Istri Kontrak Investor Kaya

Istri Kontrak Investor Kaya

Surat Wasiat Kakek

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Gian, orang yang sangat disayangi dan dihormati olehnya meninggal dunia. Setelah kematian neneknya 2 tahun lalu yang masih sulit untuk dia lupakan, kakeknya menyusul kemudian.

Rumah duka penuh oleh banyak orang, kakeknya memang seorang pengusaha sukses. Dia pemilik Gavels Group, salah satu perusahaan modal ventura terbesar di Indonesia yang banyak membantu permodalan perusahaan rintisan (start up) dan UKM (Usaha Kecil Menengah). Kolega-koleganya menangis, kenalan, teman akrab, supir, pedagang di pasar langganan, dan orang-orang yang bahkan belum pernah Gian lihat, berkabung.

Hanya Gian diam tanpa suara, bahkan tanpa tangis sejak 5 jam lalu dokter mengatakan di Rumah Sakit kakeknya telah berpulang. Sulit baginya memproses kehilangan yang tak pernah dia siapkan. Memang tidak pernah ada yang siap menghadapi kematian siapapun anggota keluarga kita. Gian menerima banyak ucapan bela sungkawa dari banyak orang, memeluknya, berbicara padanya sambil menangis dan menguatkannya.

Selain Gian yang berduka, kedua anak pengusaha sukses itu pun tak kalah merana ditinggal sang ayah. Yuniar dan Yudhita, dua putri dari Gumelar yang masih hidup bahkan menangis histeris dan pingsan. Berikut menantu dan cucu-cucunya yang lain tersedu sambil merapal doa.

Suasana riuh malam itu terasa kosong. Dalam hati Gian ada ruang besar yang kini isinya kosong. Gumelar Airlangga bukan hanya sosok kakek bagi Gian, tapi juga orang tua. Saat umur 7 tahun, kedua orang tua Gian meninggal dalam kecelakaan pesawat yang terbang dari Indonesia menuju Singapura. Pesawat tersebut hancur di daerah Palembang. Kecelakaan tersebut menjadi headline di setiap koran dan televisi.

Hari disaat dia tahu bahwa ayah dan ibunya tak akan bisa kembali merupakan hari paling gelap yang pernah Gian rasakan. Namun kakeknya memastikan bahwa dia tak sendiri, ada dirinya yang akan menggantikan kedua orang tuanya. Benar adanya, Gumelar tak hanya membesarkan Gian, dia memberi banyak kekuatan dan mengobati kehilangan besar yang dialami bocah kecil itu. Sejak saat itu, Gian tahu bahwa kakeknya adalah seluruh hidupnya. Dia melakukan banyak hal yang akan membuat kakeknya bangga. Mati-matian dia belajar di sekolah, mengikuti banyak lomba, mengikuti latihan bela diri, hingga menyukai hal yang kakeknya sukai, termasuk belajar menjadi pemimpin perusahaan permodalan yang kakeknya geluti.

Kakeknya mengatakan, dia sudah kaya. Dia diberkahi kekayaan dari leluhurnya. Hal yang dia lakukan untuk melanggengkan kekayaannya adalah dengan memutar modal dengan membantu orang lain. Maka dari itu dia menjadi investor bagi banyak usaha rintisan. Membantu mereka tumbuh dan berkembang, maka keuntungan baginya akan tumbuh pula bersama perkembangan perusahaan yang dia bantu. Meskipun tak ayal perusahaan tersebut ciut, tak berkembang sesuai harapan. Namun, begitulah usaha. Kakeknya selalu membersamai orang yang ingin berusaha.

Kakeknya memang dermawan, oleh karena itu banyak orang yang dekat dan mendekatinya untuk meminta bantuan. Gian selalu terinspirasi oleh sikap dermawan tersebut. Meski demikian setelah Gian memasuki perusahaan dan menggantikan kakeknya memimpin Gavels Group, banyak keputusan bisnis dan investasinya yang Gian pertanyakan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gian mengakui ada hal yang keliru dari cara berbisnis kakeknya.

Lambat laun timbul keinginan untuk membuat Gavels Group lebih maju. Bukan seperti yang selama ini kakeknya jalankan secara sembrono, tetapi lebih tertata dan metodik, dengan mempertimbangkan keuntungan bisnis. Lagipula perusahaan itu bukanlah pemodal dan badan amal. Dia tidak bisa membiarkan perasaan dan sentimen tak berdasar mempengaruhi keputusan bisnis dan investasi yang besar.

