NovelToon NovelToon

PACAR 30 HARI BRIPDA MAHMUD

Bab 1. Awal Jumpa

"Selamat pagi," suara salam dari seseorang di luar pintu ruangan personalia, di barengi dengan suara ketukan pintu, "tok tok tok!" 

Dinda yang sedang duduk menghadap ke meja kerjanya dengan tumpukan berkas-berkas laporan kerja, spontan mendongakkan kepala dan menoleh ke arah kanan, yaitu arah sumber suara berasal, sambil menjawab, "Silakan masuk!"

Setelah pintu ruangan itu terbuka, kemudian muncul dua orang polisi yang gagah dan tampan. Kedua orang polisi itu berjalan ke arah Dinda.

Dinda berdiri dan tersenyum untuk menyambutnya, sambil menjawab, "Selamat pagi, pak!"

"Mari silahkan duduk!" Dinda mempersilakan dengan menunjuk kedua kursi di seberang meja kerjanya dengan  membuka telapak tangan kanannya dan menjulurkannya ke depan sebagai isyarat.

"Kami mau melapor dan menyerahkan Surat Tugas, Bu," jawab salah satu polisi itu. sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat setelah duduk tentunya.

Dinda menerima amplop tersebut dan membuka lembar demi lembar Surat Tugas kedua polisi tersebut.

Dari situ Dinda mengetahui siapa nama kedua polisi tersebut. BRIPTU ANDI dan BRIPDA MAHMUD.

Kemudian Dinda menjelaskan tugas-tugas yang diembankan perusahaan kepada kedua polisi tersebut selama bertugas.

Tanpa Dinda sadari, Mahmud mengambil kertas di tong sampah yang ada di sebelah kanan meja kerja Dinda, lalu ditulisnya sepotong kalimat di kertas itu, sebelum Mahmud berdiri meninggalkan ruangan Dinda, diletakkannya sobekan kertas itu di atas buku Dinda.

Dibukanya kertas dari Mahmud, tertulis dengan huruf besar dan dibaca oleh Dinda, 

"AKU INGIN DEKAT DENGANMU"

Dinda memandang kepergian Mahmud,

"Gak jelas!" Batin Dinda. 

Mahmud berbalik menoleh ke arah Dinda. Membuat mereka saling tatap. dengan tatapan Mahmud yang tidak bisa dimengerti oleh Dinda.

*

Pukul empat sore, dengan hati riang seolah tanpa beban, Dinda pulang kerja. Sesampai di depan poliklinik, Mahmud memanggil sambil keluar dari dalam poliklinik, "Mbak Dinda!"

Spontan Dinda berhenti dan mencari sumber suara. 

"Ayo ke sini dulu!" Mahmud mendekat dan memaksa Dinda dengan menarik lengan Dinda masuk ke dalam poliklinik.

Dinda mengikuti dengan sedikit bingung.

"Ada apa?" Tanya Dinda.

Setelah duduk bersebelahan di kursi panjang di poliklinik, 

"Perkenalkan! Saya Mahmud. Saya akan bertugas di sini selama sebulan. Dan kata Bapak Pimpinan tadi, salah satu tugas saya adalah menjadi pengawal mbak Dinda apabila bekerja terjun langsung di lapangan. Jadi, sebelum saya melakukan pekerjaan saya, alangkah baiknya saya mengenal mbak Dinda terlebih dulu." Kata Mahmud penuh percaya diri.

"Tapi tadikan sudah berkenalan di kantor," jawab Dinda merasa keberatan dengan permintaan Mahmud.

"Mengenal lebih detail lagi gak dilarang, kan?" Pinta Mahmud.

"Tapi saya punya kegiatan sore ini, pak." Elak Dinda.

"Nggak lama kok, cuma sebentar doang. Boleh ya?" Pinta Mahmud dengan memelas.

Karena tidak enak hati dan tidak tega, akhirnya Dinda mengiyakan.

Mantri yang tadinya duduk di belakang meja kerjanya, ia pergi ke ruang belakang. Seolah memberi peluang kepada Mahmud dan Dinda untuk berbincang.

