NovelToon NovelToon

SELAMAT PAGI BIDADARI

SELAMAT PAGI BIDADARI 01

SINOPSIS :

 

Wulandari yang putus asa karena kekasihnya pergi tanpa pesan, kemudian bersedia dinikahkan dengan anak seorang sahabat ayahnya. Pernikahan terjadi ketika kedua orang tua Wulan meninggal, tak lama setelah menitipkan Wulan kepada keluarga Broto Sanjoyo yang seorang pengusaha kaya.

Wulan yang cantik dan lembut hati sangat disayangi oleh kedua mertuanya. Tapi tidak demikian dengan suaminya. Ia amat merendahkan isterinya dan menganggapnya hanya mencari kekayaan karena orang tua sang suami yang kaya.

Setahun berlalu, dan tanpa diduga Wulan bertemu kekasih lamanya. Pertemuan yang mengejutkan. Rio sang kekasih ternyata pergi karena sudah mendengar desas desus adanya perjodohan diantara Wulan dan Restu Andika.

Rio sangat menyesalinya, tapi semuanya sudah terlambat. Tapi mendengar Wulan tidak berbahagia, Rio berusaha melindunginya. Ia yang seorang CEO bahkan berpura-pura melamar menjadi sopir di keluarga Broto Sanjoyo, mertua Wulan, agar dia bisa selalu dekat dengan wanita yang dicintainya. Bukan untuk merebutnya, tapi mendengar perlakuan suaminya yang sangat tidak manusiawi kepada isterinya, ia ingin melindunginya.

Restu ternyata sesungguhnya menolak keinginan kedua orang tuanya untuk menikahi Wulan, karena sudah punya kekasih. Walau sudah beristeri, Restu masih selalu berhubungan dengan Lisa, kekasihnya. Ia tidak tahu bahwa Lisa ternyata hanya ingin mengeruk hartanya.

Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk, Restu memaksa Murni, pembantunya untuk melayaninya. Perlakuan itu membuat Murni sangat sedih.

Ketika keluarga Broto mengetahui kelakuan anaknya yang menghamburkan uang perusahaan hanya untuk memenuhi permintaan kekasih gelapnya,  kemudian  melarang  Restu menyentuh keuangan perusahaan. Bahkan uang bagi isterinya, ayahnya sendiri yang memberikannya.

Mengetahui kelakuan anaknya yang telah memperkosa Murni, pak Broto mengusirnya.

Merasa keinginannya mengeruk harta menjadi tersendat, Lisa mengadakan hubungan dengan. lelaki lain.

Ketika Restu sadar bahwa dia telah terperosok ke dalam dekapan wanita yang hanya ingin memorotinya dan bahkan kemudian menghianatinya, ia ingin  berbaikan dengan Wulan, tapi terlambat, karena kedua orang tuanya sendiri yang meminta agar Wulan menceraikan suaminya.

Restu pergi dari rumah dengan membawa deritanya, sementara kemudian Rio mulai mendekati Wulan yang masih sangat dicintainya.

Terjadi keributan ketika keluarga Broto Sanjoyo mengetahui bahwa Rio adalah pemimpin sebuah perusahaan yang lebih hebat dari miliknya.

Akankah Rio bisa memiliki kembali kekasihnya? Apakah Restu akan segera menyadari kesalahannya dan menjadi manusia baik serta mendapat pengampunan dari kedua orang tuanya.

Yuk, ikuti kisahnya yang seru. Ikuti ulah Rio yang terkadang lucu karena pernah pura-pura juga menjadi pengamen yang membuat keluarga Broto kemudian menerima menjadi sopir pribadi untuk menantunya.

*******

EPISODE 01

Wulan sedang belanja di sebuah mal dimana biasanya ibu mertuanya berbelanja, ketika sebuah sapa membuatnya terkejut.

“Selamat pagi bidadari.”

Wulan merasa seperti sedang bermimpi. Sudah setahun dia tak pernah mendengar sapa semanis itu. Hanya seorang yang selalu mengawali sapa untuknya dengan ucapan itu. Rio Bramantyo, pria gagah dan tampan temannya kuliah dulu, dan yang sangat dicintainya.

Wulan mengibaskan kepalanya, merasa bahwa itu hanyalah ilusi baginya.

Lalu dia meneruskan belanja. Hari ini Wulan belanja sendiri, karena satu-satunya pembantu di rumah sedang banyak pekerjaan. Cucian dan setrikaan kemarin belum sempat dikerjakannya karena adanya banyak tamu teman-teman ibu mertuanya yang mengadakan kumpulan arisan di rumah. Ia sudah sampai di counter sayuran, dan memilih-milih, mana yang sebaiknya dia beli. Mertuanya tak pernah mengatakan dia ingin dimasakkan apa. Semua terserah Wulan, karena apapun yang dimasak Wulan, mereka pasti menyukainya.  Bahkan salah seorang pembantunya, yu Sarni, hanya sekedar membantu dan bukan yang baku menentukan bumbu masaknya. Wulan senang karena semua orang suka masakannya.

“Selamat pagi bidadari.”

Wulan menghentikan tangannya yang sedang memegang seikat sawi. Ia memejamkan matanya untuk meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. Ia meletakkan kembali sawi yang sudah dipegangnya, lalu menoleh ke samping. Tak ada siapa-siapa. Wulan membalikkan tubuhnya, lalu melihat ke sekeliling tempat itu. Ada banyak pembeli sedang berseliweran di sekitarnya. Ada yang sedang memilih-milih, ada yang sedang mencari-cari apa yang dibutuhkannya.

“Tak ada siapa-siapa,” gumamnya pelan.

"Kenapa ya aku tiba-tiba seperti mendengar suaranya? Ah, tidak mungkin, dia sudah pergi jauh dan tak akan mengingatku lagi."

Lalu Wulan melanjutkan memilih sayur. Dia ingin memasak ca sawi udang, kesukaan ayah mertuanya. Ia terus memilih, lalu melangkah ke tempat gerai ikan segar.

“Selamat pagi bidadari.”