Gian terus bekerja keras selama menggantikan posisi kakeknya membawa perusahaan mendapatkan keuntungan besar. Dia berhasil menjadi angel investor bagi start up teknologi ternama dan paling besar di Indonesia. Dalam waktu singkat, reputasi Gavels Group sebagai perusahaan modal ventura semakin naik. Banyak start up yang berebut di danai oleh perusahaan tersebut.

Kakeknya mengakui keberhasilan tersebut namun dia merasakan makin lama, Gian tumbuh menjadi pria pekerja keras yang sangat terobsesi dengan kekayaan. Dia tidak pernah memikirkan hal lain selain pekerjaan dan perusahaan. Dia tidak ingin cucunya menjadi orang yang tamak, dingin, dan tanpa empati nantinya. Gian harus melepaskan obsesinya terhadap perusahaan dan menjalani kehidupan seperti orang biasa. Kakeknya berkali-kali menyarankan pada Gian untuk memperhatikan kehidupannya sendiri. Selama memegang posisinya sekarang dia terlalu sibuk tanpa peduli bahwa dia telah menjadi lelaki dewasa dan membutuhkan pendamping. Gian berkilah, dia tidak ingin fokus kerjanya terganggu saat ini dan dia juga tidak tertarik untuk menikah. Dia hanya akan fokus untuk membesarkan nama perusahaan.

...***...

Hujan turun cukup lebat sore ini, tepat disaat Gian sampai di depan kantor pengacara kepercayaan kakeknya. Dihari senin yang sibuk dia terpaksa harus mendatangi pertemuan bersama seluruh anggota keluarganya di kantor pengacara untuk membacakan surat wasiat dari kakeknya yang meninggal satu bulan yang lalu. Agenda tersebut sebenarnya dijadwalkan sejak 2 minggu yang lalu, namun beberapa anggota keluarga memiliki kesibukan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Waktu ini yang paling tepat.

Gian mencari payung di laci dashboard mobilnya, namun dia tidak menemukan apapun disana. Dia berdecak kesal kemudian turun menembus hujan yang makin lebat menuju lobby kantor pengacara. Dia melepaskan jas merek izzue-nya untuk dipayungkan ke kepala. Namun sayangnya hujan lebat membuat jasnya basah tak bersisa. Saat sampai di lobby dia mengibaskan jasnya yang basah tersebut dengan kesal.

“Milyuner kok ga punya payung sampai kehujanan gitu sih. Ckck.” Ujar Arsila di lobby kantor.

Arsila adalah sepupu Gian, diantara semua sepupunya dialah yang paling dekat dengan Gian. Mereka tumbuh bersama sedari kecil di rumah kakek dan neneknya. Perempuan berusia 32 tahun tersebut tengah berdiri di lobby menunggunya. Dia mengenakan knitted dress dan sling bag yang tersampir di bahu kirinya, tampak kasual. Arsila memiliki perawakan kecil dan ramping, jika dilihat sekilas orang tak akan menyangka dia telah berumur 30an. Wajahnya pun masih terlihat seperti remaja dengan make up natural dan rambut wavy sebahu yang membingkai wajah cantiknya. Arsila bekerja menjadi salah satu brand executive di perusahaan kosmetik milik Yuniar, tante mereka.

“Milyuner ga ada waktu buat beli payung.” Jawab Gian sekenanya. Arsila tergelak.

“Udah siap denger surat wasiat kakek?” Tanya Arsila. Mereka berdua berjalan menuju lift dan menuju ruangan Pak Narta, pengacara kakeknya yang berada di lantai 3.

“Apa yang harus disiapkan sih? Sudah jelas kakek pasti milih aku buat jadi penerus Gavels.”

“Pede banget, pak. Denger ya, yang punya hak dan keinginan bukan kamu doang.”

“Siapa coba yang punya kapabilitas memimpin perusahaan selain aku? Kamu? Atau Lina, Maya, Elsa, Intan?” Kata Gian mengabsen semua nama sepupunya. “Atau Om Bayu? Om Rahmat? Tante Yuniar dan Tante Yudhita?” Lanjutnya lagi.

“Secara kualitas emang ga ada yang bisa mendekati kemampuan kakek dalam memimpin perusahaan selain kamu, tapi secara kepentingan orang-orang itu ga bisa diabaikan, iya kan?”

“Jadi kakek bakal secara serampangan ngasih kendali perusahaan sama orang yang ga kompeten?”

