NovelToon NovelToon

Pendekar Nusantara

Pencak Silat

Di sebuah perkampungan terpencil, yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau membentang sejauh mata memandang, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Askara Paramanda. Pagi itu, udara sejuk pegunungan diselimuti oleh suara "Krakkk... Krakkk crlek" yang ritmis. Suara itu berasal dari Mang Asep, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan sorot mata teduh, yang sedang membelah kayu di halaman rumahnya.

"Oh… Aska sudah bangun!" sapa Mang Asep ramah, menghentikan kegiatannya saat melihat Aska yang baru berusia lima tahun keluar dari rumah bambu mereka.

"Muhun, Mang...," jawab Aska lirih, sambil mengucek matanya yang masih lengket dengan sisa kantuk. Wajahnya yang polos tampak begitu menggemaskan.

Mang Asep tersenyum hangat. "Di dapur ada ubi rebus, dimakan dulu. Setelah itu, kita ke sungai, nyari ikan buat makan malam," ucapnya, mengelus lembut kepala Aska. Kehangatan sentuhan itu selalu menjadi pengobat rindu Aska pada orang tuanya yang telah tiada. Sejak saat itu, Mang Asep menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Selesai sarapan, Aska bergegas mengikuti Mang Asep. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah yang sempit, meniti jalan setapak berkerikil di lereng gunung, hingga akhirnya sampai di sebuah sungai yang airnya mengalir jernih. Mang Asep dengan cekatan menebar jaringnya ke tengah sungai. Tak butuh waktu lama, jaring itu sudah penuh dengan ikan-ikan kecil yang menggeliat.

"Hewuuh… tak terasa sudah sore," keluh Mang Asep, menghela napas panjang sambil menatap langit senja yang memancarkan warna jingga keemasan. "Aska, ayo kita pulang, hari mulai gelap." Aska mengangguk patuh, membawa sebagian hasil tangkapan, dan bergegas mengikuti langkah Mang Asep.

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, kokok ayam jantan sudah memecah keheningan pagi. "O..o.o.ooo..."

"Aska… Aska bangun!" Suara Mang Asep terdengar lantang dari luar rumah. Aska yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, segera bangun dan membasuh wajahnya dengan air dingin dari kendi tanah liat.

"Sini, Aska," panggil Mang Asep. Aska mendekat, matanya menatap wajah gurunya itu dengan penuh tanya.

"Sekarang sudah saatnya kamu belajar Pencak Silat," ucap Mang Asep, memegang pundak kecil Aska.

Aska terdiam sejenak. "Pencak silat itu apa, Mang?" tanyanya polos.

Mang Asep tersenyum, menuntun Aska untuk duduk di teras. "Pencak silat itu bukan sekadar gerakan bertarung, Aska. Pencak silat adalah sebuah cara untuk melindungi diri dan orang-orang yang kita sayangi. Ilmu ini mengajarkan kita untuk melawan kejahatan, membantu orang yang kesusahan, dan membela yang lemah," jelas Mang Asep, mengurai arti dan tujuan mulia dari sebuah ilmu bela diri.

Wajah Aska berbinar, matanya memancarkan semangat yang baru. Ia mengangguk-angguk, seolah memahami betul setiap kata yang diucapkan Mang Asep.

"Sebelum latihan, kita isi perut dulu," ajak Mang Asep sambil merangkul pundak Aska. Mereka berdua pun menikmati sarapan sederhana dengan penuh syukur.

Beberapa saat kemudian, di tengah halaman rumah yang teduh, latihan perdana pun dimulai.

"Nah, ini kuda-kudanya harus sempurna, biar pondasi gerakannya juga sempurna," ucap Mang Asep, membenarkan posisi kaki dan tangan Aska. "Ikuti gerakan Amang. Hiat... hiat... tsaah!" Mang Asep memperagakan setiap jurus dasar dengan penuh keindahan dan kekuatan. Aska meniru setiap gerakannya dengan tekun, meskipun tubuhnya masih kecil dan belum sekuat gurunya.

