NovelToon NovelToon

DIA PELAKUNYA? EERINESS ....

PROLOG

Namaku Livia Virgo. Mungkin sebagian dari kalian sudah mengenalku. Ya, aku belum mati. Aku tak tahu apakah ini anugerah, atau sebuah kutukan bagiku di kehidupan yang kedua ini. Sejak terbangun dari koma yang cukup panjang--karena terjatuh dari lantai tiga bersama Tara, aku jadi punya kemampuan. Yaitu ... bisa melihat makhluk tak kasat mata. Jika sebelumnya aku hanya bisa melihat Indrika, saudara kembar mantan sahabatku (mungkin alasannya karena Indrika yang menginginkan aku melihatnya, agar aku bisa menolongnya). Sekarang .. aku bisa melihat mereka semua yang tak terlihat.

Saat pertama kali menyadari akan kemampuan yang kumiliki. Aku merasa tertekan, bahkan beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Namun, aku selalu hidup kembali. Sampai ibuku pun sempat frustrasi melihat tingkahku yang semakin hari semakin parah layaknya orang tak waras. Aku tak ingin jadi gila seperti Tara, karena tidak kuat menanggung kemampuan yang ia miliki.

Sampai akhirnya otak sehatku berpikir, mungkin ada alasannya Tuhan belum menakdirkanku mati. Aku pun bertekad untuk mencari jawaban atas kemampuan yang kumiliki. Dengan bermodalkan tekad yang kumiliku, aku pun mampu bertahan sampai hari kelulusan.

Kupandangi langit cerah berwarna biru berhiasi awan putih. Para murid bersorak bahagia karena mereka lulus. Semuanya terlihat senang karena bisa lulus bareng teman-temannya. Sedangkan aku ... hanya duduk sendiri di bangku taman sekolah. Mengingat semua kenangan yang kualami di sekolahan ini.

"Gue rindu lo, Leo." Tak terasa air mataku menetes, walaupun hanya sekali.

Sudah kuputuskan untuk memulai hidup baru dan memutuskan untuk kuliah ke luar kota--memilih universitas di luar kota. Setahun aku bertahan hidup tanpa Leo kekasihku ... tanpa para mantan sahabatku yang kini sudah mendekam di penjara (andai saja mereka tidak mengambil jalan yang salah, mungkin kami masih tertawa bersama menikmati hari-hari terakhir di sekolah). Sungguh berat kulalui semua sendirian. Tapi, aku sudah bertahan sejauh ini. Aku pasti bisa melalui semuanya. Aku pun sudah mulai terbiasa dengan kehadiran 'mereka' dalam hidupku, meskipun kadang masih merasa takut (karena kehadiran mereka selalu tiba-tiba ada di hadapanku). Berbagai macam rupa sudah kulihat, dari yang wajahnya masih utuh. Sampai yang sudah tak berbentuk wajah--bahkan tubuhnya.

Aku menghela napas panjang saat sampai di rumah dan menghempaskan diri bersandar di sofa. Kulirik seorang wanita yang masih merangkak dari tembok dapur ke tembok yang lain. Meskipun bisa melihatnya, namun aku tetap pura-pura tak merasakan kehadirannya. Karena, jika mereka tahu bahwa kita menyadari kehadiran mereka. Mereka akan tertarik dan terus mengikuti kita.

Pertama kali melihat makhluk itu, aku sangat terkejut karena ternyata rumahku dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Apakah makhluk itu ada di rumah ini sudah sejak lama? Mungkin dari sebelum aku pindahan, hanya saja aku tak bisa melihatnya saat itu.

Ibu menghampiriku dengan senyuman. "Apa kamu sudah putuskan untuk masuk ke universitas mana?" tanyanya.

"Belum, Bu. Tapi, yang pasti ... aku mau kuliah di luar kota aja," kataku sambil menatap langit-langit rumah.

"Kamu yakin? Kenapa nggak di dalam kota aja. Kan banyak universitas yang bagus."

Aku membenarkan posisi duduk, menghadap ke arah Ibu.

"Ibu kan tahu alasan aku kuliah di luar kota apa, aku nggak mau terus-terusan terpuruk dengan masa laluku yang kelam, Bu." Pandangan mataku lurus ke depan. "Aku mau memulai hidup baru, Bu. Meninggalkan semua kenangan buruk di sekolahku."

