MENTAL
"Menulis apa?" tanya dokter Ibram saat visit di kamar Almira pagi ini. Gadis itu hanya tersenyum tipis tanpa menjawabnya. Ia lebih memilih menggoreskan pensil di atas kertas putih yang hampir 8 minggu menjadi temannya di rumah sakit ini.
Almira Radisty, gadis cantik berusia19 tahun, mengalami depresi akut dan sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit Swasta terbaik di kota J. Putri sulung yang berasal dari keluarga terpandang. Sang mama, Ibu Anggraini, seorang dokter kencantikan yang sukses di kota itu. Sedangkan sang ayah, Pak Muhtar, seorang kontraktor sukses dengan berbagai macam jenis proyek dan tender besar di Kalimantan.
"Kamu sedang berhitung?" tanya dokter Ibram dengan sabar, karena ia tahu pasien VIP nya ini tidak akan menjawab apapun pertanyaannya. Al, panggilan akrab Almira, akan terus mengabaikan suara ataupun kedatangan seseorang di kamar inapnya. Tatapannya kosong, mata bulatnya tampak sayu, dan badannya....semakin hari semakin kurus. Setelah menjalani serangkaian tes kejiwaan, Almira didiagnosa mengalami depresi akut, yang menyebabkan ia kesulitan mengungkapkan ganjalan hatinya, selalu merasa takut dan cemas serta traumatik.
Nyonya Anggraini sangat geram pada dokter Ibram yang dinilai tidak mampu menangani kasus sang putri. Ibu tiga anak ini berniat kalau sampai satu bulan tidak ada kemajuan yang signifikan pada Almira, ia akan membawa Al berobat ke luar negeri.
Sebenarnya sejak dua minggu lalu, keluarga besar sudah memutuskan akan membawa Al ke luar negeri, hanya saja dokter Ibram tidak mengizinkan.
Solusinya hanya satu, Almira butuh teman curhat saja. Percaya sama saya, Almira tak butuh pengobatan canggih tapi yang diminta Almira hanya teman bicara saja, terutama keluarga.
Penjelasan dokter Ibram membungkam dr Anggraini, pasalnya rumah sakit ini memang rumah sakit swasta terbaik dan keahlian dokternya pun tidak perlu diragukan lagi, termasuk dokter Ibram.
Dokter spesialis muda yang analisisnya tak perlu diragukan lagi. Dalam kasus Al, dokter Ibram hanya perlu memberikan rangsangan agar Al mau bersuara. Oleh sebab itu, selama hampir dua bulan ini, dokter Ibram hanya mengajak bicara Al sebagai terapinya. Dokter muda ini juga memberikan kesempatan pada dokter Anggraini maupun keluarga lain untuk mengajak Al bicara, meskipun tak pernah ditanggapi.
Tujuannya hanya satu membangun kedekatan keluarga dengan Almira, membuat Almira sedikit demi sedikit percaya bahwa keluarganya sayang dan perhatian dengannya. Namun sayang, tak ada respon sama sekali dari Almira, gadis cantik itu hanya diam saja. Kondisi inilah yang menyebabkan dokter Anggraini tak puas akan kinerja dokter Ibram.
Begitupun dengan pandangan keluarga Almira lainnya, perkembangan kejiwaan Al berjalan begitu lambat, pihak keluarga pun meminta dokter Anggraini memindahkan perawatan Al ke rumah sakit lain atau bahkan keluar negeri, hanya sang papa, Pak Muhtar yang masih kekeh agar Al tetap di rumah sakit ini. Beliau yakin dengan kinerja dokter Ibram akan membuahkan hasil untuk anaknya.
Bapak tiga anak itu percaya dengan pemaparan dokter Ibram, secara medis perkembangan kejiwaan Al cukup signifikan. Awal menjadi pasien kasus kejiwaan, gadis cantik itu tak berhenti menangis dan menekuk lututnya. Hampir 24 jam ia bersikap seperti itu, tak bisa bersuara hanya tangisan yang sangat pilu. Siapapun yang melihat atau mendengarnya ikut merasakan kesedihan Almira. Setelah itu, dia akan tidur sepanjang hari, meskipun di kamar inapnya tak pernah sepi pengunjung.
Menginjak minggu ketiga, Almira sudah tidak menangis seharian lagi, ia sudah berani menatap orang yang ada di kamar inapnya, hanya saja bibir masih terkunci rapat. Asupan makanan selama ini hanya lewat infus.
