Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Gian, orang yang sangat disayangi dan dihormati olehnya meninggal dunia. Setelah kematian neneknya 2 tahun lalu yang masih sulit untuk dia lupakan, kakeknya menyusul kemudian.
Rumah duka penuh oleh banyak orang, kakeknya memang seorang pengusaha sukses. Dia pemilik Gavels Group, salah satu perusahaan modal ventura terbesar di Indonesia yang banyak membantu permodalan perusahaan rintisan (start up) dan UKM (Usaha Kecil Menengah). Kolega-koleganya menangis, kenalan, teman akrab, supir, pedagang di pasar langganan, dan orang-orang yang bahkan belum pernah Gian lihat, berkabung.
Hanya Gian diam tanpa suara, bahkan tanpa tangis sejak 5 jam lalu dokter mengatakan di Rumah Sakit kakeknya telah berpulang. Sulit baginya memproses kehilangan yang tak pernah dia siapkan. Memang tidak pernah ada yang siap menghadapi kematian siapapun anggota keluarga kita. Gian menerima banyak ucapan bela sungkawa dari banyak orang, memeluknya, berbicara padanya sambil menangis dan menguatkannya.
Selain Gian yang berduka, kedua anak pengusaha sukses itu pun tak kalah merana ditinggal sang ayah. Yuniar dan Yudhita, dua putri dari Gumelar yang masih hidup bahkan menangis histeris dan pingsan. Berikut menantu dan cucu-cucunya yang lain tersedu sambil merapal doa.
Suasana riuh malam itu terasa kosong. Dalam hati Gian ada ruang besar yang kini isinya kosong. Gumelar Airlangga bukan hanya sosok kakek bagi Gian, tapi juga orang tua. Saat umur 7 tahun, kedua orang tua Gian meninggal dalam kecelakaan pesawat yang terbang dari Indonesia menuju Singapura. Pesawat tersebut hancur di daerah Palembang. Kecelakaan tersebut menjadi headline di setiap koran dan televisi.
Hari disaat dia tahu bahwa ayah dan ibunya tak akan bisa kembali merupakan hari paling gelap yang pernah Gian rasakan. Namun kakeknya memastikan bahwa dia tak sendiri, ada dirinya yang akan menggantikan kedua orang tuanya. Benar adanya, Gumelar tak hanya membesarkan Gian, dia memberi banyak kekuatan dan mengobati kehilangan besar yang dialami bocah kecil itu. Sejak saat itu, Gian tahu bahwa kakeknya adalah seluruh hidupnya. Dia melakukan banyak hal yang akan membuat kakeknya bangga. Mati-matian dia belajar di sekolah, mengikuti banyak lomba, mengikuti latihan bela diri, hingga menyukai hal yang kakeknya sukai, termasuk belajar menjadi pemimpin perusahaan permodalan yang kakeknya geluti.
Kakeknya mengatakan, dia sudah kaya. Dia diberkahi kekayaan dari leluhurnya. Hal yang dia lakukan untuk melanggengkan kekayaannya adalah dengan memutar modal dengan membantu orang lain. Maka dari itu dia menjadi investor bagi banyak usaha rintisan. Membantu mereka tumbuh dan berkembang, maka keuntungan baginya akan tumbuh pula bersama perkembangan perusahaan yang dia bantu. Meskipun tak ayal perusahaan tersebut ciut, tak berkembang sesuai harapan. Namun, begitulah usaha. Kakeknya selalu membersamai orang yang ingin berusaha.
Kakeknya memang dermawan, oleh karena itu banyak orang yang dekat dan mendekatinya untuk meminta bantuan. Gian selalu terinspirasi oleh sikap dermawan tersebut. Meski demikian setelah Gian memasuki perusahaan dan menggantikan kakeknya memimpin Gavels Group, banyak keputusan bisnis dan investasinya yang Gian pertanyakan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gian mengakui ada hal yang keliru dari cara berbisnis kakeknya.
Lambat laun timbul keinginan untuk membuat Gavels Group lebih maju. Bukan seperti yang selama ini kakeknya jalankan secara sembrono, tetapi lebih tertata dan metodik, dengan mempertimbangkan keuntungan bisnis. Lagipula perusahaan itu bukanlah pemodal dan badan amal. Dia tidak bisa membiarkan perasaan dan sentimen tak berdasar mempengaruhi keputusan bisnis dan investasi yang besar.
Gian terus bekerja keras selama menggantikan posisi kakeknya membawa perusahaan mendapatkan keuntungan besar. Dia berhasil menjadi angel investor bagi start up teknologi ternama dan paling besar di Indonesia. Dalam waktu singkat, reputasi Gavels Group sebagai perusahaan modal ventura semakin naik. Banyak start up yang berebut di danai oleh perusahaan tersebut.
Kakeknya mengakui keberhasilan tersebut namun dia merasakan makin lama, Gian tumbuh menjadi pria pekerja keras yang sangat terobsesi dengan kekayaan. Dia tidak pernah memikirkan hal lain selain pekerjaan dan perusahaan. Dia tidak ingin cucunya menjadi orang yang tamak, dingin, dan tanpa empati nantinya. Gian harus melepaskan obsesinya terhadap perusahaan dan menjalani kehidupan seperti orang biasa. Kakeknya berkali-kali menyarankan pada Gian untuk memperhatikan kehidupannya sendiri. Selama memegang posisinya sekarang dia terlalu sibuk tanpa peduli bahwa dia telah menjadi lelaki dewasa dan membutuhkan pendamping. Gian berkilah, dia tidak ingin fokus kerjanya terganggu saat ini dan dia juga tidak tertarik untuk menikah. Dia hanya akan fokus untuk membesarkan nama perusahaan.
