Wulan masih terpaku ditempatnya, menatap yu Sarni tak berkedip. Yang ditatap masih cengar cengir sambil mengambil sayuran dan siap memetiknya.
“Heran, apa pengamen itu memakai kacamata kuda, sehingga melihat perempuan seperti yu Sarni ini dianggapnya bidadari,” gumamnya masih sambil tersenyum-senyum.
“Ya sudahlah Ni, disyukuri saja, kalau ada orang memanggil kamu bidadari,” kata bu Broto sambil duduk di meja dapur.
“Iya Bu, pengamennya ganteng pula.”
“Masih muda?”
“Masih muda, suaranya bagus, pakai topi hampir menutupi seluruh wajahnya, tapi yu Sarni melihat sekilas ketika topi itu sedikit terangkat ke atas, memang ganteng sekali. Sayangnya yu Sarni tidak mengerti lagu yang dinyanyikan, wong bahasanya bukan bahasa Jawa. Kalau misalnya lagu Jenang Gula, atau Yen Ing Tawang, gitu, yu Sarni pasti ikut menyanyi,” gumamnya.
Mau tak mau Wulan yang tadinya tertegun mendengarnya, kemudian tertawa geli mendengar ocehan yu Sarni. Tapi ia terus bertanya, apakah si ganteng itu kumat konyolnya sehingga bersusah payah jadi pengamen segala?
“Seandainya bu Wulan yang keluar, ya sudah pasti itu tidak mengherankan, karena bu Wulan kan memang cantik,” yu Sarni masih saja mengoceh sambil tersenyum-senyum.
“Pengamen itu jatuh cinta sama kamu Ni,” celetuk bu Broto lagi.
“Wah, ibu ini. Lha mana ada, orang muda ganteng kok jatuh cinta sama yu Sarni yang sudah setengah tua dan jelek pula.”
“Cinta itu kan buta Yu,” sambung Wulan yang sudah bisa menenangkan batinnya.
“Kalau itu ya buta kebangetan Bu. Hehee…”
“Tapi kamu senang kan, dipanggil ‘bidadari’ ?
“Iya Bu, senang dan deg-deg an. Ini saya masih khawatir, apa jantung saya masih ada, atau sudah jatuh ketika dia menyapa tadi.”
“Yaah, coba deh Yu, dicari di depan sana, siapa tahu benar-benar jatuh.”
Dapur itu jadi riuh oleh gelak tawa, ketika mendengar yu Sarni mengoceh tak henti-hentinya.
“Memangnya dia tadi menyanyi apa Yu? Wulan bertanya sambil menyiapkan bumbu.
“Nggak tahu namanya Bu, pakai lap … lap … begitu. Lha seingat yu Sarni, ‘lap’ itu kan artinya cinta, ya?”
“Iya, bener Yu.”
“Kalau bahasa Jawa ya saya mengerti, atau lagu Indonesia, yu Sarni pasti juga mengerti.”
“Kalau dia benar-benar cinta sama kamu, Ni, lain waktu pasti datang lagi kemari,” kata bu Broto sambil berdiri, tak ingin mengganggu kesibukan masak menantu dan pembantunya.
"Memang dia bilang begitu kok Bu."
Wulan terperanjat. Lain kali datang kemari?
Apa-apaan sih Rio,” gumamnya dalam hati, gemas.
***
Siang itu seperti biasanya Restu tak pernah pulang untuk makan siang, walau ayah ibunya selalu mengatakan bahwa ia seharusnya makan di rumah karena istrinya memasak setiap hari untuk seluruh keluarga.
Rupanya Restu lebih suka menghabiskan waktunya bersama Lisa, gadis yang dicintainya karena dengan suka rela selalu menyerahkan tubuhnya yang dikatakannya sebagai tanda cinta.
Kepuasan yang diperolehnya selalu ditukarnya dengan barang-barang berharga, apapun yang diminta kekasihnya. Dan memang karena itulah Lisa bersedia melakukannya. Soalnya imbalannya sungguh membuatnya hidup mewah dan berkecukupan. Ia bahkan tak merasa sakit hati ketika Restu harus menikahi gadis pilihan orang tuanya, karena Restu akan tetap berada disampingnya, dan berjanji tak akan menyentuh isterinya.
