Episode 04

...•••••...

Gawat. Gawat. Gawat.

Jikalau ada pintu ke mana saja, Hantara sangat ingin menggunakannya untuk berlari ke ujung dunia. Mengetahui siapa yang akan dijodohkan dengannya, membuat fokus cewek itu tidak sampai pada tempatnya. Sejak kemarin, isi pikirannya benar-benar berantakan. Begitu memasuki kelas, dia tidak memikirkan materi---melainkan cowok yang fotonya ada di tangan Mama.

Setelah kelas berakhir, Hantara berjalan lesu ke kantin. Sudah jam setengah satu siang, perutnya membutuhkan sedikit asupan. Sebab asupannya tadi pagi hanya beberapa keripik kentang buatan Mama---dia malas melahap apa pun yang tersaji di meja makan.

Tiba di kantin, Hantara mendapati Lia dan Sagara yang sedang berdebat entah tentang apa. Dia pun menghampiri mereka tanpa memesan makanan terlebih dahulu.

Melihat kedatangan Hantara yang tak seriang biasanya, Lia dan Sagara mendongak untuk memastikan lagi siapa yang datang. Keduanya bertukar pandang.

"Lo kenapa, Tar?" tanya Lia dulu.

Sagara ikut-ikutan. "Kok mukanya kayak lipatan kertas yang dilempar sama Pak Yudhi? Kenapa deh, Tar? Coba sini cerita, biasanya juga gimana, hm?"

Lia mengangguk, mendukung ucapan Sagara. Baru kali ini, mereka kompak. Kalau suasana hati Hantara bagus, pasti dia sudah akan menertawakan kedua temannya itu. Tapi ... sekarang berbeda.

Hantara mendengus pelan. Bersandar pada punggung kursi plastik yang didudukinya, lalu menatap Sagara. "Pesankan mi ayam dulu, Sa. Nanti baru gue cerita. Soalnya, gue belum sempat makan karena tadi pagi takut Mama cerita soal masalah ini lagi."

"Oke, oke!"

Patuh, Sagara bergegas menuju rombong mi ayam yang---beruntungnya---tidak terlalu ramai. Langkah pertama, perut memang harus dikenyangkan sebelum berbicara panjang lebar.

Tapi, lagi-lagi Hantara memikirkan apa yang harus dikatakan kepada dua temannya ini. Apa dia harus memberitahu mereka? Apakah wajib? Ini masalah pribadinya yang paling mendebarkan. Apalagi ini menyangkut masa depannya. Tentang suatu hubungan yang akan dihabiskan bersama dengan pasangan hidup.

Lia menahan diri untuk tidak bertanya lagi. Memindai raut Hantara, Lia yakin bahwa masalah yang melanda sahabatnya itu cukup pelik.

Beberapa menit kemudian, Sagara datang dengan dua mangkok mi ayam. Usai diletakkan, cowok itu kembali ke rombong mi ayam dan membawa dua gelas es jeruk.

"Lah, bukannya tadi lo udah makan, Sa?" tanya Lia.

"Gue perasaan nggak serakus itu deh, makan dua mangkok." Gumam Hantara dengan mata memicing.

Sagara hanya tersenyum, "Buat Bang Raven."

Satu jawaban singkat yang mengundang dua reaksi berbeda. Lia mulai salah tingkah, sedang Hantara kembali pucat pasi.

Lia berdeham. "Ngapain dia ke sini lagi?"

"Biasa," Sagara kembali duduk di samping Lia. "Buat rundingan masalah pentas di perumahan. Kami kan pengurus inti, jadi harus urus ini dan itulah."

"Kalian tetangga?" tanya Hantara.

"Iya, ada jarak tiga rumah."

"Oh, tetangga ...." kata Lia senang sendiri.

Ya Tuhan ... batin Hantara bergejolak. Kayaknya nggak seharusnya gue ke sini deh.

