PACAR 30 HARI BRIPDA MAHMUD
"Selamat pagi," suara salam dari seseorang di luar pintu ruangan personalia, di barengi dengan suara ketukan pintu, "tok tok tok!"
Dinda yang sedang duduk menghadap ke meja kerjanya dengan tumpukan berkas-berkas laporan kerja, spontan mendongakkan kepala dan menoleh ke arah kanan, yaitu arah sumber suara berasal, sambil menjawab, "Silakan masuk!"
Setelah pintu ruangan itu terbuka, kemudian muncul dua orang polisi yang gagah dan tampan. Kedua orang polisi itu berjalan ke arah Dinda.
Dinda berdiri dan tersenyum untuk menyambutnya, sambil menjawab, "Selamat pagi, pak!"
"Mari silahkan duduk!" Dinda mempersilakan dengan menunjuk kedua kursi di seberang meja kerjanya dengan membuka telapak tangan kanannya dan menjulurkannya ke depan sebagai isyarat.
"Kami mau melapor dan menyerahkan Surat Tugas, Bu," jawab salah satu polisi itu. sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat setelah duduk tentunya.
Dinda menerima amplop tersebut dan membuka lembar demi lembar Surat Tugas kedua polisi tersebut.
Dari situ Dinda mengetahui siapa nama kedua polisi tersebut. BRIPTU ANDI dan BRIPDA MAHMUD.
Kemudian Dinda menjelaskan tugas-tugas yang diembankan perusahaan kepada kedua polisi tersebut selama bertugas.
Tanpa Dinda sadari, Mahmud mengambil kertas di tong sampah yang ada di sebelah kanan meja kerja Dinda, lalu ditulisnya sepotong kalimat di kertas itu, sebelum Mahmud berdiri meninggalkan ruangan Dinda, diletakkannya sobekan kertas itu di atas buku Dinda.
Dibukanya kertas dari Mahmud, tertulis dengan huruf besar dan dibaca oleh Dinda,
"AKU INGIN DEKAT DENGANMU"
Dinda memandang kepergian Mahmud,
"Gak jelas!" Batin Dinda.
Mahmud berbalik menoleh ke arah Dinda. Membuat mereka saling tatap. dengan tatapan Mahmud yang tidak bisa dimengerti oleh Dinda.
*
Pukul empat sore, dengan hati riang seolah tanpa beban, Dinda pulang kerja. Sesampai di depan poliklinik, Mahmud memanggil sambil keluar dari dalam poliklinik, "Mbak Dinda!"
Spontan Dinda berhenti dan mencari sumber suara.
"Ayo ke sini dulu!" Mahmud mendekat dan memaksa Dinda dengan menarik lengan Dinda masuk ke dalam poliklinik.
Dinda mengikuti dengan sedikit bingung.
"Ada apa?" Tanya Dinda.
Setelah duduk bersebelahan di kursi panjang di poliklinik,
"Perkenalkan! Saya Mahmud. Saya akan bertugas di sini selama sebulan. Dan kata Bapak Pimpinan tadi, salah satu tugas saya adalah menjadi pengawal mbak Dinda apabila bekerja terjun langsung di lapangan. Jadi, sebelum saya melakukan pekerjaan saya, alangkah baiknya saya mengenal mbak Dinda terlebih dulu." Kata Mahmud penuh percaya diri.
"Tapi tadikan sudah berkenalan di kantor," jawab Dinda merasa keberatan dengan permintaan Mahmud.
"Mengenal lebih detail lagi gak dilarang, kan?" Pinta Mahmud.
"Tapi saya punya kegiatan sore ini, pak." Elak Dinda.
"Nggak lama kok, cuma sebentar doang. Boleh ya?" Pinta Mahmud dengan memelas.
Karena tidak enak hati dan tidak tega, akhirnya Dinda mengiyakan.
Mantri yang tadinya duduk di belakang meja kerjanya, ia pergi ke ruang belakang. Seolah memberi peluang kepada Mahmud dan Dinda untuk berbincang.
"Kita berkenalan dulu, mbak. Saya ingin mengenal mbak Dinda lebih banyak lagi." Kata Mahmud sambil meraih telapak tangan kanan Dinda memaksa untuk bersalaman.
Dinda terkejut dengan keagresifan Mahmud.
"Namaku Mahmud" Mahmud memperkenalkan diri dengan mimik yang lucu, membuat Dinda menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya untuk menyembunyikan senyumnya, sambil membalas Mahmud dengan memperkenalkan dirinya juga.
"Dinda." Sahut Dinda.
Lalu Dinda berusaha menarik tangannya yang masih dalam genggaman kuat tangan Mahmud.
"Berapa umur?" Tanya Mahmud tanpa melepas genggaman tangannya.
"Dua puluh." Dinda menjawab sambil melihat ke arah tangannya yang belum dilepas oleh Mahmud.
"Umurku dua puluh lima tahun. Berarti selisih umur kita tidak jauh," Mahmud membalas tanpa Dinda memberi pertanyaan.
"Tolong mbak Dinda jangan marah! Aku sendiri nggak tahu, mengapa aku sangat ingin mengenal lebih detail dan ingin selalu dekat dengan mbak Dinda." Mahmud menatap tajam mata Dinda.