“Kamu bener-bener ngerasa diatas angin ya, Gi. Om Bayu pemain lama loh di Gavels, lebih lama dari kamu. Bahkan dia udah ngincer posisi itu dari dulu. Sebaiknya kamu bersiap aja.” Pungkas Arsila. Dia mendahului Gian memasuki Ruangan pertemuan.

What? Gerutu Gian dalam hati.

Gian menyusul langkah Arsila ke ruangan pertemuan. Ruangan pribadi milik pengacara terkenal Narta Hutabarat cukup luas, meja kerjanya berbentuk setengah oval langsung menyambut ketika masuk. Disebelah kanan ada sofa bergaya lama berpelitur kayu yang nilainya mungkin bisa puluhan juta. Seluruh anggota keluarganya sudah duduk dengan rapi di sofa tersebut sambil berbincang santai. Disebelah kiri ruangan terdapat rak-rak kayu tinggi berisi banyak dokumen dan meja kayu berisi mesin pembuat kopi dan teh, serta cangkir-cangkir antik. Narta Hutabarat, memang pengacara yang memiliki taste unik dan kekayaan hingga bisa menghias ruangan kerjanya sedemikian rupa.

Gian menyapa om, tante, dan sepupunya yang telah berada disana. Kemudian duduk diantara mereka. Sebenarnya tak ada yang aneh dikeluarganya, mereka semua cukup rukun dan harmonis. Meskipun setelah dia dewasa intensitas komunikasi dengan anggota keluarganya semakin berkurang. Apalagi setelah kepergian neneknya 2 tahun lalu, dan kakeknya yang jatuh sakit sesudahnya. Tak ada lagi alasan berkumpul bercengkrama meskipun disaat hari raya. Semuanya sibuk dengan keluarganya. Gian yang sudah tidak memiliki orang tua hanya tinggal sendiri menghabiskan waktu di apartemennya.

Narta Hutabarat, pengacara berumur 58 tahun tengah duduk di kursi sambil menyesap tehnya. Pakaiannya rapi, jelas dari jenis kainnya merupakan setelan jas mahal. Rambut berubannya disisir rapi ke belakang. Sosoknya yang tak lagi muda itu masih tampak gagah dan berwibawa.

“Semua sudah kumpul, kan?” katanya membuka pertemuan. Beberapa orang bergumam mengiyakan.

“Saya diberi amanat oleh Pak Gumelar untuk membacakan surat wasiat dan pembagian warisan sesuai dengan keinginan beliau. Oke kita mulai saja ya.”

Kepada anak-anak dan cucu-cucuku yang bapa sayangi, semoga dengan surat wasiat ini bisa menjadi penghibur lara hati ketika bapa tiada. Bapa dan ibu selalu mengharapkan kalian dapat hidup bahagia dan saling menjaga sepeninggal kami. Jangan sampai kalian saling terpisah atau terpecah oleh sebab apapun juga.

Kepada Yuniar, anak pertamaku. Semoga kamu selalu sehat. Periksakan kesehatanmu setiap bulan. Bapa akan sedih jika tahu kalau kanker-mu nanti kambuh lagi. Untuk mendukung semua usahamu, suamimu dan anak-anakmu, Maya dan Intan, bapa alan memberikan 15% aset untuk kalian. Kelola dengan baik dan pergunakanlah dengan bijaksana.

Kepada anak ketigaku, Yudhita. Semoga kamu selalu bahagia. Pergunakanlah waktumu untuk diri sendiri jangan terlalu keras bekerja dan berderma. Kebaikanmu kepada sesama harus kamu tujukan kepada dirimu juga. Kepada Rahmat menantuku, tolong jaga putri bungsuku yang terlalu sibuk untuk orang lain itu. Kepada kalian, bapa titipkan 15% aset untuk membantu segala usaha dan kehidupan kalian. Pergunakanlah secara bijaksana.

Kepada menantuku, Esty. Semoga kamu diberikan kebahagiaan dan ketabahan. Jangan lupa untuk menggunakan waktumu untuk dirimu sendiri. Daripada menangisi kehilangan, kamu masih punya kesempatan untuk memulai hidup baru. Bapa titipkan 10% aset untukmu dan Asila, untuk kebahagiaan dan usaha kalian. Pergunakanlah dengan bijaksana.

Kepada cucuku, Gian. Semoga kamu selalu diberikan cinta dari semua orang. Dengan kepergian kakek, kamu pasti merasa sendiri. Maka dari itu temukanlah seseorang yang bisa menemanimu. Semua kualitas dan ambisimu dalam bekerja akan sia-sia nilainya jika kamu tidak memiliki teman untuk berbagi. Kakek menitipkan 70% aset dan kepemilikan Gavels untukmu, dengan syarat kamu harus memiliki pasangan dan menikah terlebih dahulu. Jika kamu menolak menikah dan ingin hidup sendiri seperti prinsipmu selama ini, keputusan tersebut akan batal.