Kali ini Wulan benar-benar yakin bahwa itu bukan halusinasi. Ia memutar tubuhnya, tak melihat siapapun, lalu ia berjalan mengitari area tempat itu. Ia terus mencarinya.

“Rio !”

Kali ini Wulan berteriak.

“Rio !"

“Jangan sembunyi Rio, aku tahu itu kamu. Kalau kamu masih sembunyi juga, aku tak akan mengenalmu lagi selamanya,” katanya perlahan, tapi membuat beberapa orang disekitarnya sempat menatapnya heran.

“Riooo!” Wulan berteriak lebih keras.

Lalu ketika ia berada di sebuah tikungan, diantara penjual buah, ia menabrak seseorang.

“Uhh!” Wulan mengeluh karena dahinya menyentuh dada bidang seseorang. Wulan mundur selangkah.

“Selamat pagi bidadari,” bisik laki-laki yang menabraknya.

“Rio?”

Sebuah senyuman terkembang. Senyuman dari bibir tipis seorang pria tegap dan tampan. Wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang selalu mengisi benaknya dengan ingatan-ingatan yang konyol dan sering dilakukannya. Bertahun dia merindukannya, kemudian pupus sudah harapan untuk bertemu, ketika tak ada berita tentang dia, bahkan setelah hampir setahun dia menikah.

“Rio,” kali ini Wulan berbisik lembut, berusaha mengendapkan gejolak hatinya yang meronta tak terima, tapi membuat dadanya berdegup kencang manakala melihat sorot matanya.

“Ya Tuhan, dia masih seperti dulu, Gagah, tampan, dan menatapku dengan teduh,” batin Wulan sambil menghembuskan napas panjang.

“Kamu disini?” akhirnya itu kata Wulan setelah berhasil menata batinnya.

“Kamu masih cantik seperti dulu,” kata Rio samil berusaha meraih tangan Wulan, tapi Wulan menepisnya pelan.

“Rio, aku sudah bersuami.”

Rio tampak kecewa, menurunkan kembali tangannya dan menatapnya sendu.

“Aku sudah tahu,” bisiknya pelan.

“Maaf,” lanjutnya. “aku ingin bicara. Ke food court sebentar?”

Wulan mengangguk. Betapa rindunya dia pada lelaki ini, tapi sekarang ada tembok tinggi yang membatasinya, yang tak akan mampu dilompatinya. Ia berjalan mengikuti langkah Rio, naik ke lantai atas, karena di sana lah area food court itu berada. Ia meninggalkan troli belanjaannya yang baru terisi beberapa macam sayuran, dan berjanji dalam hati bahwa dia akan kembali melanjutkan belanja setelah berbicara dengan Rio.

Belum banyak yang duduk di sana, karena hari masih pagi. Saat sarapan sudah lewat, dan saat makan siang belum tiba.

Mereka duduk berhadapan di sebuah bangku, lalu memesan es kacang hijau kesukaan mereka dulu.

“Mau makan apa?”

“Cemilan saja, aku mau kroket,” kata Wulan.

“Baiklah, es kacang hijau dua, kroket dua,” katanya kepada pelayan yang mendekatinya.

Mereka duduk berhadapan, bertatapan, dan saling bertanya kepada hati masing-masing. Masih adakah cinta yang tersisa di hati mereka?

Wulan menghela napas. Dihadapannya, duduk seseorang yang dahulu pernah diimpikannya agar bisa menjadi pendamping hidupnya. Dan barangkali juga itu lah yang juga dipikirkan Rio.

“Mengapa kamu pergi?” Wulan lebih dulu bicara, memecah kebisuan yang tiba-tiba melanda.

“Kamu tidak tahu? Aku pergi membawa luka. Aku lari ke luar negri untuk melanjutkan pendidikan aku di sana, kemudian aku kembali pulang karena ayahku meninggal.”

“Kamu pergi membawa luka?”

“Aku mendengar dari kerabat kamu, ketika ayah kamu meninggal. Mereka bicara bahwa walau kamu tidak lagi punya orang tua, tapi anak seorang pengusaha kaya sudah disiapkan untuk menjadi pendamping kamu. Ketika itu dia ada bersama ayah ibunya. Kerabat kamu menunjuk ke arah mereka.”

“Oh?” Wulan terkejut. Ketika ayahnya meninggal, memang ada keluarga Broto Santoyo yang datang melayat. Tapi dia tidak tahu bahwa akan menjadi menantunya.

“Mengapa kamu tidak bertanya dulu sama aku?”

“Semuanya sudah jelas, untuk apa bertanya lagi?”

“Jelas? Itu belum jelas,” sanggah Wulan.

“Bagiku, itu jelas.”

Wulan menghela napas berat, air matanya merebak. Ia menyapunya dengan selembar tissue, ketika pelayan menyajikan pesanan mereka.

Rio menghirup es yang dipesannya.

“Aku bersedia menikah, karena kamu sudah pergi meninggalkan aku begitu saja,” lirih kata Wulan.

“Ya Tuhan.”

“Mengapa takdir mempermainkan kita?” Wulan meraih lagi selembar tissue.

“Apakah kamu bahagia?”

Wulan terhenyak. Bahagia? Ia bahkan tidak pernah bersentuhan dengan suaminya. Restu Andika, suaminya, sangat membencinya, karena dirinya dianggap menghalangi pernikahannya dengan Lisa Amanda, kekasih yang amat dicintainya.

Pernikahan itu terjadi karena ayahnya yang memaksanya, hanya karena sang ayah bersahabat dengan ayah Wulan, dan ia sangat menyukai Wulan yang cantik dan sangat santun. Ia tak kuasa menolaknya. karena ayahnya adalah sahabat keluarga Broto.

Pak Broto yang sudah tahu adanya hubungan Restu dan Lisa, sangat menentangnya. Bahkan ada ancaman untuk mengeluarkannya dari perusahaan kalau Restu tidak menuruti kemauannya.

“Kamu bahagia?” ulang Rio.

Wulan menghela napas panjang, dan berat.

“Entahlah,” bisiknya pelan.

“Kamu masih mencitai aku?”

Wulan menatap Rio tak berkedip.

Bolehkah seorang isteri mencintai laki-laki lain? Tidak, Wulan bukan wanita serendah itu. Rasa cintanya telah diendapkannya dan tak ingin ada penghianatan dalam sebuah pernikahan, walau suaminya bahkan sangat merendahkannya.

“Kamu bersedia menjadi menantu keluarga Broto karena uang bukan?” itu hardik yang di keluarkannya, malam setelah mereka menikah.

Tak ada malam yang indah seperti layaknya pengantin baru. Restu bahkan menyuruhnya tidur di sofa sementara dia terlelap di ranjang pengantin yang sudah ditata indah, dan wangi.

Wulan tak menjawab. Matanya menatap sang suami dengan amarah yang meluap.

“Aku bukan serendah itu,” katanya tak kalah tajam.

“Cih. Aku tidak percaya.”

“Terserah apa kata kamu,” kata Wulan sengit. Sama sekali dia tak takut pada suaminya.

“Wulan,” Rio masih menunggu jawabannya.

Wulan mengangguk lemah, lalu menyembunyikan kesedihannya dengan menghirup es kacang ijo nya.

Tapi tatapan sendu itu membuat Rio tak percaya.

“Aku masih mencintai kamu Wulan.”

Wulan menatap Rio sekilas.

“Lakukan hal terbaik untuk hidup kamu Rio. Kita tidak berjodoh. Takdir memisahkan kita,” akhirnya Wulan mampu berkata-kata.

Rio menatapnya tajam, ingin rasanya ia merengkuh tubuh mungil yang selalu disayanginya itu kedalam dekapannya. Ia yakin Wulan tak bahagia dalam hidupnya. Ia menyembunyikan duka yang dipendamnya, demi menjaga martabatnya sebagai seorang istri.

***

Sampai di rumah Wulan melihat yu Sarni sedang menumpuk baju-baju setrikaan di dalam ember, dan sudah dipisahkannya masing-masing baju itu di tempat yang berbeda. Yu Sarni sudah hapal setiap baju yang digarapnya, itu milik siapa dan siapa.

“Yu … “

Yu Sarni terkejut, ketika Wulan tiba-tiba melintas dengan membawa belanjaan yang sepertinya berat.

“Bu Wulan belanja banyak sekali ?”

“Tidak Yu, hanya sayuran dan beberapa bahan yang tadi Yu Sarni pesan,” katanya sambil meletakkannya di meja dapur.

Yu Sarni yang sudah selesai dengan tugasnya segera membantunya menata belanjaan.

“Ibu sama bapak pergi ya Yu?”

“Iya, katanya mengunjungi kerabat  atau sahabatnya yang sedang sakit,” kata yu Sarni  

“Capek ya Bu?”

“Tidak Yu, biasa saja.”

“Tadi menunggu yu Sarni sebentar saja tidak mau,” gerutu yu Sarni.

“Bukan begitu Yu, tadi setrikaan yu Sarni banyak, kalau ikut belanja pasti sekarang belum selesai.”

“Iya juga sih.”

“Siapkan semuanya ya Yu, aku cuci kaki tangan dulu dan ganti baju.”

“Bu Wulan mau masak apa?”

“Cuma ca sayur sama udang. Nggoreng tempe mendoan, tadi Ibu pesan tahu isi juga. Cuci dulu udangnya Yu,” kata Wulan sambil menjauh.

Wulan masuk ke dalam kamar, mencuci kaki tangan dan mengganti bajunya dengan baju rumahan. Bayangan Rio kembali menari-nari di benaknya.

“Jangan tanya tentang cinta Rio, aku sudah berusaha memendamnya sejak kamu pergi tanpa pesan,” bisiknya sambil masuk ke kamar mandi.

Tapi sambil menutup pintu itu terngiang kembali sapa lembut yang lama sekali tak pernah terdengar lagi.

Selamat pagi bidadari.

Lalu Wulan bertanya kepada dirinya sendiri, masihkah ada cinta yang tersisa di hatinya?

***

Di suatu pagi, ketika Wulan baru selesai mandi, didengarnya suara orang menyanyi diiringi gitar. Suara itu sangat merdu, dan dia menyanyikan lagunya dengan sangat apik. Wulan tersenyum. Ia merasa, pengamen itu sangat menguasai lagu yang dinyanyikannya. Ia ingin keluar, tapi diurungkannya karena sang ibu mertua memanggilnya dari arah dapur. Dilihatnya yu Sarni bergegas ke depan, pastinya untuk memberikan uang kepada pengamen itu.

“Kamu mau masak apa hari ini Wulan?” tanya bu Broto, sang ibu mertua.

“Ibu ingin dimasakin apa?”

“Terserah kamu saja, apapun yang kamu masak selalu enak kok.”

“Ah, Ibu bisa saja,” Wulan tersipu.

“Itu benar, bapak juga sangat suka masakan kamu.”

“Bagaimana kalau rawon saja? Masih ada sisa daging  di kulkas.”

“Hm, kelihatannya enak. Boleh … boleh.”

Tiba-tiba yu Sarni masuk ke dapur sambil cengar cengir.

“Ada apa Ni, kamu dari memberikan uang ke pengamen kok jadi tampak aneh.”

“Pengamen itu sangat lucu Bu, setelah saya memberikan uang, dia bilang, ‘selamat pagi bidadari’ , saya tertawa dong Bu, masa sih orang seperti saya dibilang bidadari? Bidadari dari mana coba?”

Bu Broto tertawa, tapi tidak demikian dengan Wulan.

***

Besok lagi ya.

 

 

SELAMAT PAGI BIDADARI EPISODE 02

Wulan masih terpaku ditempatnya, menatap yu Sarni tak berkedip. Yang ditatap masih cengar cengir sambil mengambil sayuran dan siap memetiknya.

“Heran, apa pengamen itu memakai kacamata kuda, sehingga melihat perempuan seperti yu Sarni ini dianggapnya bidadari,” gumamnya masih sambil tersenyum-senyum.

“Ya sudahlah Ni, disyukuri saja, kalau ada orang memanggil kamu bidadari,” kata bu Broto sambil duduk di meja dapur.

“Iya Bu, pengamennya ganteng pula.”

“Masih muda?”

“Masih muda, suaranya bagus, pakai topi hampir menutupi seluruh wajahnya, tapi yu Sarni melihat sekilas ketika topi itu sedikit terangkat ke atas, memang ganteng sekali. Sayangnya yu Sarni tidak mengerti lagu yang dinyanyikan, wong bahasanya bukan bahasa Jawa. Kalau misalnya lagu Jenang Gula, atau Yen Ing Tawang, gitu, yu Sarni pasti ikut menyanyi,” gumamnya.

Mau tak mau Wulan yang tadinya tertegun mendengarnya, kemudian tertawa geli mendengar ocehan yu Sarni. Tapi ia terus bertanya, apakah si ganteng  itu kumat konyolnya sehingga bersusah payah jadi pengamen segala?

“Seandainya bu Wulan yang keluar, ya sudah pasti itu tidak mengherankan, karena bu Wulan kan memang cantik,” yu Sarni masih saja mengoceh sambil tersenyum-senyum.

“Pengamen itu jatuh cinta sama kamu Ni,” celetuk bu Broto lagi.

“Wah, ibu ini. Lha mana ada, orang muda ganteng kok jatuh cinta sama yu Sarni yang sudah setengah tua dan jelek pula.”

“Cinta itu kan buta Yu,” sambung Wulan yang sudah bisa menenangkan batinnya.

“Kalau itu ya buta kebangetan Bu. Hehee…”

“Tapi kamu senang kan, dipanggil ‘bidadari’ ?

“Iya Bu, senang dan deg-deg an. Ini saya masih khawatir, apa jantung saya masih ada, atau sudah jatuh ketika dia menyapa tadi.”

“Yaah, coba deh Yu, dicari di depan sana, siapa tahu benar-benar jatuh.”

Dapur itu jadi riuh oleh gelak tawa, ketika mendengar yu Sarni mengoceh tak henti-hentinya.

“Memangnya dia tadi menyanyi apa Yu? Wulan bertanya sambil menyiapkan bumbu.

“Nggak tahu namanya Bu, pakai lap … lap … begitu. Lha seingat yu Sarni, ‘lap’ itu kan artinya cinta, ya?”

“Iya, bener Yu.”

“Kalau bahasa Jawa ya saya mengerti, atau lagu Indonesia, yu Sarni pasti juga mengerti.”

“Kalau dia benar-benar cinta sama kamu, Ni, lain waktu pasti datang lagi kemari,” kata bu Broto sambil berdiri, tak ingin mengganggu kesibukan masak menantu dan pembantunya.

"Memang dia bilang begitu kok Bu."

Wulan terperanjat. Lain kali datang kemari?

Apa-apaan sih Rio,” gumamnya dalam hati, gemas.

***

Siang itu seperti biasanya Restu tak pernah pulang untuk makan siang, walau ayah ibunya selalu mengatakan bahwa ia seharusnya makan di rumah karena istrinya memasak setiap hari  untuk seluruh keluarga.

Rupanya Restu lebih suka menghabiskan waktunya bersama Lisa, gadis yang dicintainya karena dengan suka rela selalu menyerahkan tubuhnya yang dikatakannya sebagai tanda cinta.

Kepuasan yang diperolehnya selalu ditukarnya dengan barang-barang berharga, apapun yang diminta kekasihnya. Dan memang karena itulah Lisa bersedia melakukannya. Soalnya  imbalannya sungguh membuatnya hidup mewah dan berkecukupan. Ia bahkan tak merasa sakit hati ketika Restu harus menikahi gadis pilihan orang tuanya, karena Restu akan tetap berada disampingnya, dan berjanji tak akan menyentuh isterinya.

“Benarkah kamu belum pernah menyentuh isteri kamu? Bukankah dia sangat cantik?” kata Lisa ketika mereka sedang makan di sebuah restoran mewah seperti biasanya.

“Tidak Lisa, kamu harus percaya padaku, cintaku hanya untuk kamu,” kata Restu sambil menatap mesra kekasihnya.

“Harusnya kamu dulu menolak ketika orang tua kamu memaksa menikahi Wulan.”

“Itu tidak bisa Lisa, orang tuaku sangat keras dalam memerintah. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga tentang apa yang harus aku lakukan. Ancamannya sangat menakutkan, karena aku akan dicoret dari daftar pewaris tunggal, dan aku tak berhak duduk sebagai pimpinan dalam perusahaan ayahku.”

“Iya juga sih. Kalau itu benar-benar terjadi, kamu menjadi miskin dong.”

“Tuh kan, kalau aku miskin, mana bisa aku memberikan semua yang kamu minta?”

“Bagus lah kalau memang itu sudah kamu pikirkan. Tidak apa-apa kamu memiliki isteri, asalkan kita tetap bisa bersenang-senang bersama.”

“Bagaimana kalau kamu hamil ?”

“Apa kamu tak suka kalau aku hamil?”

“Bukannya tak suka, tapi ayah ibuku akan murka. Sangat murka, dan ancaman itu akan benar-benar dilaksanakannya.”

“Iya sayang, kamu tak usah khawatir karena aku selalu memakai pengaman saat bersama kamu.”

“Terima kasih cintaku, yang penting kita bisa selalu bersenang-senang.”

Mereka menghabiskan saat makan siang bersama, sebelum Restu harus kembali ke kantornya, dan demikian juga Lisa yang bekerja di sebuah butik di kota itu.

“Jangan lupa malam nanti kamu jemput aku, aku akan siap sebelum jam tujuh, okey,” kata Lisa sambil melirik genit.

“Iya, pasti. Malamku tak akan ada artinya tanpa dirimu,” sahutnya sambil berdiri lalu menggamit lengan Lisa, diajaknya keluar, lalu diantarnya Lisa ke tempat kerjanya sebelum dia sendiri kembali ke kantornya.

