BAB 4

Akhirnya masa ospek selama tiga hari berjalan dengan lancar. Dan aku senang sekali, karena seharian ini kating genit itu tidak menggangguku. Sepertinya ia tipe cowok yang langsung mundur jika sesuatu yang diinginkannya tak dapat diraih.

"Akhirnya selesai juga kegiatan-kegiatan yang melelahkan itu." Kia meregangkan otot-ototnya tangannya.

Ya, kegiatan kami hari ini memang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, hari terakhir ospek benar-benar diisi dengan kegiatan yang begitu padat. Sampai-sampai badanku pun terasa lelah.

"Jangan senang dulu, loh. Itu artinya kita udah jadi mahasiswa. Siapkan mental lo buat menghadapi kehidupan yang sesungguhnya," candaku sambil membentangkan tangan di depan wajahnya.

Mendadak Kia memasang wajah sedih. "Yaahh, lo benar juga. Pasti lebih banyak tugas lagi ... sebenarnya, sih. Kalau bukan karena orang tua yang maksa gue untuk kuliah. Gue nggak mau," curhatnya.

Aku mengkerutkan kening. "Loh, emangnya kenapa lo nggak mau kuliah?"

"Sebenarnya gue tuh pengen langsung kerja aja. Pengen langsung nyenengin ortu gue, tapi mereka kekeh gue harus kuliah. Padahal gue nggak mau nyusahin mereka mulu. Kasihan mereka harus kerja buat biaya pendidikan gue. Belum lagi biaya sekolah adik gue yang masih SMP," jelasnya dengan lesu.

Aku tak tahu harus ngomong apa. "Mungkin lo bisa bantu mereka dengan belajar yang rajin. Supaya lo bisa lulus dengan nilai-nilai yang memuaskan nanti." Yang bisa kulakukan saat ini hanya menyemangatinya.

Kia tersenyum. "Lo benar, Via." Lalu ia mengepalkan tangan kanannya. "Gue harus belajar yang rajin supaya nilai gue bagus-bagus," katanya menggebu-gebu.

"Nah, gitu dong!" Kami pun tertawa.

"Oh, ya. By the way, lo beneran udah punya pacar? Cowok lo kuliah atau udah kerja?" tanya Kia beberapa saat kemudian.

Aku menghentikan langkah kakiku begitu dengar pertanyaan yang membuatku sedih. Kia pun ikut menghentikan langkah kakinya. Menunggu jawaban dariku.

"Sebenarnya gue udah punya pacar. Tapi ... itu dulu waktu masih SMA," jawabku sebisa mungkin tidak memasang ekspresi sedih.

"Terus sekarang udah putus?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng pelan. "Nggak. Tapi dia ... udah meninggal."

Kia nampak terkejut melihat jawabanku. "Sori, Via. Gue nggak maksud buat lo sedih."

"Lo santai aja kali. Lagian bukankah semua yang hidup akan mati?"

Kia manggut-manggut. "Iya, sih. Terus kenapa lo bilang sama Kak Raefal kalau lo udah punya cowok?"

"Biar dia nggak ganggu gue terus. Gue nggak suka sama cowok genit kayak gitu. Yang dengan gampangnya ngomong suka sama cewek lain. Sama aja kayak playboy, kan?" jelasku.

"Iya, juga ..." ujarnya sambil menopang dagunya. "Tapi, Kak Raefal ganteng, loh. Bisa gue pastikan dia itu cowok populer di kampus. Lo pasti ngerasa juga kan, selama tiga hari banyak cewek-cewek yang dekatin dia?"

Yeah, kuakui cowok itu memang tampan, perawakannya tak jauh beda dari Leo. Namun, tetap Leo yang nomor satu bagiku.

Krekkk ... terdengar suara ranting patah yang terinjak oleh manusia. Aku dan Kia langsung menoleh secara bersamaan. Namun, kita tak menemukan siapa pun di sana selain hanya kita berdua. Aneh apakah ada seseorang yang menguntit kita?

Kia menatapku lekat-lekat. "Apa ada orang yang ngikutin kita?" tanyanya.

Aku mengedikkan bahu. "Mungkin kucing kali."

Hening sejenak. Hanya ada suara semilir angin yang menerpa rambut.

Aku merangkul Kia dan bicara di dekat telinganya. "Lo suka sama dia?" godaku mencairkan suasana.

"Lo gila? Ya, nggak lah. Emang gue cewek apaan langsung suka sama cowok gitu aja," ujarnya sambil membanting pelan lenganku dari pundaknya.

"Nah, itu juga yang gue rasain. Nggak segampang itu buat jatuh cinta sama orang. Apalagi hati orang yang ditinggal mati sama kekasihnya," kataku sok bijak.

Tak terasa kami pun sampai di kos-kosan. Di kamar nomor 1 lantai bawah, aku melihat seorang lelaki berperawakan besar turun dari sebuah motor dengan menggendong sebuah tas. Ia melihat ke arah kami saat kami akan menaiki tangga. Karena memang kebetulan kamarnya dekat dengan tangga ke lantai atas.

"Hei, kalian berdua penghuni baru, ya?" tanyanya disertai senyuman.

"Saya Radit, penghuni lama di kosan ini." Ia mengulurkan tangannya padaku dan Kia bergantian.

Kulirik Kia yang masih memegangi tangan pria itu sangat lama. Pria itu terlihat tidak nyaman atas tindakan Kia padanya. Gadis berwajah imut itu masih saja belum melepaskan jabatan tangannya, padahal pria itu sudah berusaha untuk melepaskan tangannya.

"Kia!" Aku menyenggolnya dengan lenganku untuk menyadarkan dirinya.

Kia langsung tersadar ketika mendapatkan guncangan dariku. Ia pun buru-buru melepaskan tangannya itu. "Sori," katanya disertai senyuman.

"Mas udah nikah?" Aku membulatkan mata mendengar pertanyaan Kia. Tak disangka ia akan bicara seperti itu.

"Belum, saya masih single."

"Kebetulan dong, Mas. Saya juga single." Kia terkekeh dengan nada centil.

Astaga, aku semakin tak habis pikir apa ... yang sudah terjadi dengan otaknya. Apakah tadi saat merangkul bahunya tanganku mengenai kepalanya sehingga ada pergeseran otak--Oke mungkin itu sungguh mustahil.

"Mmm ... maaf saya harus masuk ke dalam, mau istirahat," pamitnya, tanpa menunggu jawaban dari kami, ia langsung masuk ke dalam.

Sementara Kia, ia terlihat masih menatap ke arah pintu kamar milik pria itu dengan ekspresi orang yang sedang jatuh cinta.

"Lo kenapa, sih? Kok jadi aneh gitu?" tanyaku sambil memegangi keningnya. Siapa tahu tiba-tiba saja Kia terkena demam, sehingga otaknya tak bisa berpikir dengan jernih.

"Tuhan sudah menurunkan seorang pangeran buat gue, Viaaa! Lo lihat nggak? Dia itu cowok tipe gue banget ... dewasa dan kekar," katanya dengan girang sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.

Tentu saja itu membuatku pusing. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Kia yang kayak ABG baru kenal cinta. "Perasaan beberapa menit yang lalu ada yang bilang nggak gampang suka sama cowok baru kenal," sindirku.

Kia nyengir sambil berkata. "Dia itu pengecualian," katanya sedikit menekan.

"Tau, ah. Gelap." Aku pun meninggalkannya sendiri.

"Tungguin, gue!" teriaknya sambil menyusulku naik ke atas.

***

Malam datang begitu cepat, aku pun tidur lebih awal agar esok hari bangun dengan tubuh segar.

Saat menutup mata, di antara berisiknya bunyi kipas angin yang menyala terdengar bisikan halus yang terbawa angin.

"Tolong aku ..." Suara itu terbawa angin yang berembus melewati telingaku.

Seketika aku langsung terbangun. Suara siapa itu?

"Toloong akuuu ..." Bisikan itu semakin lama semakin nyata, meski suaranya lirih tertahan.

"Siapa itu?" tanyaku sambil menatap ke sekeliling. Namun, suara bisikan itu tak terdengar lagi.

Hanya ada suara jangkrik yang terdengar dari luar.

Tak berselang lama, terlihat sekelebat bayangan sosok perempuan melesat melewati jendela kamarku. Sontak saja itu membuatku langsung terbangun.

"Siapa pun lo ... gue mohon jangan ganggu gue. Gue nggak mau terlibat lagi sama masalah yang bisa membahayakan hidup gue. Gue cuma mau hidup dengan tenang," gumamku setengah menangis hingga suara itu sudah tak terdengar lagi.

Terpopuler

Comments

Nurhaedah

Nurhaedah

aku suka thor inikan lanjutan kisahnya si Tara yg bisa liat mahluk tak kasat mata👍👍👍

2020-07-27

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!