"Kita berkenalan dulu, mbak. Saya ingin mengenal mbak Dinda lebih banyak lagi." Kata Mahmud sambil meraih telapak tangan kanan Dinda memaksa untuk bersalaman.

Dinda terkejut dengan keagresifan Mahmud.

"Namaku Mahmud" Mahmud memperkenalkan diri dengan mimik yang lucu, membuat Dinda menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya untuk menyembunyikan senyumnya, sambil membalas Mahmud dengan  memperkenalkan dirinya juga.

 "Dinda." Sahut Dinda.

Lalu Dinda berusaha menarik tangannya yang masih dalam genggaman kuat tangan Mahmud.

"Berapa umur?" Tanya Mahmud tanpa melepas genggaman tangannya.

"Dua puluh." Dinda menjawab sambil melihat ke arah tangannya yang belum dilepas oleh Mahmud.

"Umurku dua puluh lima tahun. Berarti selisih umur kita tidak jauh," Mahmud membalas tanpa Dinda memberi pertanyaan.

"Tolong mbak Dinda jangan marah! Aku sendiri nggak tahu, mengapa aku sangat ingin mengenal lebih detail dan ingin selalu dekat dengan mbak Dinda." Mahmud menatap tajam mata Dinda.

"Maksudnya?!" Tanya Dinda tajam dan pandangan mata penuh selidik terhadap Mahmud.

Mahmud menahan tawa melihat ekspresi Dinda yang dirasa lucu.

"Jangan marah dulu, Bu, eh… Mbak… eh Bu Dinda," sahut Mahmud.

Dinda beranjak berdiri, ingin meninggalkan Mahmud.

Mahmud pun langsung berdiri dan mendekat ke Dinda, seolah tidak ingin kelincinya melompat pergi.

"Begini, ah! Aku jadi serba salah. Enaknya manggil bu, atau mbak, sih?"

"Mana-mana." Sahut Dinda yang tidak mempermasalahkan panggilan kepadanya. Toh setiap orang memanggilnya dengan langsung sebut nama saja.

"Pernah dengar pepatah, gak? Tak kenal maka tak sayang?" Tanya Mahmud

"Iya, tapi lepaskan dulu tanganku!" Pinta Dinda.

"Tapi harus janji tidak akan pergi atau lari sebelum selesai kita berkenalan!"

"Berkenalan kok maksa!" Batin Dinda.

"Iya." Jawab Dinda yang terucap.

Perlahan Mahmud melepas genggamannya, tapi masih ancang-ancang untuk menggenggam tangan itu lagi jika Dinda mencoba pergi.

"Mbak Dinda hobinya apa?" Tanya Mahmud sambil menatap lekat Dinda.

"Apa ya? mungkin membaca dan menulis," jawab Dinda dengan pelan. Sesuai dengan temperamennya yang lemah lembut.

"Di Bidang olahraga, apa hobinya? Bagaimana dengan main bola voli, mbak?"

Mahmud mengira Dinda suka main olah raga voli, karena hampir semua wanita di komplek perusahaan itu suka main volly. 

Mahmud pikir Dinda juga suka main voli, jadi nanti setiap sore bisa main voli bersama. 

"Aku nggak bisa main voli." Jawab Dinda singkat.

"Aku ajari ya."

"Nggak ah!"

"Oh ya, tinggi mbak Dinda berapa?"

"162 sentimeter."  Jawab Dinda.

"Masak? Berarti kita cuma beda 5 centimeter saja?" Mahmud memperhatikan Dinda dengan ekspresi kurang percaya.

"Sekarang ayo saya ukur!" Mahmud langsung  membimbing Dinda ke tempat ukur tinggi badan tanpa menunggu persetujuan dari Dinda.

Akan menolak, Dinda kalah kuat dari Mahmud. Akhirnya dengan terpaksa mengikuti kemauan Mahmud.

Setelah mengetahui tinggi badan sesuai dengan yang Dinda katakan, 

"Ternyata mbak Dinda tinggi juga, ya," kata Mahmud kemudian.

