisa ia lewatkan. “Simpan di meja, dan kamu bisa keluar.”
Sontak mata gadis itu berbinar terang. Seolah ada cahaya di antara kegelapan yang tengah melandanya.
“Cepat simpan! Saya masih banyak pekerjaan,” kata Alvin tegas.
Dengan sedikit mengomel dalam hati, gadis itu pun menurut. Akhirnya pertempuran ini ia menangkan. “Terima kasih, Pak.”
Alvin tak menjawab. Ia segera fokus dengan pekerjaannya, hingga gadis itu pun berbalik badan.
Dua langkah sudah si gadis berjalan. Telinga Alvin bisa mendengar jelas omelan dari mulut gadis itu.
“Kalau bukan butuh, tak bejek juga!” omel si Gadis.
“Siapa yang mau kamu bejek?” tanya Alvin.
Gadis itu berhenti seketika. Matanya tercengang. “Itu tahu, Pak.”
“Oh.”
Tanpa menunggu Alvin berkata lagu, si gadis langsung kabur keluar. Ia harus sesegera mungkin menyelamatkan diri dari amukan dosen paling muda.
“Rina!” Teriakan Caca terdengar menyambut gadis itu keluar dari ruangan dosen.
Gadis yang ternyata bernama Rina itu pun menoleh ke samping kanan, berjalan terburu-buru agar temannya tidak sampai ke depan ruangan dosen. “Kamu mau ngapain ke sini?”
“Mau nengokin kamu lah,” jawab Caca cemas. Netranya memperhatikan pintu ruangan dosen. Tak ada lagi yang keluar. “Gimana? Diterima?”
“Alhamdulillah.”
Caca tak percaya. “Serius?”
“Iya.”
“Wah, gila.”
“Loh, kok, gila?” Rina mengerutkan kening. Ia menyelipkan tangan kanan ke lengan kiri Caca, membawa gadis itu berbalik badan. “Yang penting udah sampai tujuan. Ayo, kita makan siang?”
Caca tak lagi berkomentar, walaupun hati kecilnya masih dilanda penasaran. Ia tetap mengikuti setiap jejak langkah kaki Rina yang akan membawanya ke kantin kampus.
“Kamu mau makan apa?” tanya Rina santai.
“Somay mungkin enak,” jawab Caca.
“Bisa jadi.”
“Kamu udah ketemu buku buat referensi nanti?”
Rina seketika berhenti berjalan. Ia hampir lupa dengan hal ini. “Belum. Nanti habis kelas siang, aku ke perpus lagi.”
“Tapi, aku enggak bisa temenin.” Wajah Caca berubah sendu. “Kamu tau, kan, aku harus kerja sif sore.”
Rina mengerti. Ia tersenyum manis. “Iya. Aku tau.” Tak ada rahasia di antara mereka. “Mending kita ke kantin dulu aja. Aku lapar.”
“Ok!” Caca antusias.
Pertemanan ini terjalin begitu saja. Setidaknya, hanya Caca yang selalu ada untuknya.
***
Waktu terus bergulir sampai sore pun datang. Alvin rasa sudah cukup untuk pemeriksaan tugas hari ini. Ia pun berniat pergi ke butik untuk meneruskan rancangan kemarin.
Alvin membereskan mejanya, meraih tas berisi laptop, lalu pergi. Ia tak lupa pamit pada beberapa dosen yang ada.
Suasana kampus memang masih ramai. Ada banyak mahasiswa dan mahasiswi yang masih menunggu kelas ataupun sekadar mengerjakan tugas.
Langkah Alvin baru saja akan turun tangga. Namun, pikirannya teringat sesuatu. Buku. Ah ... ia sampai lupa akan mencari buku referensi untuk rancangannya.
“Astagfirullah, aku harus ke perpustakaan dulu,” ujarnya sembari terus menuruni anak tangga.
Pada akhirnya Alvin pun pergi ke perpustakaan yang berada di lantai dasar. Setiap kali dirinya bertemu mahasiswa atau mahasiswi, ia selalu mendapatkan anggukan hormat dari mereka.
Tak jarang Alvin menemukan anak didiknya berjalan berpasangan. Jelas, ia kalah tentang hal percintaan.
Tak ingin ambil pusing. Alvin memilih berjalan lurus ke tempat yang dituju. Ia masuk ke ruangan perpustakaan. Suasana di sana tak seramai pagi atau siang hari. Mungkin karena sudah sore. Hanya ada beberapa orang yang masih berkutat dengan buku-bukunya.
