Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sesekali menguap lebar. Jam berapa sekarang. Aku menekan ponsel milikku untuk melihat waktu, karena belum punya jam dinding.
Sudah pukul delapan malam. Aku ketiduran selama ini. Hoammm ... lagi-lagi aku menguap lebar. Aku beranjak bangun mengambil handuk dan sabun untuk mandi.
Kuputar keran, air pun mengalir suaranya yang deras memecah keheningan malam. Saat tengah asyik mandi, samar-samar telingaku menangkap sebuah suara yang sangat bising. Seperti suara orang-orang yang tengah mengobrol dan bercanda. Apakah orang-orang itu tak punya kerjaan sehingga mereka membuat keributan malam-malam begini. Tapi, aku tak terlalu memedulikannya--dan karena statusku yang masih penghuni baru.
Selesai mandi badan rasanya sangat segar. Aku kembali mengecek barang-barang persiapan untuk ospek nanti. Tiba-tiba aku mendengar suara bunyi decitan dari luar. Seperti suara gesekan besi. Aku pun memberanikan diri untuk keluar dan melihat ke bawah. Kulihat ayunan tua yang setengah berkarat itu mengayun. Ada seorang gadis sedang duduk di sana. Pandangan matanya lurus ke depan.
"Siapa dia?" tanyaku dalam hati.
Apakah dia manusia? Terkadang aku tak bisa membedakan mana manusia dan mana makhluk gaib. Karena, kadang-kadang penampilan mereka terlihat normal sama seperti kita--manusia. Masa bodo, aku langsung masuk kembali dan menutup pintu. Tak peduli dengan apa yang kulihat. Namun, yang masih menggangguku adalah suara bising dari kamar nomor 2. Padahal tadi sempat sunyi, entah mengapa orang-orang itu kembali membuat kegaduhan. Aku pun mengambil earphone dan menyalakan musik untuk mengusir keributan tak jelas dari kamar sebelah.
***
Pagi yang cerah kuawali dengan membersihkan kamar kos ini. Kemarin hanya sempat membereskan barang-barangku saja. Aku meminjam sapu ke Tante Sumi, karena belum punya sapu sendiri. Mungkin Ibu lupa membelinya, sepertinya hari ini aku harus ke toko perlengkapan rumah tangga.
Saat tengah asyik menyapu, aku mendengar suara deru kendaraan di bawah. Aku menjulurkan kepala untuk melihat siapa yang datang dari bawah.
Seorang wanita turun dari mobil, satu tangannya memegang koper. Lalu ia naik ke atas menuju ke arahku. Siapa dia? Apakah penghuni lama atau baru di kosan ini.
Setelah sampai di atas, ia berhenti di kamar nomor 2. Sekilas ia melirikku, aku melemparkan senyum padanya. Namun, apa yang ia lakukan? Ia justru memalingkan wajahnya dengan sinis.
Aku menggerutu dalam hati. Sombong banget, sih. Setidaknya balas senyum doang kek. Tapi ... baru kuingat sesuatu. Jika penghuni kamar 2 baru datang, itu artinya yang semalam berisik itu ... aku menelan saliva. Mengapa tidak ada tempat di dunia ini yang tidak dihuni oleh 'mereka'. Di mana pun aku berada, mereka selalu ada. Aku menghela napas pelan lalu mengembuskannya dengan berat. Semoga saja makhluk-makhluk yang tinggal di sini tidak berbahaya seperti yang ada di rumahku.
Karena sebagian dari mereka juga ada yang jahat, dan ada yang baik. Ada yang usil, dan ada yang hanya diam saja. Tak jauh beda dari manusia. Biasanya makhluk yang punya aura jahat dan bergentayangan, adalah mereka yang punya tujuan belum terselesaikan. Atau bahkan dendam yang menggebu di hati sampai mereka mati.
Selesai menyapu, aku mengganti pakaian rapi. Siap-siap untuk pergi membeli perlengkapan rumah tangga yang akan kupakai di kosan. Seperti sapu, kain pel, kalau perlu beli perlengkapan cuci baju juga.
Jarak kosan dengan jalan kota lumayan dekat. Bahkan bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Letak kosan Tante Sumi benar-benar strategis. Dekat dengan jalanan yang banyak toko-toko, bahkan tukang dagang jajanan berjejeran di sepanjang jalan. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat salah satu toko yang kucari. Di sana benar-benar lengkap. Jadi, aku tak perlu lagi mencari beberapa barang di toko lain.
Aku membeli sapu, pel, ember, penggilasan untuk mencuci baju (aku memilih menggunakan peralatan tradisional, sekalian belajar mandiri). Oh, ya. Aku lupa belum punya gantungan baju. Aku pun mengambil sepaket yang terbuat dari kawat. Saat hendak meraihnya (kebetulan tempatnya lumayan tinggi sampai aku harus berjengket agar tanganku mencapainya), tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku. Aku pun tersungkur ke depan dan meringis kesakitan karena lututku terbentur ke lantai dengan keras. Sakit sekali.
Aku bangun dan berbalik untuk melihat siapa yang sudah mendorongku. Seorang cowok mengenakan jaket kulit berdiri di sana. "Woi, Mas. Kalau jalan pake mata, dong!" omelku.
"Maaf, Mba. Saya nggak sengaja."
"Maaf, maaf ... sakit tahu!" Namun, celotehku terhenti saat melihat seorang nenek-nenek berdiri di dekatnya. Mukanya seram, matanya memelototiku. Sepertinya ia tak suka saat aku memarahi pemuda itu. Entah nenek tua itu salah satu penghuni toko ini atau memang makhluk yang mengikuti pemuda itu. Karena tak mau berurusan dengan hal begituan, aku pun melengos pergi meninggalkannya tanpa kata. Aku juga belum tahu apakah makhluk itu jahat atau baik, kalau nenek tua itu jahat bagaimana? Bisa-bisa dia mencelakaiku.
Setelah selesai membayar, aku tinggal menunggu tukang ojek. Hal bodoh jika aku memaksakan diri berjalan kaki--meskipun jaraknya dekat dengan kosan, karena selain ribet membawa barang sebanyak ini. Dan sialnya lututku juga masih terasa sakit bekas jatuh tadi.
"Mau kubantu?" tanya seseorang tiba-tiba. Saat menengok ternyata cowok tadi yang mendorongku.
Aku tak menjawabnya. Bukannya sombong, aku hanya tak ingin berurusan dengannya karena dia mempunyai seorang 'pengikut', nenek tua tadi. Ternyata benar nenek tua itu bukan penghuni toko tempatku belanja. Melainkan makhluk yang mengikuti pemuda itu.
"Masih marah soal kejadian yang tadi? Gue minta maaf. Tadi benar-benar nggak sengaja."
"Iya nggak papa, gue udah maafin kok," kataku sambil celingak-celinguk berharap ada tukang ojek yang lewat.
"Sebagai permintaan maaf, gimana kalau elo gue antar ke rumah ...."
Aku langsung menengok ke arahnya. Menatapnya tajam, apa maksudnya bicara begitu? Atau jangan-jangan dia punya niat jahat.
Sepertinya ia bisa menangkap sorot mataku yang melihatnya penuh curiga. "Elo jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Anggap aja ini sebagai permintaan maaf gue. Kaki elo juga pasti sakit kan tadi?"
"Gue hargai tawaran lo. Tapi, sori. Gue mau naik ojek aja," tolakku.
"Panas, loh. Nunggu ojek lama. Mending langsung sama gue aja."
Haisshh ... ini cowok kok maksa banget. Aku menatapnya kesal. Ia pun menangkap ekspresiku yang tidak suka akan kehadirannya.
"Sori ... oke, kalau emang lo nggak mau." Akhirnya dia mengalah.
Bagus deh kalau dia sadar.
"Kalau gitu gue pergi."
Tanpa menunggu jawabanku, ia pun bergegas pergi. Tentu saja bersama nenek tua itu yang masih mengekorinya.
"Gila panas banget." Aku mengipas-ngipas tangan ke arah wajah. "Padahal baru jam segini, tapi cuaca udah panas banget. Mana lagi tukang ojek ditungguin nggak ada yang lewat." Aku menggerutu kesal. Dan hampir saja putus asa karena sudah setengah jam aku berdiri di pinggir jalan menunggu tukang ojek. Namun, tak ada satu pun yang lewat juga.
Tiba-tiba seorang pengendara motor berhenti di depanku dan membunyikan klaksonnya ke arahku. Aku mengernyit, siapa orang itu. Dan langsung memasang wajah bete begitu orang itu membuka kaca helm gelapnya. Ternyata cowok yang tadi--kali ini ia tidak diikuti oleh nenek tua. Kemana perginya tuh nenek-nenek.
"Yakin masih mau nunggu?" tanyanya.
Aku diam, pura-pura melayangkan pandangan ke jalanan.
"Di daerah sini jarang ada tukang ojek yang lewat, loh. Mereka adanya di pangkalan ojek. Tapi jarak dari sini ke pangkalan ojek lumayan jauh, loh." Ia kembali bicara. Nada bicaranya seakan berkata "Elo nggak punya pilihan lain selain ikut sama gue."
Dan sialnya, aku memang tak punya pilihan lain selain menerima ajakannya. Karena kalau menunggu terus mau sampai kapan? Aku pun meletakkan barang-barangku sebentar di bawah dan menyabet helm yang ia ulurkan sejak tadi. Cowok itu menyunggingkan senyuman karena pada akhirnya aku kalah dan menerima tawarannya.
Kali ini aku bisa memasangkan tali pengait helm dengan benar. Berkat ajaran Leo ... sial, kenapa aku harus ingat lagi sama Leo. Jadi sedih, kan. Oke, buru-buru kubuang pikiran itu. Kalau terus dipikirkan, bisa-bisa aku nangis di jalanan. Dan orang-orang akan mengira bahwa cowok ini sudah melakukan sesuatu padaku, atau nanti mereka mengira kalau aku sudah diusir oleh suamiku, karena kedua tanganku dipenuhi oleh barang-barang rumah tangga--kan nggak lucu. Oke, mungkin otakku terlalu jauh berpikir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Dyah Ernawati Asmuri
bagus.....cerita yg berbeda dg yg lain
2020-12-16
0