UANG MAINAN

Dokter Ibram sengaja meluangkan waktunya selepas tugas di penghujung sore, kesempatan untuk 'mengobati' Almira mulai menemukan titik awal tak boleh ia lewatkan begitu saja. Ada tanggung jawab sebagai dokter sekaligus ingin membuktikan kemampuannya yang sempat diremehkan pihak keluarga pasien, meskipun begitu ia tak berharap banyak, karena beberapa kali dokter Ibram melakukan terapi tetap saja Almira tak memberikan respon yang signifikan.

"Kamu yakin dokter Anggraini tidak datang malam ini?" tanya dokter Ibram sembari melipat lengan kemejanya. Sore ini, sengaja ia berpenampilan menarik untuk Almira. Mandi dan mengganti kemejanya, tak lupa pomade untuk rambutnya. Sengaja, agar Almira tertarik dengannya hingga mampu membeberkan apa yang menjadi beban batinnya selama ini.

"Dokter ganteng banget, kaya' mau ngapel," canda Suster Rina. Memang sudah biasa melihat gantengnya dokter Ibram, tapi malam ini aura gantengnya bertambah.

"Bisa aja, Sus!"

Keduanya berjalan menuju kamar inap Almira dengan membahas perkembangan Almira hingga petang ini. "Pastikan dokter Anggraini tidak datang!" ulang dokter Ibram.

"Iya sudah saya pastikan, karena katanya nanti malam yang menemani nona Almira, tuan Radit."

"Baik."

Dokter Ibram pun menuju kamar Almira, mengetuk pintu lalu mengucap salam, seperti biasa tak ada tanggapan. Suster Rina memeriksa kondisi Almira sebentar lalu pamit keluar.

"Segini cukup?" tanya Almira yang duduk di ranjang setelah beberapa menit hanya diam tanpa menyapa dokter Ibram, ia menyerahkan selembar kertas pada dokter Ibram. Dokter ganteng itu masih berdiri di samping bankar sang pasien hanya bisa mengerutkan dahi dan sesekali melihat kertas lalu wajah Almira, bingung. Masih belum paham maksud di balik ucapan Almira.

"Apa ini?" tanya dokter Ibram menerima kertas tadi.

"Tagihan rumah sakit, dok!" jawab Almira lirih.

Dokter Ibram hanya menatap kertas yang bertuliskan deretan angka mulai angka satu, lima, dan jejeran nol. Ia yakin deretan angka ini yang ditulis Al tadi pagi.

Dokter Ibram kemudian duduk di samping bankar, siap berbicara dengan Almira. Ia pun melepas jas dokternya, sengaja, agar Almira merasa nyaman bicara dengannya tanpa embel-embel dokter dan pasien, pikirnya.

"Kamu punya uang?" pancing dokter Ibram sembari tersenyum ramah, tak lupa suaranya sedikit keras karena sebelum masuk kamar inap Almira tadi, Ibram mengaktifkan sambungan telpon dengan Pak Muhtar.

Almira menggeleng, menundukkan kepala, wajahnya berubah sendu.

"Jumlahnya ini berapa sih?" tanya dokter Ibram pada Almira, ia harus memutar otak dengan cepat agar suasana hati Almira tidak kembali sedih.

"1 juta lima ribu, lima ratus juta" jawab Almira lirih.

Dokter Ibram tersenyum, lalu melipat kertas itu dan menyerahkan pada Almira, "Banyak?"

Almira mengangguk, "Punya uang buat bayar 1 juta 5 ribu, dua ratus juta ini?" tanya dokter Ibram dengan senyum manisnya.

"Aku gak punya uang," jawab Almira sambil menatap dokter Ibram takut. Ia kembali menekuk lutut dan memeluknya. Kondisi ini tak bisa dibiarkan, Almira sudah merasa ketakutan karena ketidak punyaannya.

"Al, dengerin pak dokter ya, Almira mau bayar tagihan rumah sakit ini kan?"

Gadis itu mendongak, genangan air mata sudah penuh di pelupuk matanya. Berkedip sekali saja air matanya akan turun.

"Mau."

"Bagus, pak dokter akan kasih uang Almira untuk bayar tagihan rumah sakit ini asal...."

"Asal apa?" tanya Almira tak sabar, sungguh respon yang sangat cepat. Perkembangan yang sangat bagus untuk hari ini.

"Sekarang kamu tidur, istirahat, besok dokter akan kasih tahu, mau?"

Almira terdiam, kecewa mungkin karena pertanyaannya digantung. Namun, tak lama ia pun mengangguk. Dokter Ibram pun pamit, besok jam 8 janji akan datang lagi.

Keluar dari kamar inap Almira, suster Rina sudah siap menerima tugas dari dokter Ibram.

"Siapkan, uang mainan besok pagi jam 7. Letakkan di meja kerja saya. Kamu bisa pulang setelah memastikan pihak keluarga Almira datang menemaninya."

