Alunan seruling yang tak diketahui asalnya, merangkai melodi pilu yang mengiringi langkah Askara Paramanda meninggalkan kampung kelahirannya, Salaeurih. Kampung itu, yang berada di perbatasan Kerajaan Sunda Galuh dan Mataram Kuno, kini terasa begitu jauh. Di pinggangnya, terselip sebuah buku lusuh, warisan dari kakeknya, Ki Salawi Sudarsana. Buku itu adalah satu-satunya kompas yang ia miliki dalam petualangan pertamanya sebagai pendekar.
Sebelum pergi, Mang Asep, paman sekaligus gurunya, telah menjelaskan semuanya. Ayah dan ibu Aska adalah pendekar hebat yang hilang saat Aska masih bayi, dititipkan pada Mang Asep karena konflik persilatan yang memanas. Mang Asep sendiri adalah murid Ki Salawi, dan buku itu adalah petunjuk untuk menemukan para pendekar legendaris yang akan menyempurnakan ilmu Aska.
Halaman pertama buku itu berisi beberapa gambar dan tulisan tangan yang samar:
Gambar pasar yang ramai, dengan keterangan "Liwatan Pasar pajauh huma" (Lewati Pasar yang jauh dari pemukiman).
Gambar puncak gunung berbatu.
Gambar gerbang besar.
Gambar hutan bambu dan gunung berbentuk gajah.
Di bawahnya, sebuah kalimat kunci terukir: "mimitian ka belah kulon", yang berarti perjalanan dimulai ke arah barat.
Selama dua minggu penuh, Aska berjalan kaki ke arah barat. Ia melewati desa-desa kecil, sawah-sawah yang menguning, dan hutan-hutan yang sunyi. Kakinya terasa pegal, namun semangatnya tak pernah surut. Saat singgah di sebuah kampung, ia melihat seorang kakek tua sedang menggembalakan kambingnya.
"Punten, Ki! Boleh saya bertanya?" sapa Aska, membungkukkan badan.
"Mangga, Jang," jawab sang kakek, suaranya parau namun ramah.
"Saya mencari pasar yang jauh dari pemukiman. Apakah Aki tahu tempat seperti itu?"
Kakek itu terdiam, mengusap janggut putihnya. "Kalau pasar yang jauh dari pemukiman, Aki kurang tahu persis. Tapi Aki pernah dengar ada pasar besar di sebelah barat, sebelum masuk perbatasan ibu kota Sunda Galuh."
"Seberapa jauh jaraknya dari sini, Ki?"
"Tidak terlalu jelas, Jang. Kira-kira setengah perjalanan ke ibu kota. Ya... empat sampai lima minggu jalan kaki," jawab kakek itu, matanya menerawang.
Aska mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur. "Hatur nuhun, Ki." Ia segera melanjutkan perjalanan.
Satu bulan kemudian, Aska tiba di desa lain. Perutnya keroncongan, ia mampir ke sebuah warung sederhana. Sambil menikmati pisang rebus, ia mendengar perbincangan ibu pemilik warung, Inah, dan pelayannya, Sumiarti.
"Gimana, Teh, di pasar Caringin? Rame?" tanya Sumiarti.
"Wuuu... Rame, Ti! Pasarnya besar sekali. Beli sarung saja sampai harus antri panjang," sahut Inah, mengipas-ngipas wajahnya.
Aska merasa jantungnya berdegup kencang. Nama pasar itu terasa familiar. "Punten, Teh, kalau boleh tahu, pasar yang dimaksud itu di mana, ya?" tanyanya sopan.
"Pasar Caringin?" tanya Inah.
"Iya, Teh," jawab Aska.
"Oh... kalau mau ke sana sekarang, pasarnya sudah tutup, A," kata Inah.
"Tidak apa-apa, Bu, saya cuma mau tahu lokasinya," balas Aska.
Inah tersenyum ramah. "Gampang kok. Dari desa ini, keluar ambil jalan ke barat. Nanti ada percabangan, ambil jalan yang ke kanan. Lurus terus sampai ketemu kebun tebu, seberangi sungai, lalu ikuti jalan di kaki Gunung Cikiruh. Nah, di situlah letak pasarnya."
Setelah mendengar petunjuk itu, Aska segera membayar dan bergegas pergi. Di belakangnya, ia mendengar tawa Sumiarti. "Teh, yang barusan itu sepertinya pendekar, deh!"
Inah terkekeh. "Dih, genit! Ingat umur, Sumi!"
