"Ayah beneran akan melaporkannya ke polisi?" aku menatap ayah yang tengah bersiap berangkat menuju kantor polisi ditemani oleh mas Yuda.
"Tentu saja. Dia harus mendapatkan balasan setimpal atas perbuatannya!" kata ayah tegas.
Baru saja ayah dan mas Yuda akan berpamitan, tiba-tiba empat orang polisi masuk ke ruangan ku. Mereka datang untuk menjemput ayah atas laporan kasus penganiyaan yang dilakukan pada Juan Utomo.
"Pak ... jangan bawa ayah dan mas saya, pak. Tolong jangan bawa, pak!" Aku berusaha untuk bangkit dari tempat tidur, menahan rasa sakit agar bisa menahan polisi supaya tidak membawa ayah dan mas Yuda.
Lelucon apa lagi ini. Bagaimana bisa ayah dan mas Yuda dilaporkan ke polisi karena sudah menganiaya Juan Utomo? Apakah perbuatan memukul orang yang sudah menyakiti putrinya itu salah? Ayah mana yang tak marah saat kehormatan putrinya direnggut. Begitu juga dengan seorang saudara laki-laki, ia tak akan tahan melihat saudarinya disakiti sedemikian rupa.
"Yu ... tenang dulu. Ayah dan mas Yuda tidak apa-apa. Biar kami ikut ke kantor polisi, sekalian kami bisa melaporkan apa yang sudah dilakukan anak itu padamu. Kamu tunggu ayah di sini ya. Kami akan segera kembali." janji ayah, ia mengusap Pela. Kepalaku.
Entah mengapa, kali ini aku merasa tak tenang. Ada firasat kalau masalah ini tidak main-main. Semua orang tahu siapa keluarga Juan Utomo. Laporan yang mereka buat pasti akan langsung ditindaklanjuti oleh pihak berwajib. Itulah alasan kenapa sejak awal aku menutup mulut, tidak mau menyebut namanya meski polwan yang mengintegrasikan terus mempertanyakan padaku.
Inilah yang aku takutkan. Saat kami orang kecil yang tak punya kekuatan harus berhadapan dengan orang besar yang punya kekuasaan. Apakah kami bisa mendapatkan keadilan?
Sudah terlalu sering aku mendengar maupun melihat berita di media massa tentang perseteruan orang-orang yang berbeda status sosialnya dan yang dimenangkan selalu saja yang memiliki kekuasaan.
***
Sudah enam jam ayah dan mas Yuda pergi. Belum juga ada tanda-tanda bahwa mereka akan kembali. Aku semakin gelisah menanti kepulangan mereka.
"Mbak ... Ayah sama mas Yuda nggak apa-apa, kan?" tanyaku pada mbak Tika yang tak kalah khawatir. Ia sampai beberapa kali mondar-mandir keluar masuk kamar.
"InshaAllah nggak apa-apa." mbak Tika memaksakan senyum. Mungkin ia tak ingin aku semakin cemas.
"Bagaimana mungkin kalian berpikir mereka tidak apa-apa. Mereka itu sedang berhadapan dengan orang kaya yang punya jabatan. Sudah pasti ayah dan mas Yuda dalam masalah," mbak Yuni ngedumel. "Lagian ... Kenapa juga harus dipukuli, sudah jelas anak orang kaya, sama saja menggali kuburan sendiri."
"Lalu harus diapakan, mbak? Disambut, diajak ngobrol, disuguhi panganan. Begitu, mbak?" Mbak Tika kesal pada mbak Yuni.
"Ya nggak gitu juga. Kan bisa langsung lapor polisi tanpa harus dipukuli. Sudah jelas dia anak orang besar," gumam mbak Yuni.
"Mbak ... anak muda itu sudah melecehkan Ayu. Sebagai ayah dan masnya, sudah sepatutnya ayah dan mas Yuda memberinya pelajaran. Apa yang dilakukan sudah sewajarnya. Sudah untung nggak dipatahkan kaki dan tangannya!" mbak Tika meradang.
"Kamu itu dikasih tahu nggak paham juga. Saya ngerti kalian marah padanya, tapi apa dengan memukulinya masalah selesai? Enggak kan! Yang ada kita menggali kubur sendiri. Lihat sekarang, apa yang terjadi. Pemuda itu bisa bebas berkeliaran. Sementara ayah dan mas Yuda harus masuk penjara. Apa itu yang kalian inginkan? Semua itu harus dipikirkan matang-matang. Jangan langsung emosi saja. Sekarang nyesel, kan?" ucap mbak Yuni.