Memaauki bulan kedua, dokter Ibram takjub tatkala Almira bisa meresponnya dengan membalas senyuman dokter ganteng itu, dan lebih mengejutkan lagi, ia sudah mau pindah tempat, tidak melulu di ranjang pasien. Almira sekarang lebih suka duduk termenung menatap langit dengan jendela kamar terbuka lebar.
"Al, kamu masih ingat penjumlahan?" cecar dokter Ibram dengan sabar, memancing Almira agar mau bicara. Namun tetap saja nihil, gadis itu masih bertahan dalam diam.
Hufh...
Suster Risna yang bertugas mendampingi dokter Ibram terdengar menghela nafas berat, dan seketika mendapat lirikan tajam dari dokter ganteng itu. Ia paham tatapan itu. Dokter Ibram akan mengomel bila suster pendamping tidak sabar dalam menghadapi pasien. Beliau seorang dokter jiwa, paham betul bila semua pasien dengan gangguan jiwa pasti butuh dukungan moril dari orang terdekatnya, termasuk para tenaga medis yang merawatnya.
"Maaf," lirih suster Rina sembari menundukkan kepala. Dokter Ibram pun kembali memperhatikan Almira, menelisik goresan pena yang ditulisnya. Berbaris angka yang menunjukkan pola. "Umur?" tebak dokter Ibram, tapi tak mendapat respon. Dokter Ibram pun tersenyum, "Lanjutkan menulis angkanya, karena tulisan angka kamu bagus. Saya pamit dulu ya," dokter Ibram pun beranjak meninggalkan Almira. Membiarkan Almira menulis apapun agar ia dapat menganalisis perkembangan kejiwaan Almira lewat goresan itu.
Baru saja, dokter Ibram menginstruksi kepada suster Rina agar nanti mengamankan goresan pena Almira, dia dikejutkan oleh suara lirih Almira.
"Apa saya memang gila, dok?"
Sontak dokter Ibram menoleh ke arah Almira yang kembali memeluk lututnya, dan menghadap jendela. Sekian detik, dokter dan suster itu saling pandang, mungkin terkejut tapi tak lama, dokter Ibram berdehem menetralkan suasana hening dalam kamar itu.
"Kenapa?" tanya dokter Ibram balik. Lebih baik ia memancing dengan pertanyaan agar percakapan bisa berlangsung lama. Tapi apa daya Almira kembali ke mode off, tak menjawab pertanyaan dokter ganteng itu. Pundak suster Rina yang sempat menegang pun kembali melorot, kecewa dengan sikap Almira.
"Kamu bukan gila, tapi kamu istimewa," tutur dokter Ibram dengan kembali duduk di samping Al. Respon baik kembali terjadi, Almira menoleh pada dokter Ibram lalu tersenyum tipis dan mengangguk. Dokter Ibram menunggu beberapa menit, siapa tahu suara lirih pasiennya terdengar kembali.
Merasa cukup memberikan perhatian pada pasiennya, dokter Ibram kembali pamit, dan lagi-lagi, ia dibuat terkejut oleh Almira. Baru saja ia memegang handle pintu, dokter Ibram menoleh ke arah gadis itu.
"Nanti ..kalau dokter Ibram sudah longgar, mau kah menemani saya di sini?" itulah permintaan Almira yang berhasil membuat dokter muda itu sempat terpaku di depan pintu. Sedangkan sang pasien masih betah memandang jendela kamar. Suster Rina pun sempat menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa takjud dengan permintaan Almira.
"Iya....saya janji saya akan ke sini kalau tugas saya sudah selesai."
"Baik," jawab lirih Almira.
Dokter Ibram pun keluar diikuti dengan suster Rina. Sungguh ada perasaan bahagia dengan perkembangan Almira. Keahliannya yang sempat diremehkan oleh dokter Anggraini akan terbalas dengan sikap Almira di hari berikutnya.
"Pastikan keluarga Almira malam ini tidak berkunjung, terutama dokter Anggraini," titahnya tegas pada suster Rina.
"Baik, dokter," jawab suster Rina tak kalah tegas. Dalam hatinya juga ikut bahagia dengan perkembangan Almira, karena kalau gadis itu sembuh, ia bisa bernafas lega. Tak bertemu dengan dokter Anggraini yang kelewat cerewet. Kalau saja tak bergaji tinggi, mungkin ia tak mau diletakkan di pasien VIP seperti Almira.
Cepat sembuh ya, Mbak Almira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Pelangi
suka😍
2022-05-20
0