“Benarkah kamu belum pernah menyentuh isteri kamu? Bukankah dia sangat cantik?” kata Lisa ketika mereka sedang makan di sebuah restoran mewah seperti biasanya.
“Tidak Lisa, kamu harus percaya padaku, cintaku hanya untuk kamu,” kata Restu sambil menatap mesra kekasihnya.
“Harusnya kamu dulu menolak ketika orang tua kamu memaksa menikahi Wulan.”
“Itu tidak bisa Lisa, orang tuaku sangat keras dalam memerintah. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga tentang apa yang harus aku lakukan. Ancamannya sangat menakutkan, karena aku akan dicoret dari daftar pewaris tunggal, dan aku tak berhak duduk sebagai pimpinan dalam perusahaan ayahku.”
“Iya juga sih. Kalau itu benar-benar terjadi, kamu menjadi miskin dong.”
“Tuh kan, kalau aku miskin, mana bisa aku memberikan semua yang kamu minta?”
“Bagus lah kalau memang itu sudah kamu pikirkan. Tidak apa-apa kamu memiliki isteri, asalkan kita tetap bisa bersenang-senang bersama.”
“Bagaimana kalau kamu hamil ?”
“Apa kamu tak suka kalau aku hamil?”
“Bukannya tak suka, tapi ayah ibuku akan murka. Sangat murka, dan ancaman itu akan benar-benar dilaksanakannya.”
“Iya sayang, kamu tak usah khawatir karena aku selalu memakai pengaman saat bersama kamu.”
“Terima kasih cintaku, yang penting kita bisa selalu bersenang-senang.”
Mereka menghabiskan saat makan siang bersama, sebelum Restu harus kembali ke kantornya, dan demikian juga Lisa yang bekerja di sebuah butik di kota itu.
“Jangan lupa malam nanti kamu jemput aku, aku akan siap sebelum jam tujuh, okey,” kata Lisa sambil melirik genit.
“Iya, pasti. Malamku tak akan ada artinya tanpa dirimu,” sahutnya sambil berdiri lalu menggamit lengan Lisa, diajaknya keluar, lalu diantarnya Lisa ke tempat kerjanya sebelum dia sendiri kembali ke kantornya.
***
Sore itu Restu sudah sampai di rumah, lalu langsung masuk ke kamarnya. Dilihatnya Wulan sedang duduk di sofa, sambil membaca sebuah majalah wanita. Restu tak mengucapkan apapun, apalagi menyapanya. Ia langsung melepas sepatunya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Seperti biasa Wulan menyiapkan baju ganti untuk suaminya, diletakkannya di ruang ganti, kemudian dia beranjak keluar.
Mereka memang bukan seperti pasangan suami isteri, karena tak pernah terlihat berbicara. Tapi sebagai isteri Wulan selalu melakukan tugasnya, dengan menyiapkan baju untuk suaminya, meladeninya makan kalau kebetulan Restu makan di rumah. Hanya itu. Setiap malam mereka tidur terpisah. Kalau Restu tidur di ranjang, maka Wulan memilih tidur di sofa, karena dia tahu Restu tak pernah menginginkannya.
“Mana Restu?” tanya bu Broto ketika melihat Wulan keluar dari kamar.
“Baru mandi Bu,” jawab Wulan, kemudian ia duduk di sofa ruang tengah, sambil melihat acara televisi.
Bu Broto menyusulnya, ikut duduk di dekat menantunya.
“Bilang pada suami kamu, nanti malam kita semua harus datang ke kondangan.”
Wulan mengangkat wajahnya. Sungguh dia enggan berbicara pada suaminya, karena tanggapan yang didapat selalu membuatnya sakit hati.
“Ada undangan dari kerabatnya bapakmu, pak Samsudin, menikahkan anaknya. Malam ini resepsi pernikahannya. Kita semua harus datang.”
“Oowh …” hanya itu tanggapan Wulan, lalu ia kembali menatap ke arah televisi. Ia tahu, pak Samsudin adalah pengusaha yang terkenal di kota ini, dan masih termasuk kerabat ayah mertuanya.
“Nanti pakailah gelang kamu yang kembaran sama ibu ya,” pinta bu Broto. Ketika Restu menikah, bu Broto menghadiahkan gelang bertatahkan permata kepada menantunya. Ia memesan dua buah gelang, untuknya sendiri, dan untuk Wulan.
“Ya Bu.”
"Segera bilang sama suami kamu Wulan, jangan sampai dia pergi kemana-mana malam Ini,” kata bu Broto sambil berdiri.
Wulan berdiri, dan melangkah ke kamar dengan rasa enggan. Mengapa harus mengajak Restu pula, bukankah lebih enak bepergian tanpa dia? Kata batinnya.
Perlahan ia membuka pintu kamar, dilihatnya Restu sudah selesai mandi, dan sedang menyisir rambutnya.
“Mas …” pelan kata Wulan. Restu tak menoleh.
“Nanti malam kita harus ikut bapak sama ibu, ke resepsi pernikahan kerabat bapak.”
Restu menoleh, wajahnya berubah gelap.
“Mengapa aku harus ikut? Malam ini aku ada acara sendiri,” katanya sambil melemparkan sisir ke depan cermin.
“Aku hanya disuruh menyampaikan, terserah kamu mau atau tidak,” kata Wulan tak kalah dingin.
“Itu akal-akalan kamu bukan? Kamu ingin pergi bersama aku, supaya orang-orang melihat, bahwa kamu adalah isteriku?”
“Kamu salah. Menikah sama kamu bukanlah suatu kebanggaan,” sergah Wulan sambil mengangkat wajahnya.
“Omong kosong.”
“Terserah apa kata kamu,” Wulan membalikkan tubuhnya kemudian keluar dari kamar. Ditahannya keinginan untuk membanting pintu dengan keras sebagai pelampiasan, hanya karena ia harus menghormati kedua mertuanya yang sangat menyayanginya.
“Mana Restu?” kali ini pak Broto yang bertanya.
“Di kamar, Bapak.” Jawab Wulan.
“Coba panggil kemari, bapak mau bicara.”
Wulan membalikkan tubuhnya, kembali membuka kamar dengan enggan. Dia hanya melongok kedalam.
“Bapak memanggil kamu,” lalu Wulan kembali menutup pintu.
Tak lama kemudian Restu keluar, sudah dengan pakaian rapi.
“Mau kemana kamu?”
“Mau keluar sebentar Pak.”
“Setiap malam selalu keluar … keluar … “
“Ketemu sama teman-teman sekolah Pak, biasanya ketemuan di sebuah warung wedangan, atau apa, pokoknya rame-rame saja,” jawab Restu seenaknya.
“Apa maksudmu? Kamu sudah punya istri, dan masih suka keluyuran sendiri?”
“Wulan tidak suka pergi rame-rame.”
“Ya cari tempat yang istri kamu suka,” wajah pak Broto mulai gelap.
“Nanti saya tanya dia,” jawab Restu sambil berlalu.
“Tunggu,” seru pak Broto.
Restu menghentikan langkahnya.
“Ya Pak.”
“Malam ini kita harus datang ke resepsi pak Samsudin. Kamu bersama istri kamu juga.”
“Tapi _”
“Tidak ada tapi, nggak enak kalau hanya bapak sama ibu saja yang datang. Dia kan saudara kita juga.”
“Restu sudah trelanjur janji sama teman Restu,” protes Restu.
“Batalkan janji itu. Ini lebih penting,” kata pak Broto tandas.
Restu masuk kembali ke kamarnya dengan wajah gelap. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Lisa.
“Maaf Lisa … “
“Kenapa? Kamu tidak bisa datang malam ini?” sahut Lisa dari seberang begitu Restu menelponnya.
“Ada acara keluarga, yang sebelumnya aku tidak tahu. Aku sudah siap berangkat sebenarnya, tapi bapak melarangku pergi.”
