Wulan mengangkat kepalanya, menatap seorang pengamen bertubuh tinggi dengan topi lebar, membawa gitar dan mengalunkan lagu yang dikenalnya. Jantung Wulan berdegup kencang.
“Bagaimana dia bisa berada di mana-mana?” kata batinnya.
Pak Broto tampak menikmati alunan lagu itu, tapi Restu mendadak sangat marah.
“He, pengamen. Pergi sana, mengganggu saja.” Hardiknya kasar.
Tapi pak Broto menahannya.
“Jangan, biarkan dia menyanyi sampai selesai, katanya sambil mengacungkan jempol ke arah ‘pengamen’ itu.
Lagu itu terus mengalun sampai selesai.
“Maukah menyanyi satu buah lagu lagi?”
Pengamen itu mengangguk, lalu mengalunlah sebuah lagi lagi.
“Love is a beautiful song … la la… lalala .. lala…”
Pak Broto mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, mengikuti irama lagu tersebut, lalu bertepuk tangan begitu lagu itu selesai. Kemudian diulungkannya selembar uang ratusan ke arah pengamen itu.
“’Pengamen’ yang seakan tak percaya atas pemberian sebanyak itu, berusaha merogoh kantongnya, bermaksud memberikan pengembalian.
“Eh, apa maksudmu? Itu untuk kamu semuanya.”
“Oh, terima kasih,” katanya lirih.
“Tunggu, apa kamu seorang mahasiswa?” tanya pak Broto.
‘Pengamen’ itu menggelengkan kepalanya.
“Tapi kamu melafalkan bahasa Inggris di lagu itu dengan sangat bagus.
‘Pengamen itu mengangguk dalam-dalam.
“Namamu siapa?”
“Rio.”
“Mengapa kamu mengamen?”
“Mencari uang,” jawabnya pelan, selalu pelan.
“Kamu punya keluarga?”
Lagi-lagi ia mengangguk. Wulan mengangkat wajahnya. Jadi Rio punya keluarga? Anak, isteri? Ada rasa tak nyaman mendengarnya. Entah rasa apa itu. Cemburu? Katanya sudah melupakannya? Tidak, masih berusaha melupakannya, dan tampaknya belum sepenuhnya berhasil.
“Anak kamu berapa?”
Kali ini pengamen itu menggeleng.
“Kamu sudah punya istri kan?”
Ia menggeleng lagi, dan Wulan menghela napas lega.
“Keluarga kamu itu siapa saja?”
“Ibu saya.”
“Oh, jadi kamu belum punya keluarga sendiri? Maksudnya istri, anak …”
“Belum laku,” jawabnya setengah bercanda. Lalu ia berusaha membalikkan tubuhnya.
“Hei, tunggu, kamu bisa menyetir mobil?”
“Bisa,” jawabnya sambil mengangguk.
“Mau bekerja untuk aku? Sebagai sopir?”
Restu membuang muka.
“Bapak ada-ada saja.”
“Maukah?” tanya pak Broto lagi, tanpa peduli pada protes anaknya.
‘Pengamen’ itu tampak ragu, ia menatap pak Broto, dan tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Kamu boleh memikirkannya, ini kartu nama aku. Datanglah ke kantor atau ke rumah. Aku ada di kantor minggu ini. Memang tidak setiap hari, hanya mengontrol saja,” kata pak Broto sambil mengulurkan sebuah kartu nama.
“Terima kasih,” katanya sambil membungkuk, kemudian berlalu.
Pak Broto menikmati pesanan makanannya sambil tersenyum.
“Mengapa Bapak tertarik sama dia?” protes Restu.
“Bocah itu sebenarnya pintar. Mungkin karena sekolahnya tidak tinggi, sehingga hanya bisa bekerja sebagai pengamen.”
“Darimana Bapak tahu bahwa dia pintar?” Restu masih tidak terima.
“Kelihatan dari wajahnya. Tampak bersih, matanya tajam, dan ada kesungguhan di sana. Pasti dia terpaksa melakukannya. Karena butuh uang. Bukankah dia bilang ada keluarganya yaitu seorang ibu? Dia harus merawat ibunya, yang pastinya sudah tua dan anak itu yang harus menghidupinya.”