"Sekarang ukur berat badan!" Kata Mahmud sambil menarik Dinda ketempat timbangan badan diletakkan.

Dinda menurut tanpa protes.

"54 kilogram." Dinda dan Mahmud serempak.

Setelah Dinda turun dari timbangan badan itu, ganti Mahmud yang naik untuk mengetahui beratnya. 

"Aku 70 kilogram, mbak Dinda."

Dinda ikut melihat ke arah timbangan badan.

"Ya." Jawab Dinda.

"Itu artinya aku kuat untuk menggendong…," Mahmud menghentikan ucapannya, dan meneruskan dengan isyarat kepala saja.

"Percaya," sahut Dinda.

"Ayo sekarang aku tensi!" Mahmud menarik Dinda menuju meja kerja Mantri. 

Dinda terpaksa mengikuti kemauan Mahmud. Karena mau beralasan bagaimanapun kemungkinan tidak ada guna.

Mahmud duduk di kursi Mantri, dan Dinda duduk di kursi pasien. Mereka duduk berhadapan hanya meja sebagai penghalang.

"Lembutnya tanganmu mbak Din," spontan Mahmud berkomen tanpa sengaja, sesuai dengan apa yang ia raba.

"Apaan sih," Dinda berusaha menarik tangannya yang sudah dipegang Mahmud untuk dipasang alat tensi. Tapi sia-sia saja.

"Pasien harus nurut sama Mantri." Kata Mahmud.

"Aku bukan pasien!" Jawab Dinda sambil mencebik bibirnya.

"Lihat bibir seperti itu membuatku jadi ingin," kata Mahmud.

"Gak usah macam-macam!" Dinda melototkan matanya.

Membuat Mahmud tidak bisa menahan tawanya, bisa memancing emosi Dinda yang menurutnya sangat lucu itu.

Bab 2. Ngobrol Di Poliklinik

Flash back

Pagi tadi, setelah keluar dari kantor, Mahmud dan Andi menuju ke pos penjagaan yang ada di gerbang depan dekat dengan pintu masuk. 

Tempat tinggal untuk mereka yang disediakan perusahaan pun dekat dengan pos tersebut. Sepetak mess dengan dua kamar tidur di dalamnya dan sudah dilengkapi berbagai fasilitas. Ada ruang tamu, dapur dan kamar mandi.

"Siapa nama perempuan itu tadi, Ndi?" Tanya Mahmud kepada Andi.

Andi yang sudah beberapa kali bertugas di perusahaan itu, sedikit banyak sudah mengenal nama-nama staf yang bekerja di kantor perusahaan.

"Namanya Dinda Harika. Kenapa?" Sahut Andi dan balik bertanya.

"Cantik, anggun, pintar." Jawab Mahmud. Mendengar jawaban Mahmud membuat Andi menoleh sekilas kepada Mahmud.

"Suka?" Tanya Andi. Karena tidak biasanya Mahmud memuji orang lain, apa lagi seorang perempuan.

"Sudah ada yang punya, belum?" Tanya Mahmud penasaran.

Andi diam sejenak. Seakan-akan sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Belum kayaknya." Jawab Andi kemudian.

"Mau pedekate kah? Siapa tahu nyantol?" Tanya Andi.

"Sejak kemarin, sejak pertama kali aku melihat perempuan itu, ada sesuatu yang lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya." Mahmud tampak serius.

"Jatuh cinta?"

"Nggak tahu."

Andi dan Mahmud saling pandang. Kemudian saling diam.

Mahmud dibantu Andi mencari info tentang Dinda Harika. Bertanya ke beberapa orang yang ada di sekitar komplek itu. 

Sore hari, sengaja Mahmud duduk di dalam poliklinik yang tidak jauh dari kantor. Ketika orang pulang dari kantor, pasti akan lewat depan klinik termasuk Dinda. Mahmud bermaksud menunggu Dinda pulang.