“Hiiih, penurut amat sih kamu, sekali-sekali menentang kenapa? Kan kamu sudah janji mau menjemput aku?” kesal suara Lisa.
“Aku sudah bilang, tapi bapak nggak mau tahu. Soalnya kami harus datang di acara itu.”
“Acara apa sih?”
“Resepsi pernikahan salah seorang kerabat. Maaf ya, besok kita puas-puasin deh, bahkan sepulang dari kantor kita langsung bersenang-senang.”
“Benarkah?”
“Aku janji. Kamu jangan marah ya.”
“Awas ya, kalau bohong.”
“Tidak, sayang.”
Restu menutup ponselnya, saat Wulan masuk ke dalam kamar. Wajah yang semula ceria setelah berbicara dengan Lisa, menjadi gelap tertutup mendung.
“Sebenarnya aku sudah janjian sama pacar aku,” gerutunya tanpa melihat ke arah Wulan, yang sedang membuka almari untuk segera berganti pakaian.
Wulan tak menjawab.
“Kamu tahu kan, aku hanya mencintai dia?”
“Terserah kamu mau mencintai siapa,” ketus Wulan sambil memilih pakaiannya, kemudian berjalan ke ruang ganti.
“Kalau kamu tahu bahwa aku tidak cinta sama kamu, mengapa kamu tidak pergi juga?” teriaknya dari luar kamar ganti.
“Bilang sama bapak sama ibu kalau kamu ingin aku pergi.”
“Huh, sayang ya melepaskan kemewahan yang kamu rasakan di rumah ini?” teriaknya lagi.
Sakit hati Wulan mendengarnya. Sungguh ia menjalani pernikahan ini karena pesan dari orang tuanya sebelum meninggal. Tapi dia sudah sering disakiti dengan kata-kata tajam yang menyayat, jadi ia tak peduli lagi dengan kata-kata yang terucap dari mulut suaminya. Bahkan timbul didalam hatinya bahwa ia ingin membalas penghinaan itu dengan tetap tinggal, agar Restu merasa kesal setiap hari.
Wulan melanjutkan berganti pakaian, dan keluar setelah selesai mengenakan bajunya. Sebuah gaun berwarna putih tulang, dengan kembang-kembang menghiasi bagian bawah dan dadanya. Ia juga memakai kerudung cantik berwarna hijau buda, senada dengan kembangan yang menghiasi gaunnya.
Restu meliriknya sekilas. Ia harus mengakui, Wulan memang cantik. Ia menelan salivanya, lalu memalingkan wajahnya. Ia tak ingin tergiur dengan kecantikan istrinya, karena Lisa lebih menggugah seleranya. Ia melihat Wulan duduk di depan cermin, menyempurnakan dandanannya.
Restu mendengus kesal, lalu beranjak keluar dari kamar.
“Kamu belum siap?” tegur ibunya ketika melihat Restu belum mengganti pakaiannya.
“Ya, sebentar lagi, katanya sambil beranjak ke belakang.
***
Ditempat resepsi itu, pak Broto melihat Restu berjalan seenaknya, seperti tidak datang bersama keluarganya.
“Restu, gandeng istri kamu,” perintahnya.
Wulan malah berjalan di samping ibu mertuanya, dan menggandeng tangannya.
Restu merasa keder ketika melihat tatapan pak Broto. Ia mendekati Wulan dan menarik tangannya. Ia lupa, bahwa didekat kedua orang tuanya ia harus bersikap manis kepada isterinya.
Wulan terpaksa menurut. Menelan kepura-puraan yang menyelimuti kehidupannya.
Tanpa Wulan sadari, sepasang mata sedang menatapnya.
***
Besok lagi ya,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Hermina Hermina
Sabaaar ya Wulan... Semoga berjofoh dg Rio..
2022-10-24
1
Sri Tulasmi
Kasihan Wulan tdk bahagia
2022-10-24
0
Rery Widjaja Laksmi
Kasihan Wulan...smg menemukan kebahagiaan...
2022-07-11
0