"Ye, enggak apa-apa, Teh. Kapan lagi bisa ketemu pendekar muda seperti dia, hahaha..."
Aska berjalan keluar desa. Di persimpangan jalan, ia melihat seorang pedagang topeng. Pandangannya jatuh pada sebuah topeng kayu berwarna putih dengan corak merah yang menyerupai wajah macan. Topeng itu seolah memanggilnya. Aska membelinya, lalu mengikatkannya di pinggang.
Malam mulai turun. Ia menemukan sebuah saung kosong di pinggir kebun tebu dan memutuskan untuk beristirahat di sana. Ia berencana melanjutkan perjalanan esok pagi.
Keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, Aska sudah berjalan di tengah kebun tebu yang menjulang tinggi. Suasana masih gelap dan sunyi, hanya suara gesekan daun tebu yang berbisik.
Tiba-tiba, sebuah batang tebu melayang dengan cepat ke arahnya. Aska sigap mengelak, merasakan angin dari batang tebu itu di samping telinganya. Belum sempat ia mengambil kuda-kuda, sebuah bayangan melompat dari balik tebu dan melancarkan tendangan lurus.
Aska terkejut. "Siapa orang tua ini? Kenapa tiba-tiba menyerang di pagi buta seperti ini?" batinnya. Ia berhasil menghindar dan segera memasang kuda-kuda. Sosok tua itu, dengan tubuh kurus namun lincah, juga memasang kuda-kuda.
Pertarungan pun dimulai. Pendekar tua itu menyerang dengan jurus yang agresif dan buas. Gerakannya cepat, seolah-olah ia adalah serigala kelaparan yang menerkam mangsanya. Aska berusaha menangkis, menghindar, dan menyerang balik. Namun, setiap pukulannya selalu ditangkis dengan mudah. Pukulan Cakar Maung andalannya berhasil ditahan, dan ia dijungkirbalikkan.
"Gerakan apa ini? Buas sekali seperti serigala! Jadi ini ajang pertarungan hewan buas, ya?" batin Aska, napasnya tersengal.
Aska mengubah kuda-kudanya, beralih ke Jurus Gerakan Silat Maung Moro, jurus yang lebih cepat dan lincah. Pendekar tua itu pun ikut menyesuaikan kuda-kudanya. Angin berhembus kencang, berputar di antara mereka.
Keduanya melancarkan serangan. Aska mengelak ke bawah dari pukulan musuh, lalu membalas dengan pukulan siku. Serangannya kembali dihindari. Aska beralih menendang lurus ke kaki, namun lawannya berhasil mundur. Melihat celah, Aska segera mengalirkan tenaga dalamnya dan bersiap melancarkan Jurus Jeblag.
Namun, sebelum pukulannya terlepas, pendekar tua itu melancarkan sebuah jurus yang begitu cepat dan tak terduga. Sebuah hempasan energi menghantam dada Aska. Ia terpental jauh ke belakang, bagaikan selembar daun yang diterpa badai.
Sakit yang luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya. "Ukhh..." Aska menahan erangan. "Jurus apa itu?" batinnya bingung.
Pendekar tua itu mendekat, tubuhnya tak terlihat kelelahan sedikit pun. Ia mengeluarkan sebatang tebu yang sudah dikupas. "Minumlah air tebu ini," katanya, suaranya tenang.
Tanpa ragu-ragu, Aska meminum air tebu itu. Secara perlahan, rasa sakit di tubuhnya mereda, digantikan oleh kehangatan yang menjalar, memulihkan tenaganya. Ia menatap lekat-lekat pada sosok pendekar tua itu, menyadari bahwa perjalanannya tak akan semudah yang ia bayangkan. Ujian pertamanya telah mengajarkannya sebuah pelajaran berharga: masih banyak pendekar hebat di luar sana yang kekuatannya jauh melampaui dirinya.
Sejenak Aska tertegun memperhatikan pria tua itu dan bertanya dalam hatinya,"Siapa kakek tua ini, Jurusnya begitu hebat". Aska merasa kakek ini jauh lebih kuat dari pada Mang Asep. Dari situ Aska mulai berfikir kalau perjalanannya tidak akan mudah dan pasti akan banyak halangan yang menghadang dalam mencapai tujuannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
intan
lanjutannya ditunggu thor
2020-06-22
1
™
lnjut thor
2020-06-19
1
¥¥ Devdan ¥¥
nice nice
2020-06-11
1