“Demikian surat wasiat yang Pak Gumelar tuliskan. Daya akan membantu proses pemindahan aset kepada orang-orang yang namanya tertulis di surat wasiat.” Jelas Narta.

“Tunggu!” Potong Gian. “Maksudnya apa dengan syarat pernikahan?”

“Seperti yang Pak Gumelar sampaikan, kamu harus menikah terlebih dahulu untuk mendapatkan aset dan menjadi pemimpin Gavels. Beliau memberikan syarat tersebut padamu.” Jawab Narta.

“Terus kalau Gian ga mau nikah gimana dengan aset dan kepemilikan Gavels?” Tanya Intan penasaran.

“Gian tidak akan mendapatkan aset apapun dari keluarga Airlangga, dan mengenai kepemilikan Gavels akan dibagikan secara merata kepada seluruh anggota keluarga secara merata. Pun mengenai kepemimpinan Gavels, saar ini Gian hanya menempati sementara posisi tersebut.

Maka dari itu untuk kedepannya bukan haknya lagi untuk memimpin perusahaan tersebut. Keputusan terkait siapa yang akan jadi pemimpin Gavels akan ditentukan dan dipilih dirapat direksi.”

“Ini ga adil.” Ungkap Gian tidak percaya. Kakek yang disayanginya dan dia percaya akan mengabulkan semua impiannya ternyata mengkhianatinya. Padahal dia tahu, siapa yang paling menginginkan untuk berada diposisi tersebut. Mungkin iya, selama ini dia memang tidak pernah peduli hal lain selain bekerja dan Gavels. Bahkan tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikah dan berkeluarga. Ketika kakeknya bertanya suatu waktu mengenai hal tersebut, Gian hanya menjawab sekenanya. Bahwa menikah dan berkeluarga bukanlah prioritasnya, bahkan mungkin tidak akan pernah dia lakukan. Tak disangka kakeknya begitu khawatir hingga mengatur hidupnya dalam surat wasiatnya.

Satu jam setelahnya Gian mendebat semua anggota keluarganya mengenai keputusan tidak adil dari surat wasiat kakeknya. Mereka berdalih keputusan tersebut sudah sangat adil bagi semua. Tidak ada keuntungan besar tanpa syarat yang mudah. Mereka pun tak mempermasalahkan keputusan kakek untuk mewariskan Gavels dan lebih dari setengah aset keluarga jika benar Gian bersedia menikah. Tak ada yang bisa mereka lakukan atas keputusan pemimpin keluarga Airlangga tersebut.

Gian yang paling terakhir pulang. Berulang kali Gian meyakinkan Narta Hutabarat mengenai posisi vitalnya di Gavels dan bagaimana dia membuat perusahaan itu semakin berkembang. Tidak adil baginya jika dia harus mencopot posisinya karena dia menolak untuk menikah. Serta memprotes mengenai fakta dia tidak akan mendapatkan sepeserpun aset keluarganya. Kakeknya benar-benar akan membiarkannya hidup seperti gelandangan.

“Gian, saya tidak bisa berbuat apapun atas keputusan Pak Gumelar. Beliau menulis surat wasiat ini dengan sadar dan tahu akan resikonya. Sebaiknya kamu menerimanya, akan lebih baik jika kamu cepat mendapatkan pasangan dalam waktu 6 bulan kedepan. Sebelum anggota direksi ribut mengenai posisi pimpinan Gavels.” Tukas Narta.

“Ini benar-benar ga masuk akal.” Ucap Gian seraya pergi dari ruang pertemuan.

Gian pulang menembus jalanan hujan yang semakin malam semakin lebat menuju apartemennya. Sepanjang perjalanan dia merenung dengan perasaan bercampur aduk, marah, kecewa, terhina, dan terbebani.

Terpopuler

Comments

RR.Novia

RR.Novia

Thor ngga ada lanjut nulis lg ya, yg sewindu jg masih gantung. Aku sampe reread lg karya” mu

2024-11-19

0

Darmiati Thamrin

Darmiati Thamrin

langsung tekan tanda love... br selesai baca arvin dan masa terus cus kesini

2023-07-24

0

fLo

fLo

marathon banget kelar Arvin, Arki sekarang Gian.....

2023-02-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!