CAPEK

"Iya....Aku..." Almira diam sebentar.

"Aku capek, aku capek....aku capek menuruti keinginan mama, aku capek, aku ingin tidur!" jelasnya dengan sedikit terbata. Dokter Ibram masih diam, tak memberi respon. Ia hanya menunggu dan seperti sebelumnya dia hanya mendengarkan keluhan pasien.

"Mama selalu menuntut aku menjadi anak hebat. Mama selalu menyuruhku menjadi juara, mama selalu memintaku menjadi contoh adik-adikku. Aku anak sulung harus bisa jadi panutan adikku. Kalau aku gagal, maka mama dan papa gagal mendidik anak. Baik buruknya keluarga tergantung keberhasilanku. Aku capek, Dok. Aku capek belajar, aku capek les, aku capek diatur mama. Aku ingin tidur.....tidur gak bangun pun aku mau," Almira tampak menggebu, air mata sudah turun tanpa dikomando. Suster Devi tampak beberapa kali mengusap air matanya, tak tega dengan kondisi Almira.

Gadis cantik dan muda tapi sedikit senewen hasil dari keegoisan seorang ibu. Dalam hati suster Devi bersumpah tidak akan menjadi ibu seperti dokter Anggraini, meskipun berdalih untuk masa depan Almira.

"Dari kecil, aku sudah didoktrin harus jadi dokter, semua mainanku berbau dokter. Boneka, stetoskop, miniatur suntik, miniatur mikroskop apapun pasti berhubungan dengan kedokteran. Belum lagi soal baju, sejak kecil bajuku paling banyak warna putih, kata mama baju warna putih itu warna kesukaan semua orang, karena yang bisa pakai baju warna putih hanya dokter. Padahal mayat pun pakai kain putih kan, dok?"

Dokter Ibram mengangguk.

"Teman perumahan kalau ke rumahku, selalu disuruh menjadi pasien dan aku disuruh menjadi dokternya. Kalau temanku mengajak lari, mama lalu memberikan suntikan kepadaku, dan temanku....temanku lari dokter karena takut, sejak saat itu aku sudah tidak punya teman lagi."

Almira kembali menundukkan kepala sedih rasanya bila mengingat masa kecilnya, dokter Ibram menghela nafas berat dan menatap suster Devi lalu menggeleng, entah apa maksudnya yang jelas dalam hati suster Devi sempat mengumpat, kayaknya yang gila dokter Anggraini deh.

"Sudah?"

Almira mengangguk, lalu mengadahkan tangannya pada dokter Ibram, "Uangku?"

Dokter Ibram tertawa lalu menyerahkan lembaran lima puluh ribu ke arah Almira. "Dokter aku gak gila, kenapa aku dikasih uang mainan?" tegur Almira yang membuat suster Devi dan dokter Ibram tertawa.

"Uang...memang ajaib, orang sakit pun tahu mana uang asli mana uang mainan," gumam dokter Ibram seraya menggelengkan kepala.

"Aku akan cerita ke dokter banyak lagi, tapi aku dikasih uang asli ya, aku gak mau berhutang kepada mama," lagi-lagi Almira menyangkut pautkan dokter Anggraini dalam ucapannya. Sejak awal menangani kasus Almira ini, dokter Ibram sudah curiga penyebab utama Almira depresi adalah sang mama.

Melihat tingkah beliau yang dominan menjelaskan kepribadian dan kebiasaan Almira, tak memberikan kesempatan apapun pada Pak Muhtar, membuat dokter Ibram mencurigai dokter Anggraini-lah sebagai dalang depresi Almira. Sedikit kecurigaannya mulai terbuka, ia pun memberi isyarat pada suster Devi agar kembali merekam.

"Mama kamu sudah punya uang banyak, Al. Kenapa harus bayar hutang juga ke mama kamu?" tanya dokter Ibram bernada santai, bahkan ia mengambil jeruk dan mengupasnya. Menelisik permasalahan pasien harus mengatur suasananya juga, jangan sampai pasiennya merasa terintimidasi.

"Hutang budi, Pak dokter!" ucap Almira bernada manja. Gemas pada dokter Ibram yang tak tahu maksud Almira.

"Mana ada orang tua yang menganggap hutang budi, gak ada. Orang tua itu ikhlas."

"Adaaaaa, ih....dokter gak percaya sama Al."

Suster Devi terdiam, emosi Almira mendadak manja, dan senyum ceria tampak di wajahnya. Mungkin mulai nyaman bercerita dengan dokter Ibram. "Masa'?"

