Steal Your Heart
...•••••...
"Enggak dong, nggak mungkin aku meninggalkan kamu, Sayangku~"
Hantara memejamkan mata, menahan mual yang datang secara tiba-tiba. Kesalahan. Seharusnya, dia tidak datang ke kedai minuman di dekat Taman Perak. Akhirnya, dia justru mendapatkan suatu pemandangan yang sangat tidak menyenangkan.
Sahabatnya, Lia, menyikut lengannya. Hantara menoleh. Masam sekali rautnya. Lia menatap cemas. "Tar, lo nggak apa-apa? Itu si---"
"Enggak apa-apa kok, Li." Hantara bersedekap, menatap sejoli yang duduk tiga meter darinya. "Emang ya, sekali buaya tetap buaya. Udah ah! Ayo pesan minuman dulu!"
Lia mencekal lengan Hantara. "Serius? Lo masih tetap mau beli di sini?"
Hantara mengangguk pasti. "Iyalah! Emangnya kenapa? Nggak boleh?"
"Bukan gitu ...."
Tak mengindahkan kekalutan yang melanda Lia, Hantara bergegegas melewati meja yang ditempati oleh---mantan---gebetannya. Menyadari kehadiran Hantara, cowok itu pun tersentak. Dia langsung melirik Lia yang melewati mejanya sambil meringis.
Lia mendekati Hantara, "Tar, Kak Seno lihatin lo terus tuh!"
"Bodo amat, Li."
Baru saja hendak mengucap minuman yang dipesan, seseorang menyerobot dengan tidak tahu diri. Hantara mengerutkan kening. Suara yang berada tepat di samping kirinya itu tidak asing. Dia pernah mendengarnya, entah di mana.
Dan benar saja, si penyerobot itu merupakan seseorang yang dikenalnya melalui Seno---mantan gebetannya.
Hantara mendengus kesal. "Heh! Lo nggak bisa lihat kalau ada orang yang mau pesan duluan ya?"
Si penyerobot yang berjenis kelamin laki-laki itu mendongak santai setelah memeriksa isi dompet. Cowok itu mengangkat bahu tak acuh. "Maaf, saya memang sengaja nyerobot."
Lalu datanglah si pengacau---Seno. "Rav, kok lo gitu sih? Main nyerobot aja?!" Hantara tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Jengah sekali melihat Seno yang datang berlagak seperti pahlawan kesiangan.
Lawan bicara Seno hanya menatap sekilas. "Lo mending urus cewek lo tuh! Dia lihatin Hantara terus sampai bola matanya mau keluar semua."
Seno membelalakkan mata tidak percaya. Sementara itu, Hantara dan Lia diam-diam ingin tertawa. Walaupun menyebalkan, boleh diakui bahwa Hantara puas dengan perkataan Ravendra tadi.
Ravendra menerima pesanan kilatnya yang sudah jadi. Dua gelas alpukat float yang terlihat segar dan menggugah selera.
"Oh," Hantara yang melihatnya pun ikut tertarik. "Jusnya kayaknya nggak banyak airnya tuh, mau pesan jus aja, Li?" tanyanya pada Lia yang masih menciut sambil menatap Seno yang tampak bingung.
"Bo-boleh, Tar." Lia mengelus punggung Hantara dengan cepat, agar sahabatnya itu mau menoleh. "Kak Seno kayaknya mau ngomong sesuatu tuh, ladenin dulu kenapa sih, Tar? Biar ayem permasalahannya."
Usai menyampaikan minuman yang dipesan, Hantara menoleh pada kakak tingkatnya yang hobi gonta-ganti cewek itu. Seketika, dia menyesal karena dulu mau-mau saja terjerat oleh gombalan tidak bermutunya. Pasti, diam-diam Seno selalu menertawakannya dulu.
"Ngapain masih di belakang gue? Kak Ravendra aja udah pergi tuh, udah deh, lo pacaran lagi aja sana!" Hantara berkata ketus. Tidak ada perasaan tersakiti atau cemburu sama sekali. Hanya saja, dia marah pada dirinya sendiri yang dengan mudahnya pernah jadi salah satu selingan Seno.
Seno menggigit bibir bawahnya. Cowok itu berdeham dua kali, lalu menata kemejanya yang tidak kenapa-napa. "Itu, Tar ... aku minta maaf ya, tadinya aku mau serius sama kamu, tapi---"
"Ya beneran deh," Hantara mengeluarkan uang sambil menyeringai. "Gue nggak mau diseriusin sama cowok kayak lo."
Seno tercekat. Rasa pahit menjalar begitu cepat memenuhi kerongkongannya. Entah mengapa, ada sesuatu yang memberontak untuk diperjuangkan. Namun Seno sendiri tidak yakin, sebab dia sedang berpacaran dengan cewek yang sudah menjadi incarannya pula sejak dulu.
Tapi kok, rasanya aneh?
Karena Seno terdiam seperti orang linglung, maka Hantara dan Lia memutuskan untuk pergi. Pacar Seno pun mendekati cowok itu yang betah melamun.
Di tempat parkir, Hantara tak kunjung melajukan motornya. Dia terdiam sejenak sambil memikirkan harga dirinya yang pernah kasmaran dengan Seno.
Lia memakai helm sambil menatap sahabatnya yang sedang kehilangan mood itu. "Tar ... udah dong, jangan mikirin Kak Seno lagi ya? Dia memang buaya. Tapi gue pikir, dia gebet lo karena mau serius di satu cewek dan nggak lari ke cewek lain. Eh, nggak tahunya ... sama aja ya ternyata,"
"Ck, sekali buaya mah tetap buaya aja, Li. Nggak ada tuh istilahnya buaya berubah jadi kupu-kupu." Kata Hantara, berlanjut menyalakan mesin motornya.
"Lo nggak kenapa-napa kan, Tar?" tanya Lia kembali memastikan.
Hantara menatap lamat. Lia itu sahabat terbaik. Hatinya begitu lembut, sampai-sampai malah Lia yang merasa bersalah. Padahal, pendekatan yang Seno lancarkan tidak terdapat campur tangannya. Lia hanya tidak mau melihat Hantara sedih. Hantara tahu itu.
"Seno itu bukan masalah besar, Li. Nggak ada gunanya sedih cuma buat buaya macam dia."
Lia tersenyum lega mendengar perkataan Hantara. "Oke deh, Tara yang gue kenal memang nggak bakal selemah itu. Eh, tapi---"
"Tapi apa, Li?"
Memicingkan mata, Lia naik ke boncengan Hantara. "Yang nyerobot lo tadi itu, siapa sih? Kok, kayaknya lo sama Seno kenal?"
"Oh, itu," Hantara mulai melajukan motornya dalam kecepatan sedang. "Dia emang gue kenal dari Seno. Cowok itu temannya Seno di tongkrongan kok. Namanya Ravendra, cowok nyebelin juga sih. Irit ngomong banget, cuma ngomong sama pacarnya."
"Ah, cowok itu udah punya pacar?" Lia meringis di akhir pertanyaan.
"Iya, kenapa? Lo naksir Ravendra?"
"Hahaha, enggak gitu, Tar," Lia berusaha untuk tertawa, meski garing sekali. "Gue pikir malah Ravendra itu naksir lo."
"What?!"
"Aduh!"
Bertepatan dengan rambu lalu lintas yang berpendar merah, Hantara menghentikan laju motornya mendadak. Kepala keduanya pun bertemu salam. Lia mengaduh sembari membenahi helm. Sedang Hantara tidak bisa merasakan sakit atas benturan kecil tersebut. Pikirannya sibuk mencerna ucapan Lia tadi.
"Eherm, Lia ...." Hantara kembali melajukan motor bersama pengendara yang lain. "Tolong kalau ngomong tuh jangan sembarangan,"
"Ya kan gue cuma mengira-ngira, Tar ...."
"Itu perkiraan yang tidak masuk akal, Lia Sayang."
Lia mengerucutkan bibirnya. "Iya iya, Tar. Maaf ...."
Sepanjang perjalanan, suasana hati Hantara yang tidak cukup baik berhasil membuat Lia kelabakan karena sahabatnya itu melajukan motor dalam kecepatan yang berubah-ubah.
Astaga, Lia membatin gemas. Semoga sampai rumah dengan selamat.
...•••••...
"Ck. Ada-ada aja si Ajeng, kan dia bisa beli sendiri. Ngapain titip gue segala," gerutu Ravendra saat memasuki salah satu gerai kosmetik yang menjadi kesukaan sang adik. Selagi berada di luar rumah, Ravendra mendapat titipan beberapa lip tint dan bedak padat yang katanya sih habis.
Ravendra paling malas kalau harus pergi ke tempat seperti ini. Belum lagi kalau harus memilih shade yang diinginkan sang adik. Padahal Rabu sore ini, seharusnya dia bisa bersantai setelah menyelesaikan latihan basket. Gagal sudahlah.
"Heh! Gue dulu ya! Jelas-jelas tadi tangan gue yang pegang dulu!"
Ravendra mengernyit. Tampaknya, cowok itu mengenal si pemilik suara. Parahnya lagi, dia baru saja bertemu dengan si pemilik suara kemarin siang.
Benar saja. Pemandangan seorang Hantara yang berebut kosmetik edisi terbatas dengan cewek berpakaian serba merah jambu, merupakan sebuah suatu hal yang tidak ingin dilihatnya.
Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga sebenarnya merasa bersalah karena kemarin menyerobot antrean cewek itu di situasi yang tidak baik. Sekarang, tidak ada salahnya sedikit membantu.
"Ini tadi siapa yang megang duluan?" tanyanya tiba-tiba.
"Saya du---lu ...."
Hantara melebarkan mata. Mulutnya mengucapkan 'lo' tanpa suara. Dari sekian tempat di muka bumi ini, bagaimana bisa dia kembali dipertemukan dengan sosok ketus Ravendra?
"Oke," cowok itu tak mengindahkan tatapan terkejut sekaligus penuh tanya Hantara. Ravendra menatap cewek yang mengenakan bandana merah jambu di samping kirinya itu. "Karena dia duluan yang pegang, Mbaknya harus mengalah."
"Iya."
"Hah?!" Hantara menganga, sedangkan Ravendra terdiam sejenak. Tidak berlama-lama, Ravendra kembali menguasai diri.
"Udah kan? Jadi, sekarang kalian nggak perlu memperebutkan barang ini lagi." Kata Ravendra final.
Cewek serba merah jambu itu---ajaibnya---mengangguk dengan mudah seakan-akan baru saja dihipnotis. Dihipnotis oleh ketampanan serta karisma seorang Ravendra.
"Aku minta maaf ya, Mbak. Maaf sudah membuat keributan," cewek merah jambu itu menunduk kecil sebagai permintaan maaf. Tidak hanya dengan Hantara, tapi beberapa pengunjung yang melihat keributan tadi.
Dan terakhir, cewek itu tersenyum manis kepada Ravendra. Disertai kedipan menggoda, Ravendra harus ekstra menyabarkan diri.
"Wah," Hantara menggeleng bingung. Diliriknya Ravendra yang kembali mengamati secarik kertas entah berisi apa. "Lo pakai ilmu apaan, kok cewek itu bisa langsung nurut dan pergi gitu aja?"
Ravendra mengembuskan napas berat. "Sama-sama." Katanya sambil berlalu dari hadapan Hantara.
"Hah?" Hantara menelengkan kepala. Sama-sama? Apa maksudnya? Eh?
Namun sebelum Hantara berhasil mengucapkan terima kasih, getaran panjang pada ponselnya telah mengusiknya terlebih dahulu.
...•••••...
"Dan lo nggak balas chat-nya sama sekali?"
Hantara mengangguk sambil mengaduk es tehnya sesering mungkin---salah satu kebiasaannya yang tidak pernah hilang. Suasana kantin siang ini lumayan menghibur. Tidak seperti kemarin, dia harus menghadapi seribu alasan yang dibeberkan Seno mengenai hari itu.
Padahal, Hantara tidak sedih sama sekali lho. Dia sudah melupakan kejadian tersebut dan menganggap Seno hanya angin lalu. Tidak ada gunanya membahas hal yang tidak perlu. Tetapi, cowok itu terlalu berlebihan.
Jika memutar ingatan, pikirannya tertuju pada pertemuan pertama yang terjadi di antara dirinya dengan Seno. Bertemu di depan Fakultas Teknik, kala Hantara tengah menunggu salah satu tetangganya untuk menebeng pulang.
Satu persatu mahasiswa keluar, dan Hantara tak kunjung menemukan tetangganya keluar. Seno, yang pandai memanfaatkan wajah tampannya pun menawarkan tumpangan pada Hantara. Gagal tentu saja, sebab tetangganya yang ditunggu-tunggu itu sudah keluar.
Seno pasti menganggap Hantara sebagai objek menarik. Karena setelahnya, cowok itu selalu mencari dan mendekati Hantara di segala kesempatan.
Butuh beberapa pekan sebelum Hantara benar-benar mau diajak jalan, tapi ya ... cowok itu memang seperti yang dikatakan orang-orang. Cowok buaya, tukang ngerdus sana-sini.
Hantara tidak tahu, sudah ke-berapa kali memarahi diri sendiri karena hampir menambatkan hati pada kakak tingkatnya itu.
Tanpa sepengetahuan Hantara, Lia sibuk memandangi layar ponselnya yang menampilkan akun Instagram milik seseorang. Semalaman dia mencari, akhirnya pun ketemu.
Menahan senyum, sesekali melirik Hantara yang masih sibuk dalam isi kepalanya sendiri. Pokoknya, Lia berharap agar sahabatnya itu tidak mampu membaca gerak-geriknya. Sebab, Hantara pasti tahu apa pun tentang dirinya.
Termasuk ... saat Lia tengah jatuh cinta.
...•••••...
^^^bersambung ....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
AL Vinoor
semangat
2022-12-06
0