***

Sore itu Restu sudah sampai di rumah, lalu langsung masuk ke kamarnya. Dilihatnya Wulan sedang duduk di sofa, sambil membaca sebuah majalah wanita. Restu tak mengucapkan apapun, apalagi menyapanya. Ia langsung melepas sepatunya, lalu beranjak ke kamar mandi.

Seperti biasa Wulan menyiapkan baju ganti untuk suaminya, diletakkannya di ruang ganti, kemudian dia beranjak keluar.

Mereka memang bukan seperti pasangan suami isteri, karena tak pernah terlihat berbicara. Tapi sebagai isteri Wulan selalu melakukan tugasnya, dengan menyiapkan baju untuk suaminya, meladeninya makan kalau kebetulan Restu makan di rumah. Hanya itu. Setiap malam mereka tidur terpisah. Kalau Restu tidur di ranjang, maka Wulan memilih tidur di sofa, karena dia tahu Restu tak pernah menginginkannya.

“Mana Restu?” tanya bu Broto ketika melihat Wulan keluar dari kamar.

“Baru mandi Bu,” jawab Wulan, kemudian ia duduk di sofa ruang tengah, sambil melihat acara televisi.

Bu Broto menyusulnya, ikut duduk di dekat menantunya.

“Bilang pada suami kamu, nanti malam kita semua harus datang ke kondangan.”

Wulan mengangkat wajahnya. Sungguh dia enggan berbicara pada suaminya, karena tanggapan yang didapat selalu membuatnya sakit hati.

“Ada undangan dari kerabatnya bapakmu, pak Samsudin, menikahkan anaknya. Malam ini resepsi pernikahannya. Kita semua harus datang.”

“Oowh …” hanya itu tanggapan Wulan, lalu ia kembali menatap ke arah televisi. Ia tahu, pak Samsudin adalah pengusaha yang terkenal di kota ini, dan masih termasuk kerabat ayah mertuanya.

“Nanti pakailah gelang kamu yang kembaran sama ibu ya,” pinta bu Broto. Ketika Restu menikah, bu Broto menghadiahkan gelang bertatahkan permata kepada menantunya. Ia memesan dua buah gelang, untuknya sendiri, dan untuk Wulan.

“Ya Bu.”

"Segera bilang sama suami kamu Wulan, jangan sampai dia pergi kemana-mana malam Ini,” kata bu Broto sambil berdiri.

Wulan berdiri, dan melangkah ke kamar dengan rasa enggan. Mengapa harus mengajak Restu pula, bukankah lebih enak bepergian tanpa dia? Kata batinnya.

Perlahan ia membuka pintu kamar, dilihatnya Restu sudah selesai mandi, dan sedang menyisir rambutnya.

“Mas …” pelan kata Wulan. Restu tak menoleh.

“Nanti malam kita harus ikut bapak sama ibu, ke resepsi pernikahan kerabat bapak.”

Restu menoleh, wajahnya berubah gelap.

“Mengapa aku harus ikut? Malam ini aku ada acara sendiri,” katanya sambil melemparkan sisir ke depan cermin.

“Aku hanya disuruh menyampaikan, terserah kamu mau atau tidak,” kata Wulan tak kalah dingin.

“Itu akal-akalan kamu bukan? Kamu ingin pergi bersama aku, supaya orang-orang melihat, bahwa kamu adalah isteriku?”

“Kamu salah. Menikah sama kamu bukanlah suatu kebanggaan,” sergah Wulan sambil mengangkat wajahnya.

“Omong kosong.”

“Terserah apa kata kamu,” Wulan membalikkan tubuhnya kemudian keluar dari kamar. Ditahannya keinginan untuk membanting pintu dengan keras sebagai pelampiasan, hanya karena ia harus menghormati kedua mertuanya yang sangat menyayanginya.

“Mana Restu?” kali ini pak Broto yang bertanya.

“Di kamar, Bapak.” Jawab Wulan.

“Coba panggil kemari, bapak mau bicara.”

Wulan membalikkan tubuhnya, kembali membuka kamar dengan enggan. Dia hanya melongok kedalam.

“Bapak memanggil kamu,” lalu Wulan kembali menutup pintu.

Tak lama kemudian Restu keluar, sudah dengan pakaian rapi.

“Mau kemana kamu?”

“Mau keluar sebentar Pak.”

“Setiap malam selalu keluar … keluar … “

“Ketemu sama teman-teman sekolah Pak, biasanya ketemuan di sebuah warung wedangan, atau apa, pokoknya rame-rame saja,” jawab Restu seenaknya.

“Apa maksudmu? Kamu sudah punya istri, dan masih suka keluyuran sendiri?”

“Wulan tidak suka pergi rame-rame.”

“Ya cari tempat yang istri kamu suka,” wajah pak Broto mulai gelap.

“Nanti saya tanya dia,” jawab Restu sambil berlalu.

“Tunggu,” seru pak Broto.

Restu menghentikan langkahnya.

“Ya Pak.”

“Malam ini kita harus datang ke resepsi pak Samsudin. Kamu bersama istri kamu juga.”

“Tapi _”

“Tidak ada tapi, nggak enak kalau hanya bapak sama ibu saja yang datang. Dia kan saudara kita juga.”

“Restu sudah trelanjur janji sama teman Restu,” protes Restu.

“Batalkan janji itu. Ini lebih penting,” kata pak Broto tandas.

Restu masuk kembali ke kamarnya dengan wajah gelap. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Lisa.

“Maaf Lisa … “

“Kenapa? Kamu tidak bisa datang malam ini?” sahut Lisa dari seberang begitu Restu menelponnya.

“Ada acara keluarga, yang sebelumnya aku tidak tahu. Aku sudah siap berangkat sebenarnya, tapi bapak melarangku pergi.”

“Hiiih, penurut amat sih kamu, sekali-sekali menentang kenapa? Kan kamu sudah janji mau menjemput aku?” kesal suara Lisa.

“Aku sudah bilang, tapi bapak nggak mau tahu.  Soalnya kami harus datang di acara itu.”

“Acara apa sih?”

