DIA PELAKUNYA? EERINESS ....
Namaku Livia Virgo. Mungkin sebagian dari kalian sudah mengenalku. Ya, aku belum mati. Aku tak tahu apakah ini anugerah, atau sebuah kutukan bagiku di kehidupan yang kedua ini. Sejak terbangun dari koma yang cukup panjang--karena terjatuh dari lantai tiga bersama Tara, aku jadi punya kemampuan. Yaitu ... bisa melihat makhluk tak kasat mata. Jika sebelumnya aku hanya bisa melihat Indrika, saudara kembar mantan sahabatku (mungkin alasannya karena Indrika yang menginginkan aku melihatnya, agar aku bisa menolongnya). Sekarang .. aku bisa melihat mereka semua yang tak terlihat.
Saat pertama kali menyadari akan kemampuan yang kumiliki. Aku merasa tertekan, bahkan beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Namun, aku selalu hidup kembali. Sampai ibuku pun sempat frustrasi melihat tingkahku yang semakin hari semakin parah layaknya orang tak waras. Aku tak ingin jadi gila seperti Tara, karena tidak kuat menanggung kemampuan yang ia miliki.
Sampai akhirnya otak sehatku berpikir, mungkin ada alasannya Tuhan belum menakdirkanku mati. Aku pun bertekad untuk mencari jawaban atas kemampuan yang kumiliki. Dengan bermodalkan tekad yang kumiliku, aku pun mampu bertahan sampai hari kelulusan.
Kupandangi langit cerah berwarna biru berhiasi awan putih. Para murid bersorak bahagia karena mereka lulus. Semuanya terlihat senang karena bisa lulus bareng teman-temannya. Sedangkan aku ... hanya duduk sendiri di bangku taman sekolah. Mengingat semua kenangan yang kualami di sekolahan ini.
"Gue rindu lo, Leo." Tak terasa air mataku menetes, walaupun hanya sekali.
Sudah kuputuskan untuk memulai hidup baru dan memutuskan untuk kuliah ke luar kota--memilih universitas di luar kota. Setahun aku bertahan hidup tanpa Leo kekasihku ... tanpa para mantan sahabatku yang kini sudah mendekam di penjara (andai saja mereka tidak mengambil jalan yang salah, mungkin kami masih tertawa bersama menikmati hari-hari terakhir di sekolah). Sungguh berat kulalui semua sendirian. Tapi, aku sudah bertahan sejauh ini. Aku pasti bisa melalui semuanya. Aku pun sudah mulai terbiasa dengan kehadiran 'mereka' dalam hidupku, meskipun kadang masih merasa takut (karena kehadiran mereka selalu tiba-tiba ada di hadapanku). Berbagai macam rupa sudah kulihat, dari yang wajahnya masih utuh. Sampai yang sudah tak berbentuk wajah--bahkan tubuhnya.
Aku menghela napas panjang saat sampai di rumah dan menghempaskan diri bersandar di sofa. Kulirik seorang wanita yang masih merangkak dari tembok dapur ke tembok yang lain. Meskipun bisa melihatnya, namun aku tetap pura-pura tak merasakan kehadirannya. Karena, jika mereka tahu bahwa kita menyadari kehadiran mereka. Mereka akan tertarik dan terus mengikuti kita.
Pertama kali melihat makhluk itu, aku sangat terkejut karena ternyata rumahku dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Apakah makhluk itu ada di rumah ini sudah sejak lama? Mungkin dari sebelum aku pindahan, hanya saja aku tak bisa melihatnya saat itu.
Ibu menghampiriku dengan senyuman. "Apa kamu sudah putuskan untuk masuk ke universitas mana?" tanyanya.
"Belum, Bu. Tapi, yang pasti ... aku mau kuliah di luar kota aja," kataku sambil menatap langit-langit rumah.
"Kamu yakin? Kenapa nggak di dalam kota aja. Kan banyak universitas yang bagus."