"Menyesal? Nggak, kami nggak menyesal sama sekali. Justru kami merasa belum puas memberinya pelajaran!" tegas mbak Tika
"Aghhh ya sudahlah. Terserah kalian saja. Saya juga nggak peduli ayah mau dipenjara atau nggak. Saya hanya keberatan kalau suami saya harus terlibat dalam masalah ini!" mbak Yuni tak mau kalah. "Lihat kan Yu, semuanya jadi kacau gara-gara kamu nggak bisa jaga diri. Harusnya pulang sekolah langsung pulang, jangan kelayapan!"
"Astagfirullah Mbak, bisa berempati sedikit nggak sih?" mbak Tika semakin geram.
Aku menggenggam erat tangan mbak Tika sebagai isyarat agar ia tak melanjutkan perdebatan lagi. Walau bagaimanapun juga, mbak Yuni adalah istri mas Yuda, ia kakak ipar kami. Bagian dari keluarga kami juga.
"Sudah, saya mau balik dulu. Saya mau cari cara supaya mas Yuda bisa dibebaskan!" Mbak Yuni pamit meninggalkan kami berdua.
Perih sebenarnya mendengar perkataan mbak Yuni yang menyalahkan aku secara penuh. Andai saja ia tahu, akupun tak ingin mengalami musibah ini.
"Nggak usah di ambil hati, Yu. Anggap saja angin lalu. Kamu tahu kan bagaimana sikapnya mbak Yuni, ceplas-ceplos, kalau ngomong kadang nggak pakai saringan." Mbak Tika mengusap paelan kepalaku.
"Tapi yang dikatakannya benar, mbak. Semua gara-gara Ayu. Kalau saja Ayu tidak ...."
"Pstttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Lagipula semua sudah terjadi. Allah nggak suka orang yang berandai-andai." kembali ia mengusap pelan kepalaku.
Ayah ... Mas Yuda. Maafkan Ayu. Aku menghapus kasar air mata yang turun tanpa permisi.
***
Dua puluh empat jam sudah berlalu. Ayah dan mas Yuda masih ditahan atas kasus penganiyaan. Sementara laporan ayah belum juga mendapatkan tanggapan. Mbak Yuni begitu marah padaku, ia menganggap akulah penyebab semua ini.
"Mbak ... kita pulang sekarang saja, ya." kataku pada mbak Tika.
"Jangan dulu Yu. Kamu kan masih sakit, badan kamu juga masih lemas." mbak Tika membujukku agar mau tetap menjalani pengobatan.
Tetapi aku tetap bersikeras untuk segera pulang. Aku ingin bertemu ayah dan mas Yuda. Aku sangat merasa bersalah. Apa yang dikatakan mbak Yuni benar, semua ini karena ku. Andai saja kejadian itu tak terjadi, ayah dan mas Yuda tak akan masuk penjara.
Karena aku terus merengek, akhirnya mbak Tika luluh juga. Ia membawaku pulang setelah dua hari menjalani perawatan. Secara fisik sebenarnya kondisiku sudah membaik, hanya saja secara psikis masih mengalami trauma berat. Tapi saat ini ada masalah yang lebih penting. Aku harus ketemu ayah dan mas Yuda.
Puluhan awak media sudah menanti di depan rumah sakit. Mereka memang sedang menunggu kepulangan ku untuk dimintai keterangan terkait berita yang beredar bahwa aku menjadi korban dari putra seorang terpandang.
"Kamu yakin mau bicara dengan media?" tanya mbak Tika lagi.
"InshaAllah mbak. Ayu mau menceritakan semuanya agar ayah dan mas Yuda mendapatkan keadilan." kataku.
"Tapi Yu ... kamu sudah siap menerima pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan menyinggung perasaan kamu?"
"InshaAllah Ayu siap, mbak. Ayu sudah tidak apa-apa, kok. Toh kita tak punya cara lain untuk membebaskan ayah dan mas Yuda. Ayu nggak mau keduanya mendekam di penjara lebih lama lagi."
"Yu,"
"Mbak Tika tenang saja. Ayu kuat kok." aku memaksakan senyum, berusaha bersikap biasa saja meski sebenarnya dadaku bergemuruh. Aku benar-benar takut menghadapi semua ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments