SELAMAT PAGI BIDADARI
SINOPSIS :
Wulandari yang putus asa karena kekasihnya pergi tanpa pesan, kemudian bersedia dinikahkan dengan anak seorang sahabat ayahnya. Pernikahan terjadi ketika kedua orang tua Wulan meninggal, tak lama setelah menitipkan Wulan kepada keluarga Broto Sanjoyo yang seorang pengusaha kaya.
Wulan yang cantik dan lembut hati sangat disayangi oleh kedua mertuanya. Tapi tidak demikian dengan suaminya. Ia amat merendahkan isterinya dan menganggapnya hanya mencari kekayaan karena orang tua sang suami yang kaya.
Setahun berlalu, dan tanpa diduga Wulan bertemu kekasih lamanya. Pertemuan yang mengejutkan. Rio sang kekasih ternyata pergi karena sudah mendengar desas desus adanya perjodohan diantara Wulan dan Restu Andika.
Rio sangat menyesalinya, tapi semuanya sudah terlambat. Tapi mendengar Wulan tidak berbahagia, Rio berusaha melindunginya. Ia yang seorang CEO bahkan berpura-pura melamar menjadi sopir di keluarga Broto Sanjoyo, mertua Wulan, agar dia bisa selalu dekat dengan wanita yang dicintainya. Bukan untuk merebutnya, tapi mendengar perlakuan suaminya yang sangat tidak manusiawi kepada isterinya, ia ingin melindunginya.
Restu ternyata sesungguhnya menolak keinginan kedua orang tuanya untuk menikahi Wulan, karena sudah punya kekasih. Walau sudah beristeri, Restu masih selalu berhubungan dengan Lisa, kekasihnya. Ia tidak tahu bahwa Lisa ternyata hanya ingin mengeruk hartanya.
Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk, Restu memaksa Murni, pembantunya untuk melayaninya. Perlakuan itu membuat Murni sangat sedih.
Ketika keluarga Broto mengetahui kelakuan anaknya yang menghamburkan uang perusahaan hanya untuk memenuhi permintaan kekasih gelapnya, kemudian melarang Restu menyentuh keuangan perusahaan. Bahkan uang bagi isterinya, ayahnya sendiri yang memberikannya.
Mengetahui kelakuan anaknya yang telah memperkosa Murni, pak Broto mengusirnya.
Merasa keinginannya mengeruk harta menjadi tersendat, Lisa mengadakan hubungan dengan. lelaki lain.
Ketika Restu sadar bahwa dia telah terperosok ke dalam dekapan wanita yang hanya ingin memorotinya dan bahkan kemudian menghianatinya, ia ingin berbaikan dengan Wulan, tapi terlambat, karena kedua orang tuanya sendiri yang meminta agar Wulan menceraikan suaminya.
Restu pergi dari rumah dengan membawa deritanya, sementara kemudian Rio mulai mendekati Wulan yang masih sangat dicintainya.
Terjadi keributan ketika keluarga Broto Sanjoyo mengetahui bahwa Rio adalah pemimpin sebuah perusahaan yang lebih hebat dari miliknya.
Akankah Rio bisa memiliki kembali kekasihnya? Apakah Restu akan segera menyadari kesalahannya dan menjadi manusia baik serta mendapat pengampunan dari kedua orang tuanya.
Yuk, ikuti kisahnya yang seru. Ikuti ulah Rio yang terkadang lucu karena pernah pura-pura juga menjadi pengamen yang membuat keluarga Broto kemudian menerima menjadi sopir pribadi untuk menantunya.
*******
EPISODE 01
Wulan sedang belanja di sebuah mal dimana biasanya ibu mertuanya berbelanja, ketika sebuah sapa membuatnya terkejut.
“Selamat pagi bidadari.”
Wulan merasa seperti sedang bermimpi. Sudah setahun dia tak pernah mendengar sapa semanis itu. Hanya seorang yang selalu mengawali sapa untuknya dengan ucapan itu. Rio Bramantyo, pria gagah dan tampan temannya kuliah dulu, dan yang sangat dicintainya.
Wulan mengibaskan kepalanya, merasa bahwa itu hanyalah ilusi baginya.
Lalu dia meneruskan belanja. Hari ini Wulan belanja sendiri, karena satu-satunya pembantu di rumah sedang banyak pekerjaan. Cucian dan setrikaan kemarin belum sempat dikerjakannya karena adanya banyak tamu teman-teman ibu mertuanya yang mengadakan kumpulan arisan di rumah. Ia sudah sampai di counter sayuran, dan memilih-milih, mana yang sebaiknya dia beli. Mertuanya tak pernah mengatakan dia ingin dimasakkan apa. Semua terserah Wulan, karena apapun yang dimasak Wulan, mereka pasti menyukainya. Bahkan salah seorang pembantunya, yu Sarni, hanya sekedar membantu dan bukan yang baku menentukan bumbu masaknya. Wulan senang karena semua orang suka masakannya.
“Selamat pagi bidadari.”
Wulan menghentikan tangannya yang sedang memegang seikat sawi. Ia memejamkan matanya untuk meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. Ia meletakkan kembali sawi yang sudah dipegangnya, lalu menoleh ke samping. Tak ada siapa-siapa. Wulan membalikkan tubuhnya, lalu melihat ke sekeliling tempat itu. Ada banyak pembeli sedang berseliweran di sekitarnya. Ada yang sedang memilih-milih, ada yang sedang mencari-cari apa yang dibutuhkannya.
“Tak ada siapa-siapa,” gumamnya pelan.
"Kenapa ya aku tiba-tiba seperti mendengar suaranya? Ah, tidak mungkin, dia sudah pergi jauh dan tak akan mengingatku lagi."
Lalu Wulan melanjutkan memilih sayur. Dia ingin memasak ca sawi udang, kesukaan ayah mertuanya. Ia terus memilih, lalu melangkah ke tempat gerai ikan segar.
“Selamat pagi bidadari.”
Kali ini Wulan benar-benar yakin bahwa itu bukan halusinasi. Ia memutar tubuhnya, tak melihat siapapun, lalu ia berjalan mengitari area tempat itu. Ia terus mencarinya.
“Rio !”
Kali ini Wulan berteriak.
“Rio !"
“Jangan sembunyi Rio, aku tahu itu kamu. Kalau kamu masih sembunyi juga, aku tak akan mengenalmu lagi selamanya,” katanya perlahan, tapi membuat beberapa orang disekitarnya sempat menatapnya heran.
“Riooo!” Wulan berteriak lebih keras.
Lalu ketika ia berada di sebuah tikungan, diantara penjual buah, ia menabrak seseorang.
“Uhh!” Wulan mengeluh karena dahinya menyentuh dada bidang seseorang. Wulan mundur selangkah.
“Selamat pagi bidadari,” bisik laki-laki yang menabraknya.
“Rio?”
Sebuah senyuman terkembang. Senyuman dari bibir tipis seorang pria tegap dan tampan. Wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang selalu mengisi benaknya dengan ingatan-ingatan yang konyol dan sering dilakukannya. Bertahun dia merindukannya, kemudian pupus sudah harapan untuk bertemu, ketika tak ada berita tentang dia, bahkan setelah hampir setahun dia menikah.
“Rio,” kali ini Wulan berbisik lembut, berusaha mengendapkan gejolak hatinya yang meronta tak terima, tapi membuat dadanya berdegup kencang manakala melihat sorot matanya.
“Ya Tuhan, dia masih seperti dulu, Gagah, tampan, dan menatapku dengan teduh,” batin Wulan sambil menghembuskan napas panjang.
“Kamu disini?” akhirnya itu kata Wulan setelah berhasil menata batinnya.
“Kamu masih cantik seperti dulu,” kata Rio samil berusaha meraih tangan Wulan, tapi Wulan menepisnya pelan.
“Rio, aku sudah bersuami.”
Rio tampak kecewa, menurunkan kembali tangannya dan menatapnya sendu.
“Aku sudah tahu,” bisiknya pelan.
“Maaf,” lanjutnya. “aku ingin bicara. Ke food court sebentar?”
Wulan mengangguk. Betapa rindunya dia pada lelaki ini, tapi sekarang ada tembok tinggi yang membatasinya, yang tak akan mampu dilompatinya. Ia berjalan mengikuti langkah Rio, naik ke lantai atas, karena di sana lah area food court itu berada. Ia meninggalkan troli belanjaannya yang baru terisi beberapa macam sayuran, dan berjanji dalam hati bahwa dia akan kembali melanjutkan belanja setelah berbicara dengan Rio.
Belum banyak yang duduk di sana, karena hari masih pagi. Saat sarapan sudah lewat, dan saat makan siang belum tiba.
Mereka duduk berhadapan di sebuah bangku, lalu memesan es kacang hijau kesukaan mereka dulu.
“Mau makan apa?”
“Cemilan saja, aku mau kroket,” kata Wulan.
“Baiklah, es kacang hijau dua, kroket dua,” katanya kepada pelayan yang mendekatinya.
Mereka duduk berhadapan, bertatapan, dan saling bertanya kepada hati masing-masing. Masih adakah cinta yang tersisa di hati mereka?
Wulan menghela napas. Dihadapannya, duduk seseorang yang dahulu pernah diimpikannya agar bisa menjadi pendamping hidupnya. Dan barangkali juga itu lah yang juga dipikirkan Rio.
“Mengapa kamu pergi?” Wulan lebih dulu bicara, memecah kebisuan yang tiba-tiba melanda.
“Kamu tidak tahu? Aku pergi membawa luka. Aku lari ke luar negri untuk melanjutkan pendidikan aku di sana, kemudian aku kembali pulang karena ayahku meninggal.”
“Kamu pergi membawa luka?”
“Aku mendengar dari kerabat kamu, ketika ayah kamu meninggal. Mereka bicara bahwa walau kamu tidak lagi punya orang tua, tapi anak seorang pengusaha kaya sudah disiapkan untuk menjadi pendamping kamu. Ketika itu dia ada bersama ayah ibunya. Kerabat kamu menunjuk ke arah mereka.”
“Oh?” Wulan terkejut. Ketika ayahnya meninggal, memang ada keluarga Broto Santoyo yang datang melayat. Tapi dia tidak tahu bahwa akan menjadi menantunya.
“Mengapa kamu tidak bertanya dulu sama aku?”
“Semuanya sudah jelas, untuk apa bertanya lagi?”
“Jelas? Itu belum jelas,” sanggah Wulan.
“Bagiku, itu jelas.”
Wulan menghela napas berat, air matanya merebak. Ia menyapunya dengan selembar tissue, ketika pelayan menyajikan pesanan mereka.
Rio menghirup es yang dipesannya.
“Aku bersedia menikah, karena kamu sudah pergi meninggalkan aku begitu saja,” lirih kata Wulan.
“Ya Tuhan.”
“Mengapa takdir mempermainkan kita?” Wulan meraih lagi selembar tissue.
“Apakah kamu bahagia?”
Wulan terhenyak. Bahagia? Ia bahkan tidak pernah bersentuhan dengan suaminya. Restu Andika, suaminya, sangat membencinya, karena dirinya dianggap menghalangi pernikahannya dengan Lisa Amanda, kekasih yang amat dicintainya.
Pernikahan itu terjadi karena ayahnya yang memaksanya, hanya karena sang ayah bersahabat dengan ayah Wulan, dan ia sangat menyukai Wulan yang cantik dan sangat santun. Ia tak kuasa menolaknya. karena ayahnya adalah sahabat keluarga Broto.
Pak Broto yang sudah tahu adanya hubungan Restu dan Lisa, sangat menentangnya. Bahkan ada ancaman untuk mengeluarkannya dari perusahaan kalau Restu tidak menuruti kemauannya.
“Kamu bahagia?” ulang Rio.
Wulan menghela napas panjang, dan berat.
“Entahlah,” bisiknya pelan.
“Kamu masih mencitai aku?”
Wulan menatap Rio tak berkedip.
Bolehkah seorang isteri mencintai laki-laki lain? Tidak, Wulan bukan wanita serendah itu. Rasa cintanya telah diendapkannya dan tak ingin ada penghianatan dalam sebuah pernikahan, walau suaminya bahkan sangat merendahkannya.
“Kamu bersedia menjadi menantu keluarga Broto karena uang bukan?” itu hardik yang di keluarkannya, malam setelah mereka menikah.
Tak ada malam yang indah seperti layaknya pengantin baru. Restu bahkan menyuruhnya tidur di sofa sementara dia terlelap di ranjang pengantin yang sudah ditata indah, dan wangi.
Wulan tak menjawab. Matanya menatap sang suami dengan amarah yang meluap.
“Aku bukan serendah itu,” katanya tak kalah tajam.
“Cih. Aku tidak percaya.”
“Terserah apa kata kamu,” kata Wulan sengit. Sama sekali dia tak takut pada suaminya.
“Wulan,” Rio masih menunggu jawabannya.
Wulan mengangguk lemah, lalu menyembunyikan kesedihannya dengan menghirup es kacang ijo nya.
Tapi tatapan sendu itu membuat Rio tak percaya.
“Aku masih mencintai kamu Wulan.”
Wulan menatap Rio sekilas.
“Lakukan hal terbaik untuk hidup kamu Rio. Kita tidak berjodoh. Takdir memisahkan kita,” akhirnya Wulan mampu berkata-kata.