Hari-hari Aska selanjutnya diisi dengan rutinitas yang ketat. Selain membantu Mang Asep di ladang, ia juga terus berlatih pencak silat. Ia menguasai teknik pukulan, tendangan, bahkan melompat dan berlari melintasi jalan setapak dan pegunungan. Latihan fisik yang berat ini tidak hanya membentuk tubuhnya menjadi kuat, tetapi juga melatih ketahanan jiwa dan mentalnya. Mang Asep selalu mengajarkan bahwa seorang pendekar sejati bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan berani.

Sepuluh tahun berlalu, Aska kini telah beranjak remaja. Tubuhnya yang kurus saat kecil kini telah berubah menjadi tegap dan kuat. Ilmu pencak silatnya telah berkembang pesat.

Pagi itu, di halaman yang sama, terjadi sebuah pertarungan tongkat yang sengit. "Trek... Trak tek," suara kayu beradu. Aska menyerang dengan lincah, memukul bagian atas, memutar tongkatnya, dan menyambung dengan pukulan bawah. Semua gerakannya ditangkis dengan sempurna oleh Mang Asep.

Dengan gerakan cepat, Mang Asep melancarkan Jurus Pukulan Loncat Maung. "Hiiiaaahh!" teriaknya. Namun, Aska menahan serangan itu dengan jurus Silang Cakar Maung, mengakhiri pertarungan mereka dengan hasil imbang. Selama sepuluh tahun ini, Aska telah menguasai seluruh ilmu pencak silat yang diturunkan oleh Mang Asep.

Mang Asep tersenyum bangga, lalu menarik napas panjang. "Aska, lihat baik-baik," katanya. Ia memasang kuda-kuda, memutar kedua tangan kanannya dengan berlawanan, seolah mengumpulkan kekuatan yang tak terlihat. Kemudian, dengan hentakan kuat, ia melepaskan pukulan ke arah sebatang pohon yang berjarak beberapa meter. "Wooshhh!" Pukulan itu mengeluarkan hempasan energi tak kasat mata yang menghancurkan batang pohon hingga berkeping-keping.

"Woaaah… Apa itu, Mang?" Aska terperangah, mulutnya sedikit terbuka. "Ajarkeun ka Aska atuh, Mang!"

Saking kagumnya, Aska mencoba meniru jurus itu dengan asal-asalan. "Hiah wuuus... Hiahhh wuuus..."

"Hahahaha!" Mang Asep tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lucu Aska. "Kamu lagi ngapain, Aska?"

"Lagi latihan jurus kayak Amang!" jawab Aska dengan polos.

"Pfff... Hahahaha!" Mang Asep kembali tertawa. Aska hanya bisa merasa malu dan kebingungan.

"Sabar, Aska. Semua butuh proses. Tidak ada yang bisa langsung jadi," ucap Mang Asep, masih dengan senyum geli. "Sini, Amang jelaskan dulu."

Mereka duduk di bawah pohon. "Jurus tadi namanya Jurus Pukulan Jeblag. Jurus ini menggunakan tenaga dalam, Aska. Jadi, hal pertama yang harus kamu kuasai adalah membuka dan mengumpulkan energi itu," jelas Mang Asep.

Keesokan harinya, Mang Asep membawa Aska ke puncak Gunung Awi, di sebuah tebing curam. "Latihan pertama untuk membuka tenaga dalam adalah bersemedi," katanya. "Duduk bersila dekat jurang itu."

Aska mengikuti perintah Mang Asep. "Tegakkan badanmu, pejamkan mata, tenangkan pikiran. Rasakan hawa di sekitarmu. Jika ada hawa aneh yang masuk, tahan dan kendalikan. Jangan bangun sampai Amang datang," instruksi Mang Asep, lalu pergi.