“Manusia bisa saja berpura-pura.”
“Kita lihat saja nanti, apa tebakanku benar, atau salah. Kalau memang pekerjaannya tidak memuaskan, dan tidak bisa dipercaya, apa susahnya memecatnya?” kata pak Broto enteng.
Wulan hanya mendengarkan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Jantungnya berdebar tak menentu. Bagaimana ia harus bersikap seandainya benar dia menerima tawaran ayah mertuanya?.
“Kamu jangan juga menilai buruk seseorang, Restu. Belum tentu dia seburuk yang kamu bayangkan,” kata bu Broto sambil menatap Restu. Ia kurang suka melihat sikapnya yang seakan tak suka pada ‘pengamen’ itu. Ia bahkan berkata kasar pada awalnya.
“Kita harus berhati-hati. Jaman sekarang banyak orang jahat berperilaku seakan dia orang baik,” kata Restu sambil mengunyah makanannya. Ia berkata seakan dirinya benar-benar seorang baik. Lupa pada perilakunya sendiri, yang suka berbohong dan tanpa belas tega menghianati pernikahan yang sudah dijalaninya hampir setahun.
"Ah, kamu. Belum-belum sudah berprasangka buruk," sergah pak Broto.
Lalu mereka diam, sambil menghabiskan makanannya.
“Restu, kamu itu jangan terlalu sering bepergian. Kalau ingin keluar juga, ajak dong isteri kamu,” kata ibunya.
“Dia tidak pernah mau.”
“Benarkah Wulan?”
Wulan hanya tersenyum. Tapi kemudian dia menjawabnya juga.
“Wulan lebih suka di rumah.”
“Restu, seperti bapak sama ibu pernah mengatakan, kami ingin segera punya cucu.”
Restu menelan ludah dengan gugup. Tapi tiba-tiba dia menemukan sebuah jalan untuk memenuhi keinginan Lisa. Ia harus punya rumah sendiri supaya ayah ibunya tidak selalu mengawasinya setiap dia pergi keluar.
“Bagaimana kalau Restu punya rumah sendiri?” kata Restu sambil menatap ayahnya.
Pak Broto meletakkan sendok garpunya, ia sudah selesai makan.
“Rumah sendiri? Bukankan di rumah itu kamu juga memiliki kamar sendiri, ruang sendiri untuk bersantai. Di lantai atas itu seperti sebuah rumah yang terpisah.”
“Kalau bisa punya rumah sendiri, barangkali lebih nyaman.”
Wulan yang sedari tadi hanya mendengarkan, mengeluh dalam hati. Kalau dia hanya berdua saja dengan suaminya, ia akan lebih tersiksa. Suaminya akan menginjak-injaknya seperti sampah tak berguna. Tapi mulutnya kelu, tak ingin mengucapkan apapun. Mana dia berani?
“Barangkali Restu benar Pak, dengan memiliki rumah sendiri, Restu pasti akan lebih perhatian sama isteri. Siapa tahu dengan demikian kita segera punya cucu,” kata ibunya.
Wulan semakin merasa miris. Restu akan lebih memperhatikan? Hal yang tak mungkin bisa terjadi. Dan jawaban ayah mertuanya membuat dirinya semakin terhempas dalam kubangan derita.
“Baiklah, kalau memang itu pilihan kamu,” kata pak Broto sambil menghirup es beras kencur di gelasnya.
Wulan ingin menjerit, tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Barangkali iming-iming segera punya cucu itu yang menggerakkan hati pak Broto untuk mengijinkan Restu memiliki rumah sendiri.
“Urus saja semuanya. Nggak usah rumah yang besar. Susah mengurus rumah besar, kecuali kamu punya beberapa pembantu,” pesan pak Broto.
Restu menghabiskan makannya dengan lahap. Hatinya sungguh merasa senang. Ia akan lebih bebas setiap kali ingin bertemu dengan Lisa, kekasihnya yang selalu membuatnya terlena.
***
Dengan wajah berbinar, siang hari pada keesokan harinya, Restu melapor kepada kekasihnya, bahwa keinginan memiliki rumah baru akan segera terwujud.
“Benarkah? Kapan?” kata Lisa setengah bersorak.
