Gumelar Budi Airlangga adalah pemilik perusahaan permodalan terbesar di Indonesia bernama Gavels. Asetnya tersebar dibanyak perusahaan rintisan (start up) dan juga bisnis UKM. Sudah lebih dari 35 tahun perusahaan tersebut berdiri dan menyokong banyak bisnis rintisan hingga menjadi brand dan perusahaan ternama di Indonesia.
Sukses sebagai pemilik perusahaan modal terbesar rupanya tidak menurun kepada anak-anaknya. Gumelar memiliki 4 anak dari pernikahannya dengan Lestari Widiastuti. Anak pertamanya, Yuniar Raihan Airlangga, tidak tertarik menjadi investor atau bekerja diperusahaan permodalan. Dia lebih memilih mendirikan brand kosmetik yang kemudian dimodali Gavels dan menjadi salah satu anak perusahaannya. Suaminya Bayu Adiwinata berkebalikan dari istrinya, dia merupakan salah satu investor piawai yang lama bekerja di Gavels. Dia begitu terobsesi dengan Gavels dan mengincar posisi paling atas diperusahaan itu. Namun sayang, Gumelar tidak ingin perusahaannya jatuh ketangan orang lain selain garis keturunannya.
Anak kedua, Yanuar Danujaya Airlangga, mungkin memiliki sedikit kecakapan ayahnya dalam memimpin perusahaan. Dia menikah dengan Esty Dwinanto dan memiliki seorang anak yaitu Arsila Kalani Airlangga. Saat Arsila masih balita, Yanuar meninggal karena penyakit meningitis dan meninggalkan istri serta anaknya. Gumelar dan Lestari mengizinkan menantu dan cucunya untuk tinggal bersama mereka, serta membiayai kehidupannya bahkan hingga Arsila dewasa. Sepeninggal Gumelar dan istri, kini Esty dan Arsila saja yang tinggal dirumahnya.
Yudhita Rizka Airlangga adalah anak ketiga, dia memiliki saudara kembar bernama Yudha Rizki Airlangga. Yudhita mengabdikan dirinya sebagai pemberdaya program pertanian di daerah. Dia beserta suaminya merupakan tokoh penggerak masyarakat yang sangat aktif dalam kegiatan pemberdayaan. Yudhita adalah satu-satunya anak Gumelar yang jauh dari ingar-bingar ibukota dan tidak terlalu memusingkan masalah perusahaan ayahnya.
Anak terakhir adalah Yudha Rizki Airlangga. Dia bekerja dan membantu ayahnya di Gavels, meskipun ketertarikannya bukan permodalan tetapi lebih senang menggeluti riset dan analisis bisnis yang sangat berguna untuk pengambilan keputusan Gavels. Dia menikah dengan Daniar Pertiwi, memiliki anak semata wayang, Gian Hadian Airlangga. Saat Gian berusia 7 tahun, kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan pesawat dari Jakarta menuju Singapura untuk perjalanan bisnis mereka. Akibatnya Gian menjadi yatim piatu dan diurus oleh kakeknya. Dia tumbuh dekat dengan Arsila selama bertahun-tahun hingga dia melanjutkan study ke luar negeri.
...***...
Arsila menekan bel apartemen kemudian mengetuk pintu dengan membabi buta. Namun si penghuni tidak juga lekas membukakan pintu. Dia sudah menunggu lebih dari 10 menit disana, tak ada jawaban apapun dari dalam. Arsila kemudian mengambil handphone nya dan menelepon berulang-ulang. Dipercobaan ke-14, barulah teleponnya tersambung.
“GIAAAN!!!! LU KEMANA AJA SIH? GUA DARI TADI DEPAN PINTU APARTEMEN LU. CEPETAN BUKA!!” Teriak Arsila ditelepon.
“Hmm..baru bangun.” Balas Gian dengan malas.
Tak lama pintu apartemen pun terbuka. Arsila lekas menghambur ke dalam. Dilihatnya penampilan sepupunya yang belum sadar dari tidurnya. Baju kemarin yang masih menempel dibadannya tampak kusut, rambutnya terlihat acak-acakan, mukanya masih mengantuk. Gian duduk dikursi bar dapurnya, disusul Arsila sambil mengomel di belakangnya.
“Lu tau ga sekarang jam berapa? Hah?” Seru Arsila masih dengan nada marah.
Gian melirik jam dinding. “Sebelas.” Jawabnya singkat.
“Terus lu ngapain masih disini? Kenapa ga ke kantor? Tadi gua pagi-pagi ke kantor dan sekertaris lu bilang lu ga bisa dihubungi. Gua telepon juga ga lu angkat. Lu ngapain aja sih?”
“Tidur. Gua baru bangun. Apa sih masalah lu pagi-pagi ribut gini?” Gian tampak malas meladeni omelan sepupunya.
“Tidur? Gitu doang alesan lu?”
