Dinda keluar dari kantor. Di kantor masih ada beberapa orang yang lembur mengerjakan laporan.
Memang di setiap tanggal tua, mulai tanggal dua puluh lima di setiap bulannya, semua departemen sibuk dikejar untuk mengerjakan laporan. Apa lagi kantor cabang ini masih membawahi lima cabang lagi yang dinamakan blok. Selain membuat laporan, juga harus mengumpulkan semua berkas dan data-data dari lima blok tersebut.
Dinda berjalan sampai di depan klinik.
"Mbak Din!" Seseorang berteriak memanggilnya.
Dinda memperlambat langkah kakinya sambil menoleh ke sumber suara.
Seseorang keluar dari teras klinik.
"Pak Mahmud," gumam Dinda kaget.
Mahmud berjalan mendekati Dinda.
"Mau ke mana?" Tanya Mahmud setelah dekat.
"Ke koperasi."
"Bareng kalau begitu."
Mereka berjalan sejajar.
"Ke koperasi juga?"
"Iya. Ke koperasi ngantar mbak Dinda."
"Nggak usah diantar, Pak. Aku bisa sendiri," sahut Dinda.
"Nggak bagus loh gadis jalan malam-malam sendirian." Kata Mahmud
"Iya, sih. Benar juga." Batin Dinda.
Tapi Dinda sudah terbiasa sendiri. Apa-apa dikerjakan sendiri seperti itu sebelumnya.
Sampai di koperasi, Dinda diminta masuk oleh Noni. Disuruhnya melayani dirinya sendiri. Mengambil sendiri barang-barang yang diperlukannya.
"Mending sekalian mengambil keperluanku untuk sebulan," gumam Dinda sambil mengambil troli untuk tempat barang belanjaannya.
Dinda mulai mengelilingi setiap rak barang yang ada di koperasi. Mencari dan mengambil barang-barang. Mulai dari sabun mandi padat, sabun cair, pasta gigi, sampo, pembersih wajah, parfum, kue kering, camilan-camilan yang dia sukai, dan lain-lain. Tanpa terasa troli yang didorongnya sudah penuh dengan barang-barang belanjaannya.
Dinda mendorong troli nya ke meja kasir. Di mana Noni sedang duduk di sana.
"Ya ampun, mbak Dinda, banyak banget!" Teriakan Noni membuat semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah Noni dan Dinda berada, termasuk Mahmud yang ternyata masih berdiri di samping pintu koperasi.
"Kenapa sih Non, heboh banget! Sudah biasa kali belanjaan aku segini?" Jawab Dinda dengan tenang.
Membuat Mahmud terheran-heran melihat belanjaan Dinda yang memenuhi troli. Tanpa sadar, Mahmud menggeleng-gelengkan kepala.
"Habisnya, satu troli penuh!" Ujar Noni.
"Ini untuk keperluan aku selama sebulan kedepan, tahu! Ini kan dipotongnya bulan depan. Bulan ini kan sudah tutup buku tanggal dua puluh lima kemarin? Iya kan, Mbak Sri?" Tanya Dinda kepada Sri sebagai bendahara koperasi.
"Iya, dimasukkan potongan bulan depan." Jawab Sri dengan suara cempreng nya.
Sambil menunggu Noni menghitung dan memasukkan barang belanjaannya, Dinda menghampiri Sri yang sedang duduk di belakang meja kerjanya.
"Mbak Sri, potonganku bulan ini berapa?" Tanya Dinda.
"Tunggu aku cek nya, ya," Sri melihat rekapan bon karyawan.
"Bonmu paling sedikit, Din, diantara penghuni asrama putri," jelas Sri.
"Iyakah? Coba lihat!" Dinda ikut melihat rekapan yang ada di atas meja Sri.
"Punya aku berapa, mbak Sri?" Tanya Noni penasaran dengan total pengeluaran bon nya di koperasi.
"Kesini! Kamu lihat sendiri, nih! Pokoknya bulan ini Dinda yang paling rendah,"
"Cihuii… rekor terendah nih," Dinda tersenyum kepada Noni yang berjalan mendekati meja Sri.
Mereka saling membandingkan pengeluaran bulan ini dengan semua penghuni mess putri. Meski selisih pengeluaran yang terendah dengan yang tertinggi tidak lebih dari seratus ribu. Yang paling banyak mereka ambil camilan.
Wajar, gadis penghuni asrama putri memang jagonya ngemil. Seperti isi troli Dinda saat penuh, isinya camilan.
Mahmud, Andi dan Anton, yang berdiri di samping pintu, menoleh memperhatikan ketiga gadis yang mengerubungi meja Sri. Mereka tersenyum-senyum melihat tingkah ketiga gadis itu.