"Maksudnya?!" Tanya Dinda tajam dan pandangan mata penuh selidik terhadap Mahmud.
Mahmud menahan tawa melihat ekspresi Dinda yang dirasa lucu.
"Jangan marah dulu, Bu, eh… Mbak… eh Bu Dinda," sahut Mahmud.
Dinda beranjak berdiri, ingin meninggalkan Mahmud.
Mahmud pun langsung berdiri dan mendekat ke Dinda, seolah tidak ingin kelincinya melompat pergi.
"Begini, ah! Aku jadi serba salah. Enaknya manggil bu, atau mbak, sih?"
"Mana-mana." Sahut Dinda yang tidak mempermasalahkan panggilan kepadanya. Toh setiap orang memanggilnya dengan langsung sebut nama saja.
"Pernah dengar pepatah, gak? Tak kenal maka tak sayang?" Tanya Mahmud
"Iya, tapi lepaskan dulu tanganku!" Pinta Dinda.
"Tapi harus janji tidak akan pergi atau lari sebelum selesai kita berkenalan!"
"Berkenalan kok maksa!" Batin Dinda.
"Iya." Jawab Dinda yang terucap.
Perlahan Mahmud melepas genggamannya, tapi masih ancang-ancang untuk menggenggam tangan itu lagi jika Dinda mencoba pergi.
"Mbak Dinda hobinya apa?" Tanya Mahmud sambil menatap lekat Dinda.
"Apa ya? mungkin membaca dan menulis," jawab Dinda dengan pelan. Sesuai dengan temperamennya yang lemah lembut.
"Di Bidang olahraga, apa hobinya? Bagaimana dengan main bola voli, mbak?"
Mahmud mengira Dinda suka main olah raga voli, karena hampir semua wanita di komplek perusahaan itu suka main volly.
Mahmud pikir Dinda juga suka main voli, jadi nanti setiap sore bisa main voli bersama.
"Aku nggak bisa main voli." Jawab Dinda singkat.
"Aku ajari ya."
"Nggak ah!"
"Oh ya, tinggi mbak Dinda berapa?"
"162 sentimeter." Jawab Dinda.
"Masak? Berarti kita cuma beda 5 centimeter saja?" Mahmud memperhatikan Dinda dengan ekspresi kurang percaya.
"Sekarang ayo saya ukur!" Mahmud langsung membimbing Dinda ke tempat ukur tinggi badan tanpa menunggu persetujuan dari Dinda.
Akan menolak, Dinda kalah kuat dari Mahmud. Akhirnya dengan terpaksa mengikuti kemauan Mahmud.
Setelah mengetahui tinggi badan sesuai dengan yang Dinda katakan,
"Ternyata mbak Dinda tinggi juga, ya," kata Mahmud kemudian.
"Sekarang ukur berat badan!" Kata Mahmud sambil menarik Dinda ketempat timbangan badan diletakkan.
Dinda menurut tanpa protes.
"54 kilogram." Dinda dan Mahmud serempak.
Setelah Dinda turun dari timbangan badan itu, ganti Mahmud yang naik untuk mengetahui beratnya.
"Aku 70 kilogram, mbak Dinda."
Dinda ikut melihat ke arah timbangan badan.
"Ya." Jawab Dinda.
"Itu artinya aku kuat untuk menggendong…," Mahmud menghentikan ucapannya, dan meneruskan dengan isyarat kepala saja.
"Percaya," sahut Dinda.
"Ayo sekarang aku tensi!" Mahmud menarik Dinda menuju meja kerja Mantri.
Dinda terpaksa mengikuti kemauan Mahmud. Karena mau beralasan bagaimanapun kemungkinan tidak ada guna.
Mahmud duduk di kursi Mantri, dan Dinda duduk di kursi pasien. Mereka duduk berhadapan hanya meja sebagai penghalang.
"Lembutnya tanganmu mbak Din," spontan Mahmud berkomen tanpa sengaja, sesuai dengan apa yang ia raba.
"Apaan sih," Dinda berusaha menarik tangannya yang sudah dipegang Mahmud untuk dipasang alat tensi. Tapi sia-sia saja.
"Pasien harus nurut sama Mantri." Kata Mahmud.
"Aku bukan pasien!" Jawab Dinda sambil mencebik bibirnya.
"Lihat bibir seperti itu membuatku jadi ingin," kata Mahmud.
"Gak usah macam-macam!" Dinda melototkan matanya.
Membuat Mahmud tidak bisa menahan tawanya, bisa memancing emosi Dinda yang menurutnya sangat lucu itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Mommy Dalsyi
Bripda itu pangkat terendah gak si Thor setauku...jd Bripda itu biasanya kalo daftar nya di usia 19 tahun. 4 tahun kerja brarti usia nya paling mentok 22 tahun...22 ke 26 udah Briptu thor
2022-09-02
1
Dewi
Mahmud to the point ya
2022-08-28
1
Rini Antika
aku sudah mampir jg ya Kak, semangat terus Up nya, terimakasih sudah mampir d karyaku..🙏
2022-08-22
1