“Ya terus lu mau gua pake alasan apa? Abis bantuin presiden nyusun kebijakan negara? Gitu? Gua izin ga ke kantor. Mood gua lagi jelek. Kalau lu mau bikin mood gua tambah ancur mendingan cepet pergi deh.”
Arsila terdiam tidak percaya mendengar jawaban sepupunya. Gian yang dia kenal lebih dari 20 tahun, yang sangat rajin, tidak pernah melewatkan pergi ke ke kantor bahkan saat hujan badai, selalu terobsesi dengan Gavels hingga selalu merengek pada kakeknya untuk ikut pergi ke kantor, dan sekarang tengah menjadi pemimpin sementara perusahaan tersebut yang dengan keyakinan penuh akan mengorbankan hidupnya demi bekerja meskipun hanya berdiri dengan satu kaki, mengatakan dia tidak masuk kantor karena moodnya jelek? Arsila shock.
“Gi, lu sakit?” Kata Arsila khawatir sambil memegang kening Gian.
Gian menepis tangan Arsila. “Gak.”
“Beneran? Lu ada masalah apa, Gi? Apa karena surat wasiat kakek kemarin?”
Gian menghela napas, kemudian terdiam.
Tangannya sesekali memijat keningnya. Dia semalaman begadang dan memikirkan kemungkinan terburuk jika dalam waktu 6 bulan dia tidak segera menikah. Dia tidak akan lagi berada diposisinya yang sekarang diperusahaan, kehilangan warisan, dan hidup dari tabungannya. Ya, meskipun tabungannya cukup besar bahkan sangat cukup untuk hidup mewah. Tapi masalahnya bukan itu. Gian menghabiskan seluruh hidupnya bermimpi memiliki karier di Gavels dan memimpin perusahaan itu.
“Kakek beneran jahat sama gua, Sil. Masa dia tega liat cucunya ga dapet warisan sepeserpun hanya karena ga mau nikah.” Keluh Gian. “Dia juga mau copot jabatan gua di Gavels. Ga masuk akal kan alasannya?”
“Gi, kakek tuh pingin anak sama cucunya bahagia. Dia pingin liat lu bisa dapet pasangan, punya keturunan, kaya orang lain. Lu ga bisa selamanya jadi workaholic dan lupain kehidupan pribadi lu.”
“Tapi gua beneran...” Gian menghela napas “ga mau punya hubungan sama orang lain. Gua ga butuh. Gua baik-baik aja sendirian.” Lanjutnya.
“Sekarang, tapi nanti setelah lu tua? Lu mau warisin ke siapa semua hasil kerja keras lu? Gavels yang jadi obsesi lu itu? Saking terobsesinya sampai lu lupa hidup jadi manusia, Gi.”
Gian terdiam lama. Dia tidak mengelak pernyataan Arsila. Mungkin memang ada benarnya. Dia terlalu terobsesi dengan Gavels, terlalu sibuk bekerja. Tak pernah sekalipun dia merasa harus menjadi manusia pada umumnya. Jatuh cinta, punya pasangan, dan berkeluarga. Bahkan merasakan tertarik dengan seseorang pun rasanya dia tidak pernah. Masa kecil dan remajanya dia habiskan untuk membuat kakeknya bangga. Hingga suatu saat kakeknya bisa melihat dia layak menggantikan posisinya.
Sepeninggal kedua orangtuanya, Gian selalu merasa dia tidak boleh membiarkan emosinya tumbuh. Merasa sedih, merasa kesepian, hal tersebut akan membuatnya terlihat tidak berguna dan menyusahkan. Maka dipendamlah semua perasaanya dengan sibuk belajar dan menjadi kebanggaan kakeknya. Sampai dia sendiripun lupa banyak hal yang dia lewatkan dimasa remajanya.
Arsila menyiapkan kopi untuk mereka berdua, sekalian membuat sarapan untuk Gian. Dia masak omelet dan memanggang beberapa helai roti. Dia menyajikan makanan yang disiapkannya di depan sepupunya yang masih terdiam.
“Gua ga pernah suka seseorang dari dulu, terus sekarang gua bingung harus mulai dari mana. Apalagi gua dikasih deadline 6 bulan, sebelum gua ditendang dari posisi gua sekarang.” Kata Gian memecah keheningan.
“Lu bisa mulai dengan kenalan sama cewe. Mau gua bantuin?” Tanya Arsila. “Gua punya banyak teman cewe, mulai dari model, pebisnis, penyanyi, aktris, bahkan dosen juga ada. Oh gua juga punya kenalan dokter. Yang jelas mereka pada cakep dan high qualified deh. Mungkin bisa mengimbangi otak lu yang agak sableng isinya duit mulu.”
Gian tidak membalas perkataan Arsila dan sibuk mengunyah makanan di depannya. Pikirannya seperti dipenuhi kabut. Dia tidak ingin melakukan saran Arsila. Tapi dia tidak ingin merelakan posisinya di Gavels.
