"Menulis apa?" tanya dokter Ibram saat visit di kamar Almira pagi ini. Gadis itu hanya tersenyum tipis tanpa menjawabnya. Ia lebih memilih menggoreskan pensil di atas kertas putih yang hampir 8 minggu menjadi temannya di rumah sakit ini.
Almira Radisty, gadis cantik berusia19 tahun, mengalami depresi akut dan sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit Swasta terbaik di kota J. Putri sulung yang berasal dari keluarga terpandang. Sang mama, Ibu Anggraini, seorang dokter kencantikan yang sukses di kota itu. Sedangkan sang ayah, Pak Muhtar, seorang kontraktor sukses dengan berbagai macam jenis proyek dan tender besar di Kalimantan.
"Kamu sedang berhitung?" tanya dokter Ibram dengan sabar, karena ia tahu pasien VIP nya ini tidak akan menjawab apapun pertanyaannya. Al, panggilan akrab Almira, akan terus mengabaikan suara ataupun kedatangan seseorang di kamar inapnya. Tatapannya kosong, mata bulatnya tampak sayu, dan badannya....semakin hari semakin kurus. Setelah menjalani serangkaian tes kejiwaan, Almira didiagnosa mengalami depresi akut, yang menyebabkan ia kesulitan mengungkapkan ganjalan hatinya, selalu merasa takut dan cemas serta traumatik.
Nyonya Anggraini sangat geram pada dokter Ibram yang dinilai tidak mampu menangani kasus sang putri. Ibu tiga anak ini berniat kalau sampai satu bulan tidak ada kemajuan yang signifikan pada Almira, ia akan membawa Al berobat ke luar negeri.
Sebenarnya sejak dua minggu lalu, keluarga besar sudah memutuskan akan membawa Al ke luar negeri, hanya saja dokter Ibram tidak mengizinkan.
Solusinya hanya satu, Almira butuh teman curhat saja. Percaya sama saya, Almira tak butuh pengobatan canggih tapi yang diminta Almira hanya teman bicara saja, terutama keluarga.
Penjelasan dokter Ibram membungkam dr Anggraini, pasalnya rumah sakit ini memang rumah sakit swasta terbaik dan keahlian dokternya pun tidak perlu diragukan lagi, termasuk dokter Ibram.
Dokter spesialis muda yang analisisnya tak perlu diragukan lagi. Dalam kasus Al, dokter Ibram hanya perlu memberikan rangsangan agar Al mau bersuara. Oleh sebab itu, selama hampir dua bulan ini, dokter Ibram hanya mengajak bicara Al sebagai terapinya. Dokter muda ini juga memberikan kesempatan pada dokter Anggraini maupun keluarga lain untuk mengajak Al bicara, meskipun tak pernah ditanggapi.
Tujuannya hanya satu membangun kedekatan keluarga dengan Almira, membuat Almira sedikit demi sedikit percaya bahwa keluarganya sayang dan perhatian dengannya. Namun sayang, tak ada respon sama sekali dari Almira, gadis cantik itu hanya diam saja. Kondisi inilah yang menyebabkan dokter Anggraini tak puas akan kinerja dokter Ibram.
Begitupun dengan pandangan keluarga Almira lainnya, perkembangan kejiwaan Al berjalan begitu lambat, pihak keluarga pun meminta dokter Anggraini memindahkan perawatan Al ke rumah sakit lain atau bahkan keluar negeri, hanya sang papa, Pak Muhtar yang masih kekeh agar Al tetap di rumah sakit ini. Beliau yakin dengan kinerja dokter Ibram akan membuahkan hasil untuk anaknya.
Bapak tiga anak itu percaya dengan pemaparan dokter Ibram, secara medis perkembangan kejiwaan Al cukup signifikan. Awal menjadi pasien kasus kejiwaan, gadis cantik itu tak berhenti menangis dan menekuk lututnya. Hampir 24 jam ia bersikap seperti itu, tak bisa bersuara hanya tangisan yang sangat pilu. Siapapun yang melihat atau mendengarnya ikut merasakan kesedihan Almira. Setelah itu, dia akan tidur sepanjang hari, meskipun di kamar inapnya tak pernah sepi pengunjung.
Menginjak minggu ketiga, Almira sudah tidak menangis seharian lagi, ia sudah berani menatap orang yang ada di kamar inapnya, hanya saja bibir masih terkunci rapat. Asupan makanan selama ini hanya lewat infus.
Memaauki bulan kedua, dokter Ibram takjub tatkala Almira bisa meresponnya dengan membalas senyuman dokter ganteng itu, dan lebih mengejutkan lagi, ia sudah mau pindah tempat, tidak melulu di ranjang pasien. Almira sekarang lebih suka duduk termenung menatap langit dengan jendela kamar terbuka lebar.
"Al, kamu masih ingat penjumlahan?" cecar dokter Ibram dengan sabar, memancing Almira agar mau bicara. Namun tetap saja nihil, gadis itu masih bertahan dalam diam.
Hufh...
Suster Risna yang bertugas mendampingi dokter Ibram terdengar menghela nafas berat, dan seketika mendapat lirikan tajam dari dokter ganteng itu. Ia paham tatapan itu. Dokter Ibram akan mengomel bila suster pendamping tidak sabar dalam menghadapi pasien. Beliau seorang dokter jiwa, paham betul bila semua pasien dengan gangguan jiwa pasti butuh dukungan moril dari orang terdekatnya, termasuk para tenaga medis yang merawatnya.
"Maaf," lirih suster Rina sembari menundukkan kepala. Dokter Ibram pun kembali memperhatikan Almira, menelisik goresan pena yang ditulisnya. Berbaris angka yang menunjukkan pola. "Umur?" tebak dokter Ibram, tapi tak mendapat respon. Dokter Ibram pun tersenyum, "Lanjutkan menulis angkanya, karena tulisan angka kamu bagus. Saya pamit dulu ya," dokter Ibram pun beranjak meninggalkan Almira. Membiarkan Almira menulis apapun agar ia dapat menganalisis perkembangan kejiwaan Almira lewat goresan itu.
Baru saja, dokter Ibram menginstruksi kepada suster Rina agar nanti mengamankan goresan pena Almira, dia dikejutkan oleh suara lirih Almira.
"Apa saya memang gila, dok?"
Sontak dokter Ibram menoleh ke arah Almira yang kembali memeluk lututnya, dan menghadap jendela. Sekian detik, dokter dan suster itu saling pandang, mungkin terkejut tapi tak lama, dokter Ibram berdehem menetralkan suasana hening dalam kamar itu.
"Kenapa?" tanya dokter Ibram balik. Lebih baik ia memancing dengan pertanyaan agar percakapan bisa berlangsung lama. Tapi apa daya Almira kembali ke mode off, tak menjawab pertanyaan dokter ganteng itu. Pundak suster Rina yang sempat menegang pun kembali melorot, kecewa dengan sikap Almira.
"Kamu bukan gila, tapi kamu istimewa," tutur dokter Ibram dengan kembali duduk di samping Al. Respon baik kembali terjadi, Almira menoleh pada dokter Ibram lalu tersenyum tipis dan mengangguk. Dokter Ibram menunggu beberapa menit, siapa tahu suara lirih pasiennya terdengar kembali.
Merasa cukup memberikan perhatian pada pasiennya, dokter Ibram kembali pamit, dan lagi-lagi, ia dibuat terkejut oleh Almira. Baru saja ia memegang handle pintu, dokter Ibram menoleh ke arah gadis itu.
"Nanti ..kalau dokter Ibram sudah longgar, mau kah menemani saya di sini?" itulah permintaan Almira yang berhasil membuat dokter muda itu sempat terpaku di depan pintu. Sedangkan sang pasien masih betah memandang jendela kamar. Suster Rina pun sempat menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa takjud dengan permintaan Almira.
"Iya....saya janji saya akan ke sini kalau tugas saya sudah selesai."
"Baik," jawab lirih Almira.
Dokter Ibram pun keluar diikuti dengan suster Rina. Sungguh ada perasaan bahagia dengan perkembangan Almira. Keahliannya yang sempat diremehkan oleh dokter Anggraini akan terbalas dengan sikap Almira di hari berikutnya.
"Pastikan keluarga Almira malam ini tidak berkunjung, terutama dokter Anggraini," titahnya tegas pada suster Rina.
"Baik, dokter," jawab suster Rina tak kalah tegas. Dalam hatinya juga ikut bahagia dengan perkembangan Almira, karena kalau gadis itu sembuh, ia bisa bernafas lega. Tak bertemu dengan dokter Anggraini yang kelewat cerewet. Kalau saja tak bergaji tinggi, mungkin ia tak mau diletakkan di pasien VIP seperti Almira.
Cepat sembuh ya, Mbak Almira.
Dokter Ibram sengaja meluangkan waktunya selepas tugas di penghujung sore, kesempatan untuk 'mengobati' Almira mulai menemukan titik awal tak boleh ia lewatkan begitu saja. Ada tanggung jawab sebagai dokter sekaligus ingin membuktikan kemampuannya yang sempat diremehkan pihak keluarga pasien, meskipun begitu ia tak berharap banyak, karena beberapa kali dokter Ibram melakukan terapi tetap saja Almira tak memberikan respon yang signifikan.
"Kamu yakin dokter Anggraini tidak datang malam ini?" tanya dokter Ibram sembari melipat lengan kemejanya. Sore ini, sengaja ia berpenampilan menarik untuk Almira. Mandi dan mengganti kemejanya, tak lupa pomade untuk rambutnya. Sengaja, agar Almira tertarik dengannya hingga mampu membeberkan apa yang menjadi beban batinnya selama ini.
"Dokter ganteng banget, kaya' mau ngapel," canda Suster Rina. Memang sudah biasa melihat gantengnya dokter Ibram, tapi malam ini aura gantengnya bertambah.
"Bisa aja, Sus!"
Keduanya berjalan menuju kamar inap Almira dengan membahas perkembangan Almira hingga petang ini. "Pastikan dokter Anggraini tidak datang!" ulang dokter Ibram.
"Iya sudah saya pastikan, karena katanya nanti malam yang menemani nona Almira, tuan Radit."
"Baik."
Dokter Ibram pun menuju kamar Almira, mengetuk pintu lalu mengucap salam, seperti biasa tak ada tanggapan. Suster Rina memeriksa kondisi Almira sebentar lalu pamit keluar.
"Segini cukup?" tanya Almira yang duduk di ranjang setelah beberapa menit hanya diam tanpa menyapa dokter Ibram, ia menyerahkan selembar kertas pada dokter Ibram. Dokter ganteng itu masih berdiri di samping bankar sang pasien hanya bisa mengerutkan dahi dan sesekali melihat kertas lalu wajah Almira, bingung. Masih belum paham maksud di balik ucapan Almira.
"Apa ini?" tanya dokter Ibram menerima kertas tadi.
"Tagihan rumah sakit, dok!" jawab Almira lirih.
Dokter Ibram hanya menatap kertas yang bertuliskan deretan angka mulai angka satu, lima, dan jejeran nol. Ia yakin deretan angka ini yang ditulis Al tadi pagi.
Dokter Ibram kemudian duduk di samping bankar, siap berbicara dengan Almira. Ia pun melepas jas dokternya, sengaja, agar Almira merasa nyaman bicara dengannya tanpa embel-embel dokter dan pasien, pikirnya.
