Apa kamu sudah gila? Secara tidak langsung kamu menuduh aku mencuri? Kamu lupa aku ini siapa? Kamu lupa bahwa aku adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis ayah aku yang bernama MAHA KENCANA? Pantaskah seorang terpandang seperti aku ini mencuri?” kata Restu dengan mata menyala dan jari telunjuk menuding ke arah wajah Wulan.
“Tunggu Mas, kenapa kamu marah? Aku hanya bertanya bukan? Siapa yang menuduhmu, wahai sang putera mahkota yang kaya raya bak raja muda?” kata Wulan sengit. Tak ada yang dia takuti dari laki-laki tak perperasaan yang punya predikat ‘suami’ itu.
“Mengapa kamu bertanya sama aku? Apakah aku pembantu kamu yang mengurusi semua barang-barangmu?”
“Karena yang ada di kamar ini hanya aku sama kamu.”
“Nah, bukankah kata-kata itu bermaksud menuduh?” suara Restu semakin meninggi.
“Terserah kamu mau ngomong apa,” kata Wulan sambil membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamar. Dia menuju ke arah ruang makan, dimana ayah dan ibunya sudah duduk di depan meja.
“Mana dia?” tanya pak Broto,
“Baru mandi, Pak,” jawab Wulan yang kemudian duduk diantara kedua mertuanya.
“Hm, jam berapa ini? Apa dia tidak akan berangkat ke kantor?” tanya pak Broto sambil menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan bu Broto di piringnya.
“Tadi malam dia pergi,” kata bu Broto.
“Bukankah dia ikut menghadiri pesta itu?”
“Sepulang dari acara itu, dia kemudian pergi. Entah jam berapa dia pulang. Wulan sendiri juga nggak tahu jam berapa suaminya pulang,” kata bu Broto kesal.
“Makan duluan saja Wulan, nggak usah menunggu suami kamu,” kata pak Broto yang melihat bahwa Wulan belum juga menyendok nasi gorengnya.
“Iya, baiklah.”
Ketika itulah tiba-tiba Restu muncul sudah berpakaian rapi, tapi tidak segera duduk di kursinya.
“Restu mau langsung ke kantor saja.”
“Tidak makan dulu?” tanya bu Broto.
“Nanti makan di kantor, soalnya ada meeting pagi ini.”
“Salah sendiri mengapa bangun kesiangan. Kemana saja kamu semalam?” tanya pak Broto saat Restu sudah membalikkan badan. Langkah Restu terhenti.
“Cuma ketemu teman-teman saja.”
Lalu Restu berlalu.
“Hm, anak itu,” keluh pak Broto sambil menghela napas kesal.
Wulan tak berkomentar apapun. Dia asyik menikmati nasi goreng masakannya.
“Wulan ,” panggil pak Broto.
Wulan mengangkat wajahnya.
“Apakah selama ini suami kamu bersikap baik sama kamu?”
Wulan menatap ayah mertuanya, lalu tersenyum tipis.
“Baik Pak.”
“Benarkah?”
“Benar.”
Tentu saja Wulan berbohong. Tapi dia tak ingin memperuncing suasana. Selama ini mereka selalu berpura-pura. Tapi rupanya pak Broto menangkap hal yang tidak wajar diantara keduanya.
“Tadi dia tidak bilang apapun sama kamu ketika mau berangkat.”
“Tidak apa-apa Pak, tadi dia sudah bilang kok,” Wulan masih berusaha menutupi.
“Aku merasa, Restu itu bersikap seenaknya sama isterinya. Sekali-sekali diajaknya isterinya jalan kemana, gitu.”
“Iya benar Pak, ibu juga merasa Restu tidak begitu perhatian sama isterinya. Sikap baiknya seperti dibuat-buat.”
“Nah, Ibu juga merasakannya kan?”
“Sudah hampir setahun, kamu belum juga mengandung, Wulan,” kata bu Broto.
Wulan tiba-tiba tersedak.
“Eh, pelan-pelan nak. Minumlah dulu,” kata bu Broto sambil mendekatkan gelas minum Wulan.
Wulan meneguk minumannya. Ia sangat terkejut ketika mertuanya berbicara tentang kandungan. Mana bisa dia mengandung, bersentuhan juga tidak pernah.
“Bapak sama ibu sudah semakin tua, sudah ingin menimang cucu,” sambung pak Broto.
Wulan tersenyum lagi. Getir terasa.
“Kalian tidak sengaja menunda kehamilan bukan?” tanya bu Broto lagi.
Wulan kembali meneguk minumannya, takut kembali tersedak.
“Ti … tidak Bu.”
“Syukurlah. Sudah saatnya kalian memiliki anak.”
“Ya, Bu,”
Acara makan pagi itu selesai tanpa kehadiran Restu yang pergi dengan terburu-buru. Memang hari sudah agak siang dan Restu harus menjemput Lisa sebelum ke kantornya. Itu sebabnya dia menolak untuk makan pagi di rumah.
***
Wulan sedang membersihkan meja makan, dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Dia tak melihat yu Sarni di dapur. Setelah selesai meletakkan piring-piring kotor itu, yu Sarni baru muncul.
“Dari mana Yu?”
“Dari membuang sampah ke depan Bu,” kata yu Sarni sambil meletakkan keranjang sampah di sudut dapur.
“Kok lama sekali?”
“Itu Bu, si tukang ngamen kok tidak ke sini lagi ya, saya sudah nyiapin uang seribu untuk saya kasih ke dia.”
Wulan menutup mulutnya, menahan tawa.
“Jadi yu Sarni itu menunggu dia ?”
“Kan dia kemarin bilang kalau mau datang kemari lagi.”
“Barangkali masih ngamen di tempat lain.”
“Iya barangkali. Sudah bu, biar saya saja yang mencuci piring-piringnya. Ibu duduk saja dulu, sebentar lagi kan mau masak?”
“Nungguin tukang sayur lewat dulu. Di kulkas persediaan sayur sudah habis.”
“Iya benar.”
“Belanja ke pasar besok saja ya Yu, sekalian melihat barang-barang yang habis.”
“Iya Bu. Besok saja. Tapi kenapa ya, masnya tukang ngamen nggak ke sini lagi?” Wulan tersenyum, yu Sarni kembali membicarakan mas tukang ngamen.
“Ya ampuun, jangan-jangan Yu Sarni jatuh cinta sama dia.”
Yu Sarni terkikik sambil menutupi mulutnya.
“Bu Wulan itu kok ada-ada saja. Orang setua yu Sarni mana pantas jatuh cinta. Yu Sarni cuma suka ngelihatnya saja. Dan sebetulnya kalau tadi dia benar datang, yu Sarni mau minta supaya dia nyanyiin lagu Jawa. Ee, malah nggak datang.”
“Lagi Jawanya tuh apa kira-kira?”
“Itu Bu, lagi bagus, judulnya Walang Kekek Walang Kadung … atau, Yen Ing Tawang Ana Lintang … wiiis … jooosss betul . Dan kalau dia mau, mau yu Sarni tambahin nanti bayarnya, bukan hanya seribu, tapi dua ribu.”
“Namanya juga orang ngamen, ya muter kemana-mana Yu,” kata Wulan, yang dalam hati berharap agar si ‘tukang ngamen’ ganteng itu tidak benar-benar datang. Pertemuan dengannya akan membuat hatinya semakin resah. Sungguh menakutkan apabila dia benar-benar masih punya rasa cinta kepada dia. Tapi kenapa sih Rio melakukannya? Dia mengamen di rumah ini, semalam menyanyi di tempat resepsi. Semua yang dilakukannya membuatnya sangat gelisah.
***
Semalam kamu benar-benar membuat aku terlena, Lisa. Aku sampai lupa untuk pulang. Untunglah saat sampai di rumah semua orang sudah tidur. Kalau tidak, bisa-bisa aku kena tegur,” kata Restu ketika seperti biasa dia makan siang bersama Lisa.
“Kamu itu sepertinya masih diperlakukan seperti anak kecil saja, Restu. Harus pulang sore, harus ditegur kalau kemalaman. Hm, isteri kamu kah yang selalu mengomel itu?”
“Bukan. Isteri aku tak pernah peduli apa yang aku lakukan. Mana berani dia menegur aku.”
“Jadi, siapa yang selalu menegur itu? Bapak? Ibu ?”
“Iya. Ya mereka itu. Aku merasa selalu diatur dan diawasi.”
“Keterlaluan. Mengapa kamu tidak minta agar mereka membelikan rumah saja untuk kamu? Kamu kan sudah punya istri, sebaiknya berpisah rumah dengan orang tua.”
“Tapi kan istriku harus ikut juga kalau aku pindah rumah?”
“Nggak masalah kan Restu, katanya istri kamu nggak akan berani menegur kamu? Jadi lebih gampang kalau kita mau pergi kemana atau kapan saja.”
“Bener juga usul kamu. Tapi belum tentu juga bapak mengijinkan, apalagi ibu. Rumah itu kan cukup besar, masa aku harus minta rumah pula.”
“Namanya sudah berkeluarga kan sebaiknya begitu. Kamu kan punya seribu satu alasan untuk memintanya.”
“Baiklah, nanti akan aku pikirkan.”
“Nah, gitu dong Restu, dengan begitu kita lebih bebas untuk bertemu.”
Restu mengangguk-angguk, lalu menghabiskan makanan dipiringnya, sambil berpikir apa yang harus dijadikan alasan, seandainya minta agar memiliki rumah sendiri.
***
Setelah makan siang itu, Wulan kembali mengobrak-abrik almarinya. Ia merasa tak pernah memindahkan gelang itu dari kotak perhiasannya. Tapi siapa tahu dia lupa meletakkannya di mana. Di laci, di rak paling atas, di bawahnya, dan dibawahnya lagi, bahkan setiap tumpukan pakaian diturunkannya, tetap saja barang yang dicarinya tidak ketemu.
Barang dan pakaiannya masih berserakan di atas karpet kamarnya, ketika ibu mertuanya mengetuk pintu, lalu masuk.
“Wulan, apa yang kamu lakukan?”
“Mencoba mencari gelang itu Bu. Ternyata memang tidak ada. Bahkan di setiap lipatan baju, saya tidak menemukannya. Padahal saya meletakkannya di dalam kotak. Saya tidak lupa Bu.”
“Ya sudah Wulan, tidak usah sedih. Ibu kan sudah bilang, nanti kita pesan lagi saja.”
“Tidak Bu, jangan. Perhiasan Wulan sudah cukup banyak, dan jarang dipakai, karena memang Wulan jarang pergi ketempat pesta. Saya kembali mencarinya bukan karena apa-apa, tapi merasa heran, kenapa bisa lenyap tanpa bekas,” jawab Wulan sambil menata kembali baju-bajunya.
“Kamu sudah menanyakannya pada suami kamu? Barangkali dia memindahkannya ke almarinya sendiri. Walau sebenarnya tidak mungkin, tapi sebaiknya kamu bertanya.”
“Saya sudah bertanya, dia bilang tidak tahu,” kata Wulan menutupi kemarahan Restu saat dia menanyakannya.
“Ya sudah Wulan, tidak usah dipikirkan. Oh ya, Ibu tadi mau bilang, bahwa kamu tidak usah memasak lagi untuk makan malam, karena bapak mengajak kita sama-sama makan di luar.”
“Oh ?”
“Nanti kalau suami kamu datang, beri tahu agar jangan pergi ke mana-mana,” kata ibu mertuanya sambil beranjak keluar dari kamar.
“Ya,” hanya itu jawaban Wulan, sambil meneruskan melipat baju-bajunya.
Hanya kebaikan dan kasih sayang kedua mertuanya lah yang membuat Wulan bertahan. Ia bahkan berharap suaminya tak pernah pulang sehingga ia tak pernah punya masalah dalam hidupnya.
***
Tapi hari itu Restu pulang saat hari mulai gelap. Dan sungguh sial baginya karena begitu memasuki ruangan, ayah ibunya sedang duduk santai di ruang tengah.
“Dari mana kamu?” tanya ayahnya dengan wajah gelap.
“Lembur Pak,” jawab Restu seenaknya.
“Lembur? Ada urusan apa di awal-awal bulan kamu harus lembur?”
“Hanya menyelesaikan memeriksa laporan.”