Selama seminggu penuh, Aska bersemedi tanpa makan dan minum. Ia hanya merasakan panas di siang hari dan dinginnya malam. Pada hari kelima, tubuhnya mulai terasa sangat lelah. Di hari keenam, ia merasakan sensasi aneh. Hawa energi panas dan dingin yang tidak beraturan mulai masuk ke dalam tubuhnya. Jantungnya berdetak melemah, napasnya tersengal. Namun, Aska terus berjuang mengendalikan hawa itu hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Di hari ketujuh, Mang Asep datang dan menempelkan telapak tangannya di punggung Aska. Dengan sedikit tenaga dalam, ia menstabilkan energi yang bergejolak di tubuh Aska.

"Gimana, Aska? Apa yang kamu rasakan?" tanya Mang Asep. Aska menceritakan semua pengalamannya.

"Bagus, Aska! Bagus!" puji Mang Asep bangga. "Kamu berhasil melewati bagian awal pembukaan tenaga dalam hanya dalam seminggu. Amang butuh waktu satu bulan untuk ini. Amang tahu kamu berbakat, hahaha!"

"Sekarang, kita pulang untuk memulihkan tenagamu. Besok, kita akan mulai melatih pengendalian hawa energi itu," ucap Mang Asep, merangkul pundak Aska, siap untuk melanjutkan perjalanan yang lebih besar.

Tenaga Dalam

Pagi buta, suara kokok ayam jantan memecah keheningan yang masih pekat. "O..o.o.ooo..." Di bawah cahaya remang-remang yang baru menyingkap dari balik pegunungan, Askara dan Mang Asep sudah bersiap. Hari ini, mereka akan melanjutkan pelatihan berat Askara, menuju sebuah tempat yang melegenda: Air Terjun Cigana, atau yang lebih dikenal penduduk sekitar sebagai Curug Ento. Perjalanan itu bukan hanya menguji fisik mereka, tetapi juga ketahanan mental.

Mereka berjalan kaki melintasi hutan yang lebat dan jalan setapak yang menanjak, menempuh jarak berkilo-kilo meter. Kabut pagi yang dingin memeluk erat, membuat napas setiap hembusan terasa berat. Curug Ento memiliki reputasi mistis. Konon, di masa lalu, seorang pertapa sakti sering bersemedi di bawah derasnya air terjun itu. Suatu hari, ia menghilang begitu saja, meninggalkan jejak aura kuat yang masih terasa hingga kini. Tempat ini dipilih Mang Asep sebagai lokasi pelatihan pamungkas bagi Askara.

Setibanya di sana, suara gemuruh air terjun menyambut mereka. Airnya jatuh dari ketinggian puluhan meter, menciptakan kabut halus yang menyegarkan. Tanpa banyak bicara, Mang Asep tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di dahi Askara. Sebuah hentakan energi tak kasat mata mendorong tubuh Askara hingga terpental ke belakang.

"Awww... Uhh, sakit, Mang!" seru Aska terkejut dan kesal. Telapak tangan Mang Asep yang dialiri tenaga dalam itu membuatnya jungkir balik.

Mang Asep hanya tersenyum, melihat reaksi lucu di wajah Aska. "Dengar, Aska," ucapnya sambil berjalan perlahan mendekati air terjun. "Itu Amang sengaja mengalirkan pelindung tubuh ke kepalamu. Tenaga dalammu masih labil. Jika menyebar ke kepala terlalu cepat dan tidak terkendali, kamu bisa gila, atau bahkan lebih parah, mati."

Aska mengangguk, rasa sakitnya tergantikan oleh rasa takut dan penasaran.

"Nah! Sekarang, kamu duduk bersemedi di batu besar itu," perintah Mang Asep, menunjuk ke sebuah batu yang menonjol di tengah derasnya aliran air. "Ingat, kendalikan hawa energi panas di dalam tubuhmu perlahan dan teratur. Jangan terburu-buru. Fokus! Jangan bangun sebelum Amang yang membangunkan mu!"