"Kamu punya uang?" pancing dokter Ibram sembari tersenyum ramah, tak lupa suaranya sedikit keras karena sebelum masuk kamar inap Almira tadi, Ibram mengaktifkan sambungan telpon dengan Pak Muhtar.
Almira menggeleng, menundukkan kepala, wajahnya berubah sendu.
"Jumlahnya ini berapa sih?" tanya dokter Ibram pada Almira, ia harus memutar otak dengan cepat agar suasana hati Almira tidak kembali sedih.
"1 juta lima ribu, lima ratus juta" jawab Almira lirih.
Dokter Ibram tersenyum, lalu melipat kertas itu dan menyerahkan pada Almira, "Banyak?"
Almira mengangguk, "Punya uang buat bayar 1 juta 5 ribu, dua ratus juta ini?" tanya dokter Ibram dengan senyum manisnya.
"Aku gak punya uang," jawab Almira sambil menatap dokter Ibram takut. Ia kembali menekuk lutut dan memeluknya. Kondisi ini tak bisa dibiarkan, Almira sudah merasa ketakutan karena ketidak punyaannya.
"Al, dengerin pak dokter ya, Almira mau bayar tagihan rumah sakit ini kan?"
Gadis itu mendongak, genangan air mata sudah penuh di pelupuk matanya. Berkedip sekali saja air matanya akan turun.
"Mau."
"Bagus, pak dokter akan kasih uang Almira untuk bayar tagihan rumah sakit ini asal...."
"Asal apa?" tanya Almira tak sabar, sungguh respon yang sangat cepat. Perkembangan yang sangat bagus untuk hari ini.
"Sekarang kamu tidur, istirahat, besok dokter akan kasih tahu, mau?"
Almira terdiam, kecewa mungkin karena pertanyaannya digantung. Namun, tak lama ia pun mengangguk. Dokter Ibram pun pamit, besok jam 8 janji akan datang lagi.
Keluar dari kamar inap Almira, suster Rina sudah siap menerima tugas dari dokter Ibram.
"Siapkan, uang mainan besok pagi jam 7. Letakkan di meja kerja saya. Kamu bisa pulang setelah memastikan pihak keluarga Almira datang menemaninya."
Suster Rina mengangguk tanpa mengajukan pertanyaan untuk apa uang mainan itu. Seperti biasa, suster Rina akan duduk di sofa kamar inap Almira sebelum salah satu keluarga pasien datang. Kehidupan keluarga yang workholic membuat Almira lebih banyak sendiri dan akan ditemani saat malam saja, selebihnya suster Rina atau suster Devi yang menemani dan merawatnya.
Sampai detik ini, keluarga Almira terutama sang ibu, dokter Anggraini tak tahu pasti apa penyebab Almira bisa merasakan depresi seperti ini. Menurut pengakuan beliau, Almira anak yang rajin, selalu unggul dalam segala hal terutama pada pelajaran. Mahasiswa kedokteran jas kuning ini bisa dikatakan gadis idaman, cantik, pintar dan berasal dari keluarga kaya.
Berkali-kali dokter Ibram mengorek sikap orang tua, adik dan teman Almira, namun mereka hanya melihat Almira sebagai sosok gadis ceria penuh prestasi, tak menyangka akan memderita gangguan psikis seperti ini.
Semoga lekas sembuh, kamu gadis istimewa. Batin Suster Rina ketika keluar dari ruang perawatan Almira, sang adik yang terpaut dua tahun dengan Almira sudah datang.
Keesokan harinya, dokter Ibram sudah siap melakukan terapi pada Almira, membawa dua kotak uang mainan yang sudah suster Rina siapkan.
"Pagi," sapa dokter Ibram dengan senyum manisnya.
Almira menoleh dan hanya tersenyum menanggapinya. Gadis itu sudah tampak cantik karena baru saja ART keluarganya datang dan memandikan Almira. Kini dia sendiri lagi, adik dan ARTnya sudah pulang. Giliran dokter Ibram dan suster Devi yang menemaninya. "Sehat kan?" tanya dokter Ibram basi-basi.