“Besok bapak akan ke kantor, melihat apakah kamu mengurus perusahaan dengan benar.”
“Semuanya baik-baik saja kok Pak, bapak tidak usah khawatir.”
“Syukurlah, tapi sesekali kan bapak juga harus memeriksa semuanya.”
Restu tak menjawab, ia segera beranjak ke arah tangga menuju ke kamarnya, tapi ibunya menghentikannya.
“Restu, kamu harus segera mandi dan bersiap. Bapak akan mengajak kita makan di luar.”
Restu menoleh ke arah ibunya.
“Restu lelah bu, nggak usah ikut saja,” jawabnya.
“Tidak, kamu harus ikut. Bersiaplah sekarang,” sambung pak Broto tandas.
Restu melanjutkan menaiki tangga, tapi tak lagi berani berkata ‘tidak’.
Ketika masuk ke kamarnya, dilihatnya Wulan sudah berganti pakaian dan duduk berdandan di depan cermin.
“Mas, kata ibu_”
“Aku sudah tahu,” jawab Restu memotong kata-kata isterinya. Ia memang sudah tahu bahwa Wulan akan mengingatkannya tentang ajakan orang tuanya. Ia segera melepas sepatunya dan beranjak ke kamar mandi.
Wulan menghela napas kesal, tapi tak lagi mengucapkan sepatah katapun. Ia tadi ingin mengatakannya karena pesan dari ibu mertuanya. Barangkali Restu sudah ketemu ibunya di bawah dan mengatakan rencana makan di luar itu.
***
Restu agak kesal karena ayahnya mengajaknya makan di sebuah warung sederhana dengan masakan-masakan Jawa.
“Mengapa ke sini Pak? Mana enak makanan di warung seperti ini?” protes Restu.
“Haaah, ikut saja kenapa sih. Makanan itu enak atau tidaknya, tergantung suasana hati kita,” sergah ayahnya yang nekat memasuki warung itu, tanpa ada protes dari ibunya maupun Wulan, tentu saja.
Mereka duduk di sebuah meja, dekat pintu, dan segera memesan pesanan masing-masing. Pak Broto dan bu Broto memilih nasi rawon, dan Wulan memesan nasi timlo.
“Nggak ada steak atau apa gitu ya,” kata Restu kesal.
“Nggak ada. Ini masakan Jawa, tidak jualan makanan orang Eropa,” kata ayahnya.
“Kalau mau selat solo, di sini ada,” kata ibunya.
“Ya sudah, terserah ibu saja,” akhirnya kata Restu.
Restu tak mau banyak protes lagi, karena setiap apa yang dipilihnya selalu ditentang oleh orang tuanya, terutama ayahnya.
“Restu, ada yang ingin bapak sampaikan,” kata pak Broto sambil menunggu pesanan mereka datang.
Restu menatap ayahnya.
“Ibumu ingin kalian segera memiliki anak.”
“Apa?” Restu terkejut bukan alang kepalang. Tak pernah terbayang olehnya akan keinginan dari orang tuanya itu.
“Kalian menikah sudah hampir setahun,” sambung ibunya.
“Bapak punya rencana, menyuruh kalian berlibur. Mungkin ke luar negri, nanti orang kantor akan bapak suruh menyiapkan ticketnya.”
“Tidak … “ jawab Restu buru-buru.
“Mengapa tidak?”
“Di kantor sedang banyak pekerjaan. Bagaimana Restu bisa berlibur?”
“Sebentar saja, seminggu cukup. Barangkali dengan bersantai, kamu akan segera bisa punya momongan. Biar bapak urus perusahaan, kamu jangan khawatir.”
Tiba-tiba terdengan dentingan gitar, dan alunan sebuah lagu.
“I can’t stop lovin you ….”
***
Besok lagi ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Hermina Hermina
Tks bu Tien Kumalasari..
Salam sehat srlalu utk bunda..
2022-11-06
1
Triyani Lukiko Dewi
Ahaaahaaa..... Rio...Rio
Hati siapa yg tak tersentuh
2022-10-24
1
Rery Widjaja Laksmi
Ceriteranya semakin seru bikin deg degan...bu Tien mmg pinter megaduk-aduk hati...
2022-07-11
0