"Muhun, Mang," jawab Aska, segera berjalan menghampiri batu tersebut. Dengan napas dalam, ia menaiki batu besar yang licin itu dan memulai semedi.

Mang Asep mengangguk puas, lalu berbalik, meninggalkan Aska sendirian.

Begitu memulai semedi, Aska langsung merasakan hawa energi panas di dalam dirinya. Namun, kali ini, tantangannya jauh lebih berat. Air yang jatuh dari ketinggian menciptakan cipratan-cipratan es yang murni dari mata air Gunung Cilasih. Cipratan-cipratan itu menusuk kulitnya, menciptakan sensasi dingin yang luar biasa dan mengganggu fokusnya.

Memasuki hari keempat, tubuh Aska mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekstrem. Hawa energi di dalam dirinya terasa sangat berat, seolah ia menggendong beban berton-ton. Di sisi lain, kulitnya terasa sangat dingin, seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum es.

Di hari ketujuh dan kedelapan, gejolak energi di dalam tubuhnya semakin hebat. Tubuh bagian dalam terasa seperti terbakar oleh tekanan panas, sementara bagian luar membeku oleh dingin yang menusuk. Aska kewalahan, namun ia terus berusaha mengendalikan hawa energi itu, keringat dingin bercampur air hujan membasahi seluruh tubuhnya.

Jauh dari Curug Ento, Mang Asep sedang dalam perjalanan kembali. "Tidak terasa, sepuluh hari sudah berlalu. Bagaimana kabarmu, Aska?" batinnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran sekaligus keyakinan.

Saat tiba di Curug Ento di sore hari, Mang Asep melihat Aska masih bertahan dalam posisi semedi, tubuhnya gemetar. Ia segera menghampiri, menempatkan telapak tangannya di atas kepala Aska. Dengan aliran tenaga dalam yang lembut, ia menstabilkan hawa energi yang bergejolak di dalam tubuh Aska, lalu membangunkannya.

Aska membuka matanya, mencoba berdiri, namun tubuhnya terlalu lemas. "Mang..." katanya pelan, tersenyum lemah. Tak lama kemudian, kesadarannya hilang. Ia ambruk kelelahan.

Mang Asep tersenyum bangga. "Anak ini," bisiknya. Dengan hati-hati, ia menggendong Aska di punggungnya, membawanya pulang ke rumah.

Aska baru tersadar di keesokan harinya, saat matahari sudah tinggi. Ia melihat sekeliling, tubuhnya penuh dengan baluran dedaunan obat-obatan.

"Sudah bangun? Di meja ada obat, diminum supaya cepat pulih," sapa Mang Asep dari luar kamar. Aska segera meminum ramuan pahit yang disiapkan Mang Asep. Setelah merasa sedikit bertenaga, ia keluar dan melihat Mang Asep sedang membelah kayu.

"Mang, semalam Aska kenapa? Sampai dibaluri obat," tanya Aska, penasaran.

"Semalam kamu demam akibat kelelahan. Amang baluri obat biar cepat sembuh, hehe," jawab Mang Asep.

"Latihan Aska gimana, Mang?" tanya Aska lagi.

"Sae. Tenaga dalammu sudah mulai stabil. Selanjutnya, kita akan belajar pengolahan dan penggunaan tenaga dalam," jawab Mang Asep.

"Hayu, Mang, langsung ajarkeun Aska!" seru Aska bersemangat.

"Nanti dulu... Sabar...," kata Mang Asep sambil tertawa kecil. "Sekarang istirahat dulu sampai pulih. Latihannya kita mulai besok."

"Ah, si Amang mah!" gerutu Aska, lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Keesokan harinya, mereka kembali ke Puncak Gunung Awi.

"Aska, perhatikan!" ucap Mang Asep. Ia mengambil kuda-kuda, lalu memperagakan sebuah jurus yang gerakannya sangat halus dan teratur. Tangan dan kakinya bergerak seimbang, seolah menari.