"Sehat, dok. Duduk dokter!"
Dokter Ibram dan suster Devi sedikit kaget karena sikap Almira begitu ramah pagi ini. Tampaj seperti orang sehat, hanya saja cekungan mata pucatnya yang menunjukkan dia sedang tidak baik.
"Asal apa?" tanya Almira, mengulang pertanyaan tadi malam yang digantung dokter Ibram.
"Cek kondisi kamu dulu, ya. Suster Devi silahkan diperiksa tensi nona Almira."
"Baik, Dok!"
Suster Devi sudah memeriksa dan mencatat kondisi fisik Almira, kini ia hanya menemani dokter Ibram yang akan memulai sesi terapi.
"Cerita!" tutur dokter Ibram singkat.
"Cerita apa?" tanya Almira balik. Gadis itu sedang asyik menikmati pemandangan pagi hari.
"Everything!"
Almira mengangguk, menyampirkan selimut tipis untuk menutupi kakinya yang ia tekuk. Kini dagunya di letakkan di atas lutut dan mulai mejamkan mata sebentar lalu menghela nafas berat.
"Nanti kalau kamu mau cerita ke saya, kamu saya kasih uang!" goda dokter Ibram sembari mengipasi lembaran uang mainan di depan wajah Almira.
Gadis itu tersenyum tipis lalu menatap wajah dokter Ibram, suster Devi tak lupa mendokumentasinya. Sangat terharu dengan suasana pagi ini, dokter Ibram begitu ramah dan tatapan Almira seolah menyiratkan kepedihan.
"Mau?"
Almira mengangguk.
Dokter Ibram mulai menata lembaran kertas uang mainan itu seperti bermain kartu sembari menjelaskan nominalnya. Suster Devi yang melihatnya sekuat mungkin menahan tawa, karena dokter gantengnya sudah seperti sales yang menjajakan barang dagangannya.
"Mau uang yang mana?" tanya dokter Ibram setelah menata lembaran uang mainan itu.
Almira menarik uang lima puluh ribu.
"Kalau 50 ribu, cerita selama 10 menit. Sanggup?" tantang dokter Ibram, dan lagi-lagi Almira mengangguk. Entahlah, saat ini gadis itu cepat sekali merespon. Mungkin dokter Ibram sudah masuk ke frekuensinya sehingga merasa nyaman dan menuruti perintah dokter muda itu.
Almira hanya mengangguk.
"Jawab, dong. Katanya mau cerita?"
"Iya, sanggup."
"Oke....silahkan cerita," pinta dokter Ibram.
Almira melirik suster Devi sebentar lalu menatap dokter Ibram, ada jeda beberapa detik tampak wajah Almira tegang dan takut, namun dokter Ibram mengibaskan uang 50 ribu tersebut di depan wajah Almira.
"Lima puluh ribu loh, silahkan cerita!"
"Iya.....Aku...."
"Iya....Aku..." Almira diam sebentar.
"Aku capek, aku capek....aku capek menuruti keinginan mama, aku capek, aku ingin tidur!" jelasnya dengan sedikit terbata. Dokter Ibram masih diam, tak memberi respon. Ia hanya menunggu dan seperti sebelumnya dia hanya mendengarkan keluhan pasien.
"Mama selalu menuntut aku menjadi anak hebat. Mama selalu menyuruhku menjadi juara, mama selalu memintaku menjadi contoh adik-adikku. Aku anak sulung harus bisa jadi panutan adikku. Kalau aku gagal, maka mama dan papa gagal mendidik anak. Baik buruknya keluarga tergantung keberhasilanku. Aku capek, Dok. Aku capek belajar, aku capek les, aku capek diatur mama. Aku ingin tidur.....tidur gak bangun pun aku mau," Almira tampak menggebu, air mata sudah turun tanpa dikomando. Suster Devi tampak beberapa kali mengusap air matanya, tak tega dengan kondisi Almira.
