"Sungguh luar biasa. Jarang sekali ada anak muda setangguh ini," gumam sosok tua itu pada dirinya sendiri, matanya tak lepas dari Aska yang terengah-engah. Ia melipat kedua tangannya di dada, senyum misterius terukir di wajahnya yang keriput.
"Siapa namamu, wahai anak muda?" tanyanya, suaranya kini terdengar tenang, jauh berbeda dari auman agresif saat menyerang.
Aska terkejut sekaligus bingung. Pria tua yang baru saja menjatuhkannya itu kini bertanya namanya. "Aska... Askara Paramanda," jawabnya, sedikit tergagap.
Tawa orang tua itu membahana, memecah keheningan pagi. "Huah... Huahhaha! Sungguh nama yang hebat!"
Askara Paramanda, sebuah nama yang bermakna "sosok yang memiliki kesempurnaan dan karunia utama". Sebuah nama yang terlalu besar untuk pundak seorang pemuda.
"Dari manakah asalmu, dan ke mana tujuanmu?" tanya orang tua itu lagi, tawa di wajahnya telah berganti dengan raut penasaran yang dalam.
"Saya dari kampung Salaeurih, tujuan saya ke pasar Caringin," jawab Aska jujur, matanya masih waspada.
Orang tua itu hanya mengangguk-anggukkan kepala. Fajar mulai merekah, menyinari ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang hangat.
"Pergilah, dan jadilah pendekar hebat," ucapnya, lalu berbalik, berjalan membelakangi Aska.
Aska segera bangkit, rasa sakitnya telah mereda. "Mohon maaf, Ki. Kalau boleh tahu, nama Kisanak siapa?" tanyanya, membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
"Panggil saja Ki Cakrabuana," jawab orang tua itu tanpa menoleh. "Berhati-hatilah saat di pasar Caringin."
Ki Cakrabuana terus berjalan menuju matahari terbit, siluetnya semakin mengecil hingga menghilang. Aska, di sisi lain, melanjutkan perjalanannya ke arah barat, mengikuti bayangannya sendiri. Pertemuan singkat namun penuh misteri itu menjadi pelajaran pertama yang tak terlupakan. Ia menyadari, ada pendekar-pendekar hebat di luar sana yang kekuatannya jauh melampaui apa yang ia bayangkan.
Beberapa jam kemudian, Aska tiba di kaki Gunung Cikiruh. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, telinganya menangkap suara riuh yang semakin lama semakin jelas. Ia mengikuti suara itu hingga sampai di sebuah lapangan luas yang dipenuhi tenda-tenda pedagang. Di depannya, berdiri dua pohon beringin raksasa yang menjadi gerbang utama menuju Pasar Caringin.
Aska melangkahkan kaki ke dalam pasar. Segera, ia disambut oleh keramaian yang luar biasa. Suara para pedagang bersahutan, menawarkan dagangan mereka dengan lantang. "Dicoba dulu sarung kebatnya, bu!" "Batu akik banyak jenisnya, ayo dipilih!" "Lima keping tiga kilo ya, Kang!" Aroma rempah-rempah bercampur bumbu masakan dan keringat memenuhi udara.
"Apa yang membuat pasar ini begitu ramai? Padahal letaknya jauh dari pemukiman. Bahkan pengunjungnya pun ada yang dari luar daerah," batin Aska, penuh dengan pertanyaan. Ia mengamati setiap sudut, setiap wajah, mencari petunjuk dari buku kecilnya.
Tiba-tiba, jeritan seorang perempuan memecah kebisingan. "Aaaaaaa...!"
"Copet! Tolong!" teriak perempuan itu, menunjuk ke arah seorang pria yang berlari melewatinya, membawa sebuah dompet.
Aska melihat si pencopet berlari kencang. Ia heran, tidak ada satu pun orang yang mencoba mengejar, bahkan para pendekar yang mungkin ada di sana pun tidak bergerak. Mereka seolah tak peduli. Tanpa berpikir panjang, Aska langsung mengejar pencopet itu.
Dengan lincah, Aska melompati meja-meja dagangan, melintasi balok-balok kayu di atas atap, dan melompati pagar. Tak butuh waktu lama, ia berhasil mengejar pencopet itu. Aska meraih kerah baju si pencopet dan menariknya hingga terjatuh.