“Resepsi pernikahan salah seorang kerabat. Maaf ya, besok kita puas-puasin deh, bahkan sepulang dari kantor kita langsung bersenang-senang.”

“Benarkah?”

“Aku janji. Kamu jangan marah ya.”

“Awas ya, kalau bohong.”

“Tidak, sayang.”

Restu menutup ponselnya, saat Wulan masuk ke dalam kamar. Wajah yang semula ceria setelah berbicara dengan Lisa, menjadi gelap tertutup mendung.

“Sebenarnya aku sudah janjian sama pacar aku,” gerutunya tanpa melihat ke arah Wulan, yang sedang membuka almari untuk segera berganti pakaian.

Wulan tak menjawab.

“Kamu tahu kan, aku hanya mencintai dia?”

“Terserah kamu mau mencintai siapa,” ketus Wulan sambil memilih pakaiannya, kemudian berjalan ke ruang ganti.

“Kalau kamu tahu bahwa aku tidak cinta sama kamu, mengapa kamu tidak pergi juga?” teriaknya dari luar kamar ganti.

“Bilang sama bapak sama ibu kalau kamu ingin aku pergi.”

“Huh, sayang ya melepaskan kemewahan yang kamu rasakan di rumah ini?” teriaknya lagi.

Sakit hati Wulan mendengarnya. Sungguh ia menjalani pernikahan ini karena pesan dari orang tuanya sebelum meninggal. Tapi dia sudah sering disakiti dengan kata-kata tajam yang menyayat, jadi ia tak peduli lagi dengan kata-kata yang terucap dari mulut suaminya. Bahkan timbul didalam hatinya bahwa ia ingin membalas penghinaan itu dengan tetap tinggal, agar Restu merasa kesal setiap hari.

Wulan melanjutkan berganti pakaian, dan keluar setelah selesai mengenakan bajunya. Sebuah gaun berwarna putih tulang, dengan kembang-kembang  menghiasi bagian bawah dan dadanya. Ia juga memakai kerudung cantik berwarna hijau buda, senada dengan kembangan yang menghiasi gaunnya.

Restu meliriknya sekilas. Ia harus mengakui, Wulan memang cantik. Ia menelan salivanya, lalu memalingkan wajahnya. Ia tak ingin tergiur dengan kecantikan istrinya, karena Lisa lebih menggugah seleranya. Ia melihat Wulan duduk di depan cermin, menyempurnakan dandanannya.

Restu mendengus kesal, lalu beranjak keluar dari kamar.

“Kamu belum siap?” tegur ibunya ketika melihat Restu belum mengganti pakaiannya.

“Ya, sebentar lagi, katanya sambil beranjak ke belakang.

***

Ditempat resepsi itu, pak Broto melihat Restu berjalan seenaknya, seperti tidak datang bersama keluarganya.

“Restu, gandeng istri kamu,” perintahnya.

Wulan malah  berjalan di samping ibu mertuanya, dan menggandeng tangannya.

Restu merasa keder ketika melihat tatapan pak Broto. Ia mendekati Wulan dan menarik tangannya. Ia lupa, bahwa didekat kedua orang tuanya ia harus bersikap manis kepada isterinya.

Wulan terpaksa menurut. Menelan kepura-puraan yang menyelimuti kehidupannya.

Tanpa Wulan sadari, sepasang mata sedang menatapnya.

***

Besok lagi ya,

 

 

 

 

SELAMAT PAGI BIDADARI EPISODE 03

Sepasang mata itu berkilat melihat pasangan yang bergandengan tangan dengan mesra. Mesra? Kelihatannya begitu, hanya untuk mendapatkan simpati dari kedua orang tua yang berjalan beriringan di dekat mereka. Yang sebenarnya adalah, tak ada cinta sedikitpun di hati mereka masing-masing.

Wulan bahkan sudah merasa muak, dan ingin agar acara segera berakhir, dan kepura-puraan itu juga segera sirna. Genggaman tangan suaminya terasa bagai bara yang menyengat, sementara ia harus berbaur dengan tamu undangan lainnya, dan harus memasang senyum secerah bunga mekar kepada setiap orang yang menyalaminya.

“Aduh, ini pasangan yang sangat serasi lho bu Broto, seperti prabu Rama dan Dewi Sinta,” celetuk salah seorang wanita cantik yang sedang menyalami kedua mertuanya, lalu juga menyalami dirinya dan suami. Sederet gigi putih terpaksa ditampakkannya, tapi Wulan  merasa bahwa itu bukan senyuman, lebih terasa seperti irisan yang menyayat, karena ia merasa bahwa Restu baru saja mengibaskan tangannya dengan kasar. Tentu tak seorangpun melihatnya, karena gandengan tangan itu kan sedikit tertutup oleh gaunnya yang sedikit lebar.

Sepasang mata tajam itu memakai topi lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Dia  terus mengikuti apa yang dilakukan sepasang suami isteri yang asyik bersalaman dengan tamu undangan lainnya. Ada yang ingin diteriakkannya, tapi tak mampu keluar dari mulutnya.

Acara semakin semarak ketika alunan suara penyanyi cantik memenuhi ruangan, diiringi oleh permainan organ tunggal.

Wulan hampir tak menikmati acara malam itu, ketika tiba-tiba sebuah suara mengalun, diawali dengan kata-kata yang sangat familiar di telinganya.

“Selamat pagi bidadari, eh maaf, selamat malam bidadari,” katanya lembut, lalu mengalunlah sebuah lagu.

Wulan terhenyak. Matanya langsung menatap kearah panggung, dan dilihatnya seorang pria tinggi tegap memakai topi lebar, yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

“I can’t stop loving you, I’ve made up my mind. To live in memories, of the lonesome time, I can’t stop wanting you ….

Wulan terperangkap dalam pesona lagu itu, oh … bukan lagunya, tapi orang yang menyanyikannya. Apakah dia sekarang menjadi seorang penyanyi? Rio, apa yang kamu lakukan? Bisik hati Wulan.

Lalu terdengar suara seorang pembawa acara diatas panggung, setelah lagu itu selesai dinyanyikan, dan diiringi tepukan riuh rendah para hadirin, karena suara penyanyinya yang bagus luar biasa.