Gadis cantik dan muda tapi sedikit senewen hasil dari keegoisan seorang ibu. Dalam hati suster Devi bersumpah tidak akan menjadi ibu seperti dokter Anggraini, meskipun berdalih untuk masa depan Almira.
"Dari kecil, aku sudah didoktrin harus jadi dokter, semua mainanku berbau dokter. Boneka, stetoskop, miniatur suntik, miniatur mikroskop apapun pasti berhubungan dengan kedokteran. Belum lagi soal baju, sejak kecil bajuku paling banyak warna putih, kata mama baju warna putih itu warna kesukaan semua orang, karena yang bisa pakai baju warna putih hanya dokter. Padahal mayat pun pakai kain putih kan, dok?"
Dokter Ibram mengangguk.
"Teman perumahan kalau ke rumahku, selalu disuruh menjadi pasien dan aku disuruh menjadi dokternya. Kalau temanku mengajak lari, mama lalu memberikan suntikan kepadaku, dan temanku....temanku lari dokter karena takut, sejak saat itu aku sudah tidak punya teman lagi."
Almira kembali menundukkan kepala sedih rasanya bila mengingat masa kecilnya, dokter Ibram menghela nafas berat dan menatap suster Devi lalu menggeleng, entah apa maksudnya yang jelas dalam hati suster Devi sempat mengumpat, kayaknya yang gila dokter Anggraini deh.
"Sudah?"
Almira mengangguk, lalu mengadahkan tangannya pada dokter Ibram, "Uangku?"
Dokter Ibram tertawa lalu menyerahkan lembaran lima puluh ribu ke arah Almira. "Dokter aku gak gila, kenapa aku dikasih uang mainan?" tegur Almira yang membuat suster Devi dan dokter Ibram tertawa.
"Uang...memang ajaib, orang sakit pun tahu mana uang asli mana uang mainan," gumam dokter Ibram seraya menggelengkan kepala.
"Aku akan cerita ke dokter banyak lagi, tapi aku dikasih uang asli ya, aku gak mau berhutang kepada mama," lagi-lagi Almira menyangkut pautkan dokter Anggraini dalam ucapannya. Sejak awal menangani kasus Almira ini, dokter Ibram sudah curiga penyebab utama Almira depresi adalah sang mama.
Melihat tingkah beliau yang dominan menjelaskan kepribadian dan kebiasaan Almira, tak memberikan kesempatan apapun pada Pak Muhtar, membuat dokter Ibram mencurigai dokter Anggraini-lah sebagai dalang depresi Almira. Sedikit kecurigaannya mulai terbuka, ia pun memberi isyarat pada suster Devi agar kembali merekam.
"Mama kamu sudah punya uang banyak, Al. Kenapa harus bayar hutang juga ke mama kamu?" tanya dokter Ibram bernada santai, bahkan ia mengambil jeruk dan mengupasnya. Menelisik permasalahan pasien harus mengatur suasananya juga, jangan sampai pasiennya merasa terintimidasi.
"Hutang budi, Pak dokter!" ucap Almira bernada manja. Gemas pada dokter Ibram yang tak tahu maksud Almira.
"Mana ada orang tua yang menganggap hutang budi, gak ada. Orang tua itu ikhlas."
"Adaaaaa, ih....dokter gak percaya sama Al."
Suster Devi terdiam, emosi Almira mendadak manja, dan senyum ceria tampak di wajahnya. Mungkin mulai nyaman bercerita dengan dokter Ibram. "Masa'?"
Almira mengangguk, "Kata mama aku tuh anak pintar yang bisa membanggakan orang tua, jadi dokter, sukses, jadi aku harus belajar yang giat biar mama gak malu."
"Trus?"
"Aku suka belajar, tapi aku gak mau jadi dokter."
