Pagi buta, suara kokok ayam jantan memecah keheningan yang masih pekat. "O..o.o.ooo..." Di bawah cahaya remang-remang yang baru menyingkap dari balik pegunungan, Askara dan Mang Asep sudah bersiap. Hari ini, mereka akan melanjutkan pelatihan berat Askara, menuju sebuah tempat yang melegenda: Air Terjun Cigana, atau yang lebih dikenal penduduk sekitar sebagai Curug Ento. Perjalanan itu bukan hanya menguji fisik mereka, tetapi juga ketahanan mental.
Mereka berjalan kaki melintasi hutan yang lebat dan jalan setapak yang menanjak, menempuh jarak berkilo-kilo meter. Kabut pagi yang dingin memeluk erat, membuat napas setiap hembusan terasa berat. Curug Ento memiliki reputasi mistis. Konon, di masa lalu, seorang pertapa sakti sering bersemedi di bawah derasnya air terjun itu. Suatu hari, ia menghilang begitu saja, meninggalkan jejak aura kuat yang masih terasa hingga kini. Tempat ini dipilih Mang Asep sebagai lokasi pelatihan pamungkas bagi Askara.
Setibanya di sana, suara gemuruh air terjun menyambut mereka. Airnya jatuh dari ketinggian puluhan meter, menciptakan kabut halus yang menyegarkan. Tanpa banyak bicara, Mang Asep tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di dahi Askara. Sebuah hentakan energi tak kasat mata mendorong tubuh Askara hingga terpental ke belakang.
"Awww... Uhh, sakit, Mang!" seru Aska terkejut dan kesal. Telapak tangan Mang Asep yang dialiri tenaga dalam itu membuatnya jungkir balik.
Mang Asep hanya tersenyum, melihat reaksi lucu di wajah Aska. "Dengar, Aska," ucapnya sambil berjalan perlahan mendekati air terjun. "Itu Amang sengaja mengalirkan pelindung tubuh ke kepalamu. Tenaga dalammu masih labil. Jika menyebar ke kepala terlalu cepat dan tidak terkendali, kamu bisa gila, atau bahkan lebih parah, mati."
Aska mengangguk, rasa sakitnya tergantikan oleh rasa takut dan penasaran.
"Nah! Sekarang, kamu duduk bersemedi di batu besar itu," perintah Mang Asep, menunjuk ke sebuah batu yang menonjol di tengah derasnya aliran air. "Ingat, kendalikan hawa energi panas di dalam tubuhmu perlahan dan teratur. Jangan terburu-buru. Fokus! Jangan bangun sebelum Amang yang membangunkan mu!"
"Muhun, Mang," jawab Aska, segera berjalan menghampiri batu tersebut. Dengan napas dalam, ia menaiki batu besar yang licin itu dan memulai semedi.
Mang Asep mengangguk puas, lalu berbalik, meninggalkan Aska sendirian.
Begitu memulai semedi, Aska langsung merasakan hawa energi panas di dalam dirinya. Namun, kali ini, tantangannya jauh lebih berat. Air yang jatuh dari ketinggian menciptakan cipratan-cipratan es yang murni dari mata air Gunung Cilasih. Cipratan-cipratan itu menusuk kulitnya, menciptakan sensasi dingin yang luar biasa dan mengganggu fokusnya.
Memasuki hari keempat, tubuh Aska mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekstrem. Hawa energi di dalam dirinya terasa sangat berat, seolah ia menggendong beban berton-ton. Di sisi lain, kulitnya terasa sangat dingin, seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum es.
Di hari ketujuh dan kedelapan, gejolak energi di dalam tubuhnya semakin hebat. Tubuh bagian dalam terasa seperti terbakar oleh tekanan panas, sementara bagian luar membeku oleh dingin yang menusuk. Aska kewalahan, namun ia terus berusaha mengendalikan hawa energi itu, keringat dingin bercampur air hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Jauh dari Curug Ento, Mang Asep sedang dalam perjalanan kembali. "Tidak terasa, sepuluh hari sudah berlalu. Bagaimana kabarmu, Aska?" batinnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran sekaligus keyakinan.
Saat tiba di Curug Ento di sore hari, Mang Asep melihat Aska masih bertahan dalam posisi semedi, tubuhnya gemetar. Ia segera menghampiri, menempatkan telapak tangannya di atas kepala Aska. Dengan aliran tenaga dalam yang lembut, ia menstabilkan hawa energi yang bergejolak di dalam tubuh Aska, lalu membangunkannya.
Aska membuka matanya, mencoba berdiri, namun tubuhnya terlalu lemas. "Mang..." katanya pelan, tersenyum lemah. Tak lama kemudian, kesadarannya hilang. Ia ambruk kelelahan.
Mang Asep tersenyum bangga. "Anak ini," bisiknya. Dengan hati-hati, ia menggendong Aska di punggungnya, membawanya pulang ke rumah.