...***...
Hujan turun cukup lebat sore ini, tepat disaat Gian sampai di depan kantor pengacara kepercayaan kakeknya. Dihari senin yang sibuk dia terpaksa harus mendatangi pertemuan bersama seluruh anggota keluarganya di kantor pengacara untuk membacakan surat wasiat dari kakeknya yang meninggal satu bulan yang lalu. Agenda tersebut sebenarnya dijadwalkan sejak 2 minggu yang lalu, namun beberapa anggota keluarga memiliki kesibukan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Waktu ini yang paling tepat.
Gian mencari payung di laci dashboard mobilnya, namun dia tidak menemukan apapun disana. Dia berdecak kesal kemudian turun menembus hujan yang makin lebat menuju lobby kantor pengacara. Dia melepaskan jas merek izzue-nya untuk dipayungkan ke kepala. Namun sayangnya hujan lebat membuat jasnya basah tak bersisa. Saat sampai di lobby dia mengibaskan jasnya yang basah tersebut dengan kesal.
“Milyuner kok ga punya payung sampai kehujanan gitu sih. Ckck.” Ujar Arsila di lobby kantor.
Arsila adalah sepupu Gian, diantara semua sepupunya dialah yang paling dekat dengan Gian. Mereka tumbuh bersama sedari kecil di rumah kakek dan neneknya. Perempuan berusia 32 tahun tersebut tengah berdiri di lobby menunggunya. Dia mengenakan knitted dress dan sling bag yang tersampir di bahu kirinya, tampak kasual. Arsila memiliki perawakan kecil dan ramping, jika dilihat sekilas orang tak akan menyangka dia telah berumur 30an. Wajahnya pun masih terlihat seperti remaja dengan make up natural dan rambut wavy sebahu yang membingkai wajah cantiknya. Arsila bekerja menjadi salah satu brand executive di perusahaan kosmetik milik Yuniar, tante mereka.
“Milyuner ga ada waktu buat beli payung.” Jawab Gian sekenanya. Arsila tergelak.
“Udah siap denger surat wasiat kakek?” Tanya Arsila. Mereka berdua berjalan menuju lift dan menuju ruangan Pak Narta, pengacara kakeknya yang berada di lantai 3.
“Apa yang harus disiapkan sih? Sudah jelas kakek pasti milih aku buat jadi penerus Gavels.”
“Pede banget, pak. Denger ya, yang punya hak dan keinginan bukan kamu doang.”
“Siapa coba yang punya kapabilitas memimpin perusahaan selain aku? Kamu? Atau Lina, Maya, Elsa, Intan?” Kata Gian mengabsen semua nama sepupunya. “Atau Om Bayu? Om Rahmat? Tante Yuniar dan Tante Yudhita?” Lanjutnya lagi.
“Secara kualitas emang ga ada yang bisa mendekati kemampuan kakek dalam memimpin perusahaan selain kamu, tapi secara kepentingan orang-orang itu ga bisa diabaikan, iya kan?”
“Jadi kakek bakal secara serampangan ngasih kendali perusahaan sama orang yang ga kompeten?”
“Kamu bener-bener ngerasa diatas angin ya, Gi. Om Bayu pemain lama loh di Gavels, lebih lama dari kamu. Bahkan dia udah ngincer posisi itu dari dulu. Sebaiknya kamu bersiap aja.” Pungkas Arsila. Dia mendahului Gian memasuki Ruangan pertemuan.
What? Gerutu Gian dalam hati.
Gian menyusul langkah Arsila ke ruangan pertemuan. Ruangan pribadi milik pengacara terkenal Narta Hutabarat cukup luas, meja kerjanya berbentuk setengah oval langsung menyambut ketika masuk. Disebelah kanan ada sofa bergaya lama berpelitur kayu yang nilainya mungkin bisa puluhan juta. Seluruh anggota keluarganya sudah duduk dengan rapi di sofa tersebut sambil berbincang santai. Disebelah kiri ruangan terdapat rak-rak kayu tinggi berisi banyak dokumen dan meja kayu berisi mesin pembuat kopi dan teh, serta cangkir-cangkir antik. Narta Hutabarat, memang pengacara yang memiliki taste unik dan kekayaan hingga bisa menghias ruangan kerjanya sedemikian rupa.
Gian menyapa om, tante, dan sepupunya yang telah berada disana. Kemudian duduk diantara mereka. Sebenarnya tak ada yang aneh dikeluarganya, mereka semua cukup rukun dan harmonis. Meskipun setelah dia dewasa intensitas komunikasi dengan anggota keluarganya semakin berkurang. Apalagi setelah kepergian neneknya 2 tahun lalu, dan kakeknya yang jatuh sakit sesudahnya. Tak ada lagi alasan berkumpul bercengkrama meskipun disaat hari raya. Semuanya sibuk dengan keluarganya. Gian yang sudah tidak memiliki orang tua hanya tinggal sendiri menghabiskan waktu di apartemennya.