Suster Rina mengangguk tanpa mengajukan pertanyaan untuk apa uang mainan itu. Seperti biasa, suster Rina akan duduk di sofa kamar inap Almira sebelum salah satu keluarga pasien datang. Kehidupan keluarga yang workholic membuat Almira lebih banyak sendiri dan akan ditemani saat malam saja, selebihnya suster Rina atau suster Devi yang menemani dan merawatnya.

Sampai detik ini, keluarga Almira terutama sang ibu, dokter Anggraini tak tahu pasti apa penyebab Almira bisa merasakan depresi seperti ini. Menurut pengakuan beliau, Almira anak yang rajin, selalu unggul dalam segala hal terutama pada pelajaran. Mahasiswa kedokteran jas kuning ini bisa dikatakan gadis idaman, cantik, pintar dan berasal dari keluarga kaya.

Berkali-kali dokter Ibram mengorek sikap orang tua, adik dan teman Almira, namun mereka hanya melihat Almira sebagai sosok gadis ceria penuh prestasi, tak menyangka akan memderita gangguan psikis seperti ini.

Semoga lekas sembuh, kamu gadis istimewa. Batin Suster Rina ketika keluar dari ruang perawatan Almira, sang adik yang terpaut dua tahun dengan Almira sudah datang.

Keesokan harinya, dokter Ibram sudah siap melakukan terapi pada Almira, membawa dua kotak uang mainan yang sudah suster Rina siapkan.

"Pagi," sapa dokter Ibram dengan senyum manisnya.

Almira menoleh dan hanya tersenyum menanggapinya. Gadis itu sudah tampak cantik karena baru saja ART keluarganya datang dan memandikan Almira. Kini dia sendiri lagi, adik dan ARTnya sudah pulang. Giliran dokter Ibram dan suster Devi yang menemaninya. "Sehat kan?" tanya dokter Ibram basi-basi.

"Sehat, dok. Duduk dokter!"

Dokter Ibram dan suster Devi sedikit kaget karena sikap Almira begitu ramah pagi ini. Tampaj seperti orang sehat, hanya saja cekungan mata pucatnya yang menunjukkan dia sedang tidak baik.

"Asal apa?" tanya Almira, mengulang pertanyaan tadi malam yang digantung dokter Ibram.

"Cek kondisi kamu dulu, ya. Suster Devi silahkan diperiksa tensi nona Almira."

"Baik, Dok!"

Suster Devi sudah memeriksa dan mencatat kondisi fisik Almira, kini ia hanya menemani dokter Ibram yang akan memulai sesi terapi.

"Cerita!" tutur dokter Ibram singkat.

"Cerita apa?" tanya Almira balik. Gadis itu sedang asyik menikmati pemandangan pagi hari.

"Everything!"

Almira mengangguk, menyampirkan selimut tipis untuk menutupi kakinya yang ia tekuk. Kini dagunya di letakkan di atas lutut dan mulai mejamkan mata sebentar lalu menghela nafas berat.

"Nanti kalau kamu mau cerita ke saya, kamu saya kasih uang!" goda dokter Ibram sembari mengipasi lembaran uang mainan di depan wajah Almira.

Gadis itu tersenyum tipis lalu menatap wajah dokter Ibram, suster Devi tak lupa mendokumentasinya. Sangat terharu dengan suasana pagi ini, dokter Ibram begitu ramah dan tatapan Almira seolah menyiratkan kepedihan.

"Mau?"

Almira mengangguk.

Dokter Ibram mulai menata lembaran kertas uang mainan itu seperti bermain kartu sembari menjelaskan nominalnya. Suster Devi yang melihatnya sekuat mungkin menahan tawa, karena dokter gantengnya sudah seperti sales yang menjajakan barang dagangannya.

"Mau uang yang mana?" tanya dokter Ibram setelah menata lembaran uang mainan itu.

Almira menarik uang lima puluh ribu.

"Kalau 50 ribu, cerita selama 10 menit. Sanggup?" tantang dokter Ibram, dan lagi-lagi Almira mengangguk. Entahlah, saat ini gadis itu cepat sekali merespon. Mungkin dokter Ibram sudah masuk ke frekuensinya sehingga merasa nyaman dan menuruti perintah dokter muda itu.

Almira hanya mengangguk.

"Jawab, dong. Katanya mau cerita?"

"Iya, sanggup."

"Oke....silahkan cerita," pinta dokter Ibram.

Almira melirik suster Devi sebentar lalu menatap dokter Ibram, ada jeda beberapa detik tampak wajah Almira tegang dan takut, namun dokter Ibram mengibaskan uang 50 ribu tersebut di depan wajah Almira.

"Lima puluh ribu loh, silahkan cerita!"

"Iya.....Aku...."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!