Flash back selesai

***

Mahmud tidak bisa menahan tawanya, bisa memancing Dinda emosi yang menurutnya sangat lucu itu.

"Mbak Dinda, aku ingin kita menjadi sepasang kekasih." Kata Mahmud dengan tangan yang masih memegang tangan Dinda setelah dilepas dari alat tensi.

"Aku nggak mau!" Jawab Dinda dengan mata melihat kearah Mahmud sambil menarik tangannya yang dipegang Mahmud.

"Kenapa? Banyak lho perempuan-perempuan di sini yang mengejarku, mereka berlomba-lomba ingin jadi kekasihku, bahkan mereka mendatangi kamarku, kenapa mbak nggak mau?" Tanya Mahmud pelan dan penuh perasaan menghiba.

"Aku nggak mengenalmu." Sahut Dinda sambil menggelengkan kepala.

"Kenapa nggak pacaran dengan salah satu perempuan yang mengejarmu itu?" Tanya Dinda balik.

"Aku nggak suka perempuan-perempuan macam itu!" Jawab Mahmud sambil menatap Dinda dalam dan tajam.

"Maksudnya?" Tanya Dinda bengong karena tidak mengerti.

"Laki-laki itu ibarat singa. Dia lebih suka mengejar dari pada dikejar. Ngerti maksud saya?" Mahmud menatap Dinda sama seperti tadi. Tatapan yang tajam dan dalam langsung ke mata Dinda. Tatapan mata elang.

"Begitu ya," jawab Dinda santai dan tidak menghiraukan tatapan elang Mahmud.

"Mbak Dinda punya pacar? Sekarang nggak punya kan? Ayolah pacaran denganku."

"Nggak mau!"

"Kenapa? Atau jangan-jangan mbak Dinda nggak mau pacaran, tapi langsung nikah aja,"

"Nah! Itu sudah tahu jawabannya." Sahut Dinda sambil tersenyum.

"Tapi jaman sekarang nggak ada yang kayak itu mbak Dinda. Pasti orang akan bilang katrok, kuper, atau ketinggalan jaman." Mahmud menjelaskan.

"Biar aja. Ngapain juga dengerin pendapat orang?" Jawab Dinda dengan cueknya.

"Apa mbak Dinda nggak masalah dengan pendapat orang lain?" Tanya Mahmud.

Sekarang obrolan Mahmud dan Dinda semakin dalam, akhirnya secara perlahan mereka saling terbuka satu sama lain untuk saling mengenal.

"Beda orang beda pendapat. Ya, kita dengerin aja, siapa tahu bisa jadi saran dan kritik yang membangun untuk diri kita. Supaya kita menjadi lebih baik kedepannya." Jawab Dinda sambil memainkan jari-jari tangannya.

"Pemikiran yang bagus. Aku nggak percaya kalau mbak Dinda belum punya pacar?"

Dinda mengendikkan bahunya sambil tersenyum.

Saat ini Dinda belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Semenjak ia merasa patah hati, karena beberapa kali mengirim surat ke alamat kekasihnya yang berada di ibu kota berbeda, tidak ada balasannya. Tapi Dinda masih terus berharap mendapat balasan surat dari kekasihnya. Dinda akan setia menunggu. Walau terkadang hinggap rasa kecewa, hatinya terasa perih, terluka tanpa darah.

"Bagaimana dengan pak Mahmud?" Tanya Dinda mengalihkan.

"Mbak Dinda ingin jawaban jujur atau tidak?"

"Tentu saja yang jujur dan yang sebenarnya." 

Jawab Dinda.

"Walaupun itu menyakitkan?"

"Ya, walaupun itu menyakitkan." Dinda menganggukkan kepala.

Akhirnya, Mahmud memceritakan kisah hidupnya dari awal. Dari sebelum dia menjadi polisi.

*

Beberapa tahun yang lalu, setelah keluar dari pondok pesantren, Mahmud remaja  yang ikut dengan pamannya di Palembang, setelah mengetahui ada pendaftaran penerimaan polisi, Mahmud mengutarakan niatkan kepada pamannya.