Rio menatapnya tajam, ingin rasanya ia merengkuh tubuh mungil yang selalu disayanginya itu kedalam dekapannya. Ia yakin Wulan tak bahagia dalam hidupnya. Ia menyembunyikan duka yang dipendamnya, demi menjaga martabatnya sebagai seorang istri.
***
Sampai di rumah Wulan melihat yu Sarni sedang menumpuk baju-baju setrikaan di dalam ember, dan sudah dipisahkannya masing-masing baju itu di tempat yang berbeda. Yu Sarni sudah hapal setiap baju yang digarapnya, itu milik siapa dan siapa.
“Yu … “
Yu Sarni terkejut, ketika Wulan tiba-tiba melintas dengan membawa belanjaan yang sepertinya berat.
“Bu Wulan belanja banyak sekali ?”
“Tidak Yu, hanya sayuran dan beberapa bahan yang tadi Yu Sarni pesan,” katanya sambil meletakkannya di meja dapur.
Yu Sarni yang sudah selesai dengan tugasnya segera membantunya menata belanjaan.
“Ibu sama bapak pergi ya Yu?”
“Iya, katanya mengunjungi kerabat atau sahabatnya yang sedang sakit,” kata yu Sarni
“Capek ya Bu?”
“Tidak Yu, biasa saja.”
“Tadi menunggu yu Sarni sebentar saja tidak mau,” gerutu yu Sarni.
“Bukan begitu Yu, tadi setrikaan yu Sarni banyak, kalau ikut belanja pasti sekarang belum selesai.”
“Iya juga sih.”
“Siapkan semuanya ya Yu, aku cuci kaki tangan dulu dan ganti baju.”
“Bu Wulan mau masak apa?”
“Cuma ca sayur sama udang. Nggoreng tempe mendoan, tadi Ibu pesan tahu isi juga. Cuci dulu udangnya Yu,” kata Wulan sambil menjauh.
Wulan masuk ke dalam kamar, mencuci kaki tangan dan mengganti bajunya dengan baju rumahan. Bayangan Rio kembali menari-nari di benaknya.
“Jangan tanya tentang cinta Rio, aku sudah berusaha memendamnya sejak kamu pergi tanpa pesan,” bisiknya sambil masuk ke kamar mandi.
Tapi sambil menutup pintu itu terngiang kembali sapa lembut yang lama sekali tak pernah terdengar lagi.
Selamat pagi bidadari.
Lalu Wulan bertanya kepada dirinya sendiri, masihkah ada cinta yang tersisa di hatinya?
***
Di suatu pagi, ketika Wulan baru selesai mandi, didengarnya suara orang menyanyi diiringi gitar. Suara itu sangat merdu, dan dia menyanyikan lagunya dengan sangat apik. Wulan tersenyum. Ia merasa, pengamen itu sangat menguasai lagu yang dinyanyikannya. Ia ingin keluar, tapi diurungkannya karena sang ibu mertua memanggilnya dari arah dapur. Dilihatnya yu Sarni bergegas ke depan, pastinya untuk memberikan uang kepada pengamen itu.
“Kamu mau masak apa hari ini Wulan?” tanya bu Broto, sang ibu mertua.
“Ibu ingin dimasakin apa?”
“Terserah kamu saja, apapun yang kamu masak selalu enak kok.”
“Ah, Ibu bisa saja,” Wulan tersipu.
“Itu benar, bapak juga sangat suka masakan kamu.”
“Bagaimana kalau rawon saja? Masih ada sisa daging di kulkas.”
“Hm, kelihatannya enak. Boleh … boleh.”
Tiba-tiba yu Sarni masuk ke dapur sambil cengar cengir.
“Ada apa Ni, kamu dari memberikan uang ke pengamen kok jadi tampak aneh.”
“Pengamen itu sangat lucu Bu, setelah saya memberikan uang, dia bilang, ‘selamat pagi bidadari’ , saya tertawa dong Bu, masa sih orang seperti saya dibilang bidadari? Bidadari dari mana coba?”
Bu Broto tertawa, tapi tidak demikian dengan Wulan.
***
Besok lagi ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wiwik Trimulyati ningsih
Alhamdulillah akhirnya menemukan Novel toon Bu Tien
maaaf klau di bagikan k Teman bagaimana caranya ya Bu 🙏🙏
2023-10-26
1
Hermina Hermina
Alhamdulilah..akhirnya ketemu di noveltoon.. Tks bu Tien
2022-11-06
0
Retnaningsih Mintarti Endang
akhirnya sampai kesini juga
Alhamdulillah
2022-10-26
0