Pendekar Nusantara
Di sebuah perkampungan terpencil, yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau membentang sejauh mata memandang, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Askara Paramanda. Pagi itu, udara sejuk pegunungan diselimuti oleh suara "Krakkk... Krakkk crlek" yang ritmis. Suara itu berasal dari Mang Asep, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan sorot mata teduh, yang sedang membelah kayu di halaman rumahnya.
"Oh… Aska sudah bangun!" sapa Mang Asep ramah, menghentikan kegiatannya saat melihat Aska yang baru berusia lima tahun keluar dari rumah bambu mereka.
"Muhun, Mang...," jawab Aska lirih, sambil mengucek matanya yang masih lengket dengan sisa kantuk. Wajahnya yang polos tampak begitu menggemaskan.
Mang Asep tersenyum hangat. "Di dapur ada ubi rebus, dimakan dulu. Setelah itu, kita ke sungai, nyari ikan buat makan malam," ucapnya, mengelus lembut kepala Aska. Kehangatan sentuhan itu selalu menjadi pengobat rindu Aska pada orang tuanya yang telah tiada. Sejak saat itu, Mang Asep menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Selesai sarapan, Aska bergegas mengikuti Mang Asep. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah yang sempit, meniti jalan setapak berkerikil di lereng gunung, hingga akhirnya sampai di sebuah sungai yang airnya mengalir jernih. Mang Asep dengan cekatan menebar jaringnya ke tengah sungai. Tak butuh waktu lama, jaring itu sudah penuh dengan ikan-ikan kecil yang menggeliat.
"Hewuuh… tak terasa sudah sore," keluh Mang Asep, menghela napas panjang sambil menatap langit senja yang memancarkan warna jingga keemasan. "Aska, ayo kita pulang, hari mulai gelap." Aska mengangguk patuh, membawa sebagian hasil tangkapan, dan bergegas mengikuti langkah Mang Asep.
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, kokok ayam jantan sudah memecah keheningan pagi. "O..o.o.ooo..."
"Aska… Aska bangun!" Suara Mang Asep terdengar lantang dari luar rumah. Aska yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, segera bangun dan membasuh wajahnya dengan air dingin dari kendi tanah liat.
"Sini, Aska," panggil Mang Asep. Aska mendekat, matanya menatap wajah gurunya itu dengan penuh tanya.
"Sekarang sudah saatnya kamu belajar Pencak Silat," ucap Mang Asep, memegang pundak kecil Aska.
Aska terdiam sejenak. "Pencak silat itu apa, Mang?" tanyanya polos.
Mang Asep tersenyum, menuntun Aska untuk duduk di teras. "Pencak silat itu bukan sekadar gerakan bertarung, Aska. Pencak silat adalah sebuah cara untuk melindungi diri dan orang-orang yang kita sayangi. Ilmu ini mengajarkan kita untuk melawan kejahatan, membantu orang yang kesusahan, dan membela yang lemah," jelas Mang Asep, mengurai arti dan tujuan mulia dari sebuah ilmu bela diri.
Wajah Aska berbinar, matanya memancarkan semangat yang baru. Ia mengangguk-angguk, seolah memahami betul setiap kata yang diucapkan Mang Asep.
"Sebelum latihan, kita isi perut dulu," ajak Mang Asep sambil merangkul pundak Aska. Mereka berdua pun menikmati sarapan sederhana dengan penuh syukur.
Beberapa saat kemudian, di tengah halaman rumah yang teduh, latihan perdana pun dimulai.
"Nah, ini kuda-kudanya harus sempurna, biar pondasi gerakannya juga sempurna," ucap Mang Asep, membenarkan posisi kaki dan tangan Aska. "Ikuti gerakan Amang. Hiat... hiat... tsaah!" Mang Asep memperagakan setiap jurus dasar dengan penuh keindahan dan kekuatan. Aska meniru setiap gerakannya dengan tekun, meskipun tubuhnya masih kecil dan belum sekuat gurunya.
Hari-hari Aska selanjutnya diisi dengan rutinitas yang ketat. Selain membantu Mang Asep di ladang, ia juga terus berlatih pencak silat. Ia menguasai teknik pukulan, tendangan, bahkan melompat dan berlari melintasi jalan setapak dan pegunungan. Latihan fisik yang berat ini tidak hanya membentuk tubuhnya menjadi kuat, tetapi juga melatih ketahanan jiwa dan mentalnya. Mang Asep selalu mengajarkan bahwa seorang pendekar sejati bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan berani.
Sepuluh tahun berlalu, Aska kini telah beranjak remaja. Tubuhnya yang kurus saat kecil kini telah berubah menjadi tegap dan kuat. Ilmu pencak silatnya telah berkembang pesat.