"Paman, aku ingin daftar jadi polisi di Palangka Raya,"

"Iya nak! Pergilah! Gapailah cita-citamu! Hanya doa paman yang mengiringimu. Hanya satu pesan paman, jangan tinggalkan sholat! Jauhi maksiat! Tebarkan kebaikan!"

"Iya, Paman. Nasehat Paman akan selalu ku ingat."

Selanjutnya Mahmud berangkat ke Palangka Raya untuk mendaftar dan mengikuti pendidikan untuk masuk polisi.

Setelah beberapa tahun menjadi polisi, ada seorang wanita menaruh hati padanya. Eh, ternyata anak dari atasannya. Akhirnya, dengan proses yang begitu singkat, Mahmud menikah dengan anak dari atasannya itu.

*

"Anakku satu, Mbak Din. Dimas namanya. Umur tiga tahun sekarang." Mahmud bicara tampak serius kepada Dinda. Dinda cukup menjadi pendengar yang setia bagi Mahmud.

"Setiap hari, ketika aku di rumah, aku selalu bangun pagi. Istriku bangun pagi langsung pergi ke dapur, menyiapkan sarapan. Sedangkan aku membantu menyapu, lalu aku membersihkan motorku yang akan kupakai untuk kerja. Selesai istriku menyiapkan sarapan, dia mandikan Dimas. Dan aku juga pergi mandi. Lalu kami sarapan bareng. Seperti itulah kegiatan rutinku setiap pagi." Lanjut Mahmud.

"Istri Pak Mahmud juga kerja?"

"Aku melarang istriku bekerja. Cukup aku saja sebagai suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Aku mau, istriku merawat anak, dan berdiam di rumah. Apa Mbak Dinda setelah menikah nanti akan tetap bekerja?" Tanya Mahmud penasaran.

"Aku belum menikah, jadi aku belum tahu. Tapi jika nanti suamiku mengijinkan aku bekerja, mengapa tidak? Itung-itung bisa untuk meringankan beban suami, kan." Jawab Dinda spontan.

"Tapi laki-laki dan wanita itu berbeda,"

Mantri Yos masuk ke dalam ruangan, ikut gabung dan duduk di bangku panjang.

"Iya, aku tahu itu."

"Kalau mbak Dinda jadi istriku, mbak Dinda akan ku pajang di lemari kaca. Cukup duduk manis di dalam sana, merawat diri dan memakai baju yang aku suka. Menyambutku disaat aku pulang kerja, pasti rasa capekku karena bekerja akan hilang karena sambutan darimu. Dan akan selalu siap menemaniku kemanapun aku pergi." Ujar Mahmud penuh semangat empat lima.

"Wow! Istrimu sangat beruntung punya suami sepertimu." Dinda tersenyum, sambil menoleh ke arah Yos.

"Sayangnya kita terlambat bertemu," 

Mantri Yos ikut tersenyum.

"Kan sudah punya istri, punya anak, syukurilah!"

 

Bab 3. Ketika Malam

"Satu lagi yang ingin aku katakan, tapi jangan marah."

"Apa tuh!"

"Janji jangan marah!"

"Kok pake janji segala?" Dinda bingung.

Mantri Yos ikut mendengarkan.

Mahmud menunggu jawaban Dinda. Dinda merasa dia sudah terlalu lama berada di poli klinik. Diliriknya jam yang melingkar di tangan kirinya, 'Hah! Nggak terasa sudah hampir jam lima!' Ucap Dinda dalam hati. 

Dinda mulai gelisah karena belum sholat asar. Tapi merasa nggak enak jika mau memotong percakapan Mahmud. Mantri Yos mengetahui jika dinda sedang gelisah.

"Sore ini ada jadwal ngajar kah, Din?" Tanya Mantri Yos.

Spontan Dinda menoleh ke arah Yos dan menjawab, "nggak ada, Mas." 

Sambil perlahan bangkit dari tempat duduknya, "tapi kebelet nih, mau ke toilet,"

"Yuk aku antar!" Mahmud langsung berdiri dari duduknya.