"Itu gerakan apa, Mang? Bukannya sekarang mau latihan Jurus Jeblag?" tanya Aska keheranan.

"Ini namanya Jurus Pengolahan Raga. Gunanya untuk menstabilkan dan mengendalikan tenaga dalam agar tidak liar saat digunakan," jelas Mang Asep. "Hayu, ikuti gerakan Amang."

Setiap pagi, di puncak gunung yang sejuk, Aska melatih Jurus Pengolahan Raga.

Beberapa hari kemudian, Aska telah menguasai seluruh gerakan Jurus Pengolahan Raga. Latihan selanjutnya dilakukan di halaman rumah, yaitu mengaplikasikan Jurus Jeblag.

"Gerakan awalnya, putar tangan kanan dan kiri berlawanan, seolah menarik energi. Setelah sampai di perut, tarik tangan kanan ke belakang lalu lepaskan pukulan secara lembut tapi bertenaga," jelas Mang Asep, mencontohkan.

"Sok, peragakeun," perintahnya.

Aska mengangguk. Ia mencoba. Pertama, kedua, hingga puluhan kali, tidak ada reaksi apa pun. Ia terus berlatih, hingga satu bulan penuh berlalu, namun ia masih belum berhasil mengeluarkan tenaga dalamnya. Hari-harinya diisi dengan rutinitas ketat: menyempurnakan gerakan silat, bersemedi di Curug Ento, melatih Jurus Pengolahan Raga, dan Jurus Jeblag. Tak lupa, ia juga membantu Mang Asep membelah kayu, berburu, memancing ikan, serta mendengarkan cerita tentang dunia pendekar di Bumi Nusantara.

Tiga tahun kemudian.

Askara, yang kini berusia 18 tahun, berdiri di halaman rumah. Ia menarik napas dalam-dalam, mengalirkan energi ke tangannya. Dengan gerakan mantap, ia melepaskan Jurus Jeblag ke arah batang kayu yang berjarak beberapa meter. Sebuah gelombang energi tak kasat mata menghantam batang kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Aska menghela napas, menutup jurusnya dengan sempurna.

"Bagus, Aska! Jurus mu sudah sempurna," puji Mang Asep, matanya berkaca-kaca.

"Hatur nuhun, Mang!" balas Aska, membungkuk hormat.

"Tidak terasa, ya, Aska. Kamu sekarang sudah dewasa. Ilmu silat dari Amang juga sudah diturunkan semua. Mungkin sudah saatnya kamu meninggalkan kampung ini untuk memulai perjalanan sebagai pendekar," ucap Mang Asep, bangga sekaligus sedih.

Aska terdiam, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk.

"Besok, mulailah perjalananmu. Berpetualang-lah di Bumi Nusantara, dan jadilah pendekar yang bijaksana serta menjunjung tinggi Saskara," pesan Mang Asep, suaranya bergetar.

"Muhun, Mang!" jawab Aska mantap, siap mengemban takdirnya.

Awal Petualangan

Alunan seruling yang tak diketahui asalnya, merangkai melodi pilu yang mengiringi langkah Askara Paramanda meninggalkan kampung kelahirannya, Salaeurih. Kampung itu, yang berada di perbatasan Kerajaan Sunda Galuh dan Mataram Kuno, kini terasa begitu jauh. Di pinggangnya, terselip sebuah buku lusuh, warisan dari kakeknya, Ki Salawi Sudarsana. Buku itu adalah satu-satunya kompas yang ia miliki dalam petualangan pertamanya sebagai pendekar.

Sebelum pergi, Mang Asep, paman sekaligus gurunya, telah menjelaskan semuanya. Ayah dan ibu Aska adalah pendekar hebat yang hilang saat Aska masih bayi, dititipkan pada Mang Asep karena konflik persilatan yang memanas. Mang Asep sendiri adalah murid Ki Salawi, dan buku itu adalah petunjuk untuk menemukan para pendekar legendaris yang akan menyempurnakan ilmu Aska.