Pagi itu, di halaman yang sama, terjadi sebuah pertarungan tongkat yang sengit. "Trek... Trak tek," suara kayu beradu. Aska menyerang dengan lincah, memukul bagian atas, memutar tongkatnya, dan menyambung dengan pukulan bawah. Semua gerakannya ditangkis dengan sempurna oleh Mang Asep.
Dengan gerakan cepat, Mang Asep melancarkan Jurus Pukulan Loncat Maung. "Hiiiaaahh!" teriaknya. Namun, Aska menahan serangan itu dengan jurus Silang Cakar Maung, mengakhiri pertarungan mereka dengan hasil imbang. Selama sepuluh tahun ini, Aska telah menguasai seluruh ilmu pencak silat yang diturunkan oleh Mang Asep.
Mang Asep tersenyum bangga, lalu menarik napas panjang. "Aska, lihat baik-baik," katanya. Ia memasang kuda-kuda, memutar kedua tangan kanannya dengan berlawanan, seolah mengumpulkan kekuatan yang tak terlihat. Kemudian, dengan hentakan kuat, ia melepaskan pukulan ke arah sebatang pohon yang berjarak beberapa meter. "Wooshhh!" Pukulan itu mengeluarkan hempasan energi tak kasat mata yang menghancurkan batang pohon hingga berkeping-keping.
"Woaaah… Apa itu, Mang?" Aska terperangah, mulutnya sedikit terbuka. "Ajarkeun ka Aska atuh, Mang!"
Saking kagumnya, Aska mencoba meniru jurus itu dengan asal-asalan. "Hiah wuuus... Hiahhh wuuus..."
"Hahahaha!" Mang Asep tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lucu Aska. "Kamu lagi ngapain, Aska?"
"Lagi latihan jurus kayak Amang!" jawab Aska dengan polos.
"Pfff... Hahahaha!" Mang Asep kembali tertawa. Aska hanya bisa merasa malu dan kebingungan.
"Sabar, Aska. Semua butuh proses. Tidak ada yang bisa langsung jadi," ucap Mang Asep, masih dengan senyum geli. "Sini, Amang jelaskan dulu."
Mereka duduk di bawah pohon. "Jurus tadi namanya Jurus Pukulan Jeblag. Jurus ini menggunakan tenaga dalam, Aska. Jadi, hal pertama yang harus kamu kuasai adalah membuka dan mengumpulkan energi itu," jelas Mang Asep.
Keesokan harinya, Mang Asep membawa Aska ke puncak Gunung Awi, di sebuah tebing curam. "Latihan pertama untuk membuka tenaga dalam adalah bersemedi," katanya. "Duduk bersila dekat jurang itu."
Aska mengikuti perintah Mang Asep. "Tegakkan badanmu, pejamkan mata, tenangkan pikiran. Rasakan hawa di sekitarmu. Jika ada hawa aneh yang masuk, tahan dan kendalikan. Jangan bangun sampai Amang datang," instruksi Mang Asep, lalu pergi.
Selama seminggu penuh, Aska bersemedi tanpa makan dan minum. Ia hanya merasakan panas di siang hari dan dinginnya malam. Pada hari kelima, tubuhnya mulai terasa sangat lelah. Di hari keenam, ia merasakan sensasi aneh. Hawa energi panas dan dingin yang tidak beraturan mulai masuk ke dalam tubuhnya. Jantungnya berdetak melemah, napasnya tersengal. Namun, Aska terus berjuang mengendalikan hawa itu hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Di hari ketujuh, Mang Asep datang dan menempelkan telapak tangannya di punggung Aska. Dengan sedikit tenaga dalam, ia menstabilkan energi yang bergejolak di tubuh Aska.
"Gimana, Aska? Apa yang kamu rasakan?" tanya Mang Asep. Aska menceritakan semua pengalamannya.
"Bagus, Aska! Bagus!" puji Mang Asep bangga. "Kamu berhasil melewati bagian awal pembukaan tenaga dalam hanya dalam seminggu. Amang butuh waktu satu bulan untuk ini. Amang tahu kamu berbakat, hahaha!"
"Sekarang, kita pulang untuk memulihkan tenagamu. Besok, kita akan mulai melatih pengendalian hawa energi itu," ucap Mang Asep, merangkul pundak Aska, siap untuk melanjutkan perjalanan yang lebih besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Deny Njank
bagus...suka..masih jarang cerita pendekar dgn latar belakang cerita pendekar dari parahiangan(tatar sunda) slm ini cerita lokal yg sy baca kebanyakan dgn latar belakang kerajaan jawa.sukses thor ttp semangat
2020-09-18
1
UCHI °OFFICIAL°
Hai jangan lupa mampir ya thor saya Moon Hyun
masih ingat sama saya tidak saya Hara ini akun saya yang baru
2020-06-30
1
™
semangat thor...
2020-06-15
1