“Secepatnya. Aku sudah berpesan kepada orangku untuk mencarikan rumah itu. Yang kecil saja, asalkan bagus dan ada satu dua kamar kosong. Siapa tahu aku juga ingin membawa kamu ke rumah.”
“Haa … benarkah?” kali ini Lisa benar-benar bersorak.
“Kamu harus bersabar menunggu waktu itu. Memang benar sih, saat aku di rumah, setiap kali pergi keluar, ayah atau ibuku selalu banyak pertanyaan.”
“Makanya, kalau kamu sudah punya rumah sendiri kan lebih enak. Istri kamu kan pendiam, mana mungkin berani protes?”
“Tidak, dia tak mungkin berani menentang aku.”
“Sungguh menyenangkan. Tapi Restu, uangku sudah menipis. Maukah kamu memberinya lagi?”
“Tentu sayang. Kamu kekasihku, jangan sampai kamu kekurangan. Apa yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi.”
“Itulah yang membuat aku semakin mencintai kamu, Restu, sayangku,” kata Lisa sambil melirik manja, dan tentu saja memikat. Begitu pintar Lisa membuat Restu melupakan semuanya, dan selalu memenuhi semua keinginannya. Hanya satu yang harus dia lakukan, yaitu selalu memuaskannya di atas ranjang. Apa susahnya sih?
“Kapan kamu mentransfer uangnya Restu?”
“Nanti sesampai di kantor, kamu jangan khawatir.”
“Terima kasih Restu,” kali ini Lisa berdiri dan memeluk Restu dari belakang, tak peduli orang-orang di rumah makan itu menatap mereka.
Restu berdiri, karena memang saatnya keduanya harus kembali ke kantor masing-masing. Ia merangkul Lisa dan mencium pipinya lembut, sambil berjalan keluar.
***
Pagi hari itu bu Broto duduk di kursi dapur, melihat menantunya meracik bumbu, sementara yu Sarni menyiapkan wajan dan panci untuk memasak.Hari masih pagi, dan Restu masih ada di rumah karena dia akan bertugas ke luar kota.
“Wulan, hari ini bapak menemui pemilik rumah yang akan dibelinya untuk kamu dan Restu,” kata bu Broto.
Wulan menahan gejolak miris yang mengiris perasaannya.
“Apa kamu senang, memiliki rumah baru?”
Wulan menatap ibu mertuanya. Bu Broto melihat air bening memenuhi manik mata menantunya.
“Mengapa Wulan? Kamu tidak suka?”
Wulan mengusap air matanya dengan ujung lengannya.
“Wulan lebih suka bersama Ibu disini,” katanya lirih.
Bu Broto tersenyum. Berbulan lamanya tinggal serumah, sebuah ikatan erat itu pasti tak akan terelakkan. Dan sudah barang tentu terasa memilukan saat harus berpisah.
“Kita kan tidak berjauhan sekali Wulan. Masih di dalam kota ini. Kamu atau ibu, setiap saat bisa saling mengunjungi,” kata bu Broto lembut.
Wulan tersenyum tipis. Sesuatu yang membuatnya bertahan adalah saat merasakan kasih sayang dan perhatian kedua mertuanya. Mereka tak pernah tahu, betapa suaminya selalu menyiksanya. Bukan menyiksa secara fisik, tapi ucapannya sungguh setajam sembilu. Ia selalu meremehkannya, menganggapnya berada di rumah ini karena suka akan kemewahan yang ditemuinya.
“Kita bisa ketemu setiap hari, ya kan Yu?” kata bu Broto kepada yu Sarni.
“Iya Bu, kalau masih sekota saja pasti bisa ketemu setiap hari.”
Wulan tak menjawab.
Tiba-tiba terdengar alunan suara gitar, dan suara lagu mengalun merdu.
Wulan mengangkat wajahnya, dan yu Sarni sudah melesat bagai anak panah menuju ke arah depan.
“Hallo darling, nice to see you ….”
“Eh … mas … mas… aduh, senangnya sampeyan datang. Tapi jangan menyanyi lagu londo lagi, aku gak paham,” kata yu Sarni menghentikan lagu yang baru sepenggal …
“Lagu apa yang Ibu sukai?”
“Walang kekek … walang kadung …. Nanti aku kasih uangnya dobel,” kata yu Sarni riang, sambil merogoh saku bajunya.
