Seorang pemuda berusia 17 tahun turun dari tangga, menghampiri kedua orang tuanya yang sudah siap menyantap makanan. Radit, adik Almira itu, muka bantalnya masih kentara, namun yang membuat orang tuanya semakin melongo anak lelakinya masih menggunakan kaos tipis dan celana pendek padahal jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih, "Gak sekolah?" tanya Pak Muhtar melirik sekilas lalu fokus kembali pada laporan di emailnya.
"Capek, Pa!" jawab Radit singkat seolah memberikan pancingan akan respon pada kedua orang tuanya. Selama ini ia tak terlalu dikekang, tidak seperti sang kakak yang memang dituntut to be the best, namun tak serta merta membuat Radit lalai akan tugasnya sebaik anak sekolah. Ia termasuk siswa rajin, jarang terlambat dan laporan mingguan dari wali kelasnya juga baik. Tapi pagi ini, ada apa dengannya?
"Kamu sakit?" tanya sang mama sembari menyodorkan secangkir kopi pada Pak Muhtar.
"Enggak, cuma aku lagi capek aja!" jawabnya sekalem mungkin, ia malah menyendokkan nasi goreng, mengambil nugget tanpa mempedulikan raut penasaran sang mama.
"Aku juga gak masuk deh, Ma. Aku capek sekolah juga!" sahut Bima, sang adik yang duduk di kelas 8 dan sudah siap berangkat sekolah.
"Kamu gak usah ikut-ikutan Kak Radit bolos, gak baik. Sekolah itu buat masa depan kamu cerah," nasehat sang mama lembut.
"Bohong kali, Bim. Buktinya Mbak Al masuk rumah sakit jiwa," sahut Radit sambil mengunyah nasi gorengnya. Sontak sang papa meletakkan cangkirnya agak kasar. Mata beliau menatap Radit tajam, tak suka dengan ucapan sang putra. Apalagi ini masih pagi, mood semangat baru saja terbangun.
"Jaga omongan kamu!" titah Pak Muhtar menahan emosi, bahkan lengan beliau sudah ditahan mama mengisyaratkan untuk tidak diperpanjang.
"Radit benar kan? Mbak Almira jadi siswi kurang apa coba. Dari kecil peringkat 1, lomba berbagai bidang juga selalu juara, masuk kedokteran lagi tapi otw gila." Cerocos pemuda yang masih duduK di kelas akhir SMA ini tanpa beban.
Tanpa diduga, Pak Muhtar langsung menampar Radit, bahkan kunyahan nasi goreng di dalam mulutnya keluar begitu saja. Bagaimana pun kondisi Almira seperti itu tak ada yang boleh menyebutnya gila.
"Papa!" teriak mama dengan menahan tangan sang suami.
"Jaga ucapan kamu Radit, sebagai adik kamu tidak patut bicara seperti itu!" sentak Pak Muhtar masih emosi.
Radit hanya tersenyum sinis, sembari memegang ujung bibirnya yang terasa nyeri, "Kalau mama mengekang Mbak Al, kalau papa mengekang aku. Mau dua anak papa jadi gila."
"Kamu," emosi Pak Muhtar semakin naik. Mata beliau melotot pada anak lelakinya. Bima gemetar dan langsung diungsikan mama ke Pak Wiryo, supir keluarga untuk mengantarnya sekolah. Situasi penuh amarah tidak baik dilihat Bima.
"Papa, sudah, Pa. Kamu Radit kalau gak mau sekolah ya sudah gak usah ngomong yang aneh-aneh."
"Radit bicara fakta, Ma. Mama dan Papa terlalu takut membicarakan kondisi Mbak Al. Di saat Mbak Al sakit, apa pernah mama dan papa menungguinya seharian full?"
Kedua orang tua itu terdiam, satu kesalahan keduanya diungkap oleh anaknya sendiri. Ingin mengelak dengan dalih kerja pun percuma.
"Pa...Ma, dokter Ibram berkali-kali menjelaskan terapi Mbak Al akan berhasil bila ada kerjasama semua pihak. Perhatian mama dan papa-lah yang sangat dibutuhkan dia, sadar gak kalian?"
Nafas Radit pun memburu tertahan, kesempatan ini memang ia cari. Sudah seharusnya ia ikut terlibat akan kesembuhan sang kakak.
"Mama dan Papa dengarkan Radit. Silahkan duduk, sudah saatnya papa dan mama tahu keadaan Mbak Al yang sebenarnya."
