NovelToon NovelToon

Haruskah Kita Menikah?

Petaka Sore Itu

"Beneran cuma sebentar? Nanti malah kelamaan lagi." aku masih melakukan negosiasi atas ajakan ketiga sahabatku; Mita, Lina dan Bianca. Pulang sekolah ini, sebenarnya pengen langsung pulang. Aku ingin cepat-cepat mengabarkan pada ayah dan kedua kakakku; mas Yuda dan mbak Tika kalau aku berhasil lolos mendapatkan beasiswa di fakultas kedokteran UI. Sesuatu yang jadi mimpi kami sekeluarga. Bahkan untuk mewujudkan itu semua, kedua kakakku sampai bersedia tidak lanjut ke bangku kuliah, mereka ikut bekerja membantu Ayah, mengumpulkan uang untuk keperluan aku nantinya. Karena meski mendapatkan beasiswa, yang namanya kuliah di fakultas kedokteran itu tetap saja butuh biaya besar.

"Iya, cuma sebentar saja kok Yu. Kita makan-makan sebentar, terus foto-foto untuk kenang-kenangan. Udah deh. Lagian kapan lagi coba kita bikin foto kenang-kenangan. Kamu sudah mau berangkat ke Jakarta, kita nggak akan bertemu untuk waktu yang lama. Harus ada kenangan untuk obat rindu nantinya, Yu." bujuk Mita, sebagai juru bicara dua sahabatku lainnya.

"Hmmm," aku melirik mereka bertiga yang tampak penuh harap. Benar yang dikatakan Mita. Setelah ini aku akan disibukkan dengan urusan surat-surat, lalu berangkat ke Jakarta. Kecil banget kemungkinan kami punya waktu bersama-sama lagi, sekedar untuk ngobrol ngalur-ngidul seperti yang biasa kami lakukan sejak enam tahun belakangan kami menjalin persahabatan ini. "Baiklah. Tapi hanya sebentar ya. Makan-makan, terus foto-foto, lalu pulang!" aku membuat kesepakatan.

"Yeayyyyu!" ketiga sahabatku langsung bersorak gembira.

Kami berempat pun berlalu menuju warung bakso sederhana yang berada tak jauh dari sekolah kami. Sambil menikmati semangkuk bakso dan segelas es teh dengan es batu cukup banyak kami bercerita panjang lebar. Tentang bagaimana persahabatan ini terjalin, tentang bagaimana kami berempat berjuang mempertahankan nilai-nilai kami hingga tentang cita-cita kami berempat. Aku ingin menjadi dokter, Mita dan Lina ingin jadi guru sedangkan Bianca menjadi pejabat negara.

Rencananya Mita dan Lina akan tetap kuliah di Jogja, sementara Bianca akan ikut jalur pendidikan. Ia akan mencoba ujian masuk STAN. Kalau tidak lolos, ia akan mencoba kuliah ikatan dinas di tempat lainnya.

***

Pukul 18.16. benar saja apa yang aku khawatirkan. Terlambat lagi. Kalau sudah kumpul-kumpul, biasanya akan lupa waktu. Rencananya hanya sekedar makan dan foto-foto, berlanjut jadi belanja dulu di pasar Beringharjo, membeli beberapa lembar baju kaus untuk properti foto, sampai tak sadar azan Maghrib berkumandang.

"Aku harus segera pulang!" Kataku pada ketiga sahabatku yang masih sibuk foto-foto di beberapa spot dekat sekolah kami.

"Nggak salat dulu, Yu. Sudah azan lho!" jawab Mita. "Nanti aku anter deh pakai motor."

"Salat di rumah saja, takut semakin malam," kataku, sembari bergegas merapikan tas, lalu berlalu sembari melambaikan tangan pada mereka bertiga.

Langkah kaki ini semakin ku percepat. Ku putuskan untuk memilih jalan setapak yang lebih dekat menuju rumah meski jalannya sepi. Berpacu dengan langit kota pelajar yang semakin berubah menjadi gelap.

Bruk. Aku terjatuh karena tersandung batu kecil. Rasanya lututku begitu sakit, saat aku memaksakan berdiri rasa perihnya semakin bertambah.

"Sini," sebuah tangan terulur padaku, meski suasana remang-remang, aku bisa melihat jelas wajah orang yang berniat menolongku tersebut.