Halaman pertama buku itu berisi beberapa gambar dan tulisan tangan yang samar:

Gambar pasar yang ramai, dengan keterangan "Liwatan Pasar pajauh huma" (Lewati Pasar yang jauh dari pemukiman).

Gambar puncak gunung berbatu.

Gambar gerbang besar.

Gambar hutan bambu dan gunung berbentuk gajah.

Di bawahnya, sebuah kalimat kunci terukir: "mimitianbka bekah kulon", yang berarti perjalanan dimulai ke arah barat.

Selama dua minggu penuh, Aska berjalan kaki ke arah barat. Ia melewati desa-desa kecil, sawah-sawah yang menguning, dan hutan-hutan yang sunyi. Kakinya terasa pegal, namun semangatnya tak pernah surut. Saat singgah di sebuah kampung, ia melihat seorang kakek tua sedang menggembalakan kambingnya.

"Punten, Ki! Boleh saya bertanya?" sapa Aska, membungkukkan badan.

"Mangga, Jang," jawab sang kakek, suaranya parau namun ramah.

"Saya mencari pasar yang jauh dari pemukiman. Apakah Aki tahu tempat seperti itu?"

Kakek itu terdiam, mengusap janggut putihnya. "Kalau pasar yang jauh dari pemukiman, Aki kurang tahu persis. Tapi Aki pernah dengar ada pasar besar di sebelah barat, sebelum masuk perbatasan ibu kota Sunda Galuh."

"Seberapa jauh jaraknya dari sini, Ki?"

"Tidak terlalu jelas, Jang. Kira-kira setengah perjalanan ke ibu kota. Ya... empat sampai lima minggu jalan kaki," jawab kakek itu, matanya menerawang.

Aska mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur. "Hatur nuhun, Ki." Ia segera melanjutkan perjalanan.

Satu bulan kemudian, Aska tiba di desa lain. Perutnya keroncongan, ia mampir ke sebuah warung sederhana. Sambil menikmati pisang rebus, ia mendengar perbincangan ibu pemilik warung, Inah, dan pelayannya, Sumiarti.

"Gimana, Teh, di pasar Caringin? Rame?" tanya Sumiarti.

"Wuuu... Rame, Ti! Pasarnya besar sekali. Beli sarung saja sampai harus antri panjang," sahut Inah, mengipas-ngipas wajahnya.

Aska merasa jantungnya berdegup kencang. Nama pasar itu terasa familiar. "Punten, Teh, kalau boleh tahu, pasar yang dimaksud itu di mana, ya?" tanyanya sopan.

"Pasar Caringin?" tanya Inah.

"Iya, Teh," jawab Aska.

"Oh... kalau mau ke sana sekarang, pasarnya sudah tutup, A," kata Inah.

"Tidak apa-apa, Bu, saya cuma mau tahu lokasinya," balas Aska.

Inah tersenyum ramah. "Gampang kok. Dari desa ini, keluar ambil jalan ke barat. Nanti ada percabangan, ambil jalan yang ke kanan. Lurus terus sampai ketemu kebun tebu, seberangi sungai, lalu ikuti jalan di kaki Gunung Cikiruh. Nah, di situlah letak pasarnya."

Setelah mendengar petunjuk itu, Aska segera membayar dan bergegas pergi. Di belakangnya, ia mendengar tawa Sumiarti. "Teh, yang barusan itu sepertinya pendekar, deh!"

Inah terkekeh. "Dih, genit! Ingat umur, Sumi!"

"Ye, enggak apa-apa, Teh. Kapan lagi bisa ketemu pendekar muda seperti dia, hahaha..."

Aska berjalan keluar desa. Di persimpangan jalan, ia melihat seorang pedagang topeng. Pandangannya jatuh pada sebuah topeng kayu berwarna putih dengan corak merah yang menyerupai wajah macan. Topeng itu seolah memanggilnya. Aska membelinya, lalu mengikatkannya di pinggang.