Almira mengangguk, "Kata mama aku tuh anak pintar yang bisa membanggakan orang tua, jadi dokter, sukses, jadi aku harus belajar yang giat biar mama gak malu."

"Trus?"

"Aku suka belajar, tapi aku gak mau jadi dokter."

"Tapi kamu kuliah dokter kan?"

"Iya, mama yang menyuruh."

"Memangnya Almira mau kuliah di mana?"

"Di sini," ucap Almira girang sembari mencolek hidungnya, lalu turun dari kursi dan tertawa nyaring tak lupa berputar layaknya orang tak waras. Dokter Ibram hanya menatapnya, membiarkan Almira mengekspresikan semua yang ada dalam dirinya. Suster Devi sempat melongo lalu menekan tombol rekam, kaget dengan sikap Almira tiba-tiba.

Beberapa menit kemudian tubuh Almira luruh di lantai, ia menangis meraung-raung, "Aku capek dokter, aku ingin hidup dengan caraku sendiri, aku gak mau dekat sama mama, aku capek dokter, mama jangan ke sini, aku mohooooon," ocehnya pilu. Suster Devi kembali menangis, dokter Ibram memberi isyarat kepada suster Devi untuk menenangkan Almira.

Suster Devi menghentikan rekamannya, lalu mendekat ke Almira, memeluk sambil menepuk punggung gadia itu, "Sabar ya anak cantik, kamu anak hebat, kebanggaaan kami semua,"

Almira mengangguk, tapi ia masih menangis. Suster Devi tetap memeluk gadis itu, mendengar racauannya yang tetap kekeh capek, mengulangnya terus menerus hingga terlontar aku gak mau jadi anak mama.

******

Malam harinya, tante Widya, adik dari Pak Muhtar datang menemani Almira. Sebelum masuk ke kamar perawatan ponakannya, ia mampir ke ruang dokter Ibram, karena mendapat mandat dari sang kakak menanyakan perkembangan Almira, meskipun suster Devi tadi sore sudah memberikan laporan kepada Pak Muhtar dan dokter Anggraini.

"Lalu?" tanya tante Widya setelah mendapat penjelasan dokter Ibram.

"Saya sudah memberikan laporan kepada Pak Muhtar untuk bertemu, duduk bersama dengan dokter Anggraini membahas masalah ini, kebetulan bulan ini belum ada pembahasan bersama."

"Memang Al itu dibentuk kakak ipar saya sejak kecil, ruangnya bergerak sangat terbatas, wajar dia merasa seperti itu. Saya juga heran, kenapa Mbak Anggi bisa seotoriter pada Al saja, tidak pada kedua anaknya."

Dokter Ibram tersenyum tipis, komentar nyonya Widya bukan kapasitasnya untuk ditanggapi, karena pembahasan paling penting hanya kesehatan mental Almira.

"Saya harap, jika pertemuan itu ada kakak saya bisa mengubah pola pikir mbak Anggi, sudah cukup mengekang Al."

"Semoga saja, nyonya."

"Terimakasih dokter, saya ke kamar keponakan saya dulu."

Dokter Ibram pun mengangguk. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kerjanya, memijat keningnya, mendadak pusing juga menangani kasus Almira. Sebenarnya kasusnya sederhana kalau keluarganya kooperatif membuka detail keseharian Almira, terutama dokter Anggraini, karena selama ini ada sesuatu yang disembunyikan dokter kecantikan itu.

Meski hanya sebatas pasien dan dokter, ia geram juga melihat sikap dokter Anggraini yang seperti psikopat untuk anak kandungnya. Dia seorang dokter, masalah kejiwaan tentu sedikit paham, tapi begitu kolot dalam mendidik Almira. Sungguh kasihan mendidik anaknya dengan obsesi tinggi.

Selamat malam Pak Muhtar, selepas jam 2 siang insyaAllah kita berdiskusi.

Akhirnya dokter tampan itu membalas pesan ayah Almira yang menginginkan janji temu dengan dirinya, dengan terpaksa ia harus mengcancel kencannya bersama Asna, tunangannya.

Maaf besok aku gak bisa jemput kamu di kampus. Begitu pesan Ibram pada Asna.

Terpopuler

Comments

Pelangi

Pelangi

bnr...capek banget, apalagi selalu dibanding2in ortu, mungkin ortu ga sadar kalau itu membuat anak jadi tertekan dan malah stress

2022-05-22

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!