Lalu ‘pengamen’ itu menyanyikan sebuah lagu.
“Walah kekek … walange kadung ….”
Tiba-tiba seseorang keluar dari pintu itu, menatap yu Sarni dengan marah.
“Apa-apaan kamu itu Yu? Suruh dia berhenti menguap. Berisik. Sebel!” katanya sambil melemparkan uang limaratusan ke arah ‘pengamen’ itu.
“Ya ampun, pak Restu kejam sekali …”
“Pergi tidak?!” Restu menghardik ‘pengamen’ itu.
Lalu sang ‘pengamen’ membalikkan tubuhnya, dan berlalu.
Merasa bersalah, yu Sarni mengikuti sampai ke depan pagar.
“Mas, maaf ya Mas, ini, saya kasih uang,” kata yu Sarni sambil mengulurkan selembar uang ribuan.
“Terima kasih Bu, tidak usah,” ‘pengamen' itu menolak.
“Ya ampun, Mas marah ya? Dia itu memang keterlaluan. Laki-laki jahat.”
“Siapa dia Bu?”
“Dia itu anaknya pak Broto, pemilik rumah ini, suaminya bu Wulan. Tapi dia sangat kasar. Kasihan, saya terkadang mendengar dia membentak-bentak isterinya. Padahal bu Wulan itu cantik, baik, lembut. Eh Mas, ini, terima saja uangnya. Tadi yang dilempar oleh orang jahat kan tidak Mas ambil. Besok datang agak siang. Biasanya sih dia sudah pergi jam segini, nggak tahu aku, kok masih ada di rumah,” yu Sarni ngoceh panjang lebar, ‘pengamen’ itu hanya mengangguk-angguk, kemudian berlalu, setelah menerima uang ribuan yang diberikan yu Sarni, takut pemberinya kecewa.
Yu Sarni kembali masuk ke rumah, Restu yang membawa tas kerja masih berdiri di depan pintu.
“Mengapa kamu itu Yu, pengamen busuk, diladeni,” omel Restu geram.
“Kasihan dia, Pak, namanya juga mencari makan,” kata yu Sarni kesal, sambil masuk ke dalam rumah.
“Kamu suruh menyanyi apa, dia tadi Yu?” tanya bu Broto sambil tertawa.
“Nggak jadi Bu, diusir sama Pak Restu. Kasihan, dia kan mencari uang,” gerutu yu Sarni.
“Restu memang keterlaluan. Lalu kamu sempat dipanggil bidadari tidak?”
“Ya tidak Bu, dia pergi tanpa menyanyi, baru sedikit langsung dibentak sama Pak Restu.”
“Ya sudah, mudah-mudahan besok datang lagi,” hibur bu Broto ketika melihat yu Sarni tampak kecewa.
“Hm, belum tentu juga, dia kan sakit hati Bu,” gerutu yu Sarni sambil melanjutkan pekerjaannya. Wulan tidak menyahut sepatahpun. Ingatan akan pindah rumah sangat membuatnya tertekan.
***
Hari sudah siang ketika Rio memasuki sebuah kantor. Ia berpakaian sederhana, dan mengenakan sepatu yang sederhana pula.
“Selamat siang,” sapanya kepada satpam yang berjaga di depan.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Mas?”
“Apakah pak Broto hari ini ada di kantornya?”
“Oh, beliau belum lama datang, apa sudah ada janji?”
Rio mengangguk.
“Silakan terus ke belakang, di sana ada sekretarisnya.”
“Terima kasih.”
Rio melangkah mengikuti petunjuk satpam itu. Ia menemui seorang gadis yang berada di luar ruangan, dimana di pintu ruangan itu tertulis DIREKTUR UTAMA.
Mendengar celoteh yu Sarni bahwa suami Wulan teramat kasar terhadap isterinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu.
***
Besok lagi ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Hermina Hermina
Tks bunda Tien...
Salam sehat selalu..
2022-11-06
1
Hermina Hermina
Asiiik..Rio mau melamar kerja di kelg pa Broto sang dirut ...
2022-11-06
0
Triyani Lukiko Dewi
Pindah rumah baru..... nasib Wulan gmn coba...... duuuh miris
2022-10-24
1