Anton, sebagai sekretaris koperasi, mendekati ketiga gadis itu,
"Berapa sih pengeluaran tertinggi kalian?"
Tanya Anton yang menjadi ikut penasaran.
Anton menarik rekapan itu dan dilihatnya.
"Heleh, kalian nggak seberapa. Masih banyakan aku!"
"Memangnya bon Mas Anton berapa dalam sebulan?" Dinda mendekat kepada Anton, penasaran ingin melihat.
Bonnya Anton dua kali lipatnya anak-anak asrama Putri.
"Banyaknya?" Ucap Dinda dengan spontan.
"Jelas aja banyak, Din. Mas Anton rokoknya kayak sepur," sahut Sri.
"Iyakah?"
Dinda berjalan ke tempat belanjaannya.
"Non, berapa total belanjaanku ini?"
"Belum ada separuhnya dari pengeluaran bulan lalu, Mbak Din,"
Mahmud berjalan mendekati Dinda,
"Berapa totalnya?" Mahmud membuka dompet dan menarik lembaran merah, akan membayar belanjaan Dinda.
"Untuk apa, Pak?" Tanya Dinda kepada Mahmud.
"Membayar ini," Mahmud menunjuk belanjaan Dinda.
"Nggak usah, Pak. Belanja di sini uang nggak laku, Pak." Jawab Dinda.
"Maksudnya?" Mahmud tidak mengerti arti perkataan Dinda.
"Kami belanja di koperasi, nggak pakai uang. Melainkan langsung dipotong dengan gaji kami. Begitu, Pak," Dinda menjelaskan kepada Mahmud.
"O, begitu,"
"Simpan saja uang Pak Mahmud!" Dinda mendorong memasukkan uang ke dalam dompet Mahmud.
"Pak Mahmud, kalau mau mentraktir juga boleh, kok," Noni ikut bicara, sambil berdiri dari kursinya.
"Disana, itu di ujung sana, ada yang jualan bakso. Baksonya uenak puol pokoknya." Noni menunjuk warung penjual bakso di perempatan jalan.
"Jangan modus, Non!" Sahut Dinda.
"Aku hanya ngasih tahu Mbak Din, siapa tahu besok dapat traktiran? Hahaa," sahut Noni dengan tertawa.
"Aku balik duluan, ya," pamit Dinda setelah semuanya beres, sambil menenteng tas belanjaannya.
"Oke, Mbak. Hati-hati, ya!" Jawab Noni dan Sri hampir bersamaan.
"Kalian tenang saja, ada pengawal, kok!" Sahut Anton sambil melihat ke arah Mahmud.
"Bisa aja," pipi Dinda bersemu merah.
Mahmud sudah menunggu di luar.
Dinda keluar dari koperasi dengan kedua tangan menenteng barang belanjaan dua kantong kresek.
Dinda berjalan menuruni anak tangga teras koperasi.
Mahmud menyusul,
"Sini aku bantu bawa!" Mahmud menarik satu kantong dari tangan Dinda.
"Nggak apa-apa, Pak? Sudah malam lho!"
Sambil berjalan beriringan.
"Kamu yang seharusnya nggak boleh berkeliaran malam-malam!"
Ucapan Mahmud membuat Dinda seolah kehabisan kata-kata. Terdiam! Dalam hati membenarkan apa yang dikatakan Mahmud. Tapi harus bagaimana lagi? Memang begini keadaannya. Segala keperluannya harus dia selesaikan sendiri.
Jalan tampak remang-remang karena agak jauh dari penerangan lampu jalan. Tanpa sepengetahuan Dinda, Mahmud yang berjalan di belakangnya, mengambil tali dadung yang ditemukan di jalan yang sudah di lewati tadi, jarak beberapa meter ke depan, Mahmud dengan cepat melempar tali dadung itu dua meter di depan Dinda.
"Awas ular!" Teriak Mahmud yang spontan menghentikan langkah Dinda. Terkejut.
"Masak sih, itu ular?" Dinda yang diam di tempat mengamati tali dadung itu, dengan degupan jantung lebih cepat dari sebelumnya.
"Kirain pemberani. Ternyata penakut juga!" Batin Mahmud.
Mahmud dengan santai terus berjalan melewati Dinda.
Dinda mengamati Mahmud saat dekat dengan ular dadung itu.
"Nggak bergerak itu ular. Ular mati mungkin?" Gumam Dinda dalam hati.
"Kenapa berhenti di situ? Ayo!" Ajak Mahmud sambil menoleh ke belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
🍁ᴄᴎ͜͡ᵲ᭄Redblack🌅ͧ ᷤ ⃫ᷨ⃟⃤🧧🍁
Lanjut baca thor
2022-06-09
3
Langit Biru
Mahmud memberi perhatian ke Dinda
2022-06-01
1