"Kembalikan barang ibu yang kamu curi!" ucap Aska, suaranya penuh intimidasi.
Pencopet itu tidak merespons, matanya hanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari celah untuk kabur.
"Hoy! Kembalikan!" seru Aska lagi.
Tiba-tiba, pencopet itu menendang Aska dengan kedua kakinya, membuatnya terjatuh. Pencopet itu bangkit dan kembali berlari. Aska segera berdiri, mengambil sebuah kelapa dari meja seorang pedagang, dan melemparkannya ke atas.
"Paman, saya beli kelapanya!" teriaknya.
Aska menendang kelapa itu hingga menghantam punggung si pencopet, membuatnya terjatuh. Aska berlari menghampirinya, namun baru tiga langkah, sebuah pisau melesat cepat ke arah kepalanya. Aska refleks menghindar, dan pisau itu menancap di dinding kayu di belakangnya. Ia terkejut, ternyata pisau itu dilemparkan oleh seorang penjual daging yang baru saja keluar dari kiosnya, diikuti oleh enam penjual lain yang juga memegang senjata.
"Apa-apaan ini?" batin Aska, tak mengerti. Ia merasa dikepung oleh orang-orang yang seharusnya menjaga ketertiban.
Salah satu penjual itu mendekati Aska. "Hheeaah...," tanpa berkata-kata, ia melancarkan pukulan. Aska menangkisnya dan membalas dengan pukulan di perut, membuatnya mundur.
Kemudian, keenam penjual lain ikut menyerang. Orang pertama memukul lurus. Aska menangkisnya dengan tangan kanan, membalas dengan siku kanan ke perut, lalu mengakhirinya dengan pukulan telapak tangan kiri, membuat penjual itu roboh. Orang kedua datang menendang, Aska menahan tendangannya dan menjatuhkannya. Kelima penjual lainnya mengepung Aska.
Aska bertarung sengit melawan kelima orang itu. Dengan Jurus Tapak Sakti, ia berhasil merobohkan empat penjual lainnya. Penjual terakhir menyerang dengan gesit. Aska menangkis pukulan itu, memegang tangan kanannya, lalu menyambung dengan tangan kiri untuk menjulurkan pukulan ke leher. Ia juga menendang kaki belakang penjual itu agar terjatuh.
Namun, penjual itu dengan cepat memutar tubuhnya di udara, mendarat dengan sempurna. Aska sedikit terkejut. Tanpa membuang waktu, ia membalas dengan Jurus Tapak Sakti ke perut si penjual. Penjual itu terpental beberapa meter dan jatuh tersungkur.
Setelah Aska merobohkan ketujuh penjual itu, mereka bangkit dengan raut wajah kesakitan dan mengambil senjata tajam masing-masing. Mereka kembali mengepung Aska. Tiga penjual pertama menyerang secara bersamaan. Aska berusaha menghindar, namun satu sabetan pedang berhasil menggores pipi kanannya. Ia mundur, merasakan perih.
Saat para pedagang itu hendak menyerang, tiba-tiba seorang perempuan misterius berlari ke arahnya dan menarik lengannya. Aska terkejut, namun ia ikut berlari, menjauh dari kerumunan. Perempuan itu membawanya keluar pasar dan masuk ke dalam hutan bambu yang rimbun.
"Siapa perempuan ini? Dilihat dari penampilannya, dia bukan pengunjung yang kecopetan tadi," batin Aska.
Setelah berlari cukup jauh, mereka berhasil lolos dari kejaran para penjual. Aska heran, napas perempuan itu tidak terengah-engah sama sekali, seolah-olah ia tidak melakukan lari jarak jauh.
"Terima kasih, Nyi, sudah menolong saya. Kalau boleh tahu, nama Nyai siapa?" tanya Aska, membungkuk hormat.
Perempuan itu diam dan membisu, hanya mengabaikan pertanyaan Aska. Setelah beberapa saat hening, ia menoleh sedikit, menatap Aska dengan tatapan dingin, lalu melanjutkan jalannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aska, yang bingung, akhirnya hanya bisa mengikutinya dari belakang, menyadari bahwa ia baru saja memasuki sarang misteri yang lebih besar dari yang ia duga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
intan
up yuk
2020-06-25
1
¥¥ Devdan ¥¥
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2020-06-15
1
.
pasar caringin uuuuu
2020-06-05
1