“Hadirin, itulah tadi sumbangan sebuah lagu dari seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. Tuh, dia sdah kabur. Tadi dia bilang, lagunya dipersembahkan untuk seorang bidadari yang hadir di tempat ini, entah siapa bidadari itu.”

Wulan mengikuti pria bertopi itu dengan matanya, yang kemudian menghilang di balik pintu yang memisahkan ruangan itu dengan ruang yang lain.

“Ternyata dia bukan menjadi penyanyi, tapi hanya menyumbangkan sebuah lagu. Aduhai, darimana dia tahu bahwa aku ada disini?” kata batin Wulan.

“Wulan, ayo bersalaman dulu dengan pengantinnya,” ajak bu Broto “Restu, mau kemana kamu? Ayo, gandeng kembali isteri kamu, kita harus menyalami pengantinnya.”

Restu yang beranjak ingin menjauh, berhenti melangkah. Ia mengikuti kedua orang tuanya dan berjalan sejajar dengan isterinya. Ogah menggandengnya lagi, capek. Gerutunya dalam hati.

***

Malam itu Wulan yang sudah terbaring di sofa tak bisa segera memejamkan matanya. Ia melihat ke arah pembaringan yang kosong. Rupanya Restu belum beranjak tidur. Lalu dilihatnya sang suami keluar dari ruang ganti, dan memakai baju yang biasa dipakai kalau mau jalan keluar. Baju santai, dan celana jean yang dikancingkannya sambil berjalan. Tampaknya ia akan keluar, dan tergesa-gesa mengganti pakaian. Lalu dia mengambil kunci mobilnya, dan keluar dari kamar.

Wulan tak mengatakan sepatah katapun. Ia tak peduli suaminya mau pergi atau segera tidur. Sekarang ia menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya, dan berusaha tidur. Tapi bayangan pria bertopi yang sedang mengalunkan sebuah lagu itu selalu menari-nari di dalam benaknya.

“Rio, apa yang kamu lakukan? Ya Tuhan, jangan sampai aku tergoda. Tetaplah aku sebagai seorang isteri, apapun bentuknya, aku tak boleh lagi berpaling, walau kepadamu Rio,” bisiknya pelan, tapi tak urung setetes matanya turun, meleleh membasahi pipinya.

Bayangan saat-saat manis ketika bersama Rio, kembali menari-nari dalam ingatannya. Ketika sekuntum mawar merah disuntingkan di telinganya, lalu Rio mengucapkan kata cinta. Aduhai.

“Wulan, aku mencintai kamu,” kalimat singkat itu terdengar begitu manis, yang dibalasnya dengan sebuah senyuman.

“Katakan bahwa kamu juga mencintai aku, Wulan.”

“Aku cinta kamu, Rio.”

Tak ada bahagia selain menikmati masa-masa kebersamaan mereka. Lalu gerimis tipis berjatuhan, dan keduanya berlari-lari mencari tempat berteduh, sebelum hujan turun semakin deras.

Ada sebuah rumah-rumahan kecil di taman itu, dimana keduanya kemudian duduk di sebuah bangku.

“Wulan … “ bisikan itu terdengar di telinga Wulan. Barangkali ada setan mengipasi disaat sepi dan hujan kemudian turun dengan derasnya,

Tapi Wulan menjauhkan tubuhnya dari Rio.

“Jangan menyentuhku Rio, kita belum halal melakukannya,” kata Wulan, yang membuat Rio surut, lalu menarik kembali tangannya yang nyaris memeluk kekasihnya.

Alangkah indahnya ketika sebuah ikatan cinta tidak dikotori oleh nafsu karena memiliki iman yang maha teguh.

“Maaf … “ kata Rio lirih, sambil berusaha menahan gemuruh di dadanya.

Wulan tersenyum.

Dan dia masih tersenyum ketika sebuah ketukan terdengar. Pasti bukan suaminya. Tak mungkin suaminya memiliki tata krama setinggi itu.

Lalu seseorang masuk, ibu mertuanya.

“Ibu ?"

“Wulan? Kenapa tidur di sofa?”

Wulan terduduk dengan tiba-tiba. Bingung ia harus mengucapkan apa.

“Mengapa tidur di sofa nak?”

“Ini Bu, saya tadi … sambil membaca … jadi masih di sini.”

“Ke mana Restu?”

“Dia … tadi sepertinya keluar Bu.”

“Malam-malam begini ? Ke mana ?”

“Ssaya tidak tahu Bu, mungkin tadi saya ketiduran … sehingga tidak tahu dia pergi ke mana..”

“Anak itu sungguh keterlaluan. Susah sekali dikasih tahu. Kalau ayahnya tahu, pasti sudah kena marah dia,” kata bu Broto sambil duduk di depannya.

Wulan melipat selimut yang tadi dipakainya.

“Sebagai isteri, kamu harus bisa mengekang suami kamu, jangan boleh seenaknya begitu.”

Wulan terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia mengekang? Bagaimana caranya? Berucap pelan dan bukan mengucapkan larangan saja, jawabnya sudah sangat tak enak terdengar, bahkan menyakitkan.

“Saya tadi melihat, kenapa kamu tidak memakai gelang yang tadi ibu suruh memakai?”

Wulan terkejut. Dia tadi tergesa-gesa jadi hanya memakai perhiasan yang sudah menempel pada tubuhnya. Cincin kawin, cincin berlian hadiah pernikahan dari ibu mertuanya, dan kalung rantai yang biasa-biasa saja. Sebenarnya tadi dia juga mencarinya, tapi karena tak kunjung ketemu, sementara ibu dan bapak mertuanya sudah menunggu, jadi ia tak jadi mencari sampai ketemu.

“Kamu tidak suka gelangnya?”

“Oh, tidak Bu, saya sangat suka, kan itu barang mahal,  Wulan menyimpannya dengan sangat hati-hati,” kata Wulan sambil berdiri, lalu membuka almarinya, bermaksud mengambil kotak perhiasannya.