Narta Hutabarat, pengacara berumur 58 tahun tengah duduk di kursi sambil menyesap tehnya. Pakaiannya rapi, jelas dari jenis kainnya merupakan setelan jas mahal. Rambut berubannya disisir rapi ke belakang. Sosoknya yang tak lagi muda itu masih tampak gagah dan berwibawa.
“Semua sudah kumpul, kan?” katanya membuka pertemuan. Beberapa orang bergumam mengiyakan.
“Saya diberi amanat oleh Pak Gumelar untuk membacakan surat wasiat dan pembagian warisan sesuai dengan keinginan beliau. Oke kita mulai saja ya.”
Kepada anak-anak dan cucu-cucuku yang bapa sayangi, semoga dengan surat wasiat ini bisa menjadi penghibur lara hati ketika bapa tiada. Bapa dan ibu selalu mengharapkan kalian dapat hidup bahagia dan saling menjaga sepeninggal kami. Jangan sampai kalian saling terpisah atau terpecah oleh sebab apapun juga.
Kepada Yuniar, anak pertamaku. Semoga kamu selalu sehat. Periksakan kesehatanmu setiap bulan. Bapa akan sedih jika tahu kalau kanker-mu nanti kambuh lagi. Untuk mendukung semua usahamu, suamimu dan anak-anakmu, Maya dan Intan, bapa alan memberikan 15% aset untuk kalian. Kelola dengan baik dan pergunakanlah dengan bijaksana.
Kepada anak ketigaku, Yudhita. Semoga kamu selalu bahagia. Pergunakanlah waktumu untuk diri sendiri jangan terlalu keras bekerja dan berderma. Kebaikanmu kepada sesama harus kamu tujukan kepada dirimu juga. Kepada Rahmat menantuku, tolong jaga putri bungsuku yang terlalu sibuk untuk orang lain itu. Kepada kalian, bapa titipkan 15% aset untuk membantu segala usaha dan kehidupan kalian. Pergunakanlah secara bijaksana.
Kepada menantuku, Esty. Semoga kamu diberikan kebahagiaan dan ketabahan. Jangan lupa untuk menggunakan waktumu untuk dirimu sendiri. Daripada menangisi kehilangan, kamu masih punya kesempatan untuk memulai hidup baru. Bapa titipkan 10% aset untukmu dan Asila, untuk kebahagiaan dan usaha kalian. Pergunakanlah dengan bijaksana.
Kepada cucuku, Gian. Semoga kamu selalu diberikan cinta dari semua orang. Dengan kepergian kakek, kamu pasti merasa sendiri. Maka dari itu temukanlah seseorang yang bisa menemanimu. Semua kualitas dan ambisimu dalam bekerja akan sia-sia nilainya jika kamu tidak memiliki teman untuk berbagi. Kakek menitipkan 70% aset dan kepemilikan Gavels untukmu, dengan syarat kamu harus memiliki pasangan dan menikah terlebih dahulu. Jika kamu menolak menikah dan ingin hidup sendiri seperti prinsipmu selama ini, keputusan tersebut akan batal.
“Demikian surat wasiat yang Pak Gumelar tuliskan. Daya akan membantu proses pemindahan aset kepada orang-orang yang namanya tertulis di surat wasiat.” Jelas Narta.
“Tunggu!” Potong Gian. “Maksudnya apa dengan syarat pernikahan?”
“Seperti yang Pak Gumelar sampaikan, kamu harus menikah terlebih dahulu untuk mendapatkan aset dan menjadi pemimpin Gavels. Beliau memberikan syarat tersebut padamu.” Jawab Narta.
“Terus kalau Gian ga mau nikah gimana dengan aset dan kepemilikan Gavels?” Tanya Intan penasaran.
“Gian tidak akan mendapatkan aset apapun dari keluarga Airlangga, dan mengenai kepemilikan Gavels akan dibagikan secara merata kepada seluruh anggota keluarga secara merata. Pun mengenai kepemimpinan Gavels, saar ini Gian hanya menempati sementara posisi tersebut.
Maka dari itu untuk kedepannya bukan haknya lagi untuk memimpin perusahaan tersebut. Keputusan terkait siapa yang akan jadi pemimpin Gavels akan ditentukan dan dipilih dirapat direksi.”
“Ini ga adil.” Ungkap Gian tidak percaya. Kakek yang disayanginya dan dia percaya akan mengabulkan semua impiannya ternyata mengkhianatinya. Padahal dia tahu, siapa yang paling menginginkan untuk berada diposisi tersebut. Mungkin iya, selama ini dia memang tidak pernah peduli hal lain selain bekerja dan Gavels. Bahkan tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikah dan berkeluarga. Ketika kakeknya bertanya suatu waktu mengenai hal tersebut, Gian hanya menjawab sekenanya. Bahwa menikah dan berkeluarga bukanlah prioritasnya, bahkan mungkin tidak akan pernah dia lakukan. Tak disangka kakeknya begitu khawatir hingga mengatur hidupnya dalam surat wasiatnya.
