Diintrogasi

Mungkin sudah hampir satu jam aku mengunci diri di kamar mandi rumah sakit. Duduk di bawah shower yang mengalir, airnya membasahi seluruh tubuh ini, meski begitu aku masih saja merasa kotor. Rasanya, deru nafas lelaki itu masih tetap terasa hingga saat ini, bagai mimpi buruk yang menghancurkan hidupku.

Aku kotor. Sudah tidak punya masa depan lagi. Semuanya sudah hancur, tak ada lagi harapan untukku.

"Yu ... Ayu. Buka pintunya. Sudah terlalu lama kamu di kamar mandi. Ayo cepat buka pintunya." pinta mbak Tika, sambil menggedor-gedor pelan pintu kamar mandi.

Bukannya menjawab, apalagi membukakan pintu, aku hanya bisa memejamkan mata sembari menutup kedua telinga dengan tangan agar tak ada lagi suara-suara yang ku dengar. Entah setan apa yang merasuki, saat ini aku hanya ingin mengakhiri semuanya. Aku ingin mati saja, ikut ibu, agar tak perlu menghadapi semua ujian ini.

Tadi, secara tidak sengaja aku melihat siaran televisi dimana berita kasus pemerkosaan yang ku alami diliput oleh media. Semua orang membicarakannya. Seorang putri guru mengaji menjadi korban asusila. Gadis yang tengah mempersiapkan diri melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.

Semua orang sudah tahu kalau aku ini kotor. Aku sudah tidak suci lagi. Tak hanya keluargaku, tapi semua orang.

Selepas keluar dari rumah sakit, aku tak tahu apakah bisa menghadapi semuanya. Aku tak punya keberanian. Bagaimana kalau orang-orang mengira bahwa aku perempuan yang tidak benar karena tidak bisa menjaga diri?

Tangisku kembali pecah. Rasanya seperti menanggung beban yang begitu berat. Entah bagaimana aku bisa menghadapi semuanya nanti.

***

Dua orang perempuan berseragam coklat masuk ke ruangan tempatku di rawat. Mereka ibu-ibu polwan yang bertugas membantuku menyelesaikan masalah yang tengah menimpaku saat ini. Dua orang ibu-ibu itu berupaya membuatku buka mulut untuk menceritakan kejadian yang menimpaku.

"Apa nak Ayu mengenal pelakunya? Mungkin pernah melihat sebelumnya? Atau mencurigai seseorang? Katakan saja, nak. Tidak apa-apa. Kami semua di sini akan membantu nak Ayu untuk menemukan pelakunya. Ia akan mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang sudah dilakukannya." ucap Bu Polwan yang lebih senior.

Badanku langsung gemetaran ketika mengingat kembali kejadian kemarin malam, ketika ia membawaku dengan paksa naik ke mobilnya. Lalu ia memukul tengkukku karena aku terus meronta hingga aku tak sadarkan diri.

Esok paginya aku diantarkan ke depan rumah masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Mbak Tika yang menemukan aku, ia lalu memanggil ayah dan mas Yuda yang masih sibuk mencari karena aku tak pulang semalaman.

Ayah sebagai kepala keluarga langsung melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Hanya dalam hitungan jam, berita ini langsung menyebar dengan narasi menyedihkan. Anak seorang guru ngaji yang akan melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran menjadi korban pemerkosaan. Entah bagaimana nasibnya ke depan nantinya.

Semua orang membicarakan kasus ini, bahkan, suster yang merawat pun melihatku dengan tatapan iba setelah tahu kejadian yang menimpaku. Aku sangat yakin sekali ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Namun melihatku masih lemah tak berdaya, makanya ia memutuskan untuk menutup mulut sembari mencuri dengar berita-berita dari keluargaku.

"Katakan Yu, katakan kalau kamu tahu siapa pelakunya!" Ayah tak bisa lagi menguasai emosinya. Ia bicara dengan nada tinggi, memaksaku untuk buka mulut.

Aku hanya bisa menggeleng lemah, tak bisa berkata apa-apa selain hanya menangis. Aku takut, rasanya ingin lari dari sini sejauh mungkin, menghindari semua orang agar tak perlu lagi ada yang bertanya padaku tentang kejadian malam itu.

