Imbalan

Pada akhirnya Rina pun mengikuti Alvin keluar perpustakaan. Mereka berjalan bersama, tetapi tak berdampingan.

Setiap berjumpa dengan orang, Rina mencoba menundukkan pandangan. Ia berharap tak ada gosip aneh setelah ini. Sebab, Alvin ini termasuk dosen yang paling banyak penggemar perempuannya.

“Jangan ada gosip,” gumam Rina pelan.

Keduanya berjalan cepat keluar area gedung kampus, bergerak perlahan ke arah parkiran. Di mana mobil Alvin berada di sana.

Rina tak khawatir dosen muda ini melakukan hal yang aneh. Pasalnya, banyak orang di sekitar mereka. Masih banyak mahasiswa dan mahasiswi yang tengah berada di parkiran untuk sekadar mengambil kendaraan mereka.

Sampailah keduanya di dekat mobil Alvin. Rina berhenti ketika melihat Alvin pun berhenti. Hatinya menebak-nebak apa yang diinginkan Alvin.

“Apa saya bisa minta apa pun sebagai imbalan?” tanya Alvin seraya berbalik ke arah Rina. Mereka memberi jarak sekitar satu meter.

Rina sejenak diam, lalu menjawab. “Iya. Pak Alvin, minta apa?”

Netra cantik milik Rina itu bagaikan menghipnotis Alvin, hingga diam. Sepertinya ia baru melihat Rina hari ini.

“Kamu mahasiswi baru di kelas saya?” tanya Alvin lagi.

Rina menggeleng. “Bukan, Pak. Tapi, saya sempat cuti dua minggu, karena sakit.”

“Kenapa saya baru melihat kamu?”

“Mungkin karena Bapak nggak memperhatikan anak didik.” Rina langsung memberi bidikan panah ke Alvin. Ia tak suka basa-basi, apa lagi untuk hal yang sepele.

Alvin patut mengacungi jempol dengan keberanian Rina. Pasalnya, banyak sekali mahasiswi yang canggung bahkan takut saat berhadapan dengannya. Padahal ia bukan seekor singa lapar yang akan menerkam mangsa. Kadang ia terdengar mengerikan jika mengingat hal itu.

“Ok. Langsung ke intinya saja,” kata Alvin.

“Ya. Saya juga enggak mau terlalu membuang waktu. Banyak tugas yang harus dikerjakan, apa lagi kalau itu tugas dari Bapak,” sahut Rina sedikit menyindir.

“Kamu menyindir saya?” Alvin paham.

Kepala Rina menggeleng. “Saya enggak berani, Pak. Itu, kan, memang kenyataan. Kalau enggak mengerjakan, bisa saja nilai mata kuliah saya diperjelek.”

Alvin menarik nafas kasar. Mencoba bersabar dengan sikap Rina yang jauh berbeda. “Saya minta pernikahan untuk imbalannnya.”

“Apa?” Rina kaget. Segerombolan mahasiswa yang sedang berdiam di dekat kendaraan roda empat mereka pun mengamati mereka. “Jangan bercanda, Pak!”

Sudut mata kanan Alvin melirik ke arah gerombolan mahasiswa itu, lalu mereka pun segera pergi dengan kendaraan masing-masing.

Alvin menunggu suasana sedikit sepi, karena ia tak mungkin membawa Rina ke dalam mobil untuk sekadar mengobrol. Sudah pasti akan tersebar fitnah yang tidak-tidak.

“Saya tidak pernah bercanda untuk hal serius!” tegas Alvin ketika merasa suasananya pas.

Rina memijat pelipisnya, sakit. “Sebentar. Saya enggak ngerti sama jalan pikiran, Pak Alvin. Maaf, kalau saya lancang.”

“Memang kenapa dengan jalan pikiran saya?” Alvin justru bertanya balik.

Ingin rasanya Rina berteriak langsung ke telinga dosen muda tersebut. Namun, ia sadar tak mungkin.

“Bapak, sadar, kan?” tanya Rina.

“Ya. Saya sadar.”

“Perkataan Bapak itu lucu.”

“Salah?” Kening Alvin berkerut. “Bukannya saya cuman meminta imbalan?”

Rina kehabisan kata-kata. Ini gila.

“Maaf, ya, Pak. Segilanya saya, enggak mungkin minta pernikahan juga. Bapak dan saya itu, enggak ada apa-apa.”

“Makanya, mari mulai apa-apa di antara kita!” Alvin tetap pada pendiriannya.

Rina tercengang. Alvin begitu kokoh dengan permintaannya. “Enggak! Ini gila.”

“Jadi, kamu enggak mau menepati janji?” Alis kanan Alvin terangkat ke atas. “Bukannya kamu tau kalau janji itu hutang di ajaran kita?”