Satu jam setelahnya Gian mendebat semua anggota keluarganya mengenai keputusan tidak adil dari surat wasiat kakeknya. Mereka berdalih keputusan tersebut sudah sangat adil bagi semua. Tidak ada keuntungan besar tanpa syarat yang mudah. Mereka pun tak mempermasalahkan keputusan kakek untuk mewariskan Gavels dan lebih dari setengah aset keluarga jika benar Gian bersedia menikah. Tak ada yang bisa mereka lakukan atas keputusan pemimpin keluarga Airlangga tersebut.
Gian yang paling terakhir pulang. Berulang kali Gian meyakinkan Narta Hutabarat mengenai posisi vitalnya di Gavels dan bagaimana dia membuat perusahaan itu semakin berkembang. Tidak adil baginya jika dia harus mencopot posisinya karena dia menolak untuk menikah. Serta memprotes mengenai fakta dia tidak akan mendapatkan sepeserpun aset keluarganya. Kakeknya benar-benar akan membiarkannya hidup seperti gelandangan.
“Gian, saya tidak bisa berbuat apapun atas keputusan Pak Gumelar. Beliau menulis surat wasiat ini dengan sadar dan tahu akan resikonya. Sebaiknya kamu menerimanya, akan lebih baik jika kamu cepat mendapatkan pasangan dalam waktu 6 bulan kedepan. Sebelum anggota direksi ribut mengenai posisi pimpinan Gavels.” Tukas Narta.
“Ini benar-benar ga masuk akal.” Ucap Gian seraya pergi dari ruang pertemuan.
Gian pulang menembus jalanan hujan yang semakin malam semakin lebat menuju apartemennya. Sepanjang perjalanan dia merenung dengan perasaan bercampur aduk, marah, kecewa, terhina, dan terbebani.
Gumelar Budi Airlangga adalah pemilik perusahaan permodalan terbesar di Indonesia bernama Gavels. Asetnya tersebar dibanyak perusahaan rintisan (start up) dan juga bisnis UKM. Sudah lebih dari 35 tahun perusahaan tersebut berdiri dan menyokong banyak bisnis rintisan hingga menjadi brand dan perusahaan ternama di Indonesia.
Sukses sebagai pemilik perusahaan modal terbesar rupanya tidak menurun kepada anak-anaknya. Gumelar memiliki 4 anak dari pernikahannya dengan Lestari Widiastuti. Anak pertamanya, Yuniar Raihan Airlangga, tidak tertarik menjadi investor atau bekerja diperusahaan permodalan. Dia lebih memilih mendirikan brand kosmetik yang kemudian dimodali Gavels dan menjadi salah satu anak perusahaannya. Suaminya Bayu Adiwinata berkebalikan dari istrinya, dia merupakan salah satu investor piawai yang lama bekerja di Gavels. Dia begitu terobsesi dengan Gavels dan mengincar posisi paling atas diperusahaan itu. Namun sayang, Gumelar tidak ingin perusahaannya jatuh ketangan orang lain selain garis keturunannya.
Anak kedua, Yanuar Danujaya Airlangga, mungkin memiliki sedikit kecakapan ayahnya dalam memimpin perusahaan. Dia menikah dengan Esty Dwinanto dan memiliki seorang anak yaitu Arsila Kalani Airlangga. Saat Arsila masih balita, Yanuar meninggal karena penyakit meningitis dan meninggalkan istri serta anaknya. Gumelar dan Lestari mengizinkan menantu dan cucunya untuk tinggal bersama mereka, serta membiayai kehidupannya bahkan hingga Arsila dewasa. Sepeninggal Gumelar dan istri, kini Esty dan Arsila saja yang tinggal dirumahnya.
Yudhita Rizka Airlangga adalah anak ketiga, dia memiliki saudara kembar bernama Yudha Rizki Airlangga. Yudhita mengabdikan dirinya sebagai pemberdaya program pertanian di daerah. Dia beserta suaminya merupakan tokoh penggerak masyarakat yang sangat aktif dalam kegiatan pemberdayaan. Yudhita adalah satu-satunya anak Gumelar yang jauh dari ingar-bingar ibukota dan tidak terlalu memusingkan masalah perusahaan ayahnya.
Anak terakhir adalah Yudha Rizki Airlangga. Dia bekerja dan membantu ayahnya di Gavels, meskipun ketertarikannya bukan permodalan tetapi lebih senang menggeluti riset dan analisis bisnis yang sangat berguna untuk pengambilan keputusan Gavels. Dia menikah dengan Daniar Pertiwi, memiliki anak semata wayang, Gian Hadian Airlangga. Saat Gian berusia 7 tahun, kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan pesawat dari Jakarta menuju Singapura untuk perjalanan bisnis mereka. Akibatnya Gian menjadi yatim piatu dan diurus oleh kakeknya. Dia tumbuh dekat dengan Arsila selama bertahun-tahun hingga dia melanjutkan study ke luar negeri.
...***...
Arsila menekan bel apartemen kemudian mengetuk pintu dengan membabi buta. Namun si penghuni tidak juga lekas membukakan pintu. Dia sudah menunggu lebih dari 10 menit disana, tak ada jawaban apapun dari dalam. Arsila kemudian mengambil handphone nya dan menelepon berulang-ulang. Dipercobaan ke-14, barulah teleponnya tersambung.