"Apa susahnya sih Yu mengatakannya kalau kamu memang tahu siapa pelakunya. Bantu ayah dan pihak polisi agar semuanya bisa terselesaikan!" Ayah terus memaksaku buka mulut.

""Sudah pak, biar nak Ayu menenangkan diri dulu. Mungkin ia tak mengenali pelakunya, makanya Ayu bingung harus menjawab apa." Bu Polwan mencoba menenangkan.

"Kalau tidak tahu pelakunya, setidaknya gambarkan ciri-cirinya supaya bisa segera ditangkap!" Ayah terus mendesak.

"Ayu ga bisa Yah, ayu gak bisa Ayu ...." aku langsung histeris. Mengingat orangnya saja sudah membuatku sebegitu hancur, apalagi harus menyebutkan namanya. Bisakah membiarkan aku sendiri, aku sudah terlalu takut dengan semua yang terjadi kemarin.

Dua orang perawat masuk ke dalam ruangan ku. Mereka bergerak cepat menyuntikkan obat penenang agar aku tak lagi histeris. Setelah itu semuanya berubah menjadi gelap.

***

"Ayu Andara Nessa. Itu nama kamu, kan?" seorang lelaki jangkung dengan kulit putih menatapku tajam. Ia menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan, namun karena lama tak berbalas, akhirnya uluran tangan itu kembali ditariknya. "Ayu namanya, Ayu juga orangnya. Enggak usah takut sama saya. Nama saya Juan Utomo, dipanggil Juan. Kamu pasti sudah pernah mendengar namaku, tho?" ia kembali melirikku.

Ya, aku tahu dia. Rasa-rasanya semua anak yang sekolah di sini tahu siapa Juan Utomo. Dia itu anak pejabat, bapak ibunya anggota dewan, keluarganya kaya raya karena punya bisnis batu bara. Tapi sayangnya, ia dikenal sebagai anak yang suka membuat masalah. Ada saja ulahnya yang membuat para guru mengelus dada.

Meski Juan memiliki paras yang cukup tampan, tetapi tak banyak yang ingin dekat dengannya karena sikapnya yang suka membuat masalah. Bayangkan saja, semua kenakalan remaja sudah dilakukannya. Bahkan narkoba, pun.

Konon ia melakukan itu semua karena kekurangan kasih sayang. Sebagai anak tunggal di keluarganya, Juan, kakak kelasku itu tak pernah punya waktu bersama kedua orang tuanya. Tapi apapun alasannya, menurutku itu bukan sebuah pembenaran untuk selalu berbuat onar.

"Yu, kamu mau nggak jadi istriku?" tanya Juan. Pertanyaan yang membuatku langsung gemetaran. Gila, kenal juga enggak, kenapa tiba-tiba ia mengajakku nikah, apalagi aku masih kelas satu SMA waktu itu.

"Duh, maaf mas, saya sudah punya pacar," aku menjawab asal, agar bisa lepas darinya.

"Pacar? Jangan bohong kamu. Saya tahu kamu nggak pacaran. Kamu sengaja ngarang supaya lepas dariku. Iya, kan?"

"Enggak kok. Saya nggak bohong. Saya memang nggak pacaran, tapi saya sudah punya calon suami."

"Halah, ngapusi. Masa anak kelas satu SMA seperti kamu sudah punya calon suami."

"Tapi saya beneran ga bohong, mas."

"Siapa? Ayo sebutkan namanya. Kamu nggak bisa sebutkan, kan. Pasti kamu ngarang."

"Siapa bilang Ayu ngarang. Ayu nggak ngarang kok. Saya calon suaminya Ayu." tiba-tiba mas Bagas muncul, ia adalah tetangga sekaligus seniorku di sekolah.

Mas Juan tidak bisa memaksa aku lagi sebab kini sudah ada mas Bagas. Ia pergi sambil marah-marah, meninggalkan kami berdua yang tertawa dengan ulah Juan.

"Gila ya si Juan, anak kelas satu sudah dipepet. Sudah diajak menikah. Dia kira nikah itu gampang apa. Kamu jangan mau ya Yu, kalau mau nikah sama saya saja." mas Bagas melirikku.

Rasanya ada sebuah daya yang menyentrumku pelan. Saat itu, kamu berdua sama-sama janji akan saling menjaga diri hingga kami bisa mewujudkan mimpi kami menjadi dokter.. setelah itu kami akan menikah. Sebuah janji yang dahulu teramat manis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!