Ia mengambil kotak itu dan membawanya ke hadapan ibu mertuanya.

“Tadi Wulan sudah mau memakainya, tapi sepertinya tidak segera menemukannya, jadi karena ibu sama bapak sudah menunggu, saya urung mencarinya lagi,” Wulan membuka kotaknya, kembali mengamatinya. Ada beberapa perhiasan yang diberikan Restu ketika mereka menikah, tentu karena perintah orang tuanya lah, dan gelang itu, mengapa tidak ada?”

“Kok tidak ada ya?” keluhnya sambil berdiri lalu mencari lagi di tempat lain.

“Tidak ada? Kok aneh sih, Wulan. Bagaimana bisa tidak ada, sementara yang ada di ruang ini Cuma kamu dan suami kamu.”

Wajah Wulan pucat pasi. Ia terus mengobrak abrik almari dan laci tempat menyimpan perhiasan, tapi gelang itu tidak ketemu.

“Kok bisa tidak ada? Saya yakin telah menyimpannya di kotak ini Bu,” kata Wulan ketakutan. Ia khawatir ibunya menuduh dirinya telah menjual gelang itu. Tapi tidak, bu Broto justru kasihan melihat Wulan tampak panik. Ditariknya tangan Wulan, dan memintanya agar duduk kembali.

“Ya sudah, besok coba dicari lagi, barangkali terselip di mana, gitu.”

“Tidak Bu, semua sudah saya cari, dan betul-betul gelang itu tidak ada.”

Bu Broto merasa telapak tangan menantunya berkeringat.

“Bagaimana ini? Siapa yang mengambilnya? Sungguh saya tidak tahu Bu,” kata Wulan dengan suara gemetar.

“Tidak usah takut Wulan, ibu tidak menuduh kamu melakukan hal yang tidak benar. Ibu sudah tahu bahwa kamu gadis yang baik, tidak mungkin melakukan hal yang tidak terpuji.”

“Bagaimana mungkin?”

“Sudah, jangan dipikirkan lagi, nanti ibu akan pesan lagi yang seperti itu. Sekarang tidurlah, ini sudah malam,” kata bu Broto sambil berdiri, lalu menepuk lembut bahu menantunya, dan segera keluar dari kamar.

Wulan tak segera membaringkan tubuhnya. Ia bingung, bagaimana gelang itu bisa hilang?”

“Besok pagi aku akan bertanya sama mas Restu, walau sebetulnya segan, tapi aku harus menanyakannya. Jangan-jangan ibu menuduhku telah menjual gelang itu, walau tadi sikapnya tidak menunjukkan itu. Atau … yu Sarni? Ah, tidak. Dia sudah bertahun-tahun mengabdi di sini dan tidak pernah ada barang yang hilang. Lagi pula yu Sarni tidak pernah masuk ke dalam kamarnya.

***

Menjelang pagi Restu baru kembali masuk ke kamarnya. Ia yang sore harinya tidak sempat bertemu Lisa, merasa bersalah kepada kekasihnya, jadi walau sudah malam dia tetap akan menjemputnya, dan mengajaknya menghabiskan malamnya di suatu tempat dengan bersenang-senang.

Ketika pulang hampir pagi, ia tampak sangat keletihan. Ia langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dan terlelap.

Wulan sudah keluar dari kamar, setelah shalat subuh, segera ke dapur untuk membantu yu Sarni menyiapkan sarapan pagi.

“Jam berapa suami kamu pulang? Ibu sudah terlelap, tidak mendengar suara apapun,” kata ibu mertuanya yang tiba-tiba sudah memasuki dapur.

“Maaf Bu, saya juga sudah tertidur, jadi tidak tahu kapan mas Restu datang,” kata Wulan sambil membawa nampan dengan tiga gelas coklat susu hangat ke ruang tengah, dimana biasanya keluarga itu bersantai setelah bangun tidur.

Bu Broto mengikuti menantunya dari belakang, lalu duduk di sofa di ruang tengah itu.

“Mengapa hanya tiga? Untuk kamu sendiri mana?”

“Saya sudah minum tadi di dapur Bu,” kata Wulan yang kemudian kembali ke arah dapur.

“Yu Sarni, masak apa buat sarapan ? Bagaimana kalau nasi goreng udang dan telur ceplok saja?”

“Iya Bu Wulan, saya sudah mencuci udangnya tadi.”

“Bagus Yu, biar saya memasaknya.”

Di ruang tengah, pak Broto juga sudah bangun, lalu duduk di samping isterinya, menikmati coklat susu buatan menantunya.

“Mana Restu? Belum bangun pasti.”

“Iya.”

“Wah, bau apa nih, sedap dari arah dapur?” celetuk pak Broto.

“Wulan masak buat sarapan.”

“Hm, bau udang …  pasti nasi goreng,” kata pak Broto dengan wajah berseri. Dia suka sekali udang.

“Bapak jangan kebanyakan makan udang.  Ingat kolesterol,” kata bu Broto mengingatkan.

“Iya, aku tahu, Cuma sedikit kan aku memakannya?”

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,” kata bu Broto.

Pak Broto tertawa.

“Ibu kok masih ingat kata-kata itu.”

“Ya ingat lah. Masa kayak gitu saja lupa.”

***

Selesai memasak dan menatanya di meja, Wulan masuk ke kamarnya, dilihatnya Restu masih duduk di tepi pembaringan, matanya merah, belum juga mandi.

“Ditunggu sarapan di ruang makan.” Kata Wulan tanpa menatap suaminya.

Restu tak menjawab. Ia turun dari tempat tidur, bermaksud masuk ke kamar mandi.

“Mas.” Wulan menghentikannya.

Restu tak berhenti.

“Mas tahu dimana gelang aku?” Wulan nekat bicara walau suaminya tak peduli pada panggilannya.

Mendengar itu Restu tiba-tiba berhenti melangkah, menatap isterinya dengan marah.

“Apa maksudmu? Kamu menuduh aku mencuri?” pekiknya keras, dengan mata melotot marah.

Wulan surut selangkah ke belakang.

***

Besok lagi ya.

j

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!