Aska baru tersadar di keesokan harinya, saat matahari sudah tinggi. Ia melihat sekeliling, tubuhnya penuh dengan baluran dedaunan obat-obatan.
"Sudah bangun? Di meja ada obat, diminum supaya cepat pulih," sapa Mang Asep dari luar kamar. Aska segera meminum ramuan pahit yang disiapkan Mang Asep. Setelah merasa sedikit bertenaga, ia keluar dan melihat Mang Asep sedang membelah kayu.
"Mang, semalam Aska kenapa? Sampai dibaluri obat," tanya Aska, penasaran.
"Semalam kamu demam akibat kelelahan. Amang baluri obat biar cepat sembuh, hehe," jawab Mang Asep.
"Latihan Aska gimana, Mang?" tanya Aska lagi.
"Sae. Tenaga dalammu sudah mulai stabil. Selanjutnya, kita akan belajar pengolahan dan penggunaan tenaga dalam," jawab Mang Asep.
"Hayu, Mang, langsung ajarkeun Aska!" seru Aska bersemangat.
"Nanti dulu... Sabar...," kata Mang Asep sambil tertawa kecil. "Sekarang istirahat dulu sampai pulih. Latihannya kita mulai besok."
"Ah, si Amang mah!" gerutu Aska, lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya, mereka kembali ke Puncak Gunung Awi.
"Aska, perhatikan!" ucap Mang Asep. Ia mengambil kuda-kuda, lalu memperagakan sebuah jurus yang gerakannya sangat halus dan teratur. Tangan dan kakinya bergerak seimbang, seolah menari.
"Itu gerakan apa, Mang? Bukannya sekarang mau latihan Jurus Jeblag?" tanya Aska keheranan.
"Ini namanya Jurus Pengolahan Raga. Gunanya untuk menstabilkan dan mengendalikan tenaga dalam agar tidak liar saat digunakan," jelas Mang Asep. "Hayu, ikuti gerakan Amang."
Setiap pagi, di puncak gunung yang sejuk, Aska melatih Jurus Pengolahan Raga.
Beberapa hari kemudian, Aska telah menguasai seluruh gerakan Jurus Pengolahan Raga. Latihan selanjutnya dilakukan di halaman rumah, yaitu mengaplikasikan Jurus Jeblag.
"Gerakan awalnya, putar tangan kanan dan kiri berlawanan, seolah menarik energi. Setelah sampai di perut, tarik tangan kanan ke belakang lalu lepaskan pukulan secara lembut tapi bertenaga," jelas Mang Asep, mencontohkan.
"Sok, peragakeun," perintahnya.
Aska mengangguk. Ia mencoba. Pertama, kedua, hingga puluhan kali, tidak ada reaksi apa pun. Ia terus berlatih, hingga satu bulan penuh berlalu, namun ia masih belum berhasil mengeluarkan tenaga dalamnya. Hari-harinya diisi dengan rutinitas ketat: menyempurnakan gerakan silat, bersemedi di Curug Ento, melatih Jurus Pengolahan Raga, dan Jurus Jeblag. Tak lupa, ia juga membantu Mang Asep membelah kayu, berburu, memancing ikan, serta mendengarkan cerita tentang dunia pendekar di Bumi Nusantara.
Tiga tahun kemudian.
Askara, yang kini berusia 18 tahun, berdiri di halaman rumah. Ia menarik napas dalam-dalam, mengalirkan energi ke tangannya. Dengan gerakan mantap, ia melepaskan Jurus Jeblag ke arah batang kayu yang berjarak beberapa meter. Sebuah gelombang energi tak kasat mata menghantam batang kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Aska menghela napas, menutup jurusnya dengan sempurna.
"Bagus, Aska! Jurus mu sudah sempurna," puji Mang Asep, matanya berkaca-kaca.
"Hatur nuhun, Mang!" balas Aska, membungkuk hormat.
"Tidak terasa, ya, Aska. Kamu sekarang sudah dewasa. Ilmu silat dari Amang juga sudah diturunkan semua. Mungkin sudah saatnya kamu meninggalkan kampung ini untuk memulai perjalanan sebagai pendekar," ucap Mang Asep, bangga sekaligus sedih.
Aska terdiam, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk.
"Besok, mulailah perjalananmu. Berpetualang-lah di Bumi Nusantara, dan jadilah pendekar yang bijaksana serta menjunjung tinggi Saskara," pesan Mang Asep, suaranya bergetar.
"Muhun, Mang!" jawab Aska mantap, siap mengemban takdirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
UCHI °OFFICIAL°
Semangat kak
2020-10-18
1
intan
lanjutan semaksemak ditunggu
2020-06-18
1
¥¥ Devdan ¥¥
Baguus euy
2020-06-08
1