Alvin mendekati tak tinggi yang berjajar rapi. Menyelusuri setiap buku yang ada di rak, dan mencari apa yang dibutuhkannya.
Rak satu ke rak lainnya, hingga kini Alvin berada di rak ke lima. Matanya terus mencari, dan belum menemukan juga. Sampai akhirnya telinga Alvin mendengar suara yang pernah didengarnya hari ini.
“Duh, tinggi banget lagi!”
Suara Rina begitu jelas di telinga Alvin. Sepertinya gadis itu berada di rak belakang.
Alvin bersikap acuh. Semua orang berhak datang ke sini untuk kepentingan pribadi. Namun, lagu-lagi telinga Alvin mendengar omelan Rina.
“Coba ada yang bantuin. Minta imbalan juga enggak masalah,” kata Rina.
Alvin penasaran. Hatinya tergerak untuk melihat, hingga kedua kakinya pun berjalan ke arah belakang.
Benar saja. Ia menemukan Rina, mahasiswi yang tadi berdebat dengannya. Gadis itu ternyata kesulitan mengambil buku yang berada di jajaran paling atas di rak.
Rina masih berusaha. Ia melompat untuk meraih buku, tetapi nihil. Alvin menyunggingkan senyuman di bibir, kemudian dengan sadar mendekati Rina dan kini berada di samping gadis itu.
“Kamu mau buku itu?” tanya Alvin.
Kehadiran Alvin membuat Rina kaget. Gadis itu sampai bergeser sedikit menjauh dari Alvin. Parfum Alvin yang kalem pun tercium di hidungnya
“Pak Alvin,” kata Rina tak percaya.
Alvin mengambil buku dengan sampul berwarna merah. “Kamu mau ini?”
Rina bergeming.
“Ini ambillah.” Alvin menyodorkan buku itu ke Rina. “Tapi, sepertinya saya mendengar sesuatu tadi.” Alvin menatap lekat Rina.
Rina ingat perkataannya beberapa detik lalu. Ah ... Ia menyesal. Kenapa harus dosen gila ini yang mendengarnya? Bisa gawat!
“Ambil bukunya dan tepati janjimu,” ujar Alvin.
Rina mengambil cepat buku di tangan Alvin tanpa tahu apa yang diinginkan lelaki di hadapannya ini.
“Bapak, mau imbalan apa?” tanya Rina. Ia harap bukan sesuatu yang terlalu mahal. Minimal cukup mentraktir Alvin makanan kampus saja.
Alvin mengamati sekitar. Di rak yang sama ada dua mahasiswa yang juga tengah mengambil buku. Rasanya tak benar jika mengatakan di sekarang.
“Jangan mahal-mahal, ya, Pak, kalau minta. Kantong mahasiswi nggak setebal dosen,” sambung Rina.
“Kita bicara di luar saja,” jawab Alvin.
“Memangnya kenapa?”
“Saya ada keperluan mendesak.” Alvin sampai lupa dengan tujuannya ke sini.
Saat sedang berbicara, ponsel milik Alvin berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ibunda tercinta. Alvin meraih ponsel di saku celana, membuka pesan dan matanya pun terbelalak.
From Bunda
Assalamualaikum. Bunda, ketemu Cika. Anaknya teman Bunda yang sekarang udah tamat SMA. Kamu mau ketemu?
Sontak Alvin diam. Ia sudah bisa menebak alur selanjutnya.
Rina memperhatikan Alvin, dahinya berkerut kencang. “Pak Alvin, baik-baik aja?”
Alvin tersadar. Ia menyimpan kembali ponsel ke saku celana, lalu berujar, “Ayo, ikut saya!”
“Ke mana?” Rina sedikit takut.
“Yang jelas bukan ke jurang!” Alvin tak kalah tegas. “Janji itu hutang, dan saya sedang menagih imbalan.”
########
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Ummi Alfa
Duuuh.... kira2 pak Dosen minta imbalan apa nih!
jangan2 pura2 jadi kekasihnya.
2022-11-05
0
A_wulandary⚞ል☈⚟
klo gitu aku jg mau di bantu pak dosen
2022-10-01
0
نور✨
imbalan nya jadi istri pak dosen 🤣🤣🤣🤣
2022-08-25
0