"Tidak usah," aku berniat bangkit, tetapi tangan itu mencekal tanganku dengan begitu keras. Ia tak membiarkan aku menjauh, justru menyeretku dengan paksa menuju mobilnya, tentunya setelah membekap mulutku.

Ya Allah ... ada apa ini? Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri, namun cengkraman orang itu membuatku tak bisa berdaya. Sebuah pukulaydi tengkuk membuatku langsung tak sadarkan diri.

***

"Apa cita-citamu, Yu?" tanya bu Rini, Walid kelasku sejak kelas dua SMA.

"Jadi dokter, Bu. Ayu ingin jadi dokter!" kataku, dengan penuh harap.

"Dokter? Karena itu kamu belajar begitu gigih, sampai-sampai tak punya waktu untuk bermain dengan teman-teman kamu?"

Aku mengangguk. Anak seorang guru ngaji merangkap buruh bangunan kalau tidak pintar, tak akan bisa mendapatkan beasiswa kedokteran. Itulah kenapa aku bekerja keras, aku belajar sungguh-sungguh, siang dan malam karena mimpi menjadi dokter bukan hanya mimpiku, tapi juga mimpi ayah, mas Yuda dan mbak Tika.

"Kalau tidak bisa jadi dokter bagaimana, Yu?" tanya bu Rini lagi.

"Harus bisa, Bu. Ayu nggak punya cita-cita yang lain selain jadi dokter." kataku. Sejak ibu meninggal dunia karena sakit yang tidak bisa diketahui penyakitnya, aku sudah bertekad akan belajar sungguh-sungguh, aku akan menemukan obat untuk orang-orang yang sakit karena tidak tertutup kemungkinan kelak penyakit itu akan kembali muncul pada anak keturunan bapak dan ibu. Sebelum itu semua terjadi, aku harus jadi dokter!

Jas putih itu kupeluk dengan erat. Aku tersenyum bahagia. Namun, tiba-tiba ada orang-orang yang merenggut jas itu dariku. Mereka menariknya dengan paksa, saat aku mencoba mengambil, mereka menghalangi, bahkan mereka membakar jas putih itu di hadapanku hingga hancur menjadi debu.

"Jangan ... jangan ... jangan!" aku berteriak histeris menyaksikan debunya pun kini dihempaskan hingga tak ada satupun yang tersisa. "Aaaaaaaaaaa ...." hanya suara tangis yang mampu keluar dari mulut ini mengikuti rasa sakit yang mulai terasa di seluruh tubuhku. Aku telah hancur, ibarat bunga, kembang tak jadi. Semua mimpi itu telah dihancurkan bersamaan dengan dihancurkannya kehormatan ku.

***

Aroma obat tercium begitu keras, saat aku membuka mata, yang pertama terlihat adalah wajah ayah, diikuti mas Yuda dan mbak Yuni istrinya, lalu ada mbak Tika, kakak Perempuanku. Wajah mereka mengguratkan kesedihan, begitu kami saling tatap, tak ada kata-kata yang mampu kami ucapkan selain air mata yang menceritakan bagaimana derita ini akan dimulai.

Aku sudah kehilangan semuanya. Sudah tak ada lagi yang tersisa. Lelaki itu sudah merenggut paksa dariku, lelaki yang membuatku begitu emosi. Darahku langsung membuncah mengingat wajahnya. Rasanya aku ingin menerkamnya, menghabisinya semampuku, namun aku tak mampu selain hanya menangis.

Entah siapa yang memberi isyarat, ayah dan mas Yuda keluar dari kamar tempat aku dirawat, tinggal mbak Yuni dan mbak Tika. Mereka berdua memelukku. Pelukan yang meski tak bisa menghilangkan duka ini namun tetap ku butuhkan. Lagi-lagi hanya air mata yang menetes tanpa ada kata-kata yang bisa diucapkan.

Saat seperti ini rasanya duniaku sudah tamat. Tak ada lagi harapan untuk hidup, semuanya terasa suram. Aku sudah menjadi manusia kotor, aku sudah tidak suci lagi.

Aghhh, andai saja pulang sekolah aku tak ikut makan-makan dan foto-foto, atau aku tidak larut bersama teman-teman, mungkin tak akan begini jadinya. Aku tak akan kehilangan kehormatanku, juga mimpiku menjadi seorang dokter.