"Oi! Bang Raven!" Sagara melambai riang. Lia cepat-cepat menoleh sambil mempertahankan ekspresi kalemnya.

Hantara terlonjak. Dia baru saja mau menuang sambal ke mangkok berisi mi ayamnya. Sekarang, selera makannya berubah total. Kalau bisa, dia mau lari saja. Mungkin alasan ke perpustakaan bakal lebih baik ketimbang berada satu meja dengan cowok yang baru saja datang.

Parahnya lagi, kenapa Sagara nyuruh cowok ini buat duduk di samping gue?!

Hantara harus tetap tenang. Iya. Eh, bentar, cowok itu udah tahu soal perjodohan ini juga atau enggak ya?

Memastikan, Hantara melirik Ravendra yang duduk santai di samping kanannya. Tidak peduli dengan kehadiran Hantara dan Lia, cowok itu tetap pada tujuannya untuk berdiskusi dengan Sagara.

Hantara mengerutkan kening. Kenapa cowok ini diam saja---bukan! Hantara tidak mau Ravendra jadi heboh atau malah menyebarkan ke seluruh dunia bahwa dia akan dijodohkan. Tidak. Hantara tidak berharap Ravendra akan bertingkah seaneh itu.

Hanya saja, cowok itu benar-benar menunjukkan kalau dia tidak tertarik sama sekali kepadanya. Apa jangan-jangan cowok itu cuma memakai taktik saja? Atau ... dia memang tidak tahu?

"Kenapa?" tanya Ravendra tiba-tiba.

Hantara tersentak. "Hah?!"

"Ngapain lihat saya sampai begitu?"

Menunjuk diri sendiri, Hantara memikir jawaban. "Gue? Lihatin lo?"

Tak ingin berlarut-larut, Ravendra menggeleng. "Nggak perlu dibahas." Kemudian, cowok itu kembali pada kegiatan sebelumnya.

Hantara juga tidak menyadari, Lia sudah curi-curi pandang ke arah Ravendra. Mendengus lelah, Hantara memilih untuk melahap mi ayamnya saja. Terserah, cowok itu mau berbicara dengannya atau tidak. Yang jelas, lebih baik mengisi perut saja.

Sedang asyik-asyiknya makan, Sagara melontarkan pertanyaan yang berhasil membuat Hantara dan Lia menajamkan pendengaran.

"Kemarin gimana ketemuan sama Gianna? Lancar?" tanya Sagara sambil menyeruput es teh.

Ravendra mengangguk, "Hm, kenapa?"

"Enggak sih," Sagara menelengkan kepala. "Tapi kemarin dia chat gue terus ah, tanya-tanya seputar; sekiranya ada cewek yang keluarganya punya utang besar sama keluarga lo nggak nih?"

Panik. Ravendra melotot. Sagara tak melihatnya. Cowok itu bermain dengan ponsel, sementara dua cewek yang ada di sampingnya itu mendengar dan tampaknya tidak mengerti.

Baru ketika Sagara kembali menatap, Ravendra menghunuskan tatapan tajamnya. Sayangnya, Sagara tidak mengerti apa maksudnya. Jadi cowok itu cuma bertanya balik dengan bingung, "Apaan?"

Detik itu, Gianna menelepon. Sebelum beranjak, Ravendra kembali melayangkan tatapan tajam pada Sagara. Lalu, cowok itu pun menjauh untuk menjawab telepon sang pacar.

Sagara masih tidak mengerti mengapa Ravendra memberinya tatapan sedemikian tajamnya. Dia tidak merasa telah melakukan kesalahan apa pun. Menoleh samping kanan, Sagara mendapati Hantara dan Lia yang memberinya tatapan menyelidik.

"Kalian mau ngapain?" tanyanya bingung.

Hantara memulai, "Lo parah sih, Sagara. Itu privasi yang harus ditanyakan oleh lo dan Ravendra aja, tapi lo malah ngomong begituan di depan kita."

"Eh?!" Sagara makin bingung, antara polos dan bodoh itu beda tipis. "Emangnya gue ngomong apaan?"

Ravendra telah memutus sambungan telepon. Cowok itu tidak kembali duduk, tapi mengambil tas beserta kunci mobil. "Gue balik dulu, Sa. Ada urusan penting."

"Ah, iya, Bang. Tapi ini mi ayamnya gimana? Udah gue beliin lho tadi." Kata Sagara menunjuk mi ayam di depan Ravendra.

"Buat lo aja! Gue harus cepat ini. Nanti soal properti panggung, coba lo kontak si Herdian, oke?" usulnya sambil berlalu.

Menghilang dari pandangan, Sagara melihat mi ayam Ravendra yang masih utuh. Dia mendesah. "Gimana dong ini? Gue udah makan, Tara juga udah, Lia juga---"

"Karena ini bayar pakai duit lo ..." Lia berdiri dan duduk di depan mangkok mi ayam tersebut. " ... gue mau-mau aja, Sa. Cuma mi ayam, perut gue masih bisa menampung."

"Ah, oke deh, beruntung kalau gitu." Ucap Sagara tenang.

Lia melahap mi ayam tersebut dengan senang. Hal tersebut mengundang gurat tanya pada wajah Hantara. Aneh, Hantara meletakkan es jeruknya. Nggak kayak biasanya, Lia mana mau makan makanan yang awalnya ditujukan bukan buat dia. Kok tumben, dia mau ya? Apa karena alasan mubazir kali ya?

Lia melirik Hantara. Semoga saja Tara nggak ngerasa apa pun.

...•••••...

Ravendra yang tadinya datang dengan seutas senyum, kini melebur bersama dengan kesenangan kecilnya. Dia baru saja menghabiskan waktu bersama Gianna di salah satu mal untuk membeli kado ulang tahun bagi Maminya Gianna.

Ajeng berdiri di depan pintu kamarnya sambil bersedekap. Adiknya itu memberikan tatapan menyelidik yang mulai tidak disukai Ravendra.

"Ada apa?"

Ajeng mendekat, meninggikan dagu. "Kak Raven habis jalan sama Mbak Gianna ya? Kakak lupa apa yang dikatakan sama Ibu tadi pagi? Kakak mau bertemu sama calon istrinya Kak Raven. Kenapa masih sempat jalan sama Mbak Gianna? Kemarin aku tahu lho, Kak Raven udah ketemuan sama Mbak Gianna di kafe. Tapi hari ini? Kenapa masih ketemuan lagi?"

Ravendra memicingkan matanya tidak mengerti. Mendadak sang adik mendukung keputusan Ayah dan Ibu tanpa bertanya lebih. "Kenapa kamu malah nggak setuju aku sama Gianna? Bukannya dulu kamu yang paling seneng kalau aku sama Gianna, dan bukannya kamu yang beharap kalau kami bakal bersama terus sampai akhir?"

"Aku akui, aku memang begitu, tapi kan dulu."

"Dulu?"

"Kak ...." Ajeng menghela napas. Entah harus mengatakan atau tidak, tapi lebih baik mengatakannya sedikit. "Aku tahu siapa yang bakal jadi calon istrinya Kak Raven."

"Kamu tahu?"

Ajeng mengangguk. "Hmm, aku tahu. She's fine. To be honest, i like her better. Jadi tolong Kak, jelasin semuanya ke Mbak Gianna dan sudahi hubungan kalian."

"Ck." Ravendra melewati Ajeng. Tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh adiknya. Begitu berganti pakaian dan berbaring, cowok itu menatap langit-langit kamar.

"Tadi Ajeng ngomong apa? Calon istri?" Ravendra mematikan ponsel. Bersiap untuk hari esok.

"Calon istri apaan!"

...•••••...

^^^bersambung ....^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!