...•••••...
"Kamu ingat Tante Lusi yang kita pernah ketemu di mal, nggak?" tanya Mama Nadya kepada anak cewek satu-satunya yang kini sedang membalik gorengan di dapur. Sementara Mama Nadya berada di meja makan.
Hantara memiringkan kepala mengingat-ingat. Tante Lusi dan mal. Hantara mengiyakan. Dia tidak sepikun itu untuk melupakan sesuatu yang baru saja terjadi lima hari yang lalu. "Memangnya kenapa Ma?"
Mama kembali bertanya, "Kamu tahu kalau Tante Lusi punya anak cowok nggak?"
"Lah? Ya nggak tahu lah, Ma. Aku aja baru ketemu sama Tante Lusi ya kemarin itu di mal. Aku mana tahu dia punya anak cowok atau nggak." Hantara terkekeh, bebarengan dengan Mama. "Ada apa sih, Ma? Kok tanya begitu?"
"Kamu ...." Jeda sejenak, Mama menatap Hantara dan berpikir lagi. Hantara menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan Mama, meski tangannya masih sibuk mengolah udang tepung yang akan digoreng.
" Kamu ... mau nggak, Mama kenalkan sama anak cowoknya, Tar?"
Hantara memutar tubuh. Satu alisnya terangkat, menatap Mama menyelidik. "Tumben, Ma. Mama kenapa ada ide kayak gitu?"
Melihat respons yang diberikan Hantara, Mama tersenyum manis. Wanita itu bisa menangkap adanya lampu hijau atas langkah selanjutnya. "Kamu mau? Kalau Mama kenalkan sama anaknya Tante Lusi itu, Tar?"
Hantara mengangguk tanpa memandang mamanya. Dia harus segera menyelesaikan masakannya ini sebelum pergi ke kampus.
"Dia satu kampus sama kamu lho, Tar. Sebentar lagi sidang, dia juga udah punya usaha sendiri kok. Dia pasti bisa membimbing kamu, menafkahi kamu dengan sepenuh hati. Mama kemarin lihat fotonya dan dia---"
"Bentar, Ma!"
Kali ini, Hantara memilih cara aman. Yaitu, mematikan kompor dan menghampiri Mama setelah mencuci tangan. Rautnya tak terbaca. Mama yang tidak menyadari adanya keanehan dalam perkataannya tadi, hanya melihat anaknya dengan penuh harapan.
"Mama tadi bilang apa? Menafkahi? Ma, memangnya kami mau meni ... kah ...?" Hantara terbelalak begitu menyadarinya. "Ma? Mama cuma bilang kalau Mama mau memperkenalkan aku sama cowok itu lho, aku nggak ingat tuh, pernah dengar kalau Mama mau menikahkan aku."
Mama terkekeh pelan. Diambilnya selembar foto yang sedari tadi sudah dipersiapkan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Lagi pula, Hantara sudah mengerti apa yang Mama bicarakan. Maka, tanpa berlama-lama lagi, Mama Nadya pun melancarkan aksinya.
"Ini fotonya," Mama membalikkan lembaran foto tersebut. "Gimana? Ganteng kan?"
Hantara membuka mulut lebar-lebar. Saking lebarnya, Mama langsung menutup mulut anak ceweknya itu sebelum lalat masuk. "Anak cewek kok mangapnya besar banget, Tar." Mama bersandar pada punggung kursi, diperhatikannya roman yang ada pada wajah Hantara. Mama mengernyit, ada sesuatu yang aneh. Kenapa wajahnya ikutan pucat? Apa anakku ini lagi lihat setan? Dia kan lagi lihat fotonya orang ganteng.
"Tara? Kamu kok kayaknya syok berat gitu sih?" tanya Mama heran. Benar-benar deh, ekspresi yang dihadiahkan Hantara itu tidak bisa dimengerti oleh Mama.
"Mama ...." gumam cewek itu nyaris berbisik.
"Hm? Iya, Sayang? Kenapa?"
Hantara kembali menujukan pandangan ke arah Mama. "Ma ... cowok ini ... benar-benar anaknya Tante Lusi?"
Hantara berharap mamanya akan menjawab 'tidak' atau menggeleng saja sudah melegakan. Di luar keinginan, Mama mengangguk mantap. "Iya, ganteng kan? Kamu mau nggak Mama jodohkan sama anak ini? Seperti yang Mama bilang tadi, dia udah punya usaha. Ada dua usaha; dia punya kafe yang lumayan sukses besar, dan dia juga punya toko baju yang ada di Mal Amberawa. Otomatis, soal nafkah dia sangat terjamin banget, Tara."
Bukan. Ini bukan soal nafkah. Mama sudah melangkah terlalu jauh. Masalahnya bukan terdapat pada nafkah yang dia inginkan atau sebagainya. Tetapi, tentang siapa yang akan dijodohkan dengannya itu. Menikah. Astaga, membayangkan dirinya berpacaran dengan cowok yang ada di foto itu saja tak mau, apalagi menikah?!