"Bodoh kamu Ayu ... bodoh!" Aku hanya bisa merutuki diri sendiri. Kenapa sejak awal tak bisa menjaga diri dengan baik. Atau harusnya aku salat dulu, menerima ajakan Mita untuk diantar naik motor. Tapi aku malah membuat pilihan yang salah.

Diintrogasi

Mungkin sudah hampir satu jam aku mengunci diri di kamar mandi rumah sakit. Duduk di bawah shower yang mengalir, airnya membasahi seluruh tubuh ini, meski begitu aku masih saja merasa kotor. Rasanya, deru nafas lelaki itu masih tetap terasa hingga saat ini, bagai mimpi buruk yang menghancurkan hidupku.

Aku kotor. Sudah tidak punya masa depan lagi. Semuanya sudah hancur, tak ada lagi harapan untukku.

"Yu ... Ayu. Buka pintunya. Sudah terlalu lama kamu di kamar mandi. Ayo cepat buka pintunya." pinta mbak Tika, sambil menggedor-gedor pelan pintu kamar mandi.

Bukannya menjawab, apalagi membukakan pintu, aku hanya bisa memejamkan mata sembari menutup kedua telinga dengan tangan agar tak ada lagi suara-suara yang ku dengar. Entah setan apa yang merasuki, saat ini aku hanya ingin mengakhiri semuanya. Aku ingin mati saja, ikut ibu, agar tak perlu menghadapi semua ujian ini.

Tadi, secara tidak sengaja aku melihat siaran televisi dimana berita kasus pemerkosaan yang ku alami diliput oleh media. Semua orang membicarakannya. Seorang putri guru mengaji menjadi korban asusila. Gadis yang tengah mempersiapkan diri melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.

Semua orang sudah tahu kalau aku ini kotor. Aku sudah tidak suci lagi. Tak hanya keluargaku, tapi semua orang.

Selepas keluar dari rumah sakit, aku tak tahu apakah bisa menghadapi semuanya. Aku tak punya keberanian. Bagaimana kalau orang-orang mengira bahwa aku perempuan yang tidak benar karena tidak bisa menjaga diri?

Tangisku kembali pecah. Rasanya seperti menanggung beban yang begitu berat. Entah bagaimana aku bisa menghadapi semuanya nanti.

***

Dua orang perempuan berseragam coklat masuk ke ruangan tempatku di rawat. Mereka ibu-ibu polwan yang bertugas membantuku menyelesaikan masalah yang tengah menimpaku saat ini. Dua orang ibu-ibu itu berupaya membuatku buka mulut untuk menceritakan kejadian yang menimpaku.

"Apa nak Ayu mengenal pelakunya? Mungkin pernah melihat sebelumnya? Atau mencurigai seseorang? Katakan saja, nak. Tidak apa-apa. Kami semua di sini akan membantu nak Ayu untuk menemukan pelakunya. Ia akan mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang sudah dilakukannya." ucap Bu Polwan yang lebih senior.

Badanku langsung gemetaran ketika mengingat kembali kejadian kemarin malam, ketika ia membawaku dengan paksa naik ke mobilnya. Lalu ia memukul tengkukku karena aku terus meronta hingga aku tak sadarkan diri.

Esok paginya aku diantarkan ke depan rumah masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Mbak Tika yang menemukan aku, ia lalu memanggil ayah dan mas Yuda yang masih sibuk mencari karena aku tak pulang semalaman.

Ayah sebagai kepala keluarga langsung melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Hanya dalam hitungan jam, berita ini langsung menyebar dengan narasi menyedihkan. Anak seorang guru ngaji yang akan melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran menjadi korban pemerkosaan. Entah bagaimana nasibnya ke depan nantinya.

Semua orang membicarakan kasus ini, bahkan, suster yang merawat pun melihatku dengan tatapan iba setelah tahu kejadian yang menimpaku. Aku sangat yakin sekali ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Namun melihatku masih lemah tak berdaya, makanya ia memutuskan untuk menutup mulut sembari mencuri dengar berita-berita dari keluargaku.

"Katakan Yu, katakan kalau kamu tahu siapa pelakunya!" Ayah tak bisa lagi menguasai emosinya. Ia bicara dengan nada tinggi, memaksaku untuk buka mulut.