"Tapi, nanti kamu mau tinggal di mana?"

Aku memalingkan wajah pada Ibu. "Ya, di kos-kosan paling, Bu. Ibu punya teman atau siapa gitu yang dekat sama universitas yang Via minati nggak?"

Ibu terlihat berpikir. Lalu beberapa menit kemudian berkata, "Ada satu teman Ibu. Kebetulan dia punya kos-kosan di daerah situ. Kamu mau ngekos di dia?"

Aku menyunggingkan senyuman. Dengan semangat mengangguk-anggukan kepala. "Mau, Bu."

"Sebentar Ibu mau telpon dulu orangnya. Siapa tahu ada kos-kosan yang masih kosong." Ibu beranjak dari duduknya, lalu mengambil ponsel miliknya. Kulihat jarinya yang tengah sibuk mengusap layar terang itu. Beberapa detik kemudian ditempelkan pada telinganya.

Mataku menatap ke atas kepala Ibu, di sana tergantung sesosok makhluk yang sedari tadi membuatku merasa tak nyaman. Karena wajahnya yang hancur, bahkan bola matanya tak ada satu. Meskipun ia tinggal di rumah kami, tapi tak pernah sekalipun makhluk itu mengganggu kami. Aku bersyukur dia bukan makhluk jahat.

Ibu menutup ponselnya, lalu kembali menghampirku.

"Kamu beruntung, Sayang. Kebetulan kos-kosan milik teman Ibu ada yang kosong."

"Syukur, deh. Jadi, aku nggak perlu pusing cari kos-kosan. Sekarang aku mau beresin barang-barang untuk dibawa nanti, Bu. Sekalian nulis daftar barang-barang yang harus dibawa saat ospek nanti." Aku pamit beranjak ke kamar.

Saat melewati makhluk itu, aku melengos agar tak bertatapan wajah dengannya. Selama ini aku diam, asal makhluk itu tidak mengganggu kami.

***

Ayah dan Ibu mengantarku pergi ke kos-kosan Tante Sumi--nama pemiliknya, untuk memastikan bahwa aku selamat sampai sana. Mungkin mereka masih trauma dengan masa-masaku di sekolah kala itu. Mereka tak ingin aku kembali terpuruk seperti dulu.

Aku seperti merasa deja vu, teringat masa saat pertama kali pindah ke sekolah baru. Saat itu perasaanku sedih, sekarang pun sama. Sedih karena nasib percintaan yang baru saja akan kumulai langsung kandas saat itu juga.

Selang beberapa jam, kami pun sampai di depan sebuah bangunan bertingkat. Banyak pintu berjejer, ada sekitar 10 pintu. Masing-masing 5 kamar bawah, di depannya terdapat teras 1 meter yang memanjang, dan 5 kamar di atas demikian juga ada balkon 1 meter dengan void sumber cahaya 1 meter juga. Kos-kosan milik Tante Sumi itu termasuk kos-kosan elit dengan gaya arsitektur modern. Di halamannya terdapat pohon sawo yang menjulang tinggi. Kupastikan ketinggiannya sampai 20 meter. Dan di bawahnya terdapat sebuah ayunan besi yang terlihat sudah karatan, mungkin bekas dipakai oleh anaknya. Lalu di samping kos-kosan itu ada sebuah rumah tunggal, yang sederhana. Kupastikan itu rumahnya Tante Sumi.

Begitu sampai di depan pintu, kami langsung disambut hangat olehnya. Ayah dan Ibu berbincang selama satu jam dengan Tante Sumi.

"Aku titip anakku, ya." Setelah berkata begitu, Ayah dan Ibu pamit pulang. Kini hanya ada aku dan Tante Sumi.

"Ayo, saya antar kamu ke kamarmu." Ia menuntunku menuju kos-kosan miliknya. Aku diberi kamar nomor 3 di lantai atas.

Kos-kosan ini begitu sepi, apakah masih banyak kamar yang kosong?

"Sepi, ya?" tanyanya seolah bisa membaca pikiranku. "Anak-anak yang ngekos di sini semua pada pulang kampung. Mungkin besok mereka baru pulang. Karena kan sebentar lagi libur kuliah sudah mau selesai. Tapi, sebagian juga ada kamar yang masih kosong. 2 yang paling ujung sana," tunjuknya ke kamar yang nomor 4 dan 5. "Kamar itu masih kosong."

"Kalau yang di bawah udah penuh semua," celotehnya lagi. "Dan yang ini sama itu udah ada yang isi." Ia menujuk kamar nomor 1 dan 2 ketika kami menaiki tangga. "Sebagian mahasiswa yang ngekos di sini perempuan. Laki-laki hanya ada dua orang di lantai bawah," sambungnya saat kami tiba di kamar pertama lantai atas.

Tak heran jika banyak mahasiswa yang memilih ngekos di sini, karena selain kos-kosannya adem dan nyaman. Harganya juga sangat terjangkau bagi kalangan mahasiswa. Hanya saja ada sedikit yang memberikan kesan seram--pohon sawo yang terletak di depannya. Entah mengapa Tante Sumi tak menebang pohon itu, mungkin saja ada alasan tersendiri.

"Meskipun kos-kosan ini bebas. Tapi, kamu nggak boleh sembarangan bawa anak lelaki ke sini ya tanpa sepengetahuan saya," katanya saat kami sampai di depan kamar yang akan kutempati.

"Baik, Bu," jawabku.

Beliau mengambil kunci dari saku bajunya. Lalu membuka pintu. "Kamu udah punya pacar?" tanyanya sambil menyunggingkan senyuman.

"Belum, Bu," jawabku singkat.

"Panggil Tante aja," tuturnya.

"Baik, Tante."

"Ini kuncinya kamu pegang." Ia memberikan kunci itu padaku.

"Kamu baik-baik ya di sini. Semoga betah." Setelah berkata begitu. Tante Sumi langsung bergegas pergi ke rumahnya meninggalkanku.

Aku celingak-celinguk menatap ke sekeliling kamar. Kamarnya dibuat memanjang dengan ukuran 2,5 x 3,5 m. Kecuali kamar yang paling belakang hanya 2 meter saja berikut kamar mandi.

Ruangan utama ini kujadikan sebagai tempat tidur, aku tak perlu tidur di lantai karena Ibu sudah meminta Tante Sumi untuk menalangi kasur yang akan dipakai tidur olehku. Dan kupastikan tadi Ibu sudah membayarnya beserta uang kos-kosan bulan ini.

Segera aku membereskan semua baju-baju ke keranjang yang sudah dibeli khusus untuk menyimpan pakaian. Di sudut ruangan terdapat meja kecil yang sengaja disiapkan untukku (tentu saja Ibu yang membelinya). Meja itu akan kugunakan sebagai tempat laptop dan buku-buku untuk mengerjakan tugas. Setelah semua beres. Barulah aku bisa santai untuk tidur menghilangkan rasa lelah hari ini karena sudah melakukan perjalanan jauh.

*jangan lupa like+vote+komen ya guys. 😉😉😉

BAB 1

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sesekali menguap lebar. Jam berapa sekarang. Aku menekan ponsel milikku untuk melihat waktu, karena belum punya jam dinding.

Sudah pukul delapan malam. Aku ketiduran selama ini. Hoammm ... lagi-lagi aku menguap lebar. Aku beranjak bangun mengambil handuk dan sabun untuk mandi.

Kuputar keran, air pun mengalir suaranya yang deras memecah keheningan malam. Saat tengah asyik mandi, samar-samar telingaku menangkap sebuah suara yang sangat bising. Seperti suara orang-orang yang tengah mengobrol dan bercanda. Apakah orang-orang itu tak punya kerjaan sehingga mereka membuat keributan malam-malam begini. Tapi, aku tak terlalu memedulikannya--dan karena statusku yang masih penghuni baru.

Selesai mandi badan rasanya sangat segar. Aku kembali mengecek barang-barang persiapan untuk ospek nanti. Tiba-tiba aku mendengar suara bunyi decitan dari luar. Seperti suara gesekan besi. Aku pun memberanikan diri untuk keluar dan melihat ke bawah. Kulihat ayunan tua yang setengah berkarat itu mengayun. Ada seorang gadis sedang duduk di sana. Pandangan matanya lurus ke depan.

"Siapa dia?" tanyaku dalam hati.

Apakah dia manusia? Terkadang aku tak bisa membedakan mana manusia dan mana makhluk gaib. Karena, kadang-kadang penampilan mereka terlihat normal sama seperti kita--manusia. Masa bodo, aku langsung masuk kembali dan menutup pintu. Tak peduli dengan apa yang kulihat. Namun, yang masih menggangguku adalah suara bising dari kamar nomor 2. Padahal tadi sempat sunyi, entah mengapa orang-orang itu kembali membuat kegaduhan. Aku pun mengambil earphone dan menyalakan musik untuk mengusir keributan tak jelas dari kamar sebelah.

***

Pagi yang cerah kuawali dengan membersihkan kamar kos ini. Kemarin hanya sempat membereskan barang-barangku saja. Aku meminjam sapu ke Tante Sumi, karena belum punya sapu sendiri. Mungkin Ibu lupa membelinya, sepertinya hari ini aku harus ke toko perlengkapan rumah tangga.

Saat tengah asyik menyapu, aku mendengar suara deru kendaraan di bawah. Aku menjulurkan kepala untuk melihat siapa yang datang dari bawah.

Seorang wanita turun dari mobil, satu tangannya memegang koper. Lalu ia naik ke atas menuju ke arahku. Siapa dia? Apakah penghuni lama atau baru di kosan ini.

Setelah sampai di atas, ia berhenti di kamar nomor 2. Sekilas ia melirikku, aku melemparkan senyum padanya. Namun, apa yang ia lakukan? Ia justru memalingkan wajahnya dengan sinis.

Aku menggerutu dalam hati. Sombong banget, sih. Setidaknya balas senyum doang kek. Tapi ... baru kuingat sesuatu. Jika penghuni kamar 2 baru datang, itu artinya yang semalam berisik itu ... aku menelan saliva. Mengapa tidak ada tempat di dunia ini yang tidak dihuni oleh 'mereka'. Di mana pun aku berada, mereka selalu ada. Aku menghela napas pelan lalu mengembuskannya dengan berat. Semoga saja makhluk-makhluk yang tinggal di sini tidak berbahaya seperti yang ada di rumahku.

Karena sebagian dari mereka juga ada yang jahat, dan ada yang baik. Ada yang usil, dan ada yang hanya diam saja. Tak jauh beda dari manusia. Biasanya makhluk yang punya aura jahat dan bergentayangan, adalah mereka yang punya tujuan belum terselesaikan. Atau bahkan dendam yang menggebu di hati sampai mereka mati.

Selesai menyapu, aku mengganti pakaian rapi. Siap-siap untuk pergi membeli perlengkapan rumah tangga yang akan kupakai di kosan. Seperti sapu, kain pel, kalau perlu beli perlengkapan cuci baju juga.

Jarak kosan dengan jalan kota lumayan dekat. Bahkan bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Letak kosan Tante Sumi benar-benar strategis. Dekat dengan jalanan yang banyak toko-toko, bahkan tukang dagang jajanan berjejeran di sepanjang jalan. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat salah satu toko yang kucari. Di sana benar-benar lengkap. Jadi, aku tak perlu lagi mencari beberapa barang di toko lain.

Aku membeli sapu, pel, ember, penggilasan untuk mencuci baju (aku memilih menggunakan peralatan tradisional, sekalian belajar mandiri). Oh, ya. Aku lupa belum punya gantungan baju. Aku pun mengambil sepaket yang terbuat dari kawat. Saat hendak meraihnya (kebetulan tempatnya lumayan tinggi sampai aku harus berjengket agar tanganku mencapainya), tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku. Aku pun tersungkur ke depan dan meringis kesakitan karena lututku terbentur ke lantai dengan keras. Sakit sekali.

Aku bangun dan berbalik untuk melihat siapa yang sudah mendorongku. Seorang cowok mengenakan jaket kulit berdiri di sana. "Woi, Mas. Kalau jalan pake mata, dong!" omelku.

"Maaf, Mba. Saya nggak sengaja."

"Maaf, maaf ... sakit tahu!" Namun, celotehku terhenti saat melihat seorang nenek-nenek berdiri di dekatnya. Mukanya seram, matanya memelototiku. Sepertinya ia tak suka saat aku memarahi pemuda itu. Entah nenek tua itu salah satu penghuni toko ini atau memang makhluk yang mengikuti pemuda itu. Karena tak mau berurusan dengan hal begituan, aku pun melengos pergi meninggalkannya tanpa kata. Aku juga belum tahu apakah makhluk itu jahat atau baik, kalau nenek tua itu jahat bagaimana? Bisa-bisa dia mencelakaiku.

Setelah selesai membayar, aku tinggal menunggu tukang ojek. Hal bodoh jika aku memaksakan diri berjalan kaki--meskipun jaraknya dekat dengan kosan, karena selain ribet membawa barang sebanyak ini. Dan sialnya lututku juga masih terasa sakit bekas jatuh tadi.

"Mau kubantu?" tanya seseorang tiba-tiba. Saat menengok ternyata cowok tadi yang mendorongku.

Aku tak menjawabnya. Bukannya sombong, aku hanya tak ingin berurusan dengannya karena dia mempunyai seorang 'pengikut', nenek tua tadi. Ternyata benar nenek tua itu bukan penghuni toko tempatku belanja. Melainkan makhluk yang mengikuti pemuda itu.

"Masih marah soal kejadian yang tadi? Gue minta maaf. Tadi benar-benar nggak sengaja."

"Iya nggak papa, gue udah maafin kok," kataku sambil celingak-celinguk berharap ada tukang ojek yang lewat.

"Sebagai permintaan maaf, gimana kalau elo gue antar ke rumah ...."

Aku langsung menengok ke arahnya. Menatapnya tajam, apa maksudnya bicara begitu? Atau jangan-jangan dia punya niat jahat.

Sepertinya ia bisa menangkap sorot mataku yang melihatnya penuh curiga. "Elo jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Anggap aja ini sebagai permintaan maaf gue. Kaki elo juga pasti sakit kan tadi?"

"Gue hargai tawaran lo. Tapi, sori. Gue mau naik ojek aja," tolakku.

"Panas, loh. Nunggu ojek lama. Mending langsung sama gue aja."

Haisshh ... ini cowok kok maksa banget. Aku menatapnya kesal. Ia pun menangkap ekspresiku yang tidak suka akan kehadirannya.

"Sori ... oke, kalau emang lo nggak mau." Akhirnya dia mengalah.

Bagus deh kalau dia sadar.

"Kalau gitu gue pergi."

Tanpa menunggu jawabanku, ia pun bergegas pergi. Tentu saja bersama nenek tua itu yang masih mengekorinya.

"Gila panas banget." Aku mengipas-ngipas tangan ke arah wajah. "Padahal baru jam segini, tapi cuaca udah panas banget. Mana lagi tukang ojek ditungguin nggak ada yang lewat." Aku menggerutu kesal. Dan hampir saja putus asa karena sudah setengah jam aku berdiri di pinggir jalan menunggu tukang ojek. Namun, tak ada satu pun yang lewat juga.

Tiba-tiba seorang pengendara motor berhenti di depanku dan membunyikan klaksonnya ke arahku. Aku mengernyit, siapa orang itu. Dan langsung memasang wajah bete begitu orang itu membuka kaca helm gelapnya. Ternyata cowok yang tadi--kali ini ia tidak diikuti oleh nenek tua. Kemana perginya tuh nenek-nenek.

"Yakin masih mau nunggu?" tanyanya.

Aku diam, pura-pura melayangkan pandangan ke jalanan.

"Di daerah sini jarang ada tukang ojek yang lewat, loh. Mereka adanya di pangkalan ojek. Tapi jarak dari sini ke pangkalan ojek lumayan jauh, loh." Ia kembali bicara. Nada bicaranya seakan berkata "Elo nggak punya pilihan lain selain ikut sama gue."

Dan sialnya, aku memang tak punya pilihan lain selain menerima ajakannya. Karena kalau menunggu terus mau sampai kapan? Aku pun meletakkan barang-barangku sebentar di bawah dan menyabet helm yang ia ulurkan sejak tadi. Cowok itu menyunggingkan senyuman karena pada akhirnya aku kalah dan menerima tawarannya.

Kali ini aku bisa memasangkan tali pengait helm dengan benar. Berkat ajaran Leo ... sial, kenapa aku harus ingat lagi sama Leo. Jadi sedih, kan. Oke, buru-buru kubuang pikiran itu. Kalau terus dipikirkan, bisa-bisa aku nangis di jalanan. Dan orang-orang akan mengira bahwa cowok ini sudah melakukan sesuatu padaku, atau nanti mereka mengira kalau aku sudah diusir oleh suamiku, karena kedua tanganku dipenuhi oleh barang-barang rumah tangga--kan nggak lucu. Oke, mungkin otakku terlalu jauh berpikir.

BAB 2

"Thanks, ya," ujarku saat kami sampai di kosan.

"Elo ngekos di sini?" tanyanya sambil melayangkan pandangan ke arah kos-kosanku

"Iya," jawabku singkat sambil berusaha turun dari motor dengan hati-hati. Tapi, saat akan meletakkan kembali barang-barangku ke tanah untuk membuka ikat tali helm. Tiba-tiba saja cowok itu mengulurkan lengannya ke daguku. Sontak saja itu membuatku sedikit terkejut.

"Sini, biar gue yang lepas. Lo pasti bakal ribet kalau harus angkat lagi barang-barang lo itu," ujarnya. Sesaat mata kami pun bertemu. Kenapa matanya terasa sangat tak asing bagiku. Namun, aku langsung tersadar saat dia selesai melepaskan helm itu dari kepalaku.

"Gue boleh dong sekali-kali main ke si-"

"Nggak boleh," potongku cepat. Sudah kuduga, cowok ini pasti punya niat lain. Zaman sekarang mana ada cowok yang bantu cewek tanpa minta imbalannya.

"Kenapa? Ini kan kos-kosan bebas."

"Iya, tapi di sini nggak boleh bawa cowok sembarangan," kataku dengan tegas

"Gue kan bukan cowok sembarangan. Gue cowok baik-baik."

"Cowok baik-baik itu nggak genit sama cewek yang nggak dikenal," ketusku, berharap ia segera pergi dari sini.

"Genit? Gue nggak genit. Gue cuma mau dekat aja sama lo."

Tuh kan niat buluknya kelihatan. Dasar cowok tampang playboy. "Sori, tapi kita nggak saling kenal. Untuk apa harus dekat?"

"Makanya kita kenalan dulu dong." Ia mengulurkan tangannya. "Nama gue Raefal."

Aku hanya menatapnya tanpa menyambut uluran tangannya. "Sori tangan gue sibuk," alasanku.

Memang benar kan kedua tanganku sibuk memegangi barang-barang yang tadi kubeli.

Ia terkekeh. "Kalau gitu, gue pulang, ya."

"Ya, udah sana. Ngapain pamit." Ingin kulontarkan kata-kata itu, namun mengurungkan kembali.

Karena bagaimanapun juga ia sudah menolongku dengan mengantarku pulang. Tapi semua itu salah dia juga kan.

"Semoga kita bisa bertemu lagi."

Jangan sampai, deh. Siapa juga yang mau ketemu lagi sama cowok genit kayak gitu. Cowok itu pun melajukan motornya.

Setelah kepergiannya, aku langsung menuju kamarku. Dengan susah payah aku naik tangga sambil membawa barang-barang keparat ini.

Aku berpapasan wajah dengan gadis penghuni kamar nomor 2. Ia terlihat rapi sekali, semerbak wangi parfum yang menyengat tercium oleh hidungku.

"Hai, gue penghuni baru di kamar nomor 3." Aku tetap mencoba untuk bersikap baik. Meskipun wajahnya terlihat angkuh, siapa tahu kalau udah kenal kami bisa akrab.

Namun, ia tak menjawabku. Ia justru pergi begitu saja melewatiku seolah aku makhluk tak kasat mata. Sabar, Via ... sabar. Aku mencoba menenangkan diri. Cewek sombong kayak gitu nggak usah didekati. Masih banyak penghuni kos lain yang bisa diajak berteman.

***

Hari semakin sore, sebentar lagi pekerjaanku selesai. Setelah selesai beres-beres, nanti langsung nyari makan ke jalan. Karena Ibu bilang sebaiknya perlengkapan memasak tak usah. Lebih baik beli ke warung-warung makan--sebenarnya alasan utamanya aku belum bisa memasak sendiri. Yang ada di kosan hanya magic com untuk memasak nasi saja.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku pun membukakan pintu, hingga menampilkan sosok gadis yang memiliki seraut wajah yang cantik. Sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar cerdik, hidung mungil dan mancung, bibir kecil menghiasi wajahnya.

"Hai." Ia melambaikan tangannya.

"Hai juga," jawabku sedikit bingung.

Ia mengulurkan tangan kanannya. "Gue Kia. Penghuni kos baru di sini, di kamar nomor 4. Kita tetanggaan," senyumnya.

Aku menjabat tangannya. "Gue Livia. Panggil aja Via. Gue juga sama kok penghuni baru di sini. Baru datang kemarin. Masuk dulu, yuk sini." Aku mempersilakannya masuk.

"Sori, masih agak sedikit berantakan. Baru diberesin tadi."

"Gue ganggu elo, dong?" katanya sembari duduk di lantai yang sudah beralaskan karpet bulu. Untung saja aku Ibu sudah membelikanku. Setidaknya tidak malu-malu amat menyuruh tamu duduk di lantai.

Aku menggeleng. "Nggak kok. Santai aja. Gue ambil minum dulu, ya."

"Eh, nggak usah. Gue cuma mau kasih makanan aja ke elo. Kata orang tua dulu, sih. Kalau punya tetangga baru sebaiknya mengantarkan makanan atau apa untuk silaturahmi." Ia memberikanku sebuah rantang bertutup rapat yang sedari tadi dipegangnya.

"Ya, ampun. Nggak usah repot-repot. Tapi, kebetulan sih gue lagi lapar. Jadi gue terima aja, ya," candaku.

Kia pun tertawa. "Elo orangnya gampang akrab sama orang, ya. Kayaknya kita bakal betah deh tetanggaan kamar."

"Semoga aja. Tapi, kenapa harus antar makanannya ke gue?"

"Karena kan elo yang paling dekat sama kamar gue. Kamar nomor 5 kan masih kosong," jelasnya.

"Iya juga, ya."

"Elo ngekos di sini karena kuliah atau kerja?"

"Gue calon mahasiswa tahun ini. Kebetulan kampusnya dekat di daerah sini."

"Jangan bilang kalau lo juga daftar di Universitas Mentari?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kia terlihat senang melihat jawabanku. "Kebetulan kalau gitu. Kita satu kampus. Gue juga calon mahasiswa baru di sana."

"Oh, ya? Lo mau ambil fakultas apa?"

"Manajemen."

Aku membulatkan mata. "Sama dong. Kebetulan yang tidak disengaja."

Kita berdua pun akhirnya ngobrol panjang lebar. Saling bercerita tentang diri masing-masing--meskipun dari tadi yang paling banyak bicara adalah Kia. Aku senang dalam waktu singkat berada di lingkungan baru, bisa dapat teman. Kuharap kali ini teman sungguhan. Bukan teman seperti yang dulu.

"Eh, udah sore banget, nih. Kayaknya gue harus balik ke kamar."

"Iya ... daaahh."

Usai begitu, ia pun bangun dan bergegas pergi. Suasana kembali hening setelah kepergian Kia.

***

Hari ini aku sudah bersiap-siap mengenakan kemeja putih dan rok hitam untuk kegiatan ospek pertama. Aku mengikat rambut gaya kuncir kuda. Lebih simpel.

"Via." Kudengar suara Kia memanggilku dari luar.

"Iya bentar," sahutku. Tinggal merapikan tas yang berisi barang-barang yang harus dibawa saat ospek.

"Yuk," kataku ketika aku berada di luar.

Kita berdua pergi ke kampus jalan kaki, karena memang jaraknya dekat dan terjangkau. Kan lumayan untuk menghemat uang jajan. Meskipun Ibu tak akan keberatan jika aku meminta uang lagi, namun aku ingin belajar mandiri.

Sesampainya di kampus, namanya kampus pasti gedungnya besar dan bertingkat. Banyak mahasiswa baru yang mengenakan seragam sama dengan kami. Bedanya mereka saling bergerombol. Sedangkan aku ... hanya berdua dengan Kia.

Kampus kami dikelilingi oleh deretan warung pingir jalan yang memiliki nama-nama heboh dan keren. Ada Bakmi Supergila (tidak ada yang tahu apa maksudnya, apakah si tukang bakmi jebolan rumah sakit jiwa ataukah saking enaknya si bakmi, orang yang makan jadi gila), warung roti bakar Tungku Neraka (menurutku ini ada hubungannya dengan kipas angin yang rusak), warung ayam goreng Sarang Penyamun (kalau yang ini, sudah pasti karena pelanggannya bertampang residivis semua), dan masih banyak lagi.

"Wajahnya nggak ada yang gue kenal," ujar Kia tiba-tiba. Pandangan matanya masih menatap ke sekeliling kampus.

"Apalagi gue," timpalku.

"Perhatian ... untuk semua calon mahasiswa semester baru untuk segera berkumpul di lapangan utama." Sebuah suara terdengar dari sistem audio paging kampus.

Semua orang pun berhamburan menuju lapangan utama yang letaknya berada di depan kampus dekat dengan gerbang.

Kebetulan aku dan Kia mendapat barisan kedua dari depan. Para kakak tingkat, atau biasa disebut kating yang akan mengospek kami sudah berdiri di depan. Mereka adalah anggota BEM, organisasi dengan tingkatan yang paling tinggi.

Hari pertama ospek semua fakultas disatukan, sedangkan untuk dua hari ke depan ospek dipisah sesuai masing-masing fakultas. Dan tempatnya pun di masing-masing fakultas juga.

Kulayangkan pandangan satu per satu ke arah para kating yang berdiri di depan. Sampai akhirnya pandangan mataku menangkap sosok cowok yang sepertinya kukenali. Aku membulatkan mata setelah ingat wajah cowok itu ... cowok yang kemarin mendorongku. Sial, ternyata dia kating di kampus ini? Seorang Himas lagi--terlihat dari blazer yang dikenakannya. Itu artinya dia juga berada di fakultas manajemen, dong?

OMG, dia melihat ke arahku, aku langsung menundukkan kepala tak berani melihatnya. Semoga saja dia tidak mengenaliku. Gawat kalau sampai dia sadar, karena sikapku yang kemarin tak sopan padanya. Bisa-bisa aku dimarahi habis-habisan di sini. Atau bahkan dia akan menjahiliku.

"Ternyata benar, ya. Elo!" Kudengar sebuah berasal dari depanku. Aku mendongak dan mendapati cowok itu yang sudah berdiri di depanku.

"Hai." Ia menyunggingkan senyuman. Aku masih diam. Kembali menundukkan kepala.

"Kenapa nunduk terus?" tanyanya. Lalu ia mengintip ke bawah wajahku yang ditekuk. "Lagi nyari uang jatuh?"

Hening sekejap.

"Gue minta maaf," kataku tiba-tiba.

Ia mengkerutkan dahinya. "Minta maaf kenapa?"

Aku mendongak untuk menatapnya lagi. "Karena kemarin gue udah ngomong nggak sopan sama lo."

Ia tertawa. "Santai aja kali. Kok lo tegang banget? Lo takut gue balas dendam karena gue kating di sini?" katanya sambil menatapku dengan tatapan seolah mengejek. "Elo tenang aja. Gue bukan jenis kating yang bersikap seenaknya sama adik tingkat."

"Raefal!" Suara seseorang memanggil namanya. Mataku ikut melirik ke arah wanita itu, ia juga mengenakan blazer yang sama dengan cowok yang ada dihadapanku ini.

Wanita itu pun menghampiri kami. "Elo kenal sama anak ini?" tanyanya sambil menatapku dengan tatapan sinis.

"Iya, dia teman gue."

Apa? Teman? Sejak kapan? Kenal aja nggak. Gerutuku dalam hati. Cowok ini benar-benar sok kenal banget.

"Oh ... elo dicari sama Pak Gendut, tuh."

"Iya, nanti gue ke sana. Elo duluan aja." Setelah berkata begitu. Wanita itu pun pergi meninggalkan kami.

Cowok genit itu mendekatkan wajahnya di telingaku. Lalu berbisik. "Kayaknya kita bakal sering ketemu," cengirnya.

Sialan nih cowok. Beraninya dekat denganku dengan jarak sedekat ini.

"Sampai jumpa lagi." Ia melambaikan tangannya.

Dasar cowok genit. Sok kenal dan sok dekat banget. Cowok model begitu sudah kelihatan jelas bahwa dia benar seorang playboy. Suka modusin banyak cewek. Itu sebabnya saat pertama kali bertemu dengannya pun, aku langsung tidak menyukainya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!