Haruskah Kita Menikah?

Haruskah Kita Menikah?

Petaka Sore Itu

"Beneran cuma sebentar? Nanti malah kelamaan lagi." aku masih melakukan negosiasi atas ajakan ketiga sahabatku; Mita, Lina dan Bianca. Pulang sekolah ini, sebenarnya pengen langsung pulang. Aku ingin cepat-cepat mengabarkan pada ayah dan kedua kakakku; mas Yuda dan mbak Tika kalau aku berhasil lolos mendapatkan beasiswa di fakultas kedokteran UI. Sesuatu yang jadi mimpi kami sekeluarga. Bahkan untuk mewujudkan itu semua, kedua kakakku sampai bersedia tidak lanjut ke bangku kuliah, mereka ikut bekerja membantu Ayah, mengumpulkan uang untuk keperluan aku nantinya. Karena meski mendapatkan beasiswa, yang namanya kuliah di fakultas kedokteran itu tetap saja butuh biaya besar.

"Iya, cuma sebentar saja kok Yu. Kita makan-makan sebentar, terus foto-foto untuk kenang-kenangan. Udah deh. Lagian kapan lagi coba kita bikin foto kenang-kenangan. Kamu sudah mau berangkat ke Jakarta, kita nggak akan bertemu untuk waktu yang lama. Harus ada kenangan untuk obat rindu nantinya, Yu." bujuk Mita, sebagai juru bicara dua sahabatku lainnya.

"Hmmm," aku melirik mereka bertiga yang tampak penuh harap. Benar yang dikatakan Mita. Setelah ini aku akan disibukkan dengan urusan surat-surat, lalu berangkat ke Jakarta. Kecil banget kemungkinan kami punya waktu bersama-sama lagi, sekedar untuk ngobrol ngalur-ngidul seperti yang biasa kami lakukan sejak enam tahun belakangan kami menjalin persahabatan ini. "Baiklah. Tapi hanya sebentar ya. Makan-makan, terus foto-foto, lalu pulang!" aku membuat kesepakatan.

"Yeayyyyu!" ketiga sahabatku langsung bersorak gembira.

Kami berempat pun berlalu menuju warung bakso sederhana yang berada tak jauh dari sekolah kami. Sambil menikmati semangkuk bakso dan segelas es teh dengan es batu cukup banyak kami bercerita panjang lebar. Tentang bagaimana persahabatan ini terjalin, tentang bagaimana kami berempat berjuang mempertahankan nilai-nilai kami hingga tentang cita-cita kami berempat. Aku ingin menjadi dokter, Mita dan Lina ingin jadi guru sedangkan Bianca menjadi pejabat negara.

Rencananya Mita dan Lina akan tetap kuliah di Jogja, sementara Bianca akan ikut jalur pendidikan. Ia akan mencoba ujian masuk STAN. Kalau tidak lolos, ia akan mencoba kuliah ikatan dinas di tempat lainnya.

***

Pukul 18.16. benar saja apa yang aku khawatirkan. Terlambat lagi. Kalau sudah kumpul-kumpul, biasanya akan lupa waktu. Rencananya hanya sekedar makan dan foto-foto, berlanjut jadi belanja dulu di pasar Beringharjo, membeli beberapa lembar baju kaus untuk properti foto, sampai tak sadar azan Maghrib berkumandang.

"Aku harus segera pulang!" Kataku pada ketiga sahabatku yang masih sibuk foto-foto di beberapa spot dekat sekolah kami.

"Nggak salat dulu, Yu. Sudah azan lho!" jawab Mita. "Nanti aku anter deh pakai motor."

"Salat di rumah saja, takut semakin malam," kataku, sembari bergegas merapikan tas, lalu berlalu sembari melambaikan tangan pada mereka bertiga.

Langkah kaki ini semakin ku percepat. Ku putuskan untuk memilih jalan setapak yang lebih dekat menuju rumah meski jalannya sepi. Berpacu dengan langit kota pelajar yang semakin berubah menjadi gelap.

Bruk. Aku terjatuh karena tersandung batu kecil. Rasanya lututku begitu sakit, saat aku memaksakan berdiri rasa perihnya semakin bertambah.

"Sini," sebuah tangan terulur padaku, meski suasana remang-remang, aku bisa melihat jelas wajah orang yang berniat menolongku tersebut.

"Tidak usah," aku berniat bangkit, tetapi tangan itu mencekal tanganku dengan begitu keras. Ia tak membiarkan aku menjauh, justru menyeretku dengan paksa menuju mobilnya, tentunya setelah membekap mulutku.

Ya Allah ... ada apa ini? Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri, namun cengkraman orang itu membuatku tak bisa berdaya. Sebuah pukulaydi tengkuk membuatku langsung tak sadarkan diri.

***

"Apa cita-citamu, Yu?" tanya bu Rini, Walid kelasku sejak kelas dua SMA.

"Jadi dokter, Bu. Ayu ingin jadi dokter!" kataku, dengan penuh harap.

"Dokter? Karena itu kamu belajar begitu gigih, sampai-sampai tak punya waktu untuk bermain dengan teman-teman kamu?"

Aku mengangguk. Anak seorang guru ngaji merangkap buruh bangunan kalau tidak pintar, tak akan bisa mendapatkan beasiswa kedokteran. Itulah kenapa aku bekerja keras, aku belajar sungguh-sungguh, siang dan malam karena mimpi menjadi dokter bukan hanya mimpiku, tapi juga mimpi ayah, mas Yuda dan mbak Tika.

"Kalau tidak bisa jadi dokter bagaimana, Yu?" tanya bu Rini lagi.

"Harus bisa, Bu. Ayu nggak punya cita-cita yang lain selain jadi dokter." kataku. Sejak ibu meninggal dunia karena sakit yang tidak bisa diketahui penyakitnya, aku sudah bertekad akan belajar sungguh-sungguh, aku akan menemukan obat untuk orang-orang yang sakit karena tidak tertutup kemungkinan kelak penyakit itu akan kembali muncul pada anak keturunan bapak dan ibu. Sebelum itu semua terjadi, aku harus jadi dokter!

Jas putih itu kupeluk dengan erat. Aku tersenyum bahagia. Namun, tiba-tiba ada orang-orang yang merenggut jas itu dariku. Mereka menariknya dengan paksa, saat aku mencoba mengambil, mereka menghalangi, bahkan mereka membakar jas putih itu di hadapanku hingga hancur menjadi debu.

"Jangan ... jangan ... jangan!" aku berteriak histeris menyaksikan debunya pun kini dihempaskan hingga tak ada satupun yang tersisa. "Aaaaaaaaaaa ...." hanya suara tangis yang mampu keluar dari mulut ini mengikuti rasa sakit yang mulai terasa di seluruh tubuhku. Aku telah hancur, ibarat bunga, kembang tak jadi. Semua mimpi itu telah dihancurkan bersamaan dengan dihancurkannya kehormatan ku.

***

Aroma obat tercium begitu keras, saat aku membuka mata, yang pertama terlihat adalah wajah ayah, diikuti mas Yuda dan mbak Yuni istrinya, lalu ada mbak Tika, kakak Perempuanku. Wajah mereka mengguratkan kesedihan, begitu kami saling tatap, tak ada kata-kata yang mampu kami ucapkan selain air mata yang menceritakan bagaimana derita ini akan dimulai.

Aku sudah kehilangan semuanya. Sudah tak ada lagi yang tersisa. Lelaki itu sudah merenggut paksa dariku, lelaki yang membuatku begitu emosi. Darahku langsung membuncah mengingat wajahnya. Rasanya aku ingin menerkamnya, menghabisinya semampuku, namun aku tak mampu selain hanya menangis.

Entah siapa yang memberi isyarat, ayah dan mas Yuda keluar dari kamar tempat aku dirawat, tinggal mbak Yuni dan mbak Tika. Mereka berdua memelukku. Pelukan yang meski tak bisa menghilangkan duka ini namun tetap ku butuhkan. Lagi-lagi hanya air mata yang menetes tanpa ada kata-kata yang bisa diucapkan.

Saat seperti ini rasanya duniaku sudah tamat. Tak ada lagi harapan untuk hidup, semuanya terasa suram. Aku sudah menjadi manusia kotor, aku sudah tidak suci lagi.

Aghhh, andai saja pulang sekolah aku tak ikut makan-makan dan foto-foto, atau aku tidak larut bersama teman-teman, mungkin tak akan begini jadinya. Aku tak akan kehilangan kehormatanku, juga mimpiku menjadi seorang dokter.

"Bodoh kamu Ayu ... bodoh!" Aku hanya bisa merutuki diri sendiri. Kenapa sejak awal tak bisa menjaga diri dengan baik. Atau harusnya aku salat dulu, menerima ajakan Mita untuk diantar naik motor. Tapi aku malah membuat pilihan yang salah.

Terpopuler

Comments

Noviyanti

Noviyanti

salken dari Jelita secantik kupu-kupu.. ternyata cover kita sama😆😆

2022-10-02

2

▀▄▀▄🪱CACING ALASKA🪱▄▀▄▀

▀▄▀▄🪱CACING ALASKA🪱▄▀▄▀

Sedih banget bacanya

2022-10-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!