Aku membenarkan posisi duduk, menghadap ke arah Ibu.
"Ibu kan tahu alasan aku kuliah di luar kota apa, aku nggak mau terus-terusan terpuruk dengan masa laluku yang kelam, Bu." Pandangan mataku lurus ke depan. "Aku mau memulai hidup baru, Bu. Meninggalkan semua kenangan buruk di sekolahku."
"Tapi, nanti kamu mau tinggal di mana?"
Aku memalingkan wajah pada Ibu. "Ya, di kos-kosan paling, Bu. Ibu punya teman atau siapa gitu yang dekat sama universitas yang Via minati nggak?"
Ibu terlihat berpikir. Lalu beberapa menit kemudian berkata, "Ada satu teman Ibu. Kebetulan dia punya kos-kosan di daerah situ. Kamu mau ngekos di dia?"
Aku menyunggingkan senyuman. Dengan semangat mengangguk-anggukan kepala. "Mau, Bu."
"Sebentar Ibu mau telpon dulu orangnya. Siapa tahu ada kos-kosan yang masih kosong." Ibu beranjak dari duduknya, lalu mengambil ponsel miliknya. Kulihat jarinya yang tengah sibuk mengusap layar terang itu. Beberapa detik kemudian ditempelkan pada telinganya.
Mataku menatap ke atas kepala Ibu, di sana tergantung sesosok makhluk yang sedari tadi membuatku merasa tak nyaman. Karena wajahnya yang hancur, bahkan bola matanya tak ada satu. Meskipun ia tinggal di rumah kami, tapi tak pernah sekalipun makhluk itu mengganggu kami. Aku bersyukur dia bukan makhluk jahat.
Ibu menutup ponselnya, lalu kembali menghampirku.
"Kamu beruntung, Sayang. Kebetulan kos-kosan milik teman Ibu ada yang kosong."
"Syukur, deh. Jadi, aku nggak perlu pusing cari kos-kosan. Sekarang aku mau beresin barang-barang untuk dibawa nanti, Bu. Sekalian nulis daftar barang-barang yang harus dibawa saat ospek nanti." Aku pamit beranjak ke kamar.
Saat melewati makhluk itu, aku melengos agar tak bertatapan wajah dengannya. Selama ini aku diam, asal makhluk itu tidak mengganggu kami.
***
Ayah dan Ibu mengantarku pergi ke kos-kosan Tante Sumi--nama pemiliknya, untuk memastikan bahwa aku selamat sampai sana. Mungkin mereka masih trauma dengan masa-masaku di sekolah kala itu. Mereka tak ingin aku kembali terpuruk seperti dulu.
Aku seperti merasa deja vu, teringat masa saat pertama kali pindah ke sekolah baru. Saat itu perasaanku sedih, sekarang pun sama. Sedih karena nasib percintaan yang baru saja akan kumulai langsung kandas saat itu juga.
Selang beberapa jam, kami pun sampai di depan sebuah bangunan bertingkat. Banyak pintu berjejer, ada sekitar 10 pintu. Masing-masing 5 kamar bawah, di depannya terdapat teras 1 meter yang memanjang, dan 5 kamar di atas demikian juga ada balkon 1 meter dengan void sumber cahaya 1 meter juga. Kos-kosan milik Tante Sumi itu termasuk kos-kosan elit dengan gaya arsitektur modern. Di halamannya terdapat pohon sawo yang menjulang tinggi. Kupastikan ketinggiannya sampai 20 meter. Dan di bawahnya terdapat sebuah ayunan besi yang terlihat sudah karatan, mungkin bekas dipakai oleh anaknya. Lalu di samping kos-kosan itu ada sebuah rumah tunggal, yang sederhana. Kupastikan itu rumahnya Tante Sumi.
Begitu sampai di depan pintu, kami langsung disambut hangat olehnya. Ayah dan Ibu berbincang selama satu jam dengan Tante Sumi.
"Aku titip anakku, ya." Setelah berkata begitu, Ayah dan Ibu pamit pulang. Kini hanya ada aku dan Tante Sumi.
"Ayo, saya antar kamu ke kamarmu." Ia menuntunku menuju kos-kosan miliknya. Aku diberi kamar nomor 3 di lantai atas.
Kos-kosan ini begitu sepi, apakah masih banyak kamar yang kosong?
"Sepi, ya?" tanyanya seolah bisa membaca pikiranku. "Anak-anak yang ngekos di sini semua pada pulang kampung. Mungkin besok mereka baru pulang. Karena kan sebentar lagi libur kuliah sudah mau selesai. Tapi, sebagian juga ada kamar yang masih kosong. 2 yang paling ujung sana," tunjuknya ke kamar yang nomor 4 dan 5. "Kamar itu masih kosong."
"Kalau yang di bawah udah penuh semua," celotehnya lagi. "Dan yang ini sama itu udah ada yang isi." Ia menujuk kamar nomor 1 dan 2 ketika kami menaiki tangga. "Sebagian mahasiswa yang ngekos di sini perempuan. Laki-laki hanya ada dua orang di lantai bawah," sambungnya saat kami tiba di kamar pertama lantai atas.
Tak heran jika banyak mahasiswa yang memilih ngekos di sini, karena selain kos-kosannya adem dan nyaman. Harganya juga sangat terjangkau bagi kalangan mahasiswa. Hanya saja ada sedikit yang memberikan kesan seram--pohon sawo yang terletak di depannya. Entah mengapa Tante Sumi tak menebang pohon itu, mungkin saja ada alasan tersendiri.
"Meskipun kos-kosan ini bebas. Tapi, kamu nggak boleh sembarangan bawa anak lelaki ke sini ya tanpa sepengetahuan saya," katanya saat kami sampai di depan kamar yang akan kutempati.
"Baik, Bu," jawabku.
Beliau mengambil kunci dari saku bajunya. Lalu membuka pintu. "Kamu udah punya pacar?" tanyanya sambil menyunggingkan senyuman.
"Belum, Bu," jawabku singkat.
"Panggil Tante aja," tuturnya.
"Baik, Tante."
"Ini kuncinya kamu pegang." Ia memberikan kunci itu padaku.
"Kamu baik-baik ya di sini. Semoga betah." Setelah berkata begitu. Tante Sumi langsung bergegas pergi ke rumahnya meninggalkanku.
Aku celingak-celinguk menatap ke sekeliling kamar. Kamarnya dibuat memanjang dengan ukuran 2,5 x 3,5 m. Kecuali kamar yang paling belakang hanya 2 meter saja berikut kamar mandi.
Ruangan utama ini kujadikan sebagai tempat tidur, aku tak perlu tidur di lantai karena Ibu sudah meminta Tante Sumi untuk menalangi kasur yang akan dipakai tidur olehku. Dan kupastikan tadi Ibu sudah membayarnya beserta uang kos-kosan bulan ini.
Segera aku membereskan semua baju-baju ke keranjang yang sudah dibeli khusus untuk menyimpan pakaian. Di sudut ruangan terdapat meja kecil yang sengaja disiapkan untukku (tentu saja Ibu yang membelinya). Meja itu akan kugunakan sebagai tempat laptop dan buku-buku untuk mengerjakan tugas. Setelah semua beres. Barulah aku bisa santai untuk tidur menghilangkan rasa lelah hari ini karena sudah melakukan perjalanan jauh.
*jangan lupa like+vote+komen ya guys. 😉😉😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
나의 햇살
namanya kyk zodiak gw
2022-09-16
0
redrose
mash ngarep leo hiduup
2021-02-28
0
Mae Saroh
like mendarat kaka, baca novel ku juga ya.
2021-02-18
0