Rina menyerah. Alvin punya sejuta cara untuk membuat lawan bicaranya sulit mencari celah. Lelaki itu menggunakan umpan yang paling baik untuk memancing ikan terbesar. “Ok, saya paham. Tapi, ini tuh tetap saja kedengaran gila, Pak.”

Rina tak lagi berbicara formal. Ia terlalu shock mendengar permintaan Alvin yang mendadak seperti tahu bulat di tukang dagang.

“Terserah kamu. Yang dosa pun bukan saya. Kamu sendiri yang berjanji,” kata Alvin.

Ah ... Alvin memang pandai membuat orang merasa terpojokkan. Rina tak lagi bisa mengeluarkan kalimat yang benar.

Alvin membalikkan badan. Waktunya sudah banyak terbuang hanya sekadar berbicara dengan Rina. Kepalanya pun mulai sakit memikirkan pernikahan yang terus didesak orang tuanya akhir-akhir ini.

Terlebih sang Bunda terus saja bertekad menjodohkannya dengan anak temannya yang sepantasnya menjadi adik Alvin.

Rina berpikir sejenak. Sampai akhirnya sang Otak pun memberikannya jawaban gila pada Alvin. “Ok. Saya turuti imbalan buat Bapak.”

Alvin belum membuka pintu mobil, ia bergeming lebih dahulu beberapa detik.

“Ini memang gila. Saya dan Bapak jarang terlibat interaksi. Bahkan Bapak sendiri tidak tau kalau saya anak didik Bapak. Lalu, kita terlibat pernikahan. Gila bukan?” tanya Rina sedang mengasihi dirinya sendiri.

“Kenapa gila? Toh, jalan kehidupan tidak ada yang tau.” Alih-alih menjawab pertanyaan, Alvin justru bertanya balik. “Di dunia ini tidak ada yang tak mungkin kalau Tuhan sudah ikut campur.”

Perkataan Alvin memang benar. Siapa yang bisa melawan kehendak Tuhan.

“Kita bahas ini besok siang. Kamu bisa temui saya di ruangan dosen. Saya pamit. Assalamualaikum.” Tanpa banyak bertanya, Alvin sesegera mungkin masuk mobil. Mengenderai kendaraan roda empat berwarna hitam itu, lalu pergi meninggalkan Rina sendirian.

Rina masih diam di tempat. Kesepakatan itu terjadi hanya beberapa detik saja. Ini berawal dari kecerobohannya dalam berbicara. Mulut ini memang harus diberi pelajaran.

“Dasar, mulut!” Rina memukul bibirnya dua kali. Kecerobohannya kali ini mengantarkannya ke sebuah komitmen gila. “Kayaknya aku harus beli gembok buat mulut biar enggak ngomong sembarang aja!”

Daripada terus mengutuk mulutnya, Rina pun bergegas meninggalkan parkiran.

Langit sore tampak mendung. Awan hitam menggantung di angkasa. Pertanda dalam waktu beberapa menit lagi, mungkin saja sang Hujan akan datang menyapa bumi.

Rina berjalan lesu menuju gerbang kampus. Rintik hujan benar-benar datang. Terpaksa Rina berlarian ke arah pos satpam dan menumpang berteduh di sana.

“Eh, Neng Rina. Baru pulang, Neng?” tanya Pak Anwar –satpam kampus.

Rina mengurai senyum. “Iya, Pak. Numpang neduh sebentar, ya, Pak.”

“Neduh aja, Neng. Hujannya lumayan gede.” Pak Anwar memberikan kursi dari plastik pada Rina agar perempuan itu bisa duduk. “Duduk, Neng. Biar enggak pegel.”

Rina menerima dengan baik. Ia pun duduk di sana, matanya memperhatikan setiap tetesan air hujan yang mengguyur semesata.

Sudut mata kanannya tak sengaja melihat sepasang kekasih yang asyik berboncengan sepeda motor. Kedua orang itu berhenti di depan pos satpam, dan si lekaki memasangkan jas hujan pada wanitanya.

Pikiran Rina jauh terbang ke udara. Andai dan andai waktu bisa diputar. Ia mungkin bisa merasakan moment seperti ini. Hal yang tak pernah ia rasakan, dan hanya kesakitan semata yang ia dapatkan.

“Hidup memang nggak bisa ditebak,” gumam Rina sembari tersenyum simpul.

Terpopuler

Comments

Ummi Alfa

Ummi Alfa

Cuma ambilin buku di rak aja imbalannya harus nikah.
Berat juga imbalannya, tapi ndak apa2 Rin mungkin ini jalan takdir yang sudah digariskan sang pencipta hanya aja caranya harus seperti ini.
Sepertinya Rina ini pernah mengalami patah hati.

2022-11-05

0

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

ibarat ketiban durian runtuh nih si Rina, dapat dosen dingin tapi ganteng

2022-06-08

1

rutia ningsih

rutia ningsih

halo kak siti apa kbar semoga semuanya baik ya

2022-06-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!