Aku hanya bisa menggeleng lemah, tak bisa berkata apa-apa selain hanya menangis. Aku takut, rasanya ingin lari dari sini sejauh mungkin, menghindari semua orang agar tak perlu lagi ada yang bertanya padaku tentang kejadian malam itu.

"Apa susahnya sih Yu mengatakannya kalau kamu memang tahu siapa pelakunya. Bantu ayah dan pihak polisi agar semuanya bisa terselesaikan!" Ayah terus memaksaku buka mulut.

""Sudah pak, biar nak Ayu menenangkan diri dulu. Mungkin ia tak mengenali pelakunya, makanya Ayu bingung harus menjawab apa." Bu Polwan mencoba menenangkan.

"Kalau tidak tahu pelakunya, setidaknya gambarkan ciri-cirinya supaya bisa segera ditangkap!" Ayah terus mendesak.

"Ayu ga bisa Yah, ayu gak bisa Ayu ...." aku langsung histeris. Mengingat orangnya saja sudah membuatku sebegitu hancur, apalagi harus menyebutkan namanya. Bisakah membiarkan aku sendiri, aku sudah terlalu takut dengan semua yang terjadi kemarin.

Dua orang perawat masuk ke dalam ruangan ku. Mereka bergerak cepat menyuntikkan obat penenang agar aku tak lagi histeris. Setelah itu semuanya berubah menjadi gelap.

***

"Ayu Andara Nessa. Itu nama kamu, kan?" seorang lelaki jangkung dengan kulit putih menatapku tajam. Ia menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan, namun karena lama tak berbalas, akhirnya uluran tangan itu kembali ditariknya. "Ayu namanya, Ayu juga orangnya. Enggak usah takut sama saya. Nama saya Juan Utomo, dipanggil Juan. Kamu pasti sudah pernah mendengar namaku, tho?" ia kembali melirikku.

Ya, aku tahu dia. Rasa-rasanya semua anak yang sekolah di sini tahu siapa Juan Utomo. Dia itu anak pejabat, bapak ibunya anggota dewan, keluarganya kaya raya karena punya bisnis batu bara. Tapi sayangnya, ia dikenal sebagai anak yang suka membuat masalah. Ada saja ulahnya yang membuat para guru mengelus dada.

Meski Juan memiliki paras yang cukup tampan, tetapi tak banyak yang ingin dekat dengannya karena sikapnya yang suka membuat masalah. Bayangkan saja, semua kenakalan remaja sudah dilakukannya. Bahkan narkoba, pun.

Konon ia melakukan itu semua karena kekurangan kasih sayang. Sebagai anak tunggal di keluarganya, Juan, kakak kelasku itu tak pernah punya waktu bersama kedua orang tuanya. Tapi apapun alasannya, menurutku itu bukan sebuah pembenaran untuk selalu berbuat onar.

"Yu, kamu mau nggak jadi istriku?" tanya Juan. Pertanyaan yang membuatku langsung gemetaran. Gila, kenal juga enggak, kenapa tiba-tiba ia mengajakku nikah, apalagi aku masih kelas satu SMA waktu itu.

"Duh, maaf mas, saya sudah punya pacar," aku menjawab asal, agar bisa lepas darinya.

"Pacar? Jangan bohong kamu. Saya tahu kamu nggak pacaran. Kamu sengaja ngarang supaya lepas dariku. Iya, kan?"

"Enggak kok. Saya nggak bohong. Saya memang nggak pacaran, tapi saya sudah punya calon suami."

"Halah, ngapusi. Masa anak kelas satu SMA seperti kamu sudah punya calon suami."

"Tapi saya beneran ga bohong, mas."

"Siapa? Ayo sebutkan namanya. Kamu nggak bisa sebutkan, kan. Pasti kamu ngarang."

"Siapa bilang Ayu ngarang. Ayu nggak ngarang kok. Saya calon suaminya Ayu." tiba-tiba mas Bagas muncul, ia adalah tetangga sekaligus seniorku di sekolah.

Mas Juan tidak bisa memaksa aku lagi sebab kini sudah ada mas Bagas. Ia pergi sambil marah-marah, meninggalkan kami berdua yang tertawa dengan ulah Juan.

"Gila ya si Juan, anak kelas satu sudah dipepet. Sudah diajak menikah. Dia kira nikah itu gampang apa. Kamu jangan mau ya Yu, kalau mau nikah sama saya saja." mas Bagas melirikku.