“GIAAAN!!!! LU KEMANA AJA SIH? GUA DARI TADI DEPAN PINTU APARTEMEN LU. CEPETAN BUKA!!” Teriak Arsila ditelepon.
“Hmm..baru bangun.” Balas Gian dengan malas.
Tak lama pintu apartemen pun terbuka. Arsila lekas menghambur ke dalam. Dilihatnya penampilan sepupunya yang belum sadar dari tidurnya. Baju kemarin yang masih menempel dibadannya tampak kusut, rambutnya terlihat acak-acakan, mukanya masih mengantuk. Gian duduk dikursi bar dapurnya, disusul Arsila sambil mengomel di belakangnya.
“Lu tau ga sekarang jam berapa? Hah?” Seru Arsila masih dengan nada marah.
Gian melirik jam dinding. “Sebelas.” Jawabnya singkat.
“Terus lu ngapain masih disini? Kenapa ga ke kantor? Tadi gua pagi-pagi ke kantor dan sekertaris lu bilang lu ga bisa dihubungi. Gua telepon juga ga lu angkat. Lu ngapain aja sih?”
“Tidur. Gua baru bangun. Apa sih masalah lu pagi-pagi ribut gini?” Gian tampak malas meladeni omelan sepupunya.
“Tidur? Gitu doang alesan lu?”
“Ya terus lu mau gua pake alasan apa? Abis bantuin presiden nyusun kebijakan negara? Gitu? Gua izin ga ke kantor. Mood gua lagi jelek. Kalau lu mau bikin mood gua tambah ancur mendingan cepet pergi deh.”
Arsila terdiam tidak percaya mendengar jawaban sepupunya. Gian yang dia kenal lebih dari 20 tahun, yang sangat rajin, tidak pernah melewatkan pergi ke ke kantor bahkan saat hujan badai, selalu terobsesi dengan Gavels hingga selalu merengek pada kakeknya untuk ikut pergi ke kantor, dan sekarang tengah menjadi pemimpin sementara perusahaan tersebut yang dengan keyakinan penuh akan mengorbankan hidupnya demi bekerja meskipun hanya berdiri dengan satu kaki, mengatakan dia tidak masuk kantor karena moodnya jelek? Arsila shock.
“Gi, lu sakit?” Kata Arsila khawatir sambil memegang kening Gian.
Gian menepis tangan Arsila. “Gak.”
“Beneran? Lu ada masalah apa, Gi? Apa karena surat wasiat kakek kemarin?”
Gian menghela napas, kemudian terdiam.
Tangannya sesekali memijat keningnya. Dia semalaman begadang dan memikirkan kemungkinan terburuk jika dalam waktu 6 bulan dia tidak segera menikah. Dia tidak akan lagi berada diposisinya yang sekarang diperusahaan, kehilangan warisan, dan hidup dari tabungannya. Ya, meskipun tabungannya cukup besar bahkan sangat cukup untuk hidup mewah. Tapi masalahnya bukan itu. Gian menghabiskan seluruh hidupnya bermimpi memiliki karier di Gavels dan memimpin perusahaan itu.
“Kakek beneran jahat sama gua, Sil. Masa dia tega liat cucunya ga dapet warisan sepeserpun hanya karena ga mau nikah.” Keluh Gian. “Dia juga mau copot jabatan gua di Gavels. Ga masuk akal kan alasannya?”
“Gi, kakek tuh pingin anak sama cucunya bahagia. Dia pingin liat lu bisa dapet pasangan, punya keturunan, kaya orang lain. Lu ga bisa selamanya jadi workaholic dan lupain kehidupan pribadi lu.”
“Tapi gua beneran...” Gian menghela napas “ga mau punya hubungan sama orang lain. Gua ga butuh. Gua baik-baik aja sendirian.” Lanjutnya.
“Sekarang, tapi nanti setelah lu tua? Lu mau warisin ke siapa semua hasil kerja keras lu? Gavels yang jadi obsesi lu itu? Saking terobsesinya sampai lu lupa hidup jadi manusia, Gi.”
Gian terdiam lama. Dia tidak mengelak pernyataan Arsila. Mungkin memang ada benarnya. Dia terlalu terobsesi dengan Gavels, terlalu sibuk bekerja. Tak pernah sekalipun dia merasa harus menjadi manusia pada umumnya. Jatuh cinta, punya pasangan, dan berkeluarga. Bahkan merasakan tertarik dengan seseorang pun rasanya dia tidak pernah. Masa kecil dan remajanya dia habiskan untuk membuat kakeknya bangga. Hingga suatu saat kakeknya bisa melihat dia layak menggantikan posisinya.
Sepeninggal kedua orangtuanya, Gian selalu merasa dia tidak boleh membiarkan emosinya tumbuh. Merasa sedih, merasa kesepian, hal tersebut akan membuatnya terlihat tidak berguna dan menyusahkan. Maka dipendamlah semua perasaanya dengan sibuk belajar dan menjadi kebanggaan kakeknya. Sampai dia sendiripun lupa banyak hal yang dia lewatkan dimasa remajanya.
Arsila menyiapkan kopi untuk mereka berdua, sekalian membuat sarapan untuk Gian. Dia masak omelet dan memanggang beberapa helai roti. Dia menyajikan makanan yang disiapkannya di depan sepupunya yang masih terdiam.