Malam mulai turun. Ia menemukan sebuah saung kosong di pinggir kebun tebu dan memutuskan untuk beristirahat di sana. Ia berencana melanjutkan perjalanan esok pagi.

Keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, Aska sudah berjalan di tengah kebun tebu yang menjulang tinggi. Suasana masih gelap dan sunyi, hanya suara gesekan daun tebu yang berbisik.

Tiba-tiba, sebuah batang tebu melayang dengan cepat ke arahnya. Aska sigap mengelak, merasakan angin dari batang tebu itu di samping telinganya. Belum sempat ia mengambil kuda-kuda, sebuah bayangan melompat dari balik tebu dan melancarkan tendangan lurus.

Aska terkejut. "Siapa orang tua ini? Kenapa tiba-tiba menyerang di pagi buta seperti ini?" batinnya. Ia berhasil menghindar dan segera memasang kuda-kuda. Sosok tua itu, dengan tubuh kurus namun lincah, juga memasang kuda-kuda.

Pertarungan pun dimulai. Pendekar tua itu menyerang dengan jurus yang agresif dan buas. Gerakannya cepat, seolah-olah ia adalah serigala kelaparan yang menerkam mangsanya. Aska berusaha menangkis, menghindar, dan menyerang balik. Namun, setiap pukulannya selalu ditangkis dengan mudah. Pukulan Cakar Maung andalannya berhasil ditahan, dan ia dijungkirbalikkan.

"Gerakan apa ini? Buas sekali seperti serigala! Jadi ini ajang pertarungan hewan buas, ya?" batin Aska, napasnya tersengal.

Aska mengubah kuda-kudanya, beralih ke Jurus Gerakan Silat Maung Moro, jurus yang lebih cepat dan lincah. Pendekar tua itu pun ikut menyesuaikan kuda-kudanya. Angin berhembus kencang, berputar di antara mereka.

Keduanya melancarkan serangan. Aska mengelak ke bawah dari pukulan musuh, lalu membalas dengan pukulan siku. Serangannya kembali dihindari. Aska beralih menendang lurus ke kaki, namun lawannya berhasil mundur. Melihat celah, Aska segera mengalirkan tenaga dalamnya dan bersiap melancarkan Jurus Jeblag.

Namun, sebelum pukulannya terlepas, pendekar tua itu melancarkan sebuah jurus yang begitu cepat dan tak terduga. Sebuah hempasan energi menghantam dada Aska. Ia terpental jauh ke belakang, bagaikan selembar daun yang diterpa badai.

Sakit yang luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya. "Ukhh..." Aska menahan erangan. "Jurus apa itu?" batinnya bingung.

Pendekar tua itu mendekat, tubuhnya tak terlihat kelelahan sedikit pun. Ia mengeluarkan sebatang tebu yang sudah dikupas. "Minumlah air tebu ini," katanya, suaranya tenang.

Tanpa ragu-ragu, Aska meminum air tebu itu. Secara perlahan, rasa sakit di tubuhnya mereda, digantikan oleh kehangatan yang menjalar, memulihkan tenaganya. Ia menatap lekat-lekat pada sosok pendekar tua itu, menyadari bahwa perjalanannya tak akan semudah yang ia bayangkan. Ujian pertamanya telah mengajarkannya sebuah pelajaran berharga: masih banyak pendekar hebat di luar sana yang kekuatannya jauh melampaui dirinya.

Sejenak Aska tertegun memperhatikan pria tua itu dan bertanya dalam hatinya,"Siapa kakek tua ini, Jurusnya begitu hebat". Aska merasa kakek ini jauh lebih kuat dari pada Mang Asep. Dari situ Aska mulai berfikir kalau perjalanannya tidak akan mudah dan pasti akan banyak halangan yang menghadang dalam mencapai tujuannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!