Rasanya ada sebuah daya yang menyentrumku pelan. Saat itu, kamu berdua sama-sama janji akan saling menjaga diri hingga kami bisa mewujudkan mimpi kami menjadi dokter.. setelah itu kami akan menikah. Sebuah janji yang dahulu teramat manis.

Pengakuan

Berbagai cara dilakukan untuk membuatku mau membuka mulut. Tetapi, rasa takut malah membuatku semakin mengunci mulut. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ayah dan semua orang tahu siapa pelakunya.

Apakah benar aku akan mendapatkan keadilan? Sementara aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah anak guru mengaji yang keadaan perekonomiannya sangatlah pas-pasan. Bahkan kadang lebih sering kekurangan.

Tetapi, itu bukan sebuah alasan orang lain bisa menghancurkan kehormatan kami. Begitu yang selalu dikatakan oleh mas Yuda. Ia bahkan berjanji padaku akan melindungi jika aku mau memberitahu siapa pelakunya.

"Assalamualaikum," suara seseorang memgucap salam, sehingga membuyarkan diskusi kamu.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullaah. Temannya Ayu?" tanya mas Yuda yang duduk di dekat pintu masuk.

Aku nyaris meloncat dari tempat tidur saat melihat sosok yang kini berada di depan pintu kamar tempatku di rawat. Dia, dia berani datang ke sini. Monster itu, apakah masih kurang yang ia lakukan kepadaku sehingga sekarang ia berani muncul di sini. Mau apalagi ia? Apakah ia akan kembali menghancurkan hidupku?

"Mohon maaf nak, kalau mau ketemu Ayu nanti saja ya. Ayu masih harus menjalani pemeriksaan sama ibu-ibu polwan," ayah berusaha mengusirnya dengan sopan, sepertinya ayah tak ingin menunda untuk tahu siapa sebenarnya orang yang telah melakukan perbuatan bejat itu padaku.

"Pak, sebentar!" ia berusaha bertahan. "Perkenalkan, saya Juan Utomo. Ayah saya adalah Prayudi Utomo, ibu saya Fenita Utomo. Mungkin bapak mengetahui keluarga saya?"

Siapa yang tak tahu keluarga terhormat itu. Ayah yang terlihat ogah-ogahan mulai bersikap sebaliknya. Mempersilahkan Juan untuk masuk dan duduk, sementara dua polwan yang berada di ruangan ku juga menunjukkan sikap hormatnya pada putra tunggal pejabat itu.

"Sebenarnya, maksud kedatangan saya ke sini untuk ...." ia melirik ke arahku.

Aku sudah tak tahan, muak dengan wajah itu. Kembali aku berteriak histeris sehingga membuat orang-orang kembali panik. Mbak Tika dan mbak Yuni sampai memelukku erat agar tak meronta-ronta.

"Yu, maafkan saya. Sungguh saya khilaf. Saya tidak bermaksud menyakiti kamu." Juan maju, ia berusaha mendekat, tapi terhalang ayah yang masih kebingungan dengan sikapku yang tiba-tiba histeris.

"A ... ada apa ini? Kenapa putri saya menangis histeris. Kamu nggak ngapa-ngapain putri saya, kan?" tanya ayah.

"Ya pak. Sayalah pelakunya..saya yang sudah merenggut kehormatan Ayu. Saya ...." belum sempat Juan mengakui semuanya, tiba-tiba tinju ayah sudah melayang menghajar pipinya yang mulus hingga berubah menjadi warna keunguan. Sejak awal rupanya ayah sudah menaruh curiga padanya, namun tertahan karena menurut ayah sangat kecil kemungkinan seorang pelaku kejahatan berani menemui keluarga korbannya.

"Ja ... jadi kamu pelakunya. Kamu bajingan itu?" Ayah meloncat, menerjang Juan hingga ia jatuh tersungkur. Dua polwan yang berada di dalam kamarku dengan sigap menghalangi ayah agar tak lagi menyerang Juan, namun sayangnya mereka kewalahan menghalangi sebab tak hanya ayah, mas Yuda pun ikut menyerang Juan, mereka berdua bersatu menghajar lelaki yang sudah menghancurkan masa depan anak perempuan dan adik perempuan mereka.