"Heehee… nggak usah, Pak. Tempatku dekat kok." Jawab Dinda sambil berjalan ke arah pintu. Mahmud mengikuti.

"Nanti kita ketemuan lagi di sini, ya?" Pinta Mahmud dekat ke telinga Dinda.

"Iya, nggak janji tapi," Dinda sambil berlalu menuju ke asrama putri yang terletak sebelah kiri asrama putra. Mahmud mengantar Dinda keluar dari poli klinik dan terus memandang kepergian Dinda sampai tidak terlihat, karena Dinda sudah berbelok dan masuk ke asrama.

Mahmud kembali masuk,

"Pak Mantri, aku pulang!" Pamit Mahmud pada Yos yang tengah memeriksa pasien.

"Iya Ndan. (singkatan komandan)"

*

Terdengar kumandang adzan magrib dari mushola. Dinda sudah bersiap untuk pergi sholat jamaah bersama dengan Maya dan Santi. Mereka bergegas keluar dari asrama putri, berjalan cepat melewati asrama putra, poli klinik, lalu nyebrang jembatan, kemudian belok ke kanan melewati deretan asrama keluarga sebanyak sepuluh pintu, lalu nyebrang jembatan lagi,

"Allahu akbar! Allahu akbar!" terdengar iqomat. 

Sepuluh meter lagi sampai di mushola.

Setengah jam kemudian keluar dari masjid, langsung menuju dapur staf untuk makan malam.

"Din, bagaimana kasusnya Ana sama Noldi?" Tanya Santi setelah meletakkan piring nasinya dan mengambil tempat duduk di sebelah kiri Dinda.

"Masih proses, mbak. Mungkin besok mau di sidang."

*

Ana adalah teman ke kamar Dinda, saat Dinda dan beberapa teman di asrama putri dua minggu yang lalu ada beberapa hari cuti, jadi keadaan asrama putri sepi, tinggal ada Ana dan Adri. Ana dan Noldi ketangkap basah melakukan hubungan layaknya suami istri.

Satu jam menjelang jam istirahat, Ana keluar dari kantor dan langsung pulang ke asrama. Langsung masuk ke kamar, melepas semua baju dan hanya melilitkan handuk di tubuhnya. Karena cuaca cukup panas, Ana ingin mandi. Ana keluar dari kamar dan  berjalan ke kamar mandi yang letaknya di belakang kamar.

Ana menoleh ke belakang, lurus dengan pintu masuk ruang tamu, ada Noldi berdiri di sana memperhatikan Ana.

Keduanya sama-sama kaget.

"Hey, ngapain kamu kesini?" Tanya Ana.

Bukan menjawab, Noldi malah dengan santainya melangkahkan kakinya masuk dan mendekati Ana.

"Hey, kamu keluar dulu! Aku mau mandi!" Bentak  Ana.

"Tidak ada orang di sini, An. Hanya kita." Noldi semakin mendekat.

"Mau ngapain Noldi!" Wajah Ana memerah.

"Mandi bareng!" Jawab Noldi dengan cuek sambil menarik Ana masuk ke kamar mandi.

"Hey ...!" Bibir Ana langsung dibungkam oleh bibir Noldi.  Ana nggak kuat iman. Ia pun nggak kuat untuk nggak membalasnya. Cukup lama mereka melakukan itu.

"Manis!" Kata Noldi sambil menaruh jari telunjuknya di bibir Ana setelah melepasnya.

Ana terbuai dengan wajah memerah.

"Mencoba lagi?" Noldi mulai lagi adegan yang tadi, membuat Ana hilang kendali. Kali ini kedua tangannya ikut bergerilya. Ana sudah tidak merasakan lagi ketika  handuknya telah lepas dari tubuhnya. Ulah Noldi semakin panas dan liar. 

"Aaaghhh …" Ana tidak bisa menahan suara itu ketika tangan Noldi menapaki dua buah gundukan gunung yang menantang itu.