"Tapi kamu kuliah dokter kan?"
"Iya, mama yang menyuruh."
"Memangnya Almira mau kuliah di mana?"
"Di sini," ucap Almira girang sembari mencolek hidungnya, lalu turun dari kursi dan tertawa nyaring tak lupa berputar layaknya orang tak waras. Dokter Ibram hanya menatapnya, membiarkan Almira mengekspresikan semua yang ada dalam dirinya. Suster Devi sempat melongo lalu menekan tombol rekam, kaget dengan sikap Almira tiba-tiba.
Beberapa menit kemudian tubuh Almira luruh di lantai, ia menangis meraung-raung, "Aku capek dokter, aku ingin hidup dengan caraku sendiri, aku gak mau dekat sama mama, aku capek dokter, mama jangan ke sini, aku mohooooon," ocehnya pilu. Suster Devi kembali menangis, dokter Ibram memberi isyarat kepada suster Devi untuk menenangkan Almira.
Suster Devi menghentikan rekamannya, lalu mendekat ke Almira, memeluk sambil menepuk punggung gadia itu, "Sabar ya anak cantik, kamu anak hebat, kebanggaaan kami semua,"
Almira mengangguk, tapi ia masih menangis. Suster Devi tetap memeluk gadis itu, mendengar racauannya yang tetap kekeh capek, mengulangnya terus menerus hingga terlontar aku gak mau jadi anak mama.
******
Malam harinya, tante Widya, adik dari Pak Muhtar datang menemani Almira. Sebelum masuk ke kamar perawatan ponakannya, ia mampir ke ruang dokter Ibram, karena mendapat mandat dari sang kakak menanyakan perkembangan Almira, meskipun suster Devi tadi sore sudah memberikan laporan kepada Pak Muhtar dan dokter Anggraini.
"Lalu?" tanya tante Widya setelah mendapat penjelasan dokter Ibram.
"Saya sudah memberikan laporan kepada Pak Muhtar untuk bertemu, duduk bersama dengan dokter Anggraini membahas masalah ini, kebetulan bulan ini belum ada pembahasan bersama."
"Memang Al itu dibentuk kakak ipar saya sejak kecil, ruangnya bergerak sangat terbatas, wajar dia merasa seperti itu. Saya juga heran, kenapa Mbak Anggi bisa seotoriter pada Al saja, tidak pada kedua anaknya."
Dokter Ibram tersenyum tipis, komentar nyonya Widya bukan kapasitasnya untuk ditanggapi, karena pembahasan paling penting hanya kesehatan mental Almira.
"Saya harap, jika pertemuan itu ada kakak saya bisa mengubah pola pikir mbak Anggi, sudah cukup mengekang Al."
"Semoga saja, nyonya."
"Terimakasih dokter, saya ke kamar keponakan saya dulu."
Dokter Ibram pun mengangguk. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kerjanya, memijat keningnya, mendadak pusing juga menangani kasus Almira. Sebenarnya kasusnya sederhana kalau keluarganya kooperatif membuka detail keseharian Almira, terutama dokter Anggraini, karena selama ini ada sesuatu yang disembunyikan dokter kecantikan itu.
Meski hanya sebatas pasien dan dokter, ia geram juga melihat sikap dokter Anggraini yang seperti psikopat untuk anak kandungnya. Dia seorang dokter, masalah kejiwaan tentu sedikit paham, tapi begitu kolot dalam mendidik Almira. Sungguh kasihan mendidik anaknya dengan obsesi tinggi.
Selamat malam Pak Muhtar, selepas jam 2 siang insyaAllah kita berdiskusi.
Akhirnya dokter tampan itu membalas pesan ayah Almira yang menginginkan janji temu dengan dirinya, dengan terpaksa ia harus mengcancel kencannya bersama Asna, tunangannya.
Maaf besok aku gak bisa jemput kamu di kampus. Begitu pesan Ibram pada Asna.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!