“Gua ga pernah suka seseorang dari dulu, terus sekarang gua bingung harus mulai dari mana. Apalagi gua dikasih deadline 6 bulan, sebelum gua ditendang dari posisi gua sekarang.” Kata Gian memecah keheningan.
“Lu bisa mulai dengan kenalan sama cewe. Mau gua bantuin?” Tanya Arsila. “Gua punya banyak teman cewe, mulai dari model, pebisnis, penyanyi, aktris, bahkan dosen juga ada. Oh gua juga punya kenalan dokter. Yang jelas mereka pada cakep dan high qualified deh. Mungkin bisa mengimbangi otak lu yang agak sableng isinya duit mulu.”
Gian tidak membalas perkataan Arsila dan sibuk mengunyah makanan di depannya. Pikirannya seperti dipenuhi kabut. Dia tidak ingin melakukan saran Arsila. Tapi dia tidak ingin merelakan posisinya di Gavels.
“Tipe lu kaya gimana?” Lanjut Arsila tampak excited. Dia sangat senang membantu sepupu yang hatinya sekeras batu itu untuk bisa jatuh cinta.
“Ga tau. Ga ada kayanya.” Gian masih sibuk mengunyah dan tenggelam dalam pikirannya.
“Gimana kalau gua kenalin sama model, atau lu mau gua kenalin sama pebisnis dulu?”
“Entahlah. Pokoknya jangan yang annoying, minta terus gua perhatikan tiap waktu, jangan yang manja, jorok, rese, bodoh. Kalau bisa sih yang ga terlalu ngurusin hidup gua dan ga banyak ganggu.”
Arsila berdecak. “LU KAWIN AJA SAMA BONEKA BARBIE BIAR DIEM TERUS!!!”
Seharian itu Arsila dan Gian terus membicarakan mengenai perjodohan. Arsila membuat list siapa saja temannya yang menurutnya akan Gian suka. Dia juga memperlihatkan akun sosial media mereka dan menyuruh Gian mempertimbangkan wanita mana yang dianggapnya menarik. Gian dengan serampangan memilih beberapa wanita di list, hanya karena tak ingin Arsila kecewa. Dia sebenarnya tak tertarik pada mereka. Sekali lihatpun dia sudah tahu, mereka wanita yang akan mengganggu hidupnya dan tidak akan membiarkannya sendirian melakukan aktivitasnya.
Gian mungkin tidak berpengalaman dalam percintaan, tapi selama hidupnya dia belajar untuk mengamati orang lain. Dia membaca karakter orang untuk kepentingan bisnis. Kemampuannya tersebut dia gunakan untuk membangun relasi bisnis dan bernegosiasi. Jika yang dibutuhkannya sekarang adalah partner bisnis yang tidak melibatkan perasaan, mungkin akan mudah. Bukan pasangan yang akan menempel padanya seumur hidupnya.
Arsila mulai menghubungi salah satu nama dari list panjangnya. Orang pertama yang menjadi incarannya adalah Devi, dia adalah anak dari pebisnis tembakau. Lulusan Business Administration di National University of Singapore. Diatas kertas, kualitasnya tidak diragukan. Tapi Gian belum bertemu langsung dengan perempuan tersebut.
“Fix. Sabtu nanti lu sama Devi ketemu di Amuz Gourmet buat dinner.” Kata Arsila terdengar senang.
“Gitu doang?” Tanya Gian bingung.
“Gua udah atur pertemuan lu sama Devi. Lu tinggal berangkat, ngobrol, kalau cocok lanjut.”
“Dia ga nolak apa gimana gitu? Kenal gua aja ngga.”
“Everybody knows you, dear. Lu tuh cowo terkenal diantara cewe pebisnis bahkan temen model gua aja tau lu siapa. Lu nya aja yang terlalu sibuk nyari duit, sibuk nyari perusahaan buat investasi dibanding berinvestasi urusan hati.”
“Ck..” Gian berdecak. Mungkin iya, beberapa kali dia juga merasa banyak perempuan yang ingin mendekatinya. Tapi semua intensi mereka tak begitu dia pedulikan. Jika orang yang mendekatinya menawarkan kerjasama bisnis yang menguntungkan, mungkin Gian akan memfokuskan dirinya barang sejenak pada mereka.
“Devi lagi nyari calon juga. Dia tertarik sama lu dari lama loh.”
“Tau dari mana lu?” Tanya Gian tak percaya.
“Dia lah yang cerita. Tuh.” Kata Arsila memperlihatkan chat-nya dengan Devi. Kurang lebih isinya menanyakan tentang Gian dan ungkapan ketertarikannya sedari lama terhadapnya, namun Devi tidak tahu bagaimana cara mendekati Gian yang sangat jauh dari jangkauan.
Gian menghabiskan sisa hari itu mendengar semua ceramah Arsila tentang kesan pertama dalam pertemuannya nanti dengan Devi. Hanya sekadarnya Gian menyimak. Pikirannya jauh menerawang entah kemana. Memikirkan bagaimana kalau dia mengatakan pada Arsila dan Devi bahwa dia hanya mencari pasangan di atas kertas, bukan mencari hubungan yang sebenarnya apalagi membangun rumah tangga yang bahagia.