Sementara Adri berlarian pulang dari kantor menuju ke asrama putri dengan tergesa-gesa karena menahan buang air kecil.

Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, Adri mendorong pintu kamar mandi.

"Lah, kenapa nggak kebuka. Hei siapa di dalam? Ayo cepat!" Teriak Adri keras.

Ana dan Noldi yang ada di dalam kebingungan setengah mati. Ana membungkam mulut Noldi dengan tangannya supaya tidak bersuara.

"Tunggu, Adri! Aku masih beabe!" Ana berteriak memberi jawaban dari dalam kamar mandi sambil menyalakan air kran.

"Oh, ada Ana di dalam? Cepatlah, An! Aku kebelet mau pipis, nih!" Desak Adri dari luar kamar mandi.

*

"Apa Ana akan dikeluarkan?" Tanya Santi penasaran.

"Bisa jadi," jawab Dinda singkat.

Selesai makan, mereka kembali ke asrama putri.

"Mbak Ana, koperasi jam segini masih buka nggak, ya?" Dinda bertanya pada Ana.

"Masih, kayaknya. Coba tanya sama Noni! Mau nyari apa sih, Din?" Tanya Ana sambil membersihkan riasan di wajahnya.

"Mau nyari hand sanitizer. Besok aku mau ke blok C, Mbak. Hand sanitizer ku sudah habis, nih, kan praktis kalau pergi bawa hand sanitizer sendiri. Mbak Ana mau kemana?" Tanya Dinda. Karena dilihatnya Ana lagi berdandan pakai make up.

"Ya berdandanlah, Din. Biar kelihatan cantik dan segar," jawab Ana tanpa menoleh ke arah Dinda.

Dinda memakai kerudungnya lagi yang sempat dilepas setelah masuk ke kamar tadi.

"kamu sendiri mau kemana?" Tanya Ana.

"Ke koperasi," Dinda membuka pintu kamar dan keluar.

Setelah di lorong kamar Dinda bertemu Yani, yang sekamar dengan Noni.

"Mbak Yani, lihat Noni?" Tanya Dinda.

"Itu di ruang tamu," Yani menunjuk dengan kepala.

Dinda menuju ke ruang tamu. Tampak olehnya beberapa orang duduk di karpet yang di gelar di ruang tamu, karena tidak ada sofa di sana.

"Mbak Noni, koperasi buka nggak malam ini?"

"Buka sebentar lagi, Mbak Din! Soalnya kita juga mau lembur menyelesaikan laporan."

Mendengar laporan, Dinda jadi teringat dengan laporannya yang juga masih belum beres di atas meja kerjanya di kantor.

"Sambil menunggu koperasi buka, apa mending ke kantor, ya. Soalnya besok ada rencana mau ke blok C." Gumam Dinda dalam hati.

Dinda kembali masuk ke kamarnya untuk mengambil kunci pintu ruangannya.

"Kenapa, Din?" Tanya Ana yang masih berdandan, melihat bayangan Dinda masuk ke kamar melalui cermin.

"Ambil kunci, Mbak," Dinda menuju ke mejanya mengambil kunci yang tergeletak di atasnya.

"Nggak jadi ke koperasi? Kok malah ke kantor?" Ana bingung dengan tingkah Dinda.

"Ngerjain laporan dulu." Sambil mengenakan jaketnya, kemudian Dinda keluar dari kamar.

***

Satu setengah jam sudah Dinda duduk di belakang meja kerjanya. Dua jenis laporan selesai dia kerjakan dan sekalian sudah ditanda tanganinya. Tinggal memintakan tanda tangan ke Manager dan kepala Unit  besok.

Diangkatnya gagang iphon yang ada di ujung mejanya. Dinda memencet nomor koperasi.

"Tuuut tuuut,"

"Halo, selamat malam, dengan Noni di koperasi. Ada yang bisa dibantu?"

"Noni! Aku Dinda, aku ke sana, ya?"

"Iya, Mbak Din. Cepetan! Aku sudah mau pulang, nih,"

"Tunggu aku. Sekarang aku ke sana!"

"Yoi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!