“Tipe lu kaya gimana?” Lanjut Arsila tampak excited. Dia sangat senang membantu sepupu yang hatinya sekeras batu itu untuk bisa jatuh cinta.
“Ga tau. Ga ada kayanya.” Gian masih sibuk mengunyah dan tenggelam dalam pikirannya.
“Gimana kalau gua kenalin sama model, atau lu mau gua kenalin sama pebisnis dulu?”
“Entahlah. Pokoknya jangan yang annoying, minta terus gua perhatikan tiap waktu, jangan yang manja, jorok, rese, bodoh. Kalau bisa sih yang ga terlalu ngurusin hidup gua dan ga banyak ganggu.”
Arsila berdecak. “LU KAWIN AJA SAMA BONEKA BARBIE BIAR DIEM TERUS!!!”
Seharian itu Arsila dan Gian terus membicarakan mengenai perjodohan. Arsila membuat list siapa saja temannya yang menurutnya akan Gian suka. Dia juga memperlihatkan akun sosial media mereka dan menyuruh Gian mempertimbangkan wanita mana yang dianggapnya menarik. Gian dengan serampangan memilih beberapa wanita di list, hanya karena tak ingin Arsila kecewa. Dia sebenarnya tak tertarik pada mereka. Sekali lihatpun dia sudah tahu, mereka wanita yang akan mengganggu hidupnya dan tidak akan membiarkannya sendirian melakukan aktivitasnya.
Gian mungkin tidak berpengalaman dalam percintaan, tapi selama hidupnya dia belajar untuk mengamati orang lain. Dia membaca karakter orang untuk kepentingan bisnis. Kemampuannya tersebut dia gunakan untuk membangun relasi bisnis dan bernegosiasi. Jika yang dibutuhkannya sekarang adalah partner bisnis yang tidak melibatkan perasaan, mungkin akan mudah. Bukan pasangan yang akan menempel padanya seumur hidupnya.
Arsila mulai menghubungi salah satu nama dari list panjangnya. Orang pertama yang menjadi incarannya adalah Devi, dia adalah anak dari pebisnis tembakau. Lulusan Business Administration di National University of Singapore. Diatas kertas, kualitasnya tidak diragukan. Tapi Gian belum bertemu langsung dengan perempuan tersebut.
“Fix. Sabtu nanti lu sama Devi ketemu di Amuz Gourmet buat dinner.” Kata Arsila terdengar senang.
“Gitu doang?” Tanya Gian bingung.
“Gua udah atur pertemuan lu sama Devi. Lu tinggal berangkat, ngobrol, kalau cocok lanjut.”
“Dia ga nolak apa gimana gitu? Kenal gua aja ngga.”
“Everybody knows you, dear. Lu tuh cowo terkenal diantara cewe pebisnis bahkan temen model gua aja tau lu siapa. Lu nya aja yang terlalu sibuk nyari duit, sibuk nyari perusahaan buat investasi dibanding berinvestasi urusan hati.”
“Ck..” Gian berdecak. Mungkin iya, beberapa kali dia juga merasa banyak perempuan yang ingin mendekatinya. Tapi semua intensi mereka tak begitu dia pedulikan. Jika orang yang mendekatinya menawarkan kerjasama bisnis yang menguntungkan, mungkin Gian akan memfokuskan dirinya barang sejenak pada mereka.
“Devi lagi nyari calon juga. Dia tertarik sama lu dari lama loh.”
“Tau dari mana lu?” Tanya Gian tak percaya.
“Dia lah yang cerita. Tuh.” Kata Arsila memperlihatkan chat-nya dengan Devi. Kurang lebih isinya menanyakan tentang Gian dan ungkapan ketertarikannya sedari lama terhadapnya, namun Devi tidak tahu bagaimana cara mendekati Gian yang sangat jauh dari jangkauan.
Gian menghabiskan sisa hari itu mendengar semua ceramah Arsila tentang kesan pertama dalam pertemuannya nanti dengan Devi. Hanya sekadarnya Gian menyimak. Pikirannya jauh menerawang entah kemana. Memikirkan bagaimana kalau dia mengatakan pada Arsila dan Devi bahwa dia hanya mencari pasangan di atas kertas, bukan mencari hubungan yang sebenarnya apalagi membangun rumah tangga yang bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Duuhh kali laki bini masing2 gila kerja yg ada rumah tangga gak akan bahagia,mending cari pasangan yg bisa melayani dan menunggu suami pulang kerja,dan nyiapain saat suami pergi kerja..😂
2023-05-14
1
HaniHiko
dr Arvin lanjut d mari..
knp gak arsila aja yg jadi kandidatnya udah tau karakter masing" juga ..
2023-01-24
0
Adelia Yuswandari
Gian maunya spek bidadari 🤭
2022-08-08
0