Jika dilihat dari manapun tidak ada kurang dalam diri Gian Hadian Airlangga. Memiliki wajah tampan campuran Chinese, hidung mancung, mata yang indah, dan bibir sensual. Proporsi tubuhnya juga ideal dengan tinggi 180 cm, ramping, dan tidak terlalu berotot. Secara keseluruhan Gian terlihat seperti laki-laki muda yang menarik.
Selain tampilan fisik yang ternyata diincar banyak pengagumnya, Gian juga memiliki kepribadian yang baik. Cerdas, tenang, ramah, penuh semangat, dan piawai dalam berbisnis. Lelaki Lulusan Magister Business of Administration di Stanford University ini merupakan pemikir dan motivator muda berbakat. Tak jarang dia banyak tampil di seminar yang menghadirkan tokoh muda inspiratif. Dia juga kerap kali menjadi feature di majalah bisnis.
Gian bukan tipe pemimpin yang kasar, dingin, semena-mena atau berpikiran tertutup. Di tempat kerjanya, selama dia menjabat sebagai pemimpin Gavels, dia banyak disukai atas ide dan idealismenya yang segar dan adaptif. Terlebih dari karyawan muda yang modern di Gavels. Analisis tajam dan intuisinya tentang bisnis menjadikan Gavels meraup banyak keuntungan dengan berinvestasi di start up dan UKM yang menjanjikan.
Orang-orang terdekat Gian, terutama rekan bisnisnya tak pernah menemukan satu celah pun darinya. Namun bagi Arsila, Gian adalah lelaki licik penuh tipu muslihat. Dia punya mulut tajam, seringkali terlalu jujur dengan perkataannya, dan pandai mempengaruhi orang lain. Meskipun jelas, Gian jauh dari kata kasar. Dia selalu memainkan provokasi-provokasi kecil ditambah kemampuannya bernegosiasi yang lihai membuatnya selalu mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa orang disekitarnya sadar betapa berbahayanya dia.
Hal lain yang menjadi kekurangannya adalah sulit dimengerti dan didekati. Sedari sekolah dulu, Gian populer. Banyak perempuan yang tertarik dan mendekatinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gian akan mengabaikan semua pesan dan hadiah dari pengagumnya. Saat ada perempuan yang memberanikan diri mengungkapkan perasaannya, Gian dengan santai membalas bahwa dia tidak tertarik padanya. Kemudian meminta perempuan tersebut menjauhinya.
Arsila mengingat sedari dulu Gian terlalu sibuk dengan sekolah, ekstrakurikuler, dan jadwal lesnya. Dia tak pernah punya pacar ataupun tertarik untuk pacaran. Gian juga sebenarnya tak punya banyak teman akrab, dia hanya dekat dengan orang-orang yang menurutnya bisa menguntungkan saja. Sifatnya tersebut terbawa hingga dia dewasa. Gian menikmati kesendiriannya, tanpa kekasih ataupun teman akrab.
Bukan hanya Arsila yang kemudian bertanya-tanya dan khawatir tentang hubungan Gian dengan orang disekelilingnya. Kakeknya pun ternyata punya kekhawatiran yang sama. Dia tahu bagaimana kakek sangat menyayangi Gian yang yatim piatu, bagaimana dia menjadi cucu kesayangan karena penurut, berprestasi, dan tidak pernah terlibat masalah selama hidupnya. Hingga pada akhirnya kakek mengambil tindakan ekstrim dengan memaksa Gian menikah untuk mendapatkan hak warisnya. Dia ingin suatu saat Gian bisa membuka hatinya untuk seseorang dan hidup seperti orang kebanyakan.
...***...
Gian telah berada di Amuz Gourmet Restaurant 30 menit sebelum jam yang dijanjikan. Siang tadi, Arsila datang ke apartemennya membantunya mempersiapkan pertemuan dengan Devi malam ini. Dia terus mengulang ceramahnya tentang berlaku sopan kepada wanita seakan-akan dia pria yang brengsek. Dia tahu bagaimana bersikap.
Dikenakannya blazer navy dipadukan dengan kemeja biru muda, dan sepatu loafers hitam. Rambut hitamnya dibiarkan jatuh tanpa ditata dengan gel rambut, membuat kesan lebih muda dan segar. Ditangan kanannya melingkar jam tangan Aeronavale dari Bell & Ross menambah pesonanya.
Meskipun penampilannya sudah maksimal, dalam hati Gian merutuk tiap detiknya karena harus melakukan perkenalkan yang melelahkan seperti ini. Di Sabtu malam dia hanya ingin beristirahat di apartemennya menonton film dan membaca artikel-artikel bisnis menarik yang bisa dia temukan di internet. Baginya semua ini tidak penting, yang dia inginkan hanya ditinggalkan sendirian, hidup damai, dan bekerja sepenuh hati setiap hari.
Devi datang tepat jam 7.15 beberapa menit lewat dari waktu yang dijanjikan. Dia berjalan ke arah Gian mengenakan sheath dress warna putih dan stilleto warna peach senada dengan hand bag-nya. Rambutnya disanggul ke belakang memperlihatkan leher jenjangnya yang dihiasi kalung perak dengan pearl. Devi kemudian tersenyum dan menjabat tangan Gian.