"Ma ...." Hantara terduduk lemas. Lupa sudah soal udang goreng tepungnya yang belum matang semua. Selera memasak sekaligus makannya telah menguap begitu saja.
"Aku mau siap-siap aja dulu ya," Hantara melirik jam dinding. "Udah jam segini, jam sepuluh aku ada kelas."
"Hah?"
Mama turut melihat jam dinding, sedangkan Hantara sudah berlari ke kamarnya secepat kilat. "Lho, kelasnya jam sepuluh? Tapi sekarang kan masih jam delapan ...."
...•••••...
Kafe Birusna. Tempat yang diinjakkan Ravendra begitu pergi dari rumahnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gianna. Setelah kemarin tidak bisa karena ada acara keluarga, akhirnya dia bisa mengeluarkan isi pikirannya.
"Bang Raven? Baru datang?" tanya salah satu pekerja yang kebetulan lewat di depannya. Ravendra mengangguk. Sudah jam sembilan pagi, kafenya mulai ramai. "Mau pesan apa, Bang? Saya buatkan, mumpung pelanggan yang tadi udah jadi pesanannya."
Ravendra menggeleng. "Saya nggak usah, buatkan aja minuman kesukaannya Gianna."
"Ah, siap! Mau ketemuan sama Mbak Gianna ya? Oke, saya pergi dulu mau buatkan minumannya ya, Bang,"
Begitu cowok yang lebih muda tiga tahun darinya itu pergi, Ravendra kembali berkutat dalam pikiran. Dia akan menanyakan segalanya. Iya. Dia siap untuk jawaban apa pun.
Pintu kafe terbuka, seseorang yang dinanti-nanti pun datang. Gianna tampil menawan dengan dress putih selutut bermotif bunga biru tua. Seperti yang kerap dikatakan oleh para pembantu di rumahnya, Gianna itu elegan. Tidak salah kalau banyak orang tua dari kalangan atas sangat menginginkan Gianna sebagai menantunya. Tapi entah bagaimana dengan Ayah dan Ibu, tampaknya mereka pengecualian. Sebenarnya mereka tidak menolak kehadiran Gianna, hanya saja mereka menginginkan yang mau diajak menikah.
"Hai, Raven! Maaf ya, Sayang. Kemarin Papi sama Mami sibuk bawa aku berkunjung ke rumah makan temannya, terus habis itu, kami harus belanja banyak karena beberapa keperluanku memang udah habis." Kata Gianna dengan senyum merekah. Senyum secerah mentari yang selalu disukai oleh Ravendra.
Sebab terlalu rindu, Ravendra berdiri menyambut Gianna ke dalam pelukannya. Biarlah dia dilihat oleh banyak orang dan pekerjanya sendiri. Dia terlalu merindukan sosok ceria Gianna.
Gianna menerima pelukan Ravendra dengan senang hati. Cewek itu juga merindukan Ravendra. Rindu mereka sama besar.
"Udah dong, Rav ...." suara Gianna tenggelam di antara bahunya. "Dilihatin banyak orang tuh ... aku kan malu ...."
Ravendra terkekeh, menuruti apa yang dikatakan sang terkasih. Minuman kesukaan Gianna telah diantar. Mereka duduk berhadapan, saling berpandangan. Dunia pun tahu, betapa saling memujanya dua manusia ini.
"Kamu makin cantik aja, Gi." Ravendra membuka suara. "Kamu tahu nggak, kalau aku udah kangen banget? Rasanya aku mau lari ke tempatmu KKN cuma buat lihat kamu."
Gianna menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ditatap oleh seorang Ravendra, ditambah kalimat rindu yang penuh cinta, mana bisa Gianna tidak tersipu malu.
"Dan kamu makin pintar bikin gombalan aja, Rav." Gianna menggapai minumannya. Bahkan saat minum saja, cewek itu tetap elegan. Entah Ravendra yang terlalu mencintai dan mabuk kepayang, atau dia memang berlebihan.
Kalau cintanya kepada Gianna saja sudah sebesar ini, bagaimana dia bisa menikah dengan cewek lain? Dia tidak bisa membayangkan diri berada satu atap, satu ranjang, dengan cewek lain. Cintanya hanya untuk Gianna. Akan begitu sampai seterusnya.
"Gi ...." panggil cowok itu pelan. Gianna mendongak, menanti apa yang akan diucapkan pacarnya itu. "Kamu ... cinta sama aku kan? Perlakuanmu selama ini ... bukan cuma permainan mesra yang kamu buat, kan?"
Kening Gianna mengerut. Sedikit tidak memercayai bahwa Ravendra bertanya demikian. "Rav ... kamu kok ... bisa berpikiran kalau aku pacaran sama kamu cuma buat main-main sih?"
Ravendra mendengus lega. Gianna memang berbalik tanya, tapi pertanyaan itu sudah membuktikan jika Gianna mencintainya sepenuh hati. "Kalau begitu ... kita pasti menikah, kan?"
"Hah? Menikah?"
Seperti terjatuh dari gumpalan awan, Ravendra berpikir yang tidak-tidak. Reaksi Gianna tak sesuai dugaan. Kenapa cewek itu malah terkejut? Seharusnya, cewek itu hanya perlu mengangguk, dan Ravendra akan senang sekali. Tetapi ... tidak seperti itu.
"Kamu kok, udah bahas soal pernikahan sih, Rav? Kita ini masih dua puluh lima lho," ujar Gianna setengah terkikik.
Nada suara Ravendra berubah, sendu dengan sendirinya. "Kamu nggak memikirkan hal itu sama sekali, Gi?"
Gianna menggeleng tanpa ragu. "Enggak, Raven. Soal pernikahan, aku mungkin bakal menjalani itu kalau sudah umur tiga puluh? Iya, mungkin saat aku sudah puas pacaran."
"Puas pacaran?" tanyanya tak mengerti, namun rahangnya perlahan mengeras.
"Iya, aku mau puas-puasin dulu buat pacaran. Bukannya kamu tahu sendiri, aku mau pacaran sampai puas dulu sama kamu. Kamu jangan berpikir kalau aku bakal pindah ke lain hati cuma buat pacaran lagi. Enggak, Rav. Sekarang aku udah nggak mau cari cowok lain. Cukup kamu, karena kamu yang aku sayang."
Sekarang, berbeda lagi sensasinya. Ravendra kembali melayang ke atas awan. Seakan-akan dia terbang secara perlahan setelah jatuh sebentar tadi. Bahkan, kini dia melihat pelangi yang menyambutnya bersama ribuan kupu-kupu. Katakan saja dia terlalu mendramatisir efek dari ucapan panjang lebar Gianna. Sebab, dia sudah terjatuh dalam pesona Gianna melebihi apa pun.
"Masalahnya, Gi ...." Ravendra harus mengatakannya sebelum terlambat. "Ayah dan Ibu mau menjodohkan aku sama anaknya temannya."
"Apa?!"
Gianna bangkit begitu saja. Matanya membulat sempurna. "Dijodohkan, Rav? Untuk menikah?"
Ravendra mengangguk lesu.
"Kenapa ...?" Gianna melemas. Dia kembali duduk dengan kesedihan yang tampak. Ravendra juga melihat adanya kekecewaan. "Terus, apa kamu setuju?"
"Belum. Aku belum kasih jawaban. Sejak kemarin Ayah dan Ibu bicara soal ini pun, rumah nggak kayak biasanya, Gi." Jawab Ravendra terus terang.
"Tapi, Rav ... kenapa Ayah dan Ibu mau menjodohkan kamu sama cewek lain? Mereka tahu dengan pasti kalau kita pacaran. Kenapa mereka nggak menanyakan soal pernikahan sama aku dan keluargaku aja? Kenapa mereka malah ... membicarakan itu sama keluarga cewek lain?"
Melihat tampang Gianna saat ini, Ravendra sangat ingin memeluknya lagi. Gianna merasa telah diduakan oleh Ayah Hendra dan Ibu Lusi. Tapi, Ravendra pun memiliki pertanyaan yang sama dengan Gianna. Mengapa kedua orang tuanya tidak membicarakan hal tersebut dengan pacarnya saja? Mengapa harus dengan yang lain? Bukannya Ayah dan Ibu sangat menerima kehadiran Gianna?
"Ibu berpikir ... kayaknya kamu nggak mau menuju ke pelaminan sama aku, Gi." Ravendra kembali berkata jujur, meski kesannya mengadu.
"Hah? Nggak gitu, Rav. Aku pasti mau kok menikah sama kamu." Balas Gianna membela diri.
"Kalau begitu ... kenapa kamu nggak mengganti impian menikahmu itu tadi?" Ravendra memajukan tubuhnya. Ini topik yang sangat penting sekali. "Jangan tunggu sampai umur tiga puluh, ayo menikah denganku akhir tahun ini, gimana?"
Gianna menggeleng sedih. "Nggak bisa, Rav. Akhir tahun ini, aku harus ikut Papi ke luar negeri. Kami ada tur singkat dan ketemu guru les pianoku. Kamu tahu sendiri kalau aku udah mengajukan diri ke lomba nasional kan? Kalau aku berhasil di tingkat nasional, aku bisa daftar untuk tingkat internasional."
Buntu. Ravendra hanya mampu memejamkan mata, memikirkan betapa tidak tepatnya waktu bagi dirinya dan Gianna untuk melangkah ke pelaminan.
Gianna mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan kanan Ravendra yang terkepal di atas meja. Genggaman itu begitu lembut, sehingga mampu meredakan kegusaran yang melanda. Gianna selalu bersikap dewasa, itulah yang disukai Ravendra dari cewek itu. Gianna tidak pernah bertingkah kekanak-kanakan, tidak pernah mau merepotkan orang lain, dan Gianna selalu mengambil keputusan dengan kepala dingin. Gianna itu paket komplit.
"Terus aku harus bagaimana, Gi?" tanya Ravendra serak. "Ayah dan Ibu mau mempertemukan aku dengan keluarga cewek itu."
Ibu Lusi memang berkata demikian tadi pagi sebelum Ravendra menyelesaikan sarapannya. Itu adