Flash back
Pagi tadi, setelah keluar dari kantor, Mahmud dan Andi menuju ke pos penjagaan yang ada di gerbang depan dekat dengan pintu masuk.
Tempat tinggal untuk mereka yang disediakan perusahaan pun dekat dengan pos tersebut. Sepetak mess dengan dua kamar tidur di dalamnya dan sudah dilengkapi berbagai fasilitas. Ada ruang tamu, dapur dan kamar mandi.
"Siapa nama perempuan itu tadi, Ndi?" Tanya Mahmud kepada Andi.
Andi yang sudah beberapa kali bertugas di perusahaan itu, sedikit banyak sudah mengenal nama-nama staf yang bekerja di kantor perusahaan.
"Namanya Dinda Harika. Kenapa?" Sahut Andi dan balik bertanya.
"Cantik, anggun, pintar." Jawab Mahmud. Mendengar jawaban Mahmud membuat Andi menoleh sekilas kepada Mahmud.
"Suka?" Tanya Andi. Karena tidak biasanya Mahmud memuji orang lain, apa lagi seorang perempuan.
"Sudah ada yang punya, belum?" Tanya Mahmud penasaran.
Andi diam sejenak. Seakan-akan sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Belum kayaknya." Jawab Andi kemudian.
"Mau pedekate kah? Siapa tahu nyantol?" Tanya Andi.
"Sejak kemarin, sejak pertama kali aku melihat perempuan itu, ada sesuatu yang lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya." Mahmud tampak serius.
"Jatuh cinta?"
"Nggak tahu."
Andi dan Mahmud saling pandang. Kemudian saling diam.
Mahmud dibantu Andi mencari info tentang Dinda Harika. Bertanya ke beberapa orang yang ada di sekitar komplek itu.
Sore hari, sengaja Mahmud duduk di dalam poliklinik yang tidak jauh dari kantor. Ketika orang pulang dari kantor, pasti akan lewat depan klinik termasuk Dinda. Mahmud bermaksud menunggu Dinda pulang.
Flash back selesai
***
Mahmud tidak bisa menahan tawanya, bisa memancing Dinda emosi yang menurutnya sangat lucu itu.
"Mbak Dinda, aku ingin kita menjadi sepasang kekasih." Kata Mahmud dengan tangan yang masih memegang tangan Dinda setelah dilepas dari alat tensi.
"Aku nggak mau!" Jawab Dinda dengan mata melihat kearah Mahmud sambil menarik tangannya yang dipegang Mahmud.
"Kenapa? Banyak lho perempuan-perempuan di sini yang mengejarku, mereka berlomba-lomba ingin jadi kekasihku, bahkan mereka mendatangi kamarku, kenapa mbak nggak mau?" Tanya Mahmud pelan dan penuh perasaan menghiba.
"Aku nggak mengenalmu." Sahut Dinda sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa nggak pacaran dengan salah satu perempuan yang mengejarmu itu?" Tanya Dinda balik.
"Aku nggak suka perempuan-perempuan macam itu!" Jawab Mahmud sambil menatap Dinda dalam dan tajam.
"Maksudnya?" Tanya Dinda bengong karena tidak mengerti.
"Laki-laki itu ibarat singa. Dia lebih suka mengejar dari pada dikejar. Ngerti maksud saya?" Mahmud menatap Dinda sama seperti tadi. Tatapan yang tajam dan dalam langsung ke mata Dinda. Tatapan mata elang.
"Begitu ya," jawab Dinda santai dan tidak menghiraukan tatapan elang Mahmud.
"Mbak Dinda punya pacar? Sekarang nggak punya kan? Ayolah pacaran denganku."
"Nggak mau!"
"Kenapa? Atau jangan-jangan mbak Dinda nggak mau pacaran, tapi langsung nikah aja,"
"Nah! Itu sudah tahu jawabannya." Sahut Dinda sambil tersenyum.
"Tapi jaman sekarang nggak ada yang kayak itu mbak Dinda. Pasti orang akan bilang katrok, kuper, atau ketinggalan jaman." Mahmud menjelaskan.
"Biar aja. Ngapain juga dengerin pendapat orang?" Jawab Dinda dengan cueknya.
"Apa mbak Dinda nggak masalah dengan pendapat orang lain?" Tanya Mahmud.
Sekarang obrolan Mahmud dan Dinda semakin dalam, akhirnya secara perlahan mereka saling terbuka satu sama lain untuk saling mengenal.
"Beda orang beda pendapat. Ya, kita dengerin aja, siapa tahu bisa jadi saran dan kritik yang membangun untuk diri kita. Supaya kita menjadi lebih baik kedepannya." Jawab Dinda sambil memainkan jari-jari tangannya.
"Pemikiran yang bagus. Aku nggak percaya kalau mbak Dinda belum punya pacar?"
Dinda mengendikkan bahunya sambil tersenyum.
Saat ini Dinda belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Semenjak ia merasa patah hati, karena beberapa kali mengirim surat ke alamat kekasihnya yang berada di ibu kota berbeda, tidak ada balasannya. Tapi Dinda masih terus berharap mendapat balasan surat dari kekasihnya. Dinda akan setia menunggu. Walau terkadang hinggap rasa kecewa, hatinya terasa perih, terluka tanpa darah.
"Bagaimana dengan pak Mahmud?" Tanya Dinda mengalihkan.
"Mbak Dinda ingin jawaban jujur atau tidak?"
"Tentu saja yang jujur dan yang sebenarnya."
Jawab Dinda.
"Walaupun itu menyakitkan?"
"Ya, walaupun itu menyakitkan." Dinda menganggukkan kepala.
Akhirnya, Mahmud memceritakan kisah hidupnya dari awal. Dari sebelum dia menjadi polisi.
*
Beberapa tahun yang lalu, setelah keluar dari pondok pesantren, Mahmud remaja yang ikut dengan pamannya di Palembang, setelah mengetahui ada pendaftaran penerimaan polisi, Mahmud mengutarakan niatkan kepada pamannya.
"Paman, aku ingin daftar jadi polisi di Palangka Raya,"
"Iya nak! Pergilah! Gapailah cita-citamu! Hanya doa paman yang mengiringimu. Hanya satu pesan paman, jangan tinggalkan sholat! Jauhi maksiat! Tebarkan kebaikan!"
"Iya, Paman. Nasehat Paman akan selalu ku ingat."
Selanjutnya Mahmud berangkat ke Palangka Raya untuk mendaftar dan mengikuti pendidikan untuk masuk polisi.
Setelah beberapa tahun menjadi polisi, ada seorang wanita menaruh hati padanya. Eh, ternyata anak dari atasannya. Akhirnya, dengan proses yang begitu singkat, Mahmud menikah dengan anak dari atasannya itu.
*
"Anakku satu, Mbak Din. Dimas namanya. Umur tiga tahun sekarang." Mahmud bicara tampak serius kepada Dinda. Dinda cukup menjadi pendengar yang setia bagi Mahmud.
"Setiap hari, ketika aku di rumah, aku selalu bangun pagi. Istriku bangun pagi langsung pergi ke dapur, menyiapkan sarapan. Sedangkan aku membantu menyapu, lalu aku membersihkan motorku yang akan kupakai untuk kerja. Selesai istriku menyiapkan sarapan, dia mandikan Dimas. Dan aku juga pergi mandi. Lalu kami sarapan bareng. Seperti itulah kegiatan rutinku setiap pagi." Lanjut Mahmud.
"Istri Pak Mahmud juga kerja?"
"Aku melarang istriku bekerja. Cukup aku saja sebagai suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Aku mau, istriku merawat anak, dan berdiam di rumah. Apa Mbak Dinda setelah menikah nanti akan tetap bekerja?" Tanya Mahmud penasaran.
"Aku belum menikah, jadi aku belum tahu. Tapi jika nanti suamiku mengijinkan aku bekerja, mengapa tidak? Itung-itung bisa untuk meringankan beban suami, kan." Jawab Dinda spontan.
"Tapi laki-laki dan wanita itu berbeda,"
Mantri Yos masuk ke dalam ruangan, ikut gabung dan duduk di bangku panjang.
"Iya, aku tahu itu."
"Kalau mbak Dinda jadi istriku, mbak Dinda akan ku pajang di lemari kaca. Cukup duduk manis di dalam sana, merawat diri dan memakai baju yang aku suka. Menyambutku disaat aku pulang kerja, pasti rasa capekku karena bekerja akan hilang karena sambutan darimu. Dan akan selalu siap menemaniku kemanapun aku pergi." Ujar Mahmud penuh semangat empat lima.
"Wow! Istrimu sangat beruntung punya suami sepertimu." Dinda tersenyum, sambil menoleh ke arah Yos.
"Sayangnya kita terlambat bertemu,"
Mantri Yos ikut tersenyum.
"Kan sudah punya istri, punya anak, syukurilah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Dewi
Seandainya waktu bisa di putar balik
2022-09-01
1