Merasa kewalahan menghalangi ayah dan mas Yuda, dua polwan itu meminta bantuan polisi dan satpam yang berada di sekitar sana. Hanya dalam hitungan detik, kini ayah dan mas Yuda tak bisa berkutik karena mereka dipegang oleh masing-masing tiga orang.

"Lepaskan saya, biar saya bunuh bajingan itu. Bagus dia datang ke sini, jadi saya tidak perlu susah-susah untuk mencarinya." teriak ayah.

"Pak, tenang dulu. Kalau bapak main hakim sendiri, justru bapak yang akan mendapatkan masalah hukum." Polwan senior itu kembali mengingatkan ayah. Namun, yang namanya seorang ayah ketika menghadapi situasi putrinya dilecehkan, ia tak akan pernah peduli dengan itu semua.

"Saya tidak peduli jika setelah ini harus mati membusuk di penjara, yang penting saya bisa mematahkan kaki dan tangannya, membuatnya mati di tangan saya!" Tegas ayah yang emosinya masih membara.

"Silakan kalau bapak mau memukuli saya sampai mati juga tidak apa-apa, saya siap menerimanya. Saya datang ke sini untuk mempertanggungjawabkan semua kesalahan saya pada Ayu. Apapun hukuman yang akan bapak berikan, saya siap!" ujar Juan dengan suara bergetar usai dipukuli ayah dan mas Yuda.

Keributan di kamar tempatku di rawat akhirnya terselesaikan juga. Polisi berhasil membawa Juan pergi, setelah sebelumnya ia mengundang keributan. Tak hanya memancing emosi keluargaku, ia juga sudah membuat pengumuman di media dengan mengakui semua perbuatannya.

Entah apa mau anak itu. Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya. Beraninya ia datang ke sini mengakui semuanya dan mengatakan akan bertanggung jawab. Apa yang akan dipertanggungjawabkannya? Ia sudah menghancurkan semuanya dan aku sudah tak memiliki harapan apapun lagi.

***

Suasana kamar tempat aku dirawat sudah sepi. Di dalam kamar, ada mbak Yuni dan mbak Tika tengah menemaniku. Sementara ayah dan mas Yuda duduk di kursi tunggu sembari melamun.

"Sekarang apa rencana kita, Yah?" Tanya mas Yuda. Semua orang langsung melihat ke arahnya.

"Ayah akan bunuh anak itu." kata ayah.

"Astagfirullah Yah, jangan bicara seperti itu," mbak Yuni berusaha mencegah.

"Lalu menurut kamu ayah harus apa? Dia sudah merenggut kehormatan putriku, apa aku harus diam saja melihatnya bebas setelah menghancurkan harga diri kita semua?" bapak menatap tajam mbak Yuni. Tatapan yang sebelumnya tak pernah ku lihat.

"Yah, kan sudah dikatakan sama polisi supaya menyerahkan semuanya pada pihak yang berwajib. Mereka sedang berupaya memberikan keadilan untuk kita. Jadi ayah bersabar, jangan sampai malah menjadi masalah untuk kita semua kedepannya." kata mbak Yuni.

"Hah, saya sudah tidak peduli dengan itu semua. Saat ini yang terpenting adalah membalaskan apa yang sudah dia lakukan. Dia harus mati di tangan ayah agar kedepannya tak ada laki-laki yang sembarangan pada putriku!" tegas ayah.

"Yah," aku menatap ayah dengan tatapan mengubah. Tak tega rasanya jika ayah harus mendapatkan masalah gara-gara aku. "Maafkan Ayu, semua karena Ayu. Harusnya Ayu bisa menjaga diri baik-baik," aku menangis, menutup wajah dengan kedua tangan.

"Nak, hei, siapa yang menyalahkan kamu. Ayah tahu Ayu pasti sudah menjaga diri sebaik mungkin, tetapi anak tengil itu saja yang kurang ajar, berani melakukan perbuatan bejatnya pada putri kesayangan ayah." ayah mengusap kepalaku, tampak betul ia berusaha tegar meski sebenarnya hati ayah tak kalah hancur. Ayah mana yang bisa tenang melihat putrinya dijahati seperti itu. "Ayu tenang saja, ayah pasti akan balaskan semuanya. Tak peduli mereka dari keluarga terhormat sekalipun, kita akan mendapatkan keadilan itu. Ayah janji padamu, nak! Setelah ini kamu akan mengangkat kembali kepalamu di hadapan orang banyak!" janji ayah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!