“Thank you for patientely waiting, jalanan agak macet tadi.” Sapanya kemudian duduk di depan Gian.
“No problem.” Jawab Gian singkat.
Bohong jika Gian menyebut perempuan di depannya tidak menarik. Wajahnya agak bulat dengan mata besar dan hidung mancung, bibirnya tipis membentuk garis senyum yang ramah. Gian tidak perlu mengkhawatirkan pilihan Arsila, dia pasti memperkenalkan teman-teman cantiknya pada Gian.
Mereka berbasa-basi mengenai pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Hingga pesanan pertama muncul di meja, Fish Branded on Baguette Crostini and Orange Sauce sebagai menu starter. Gian melihat perempuan tersebut dengan elegan mencicipi makanannya. Jelas dia dibesarkan di keluarga terhormat dan berpendidikan. Sejauh ini kesan yang dapat dirasakannya cukup positif.
“Aku agak kaget sebenarnya waktu Sila menghubungi buat kenalan sama sepupunya.” Kata Devi memecah keheningan.
“Kenapa?”
“Gian pebisnis terkenal yang selama ini jarang diketahui status percintaannya, tiba-tiba ngajak kenalan.”
“Is that weird?”
“Ga juga. Aku malah senang pas tau kamu ngajak kenal. To be honest, kaget dan senang.”
“Senang? Kayanya ga harus kaya gitu juga.”
“Why not? Aku udah lama tau kamu, lebih tepatnya kagum sama kamu. Beberapa kali ikut seminar bisnis yang kamu adain. Eh tiba-tiba dapat undangan dinner dari orang yang dikagumi.”
Gian berhenti mengunyah makanannya “Gitu.” Jawabnya singkat. Arsila sudah memberitahunya bahwa perempuan di depannya tersebut memang telah lama menyukainya. Entah kenapa semua kesan positif padanya berubah menjadi perasaan tak enak dan terbebani. Dia bisa membayangkan akan ditarik ke hubungan yang dia tak mau jalani.
Devi terus membicarakan mengenai kekagumannya pada Gian. Sikap tersebut membuat Gian merasa muak sendiri. Padahal yang diinginkannya hanya diskusi santai dan saling mengenal. Selama lebih dari satu jam pertemuan tersebut, Devi mendominasi pembicaraan. Tak disangka perempuan tersebut sangat agresif merebut perhatian Gian.
...***...
Arsila terus mengoceh berjam-jam di telepon. Memarahi Gian, pasalnya pemuda tersebut memilih tidak melanjutkan perkenalannya dengan Devi.
“Dia annoying, Sil. Masa dia terus ngomongin kalau nikah mau di gedung A, dekornya begini lah begitu lah. Kaya udah jelas aja gua pasti milih dia karena gua ajak kenalan doang.” Keluh Gian.
“Lagian ya, dia diperusahaan bapaknya cuma numpang nama. Gak tau malu banget dia bilang kalau half of kerjaan dia sebenernya ga dia ngerti dan dikerjain sama bawahannya. Dia dengan bangganya bilang mau buka butik because it’s her passion. Ga profesional.” Lanjut Gian membalas protes Arsila.
“Lu tuh banyak banget pet peeves-nya sih. Ribet jadi cowo. Orang tuh malah mau dikejar-kejar sama cewe. Lu malah ogah-ogahan gitu.”
“Gak. Gak. Gak. Gua ga doyan ada orang yang sebegitu terobsesi sama gua, nanti gua ga punya ruang gerak buat berkarir. Ogah sama cewe annoying begitu.”
“GIAAAAAANNNNNN!!!” Teriak Arsila frustrasi.
3 bulan selanjutnya Gian sibuk menghadiri perkenalkan-perkenalan dengan teman Arsila. Selama itu pula dia terus menolak banyak perempuan. Semakin hari komplainnya semakin banyak. Gian semakin pemilih.
Dia bahkan mulai mengomentari cara makan, cara berbusana dan cara berbicara semua kenalannya tersebut. Hal itu bahkan tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Gian mencari-cari alasan apa saja agar perkenalkan tidak berlanjut.
Sikapnya semakin mengada-ada dan sulit diatasi. Level pemilihnya sudah semakin tidak waras. Mungkin Gian sebenarnya hanya butuh dibuat jatuh cinta secara alami, tanpa dorongan-dorongan dan pertemuan settingan. Namun mengingat dia punya batas waktu agar segera menemukan pasangan, itu akan sulit. Kesimpulan yang Arsila dapatkan selama 3 bulan tersebut, Gian adalah lelaki yang sulit dibuat jatuh cinta.
Setelah berbagai protes dan amukan Arsila selama 3 bulan kebelakang. Akhirnya Arsila mengibarkan bendera putih tanda menyerah membantu Gian. Gian tidak bisa berbohong jika merasa panik, hanya 3 bulan lagi sebelum semua yang dia punya lenyap. Posisi yang dia idamkan sedari kecil tak akan lagi menjadi miliknya. Namun hati dan pikirannya tak kunjung berlabuh pada seseorang. Semakin banyak dia mengenal seseorang, semakin dia tak menginginkan pernikahan. Menghabiskan seluruh hidupnya bersama orang lain yang berpotensi mengganggu kedamaiannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!