Sebagai adik yang hanya terpaut dua tahun, dan bersekolah di tempat yang sama sejak playgroup tentu Radit juga mengawasi keseharian sang kakak. Dia dekat, hampir setiap hari dia dan Almira ngobrol meski berujung perdebatan kecil.
"Mbak Al itu sakit sejak SMA, Ma!"
Sontak netra mama dan papa melebar, tak percaya dengan kenyataan pagi ini. "Radit tidak paham saat itu, karena menganggap Mbak Al sedang banyak tugas. Dia sering melamun dan menangis, Radit sering memergokinya tapi setiap Radit tanya dia bilang gak pa-pa, hanya lagi gak bisa mengerjakan tugas saja. Satu kecurigaan di kepala Radit. Meski Radit lebih muda tapi kepekaan Radit tinggi dibanding pekanya mama papa!"
Jleb
"Mama...," Radit memusatkan perhatian pada sang mama, dan beliau pun menatap balik putranya. "Sadarlah kalau Mbak Almira sakit karena keegoisan mama."
"Kamu jangan ngawur!" netra mama mendadak redup, melirik sekilas pada sang suami lalu memukul lengan Radit, tak terima dituduh seperti itu.
"Lanjutkan!" titah sang papa yang sejak tadi menyimak. Beliau ingin tahu keadaan keliarganya selama ini seperti apa. Apa senyum dan bahagianya anak-anak mereka hanya topeng sementara.
"Mama tuh egois, mama selalu mendoktrin Mbak Al untuk menjadi yang terbaik. Sejak kecil hanya Mbak Al yang didaftarkan les, baik pelajaran, renang, piano juga, tapi Radit tidak. Mama selalu membiarkan Radit bermain bola sesuka Radit hingga menjelang maghrib. Saat kecil dulu, Radit iri dibedakan seperti itu, tapi lama kelamaan Radit bersyukur hidup Radit bebas tidak terkukung seperti Mbak Al."
"Mana ada mama kaya' gitu!" elak beliau, karena menurut mama Anggraini, beliau memperlakukan ketiga anaknya dengan pola asuhan yang sama. Memang, beliau lebih melonggarkan dalam hal bermain untuk kedua anak laki-lakinya, tapi soal les pelajaran ketiganya dapat juga, meski tidak sebanyak Almira.
Misal, Almira les semua mata pelajaran, tapi Radit hanya beberapa mata pelajaran yang dianggap sulit. Almira dicetak sebagai perempuan serba bisa untuk menambah nilai plusnya, renang dan piano dipelajari juga. Tapi Radit ia dibiarkan bermain bola dengan teman sebayanya.
"Tapi itu kenyataannya kan?" Radit memperjelas tanpa mau dielak.
"Ya kamu dan Almira kan beda, laki-laki dan perempuan. Kamu anak kedua sedangkan Almira anak pertama, dari segi tanggung jawab saja sudah berbeda. Anak pertama itu diciptakan sebagai anak yang paling kuat, karena akan dibuat kelinci percobaan oleh orang tuanya."
Tega, satu kata yang terlontar dalam hati Radit pada sikap sang mama yang menganggap Almira sebagai kelinci percobaan. Ini mamanya dokter kan? kok bisa pemikiran seorang ibu sekaligus dokter serendah itu, kelinci percobaan. Gila saja, ya kalau didikannya berhasil dan anaknya menjadi orang yang hebat kalau tidak, sakit jiwa pastinya, bukti mendekati nyata Almira sendiri.
"Mama gila!" sahut Pak Muhtar sembari menggelengkan kepala, beliau juga tak terima Almira dikatakan sebagai kelinci percobaan. "Mama ini dokter loh, kok punya pemikiran sepicik itu dengan anak kandungmu sendiri, darah dagingmu, Ma. Kalau kamu lupa Almira itu anak kamu."
"Pa...Dit, kalian gak tahu dibalik sikap mama terhadap Almira itu apa." Masih tak mau
disalahkan, seorang Anggraini tidak akan mau dikalahkan oleh siapapun, apa yang ia inginkan harus sesuai dengan keinginannya.
"Apa?" tanya Radit dan papa bebarengan.
"Gadis priyayi!"
"Aku ingin menjadikan Almira sebagai gadis priyayi," ucap mama dengan senyuman penuh maksud.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Pelangi
greget bgt 😤
2022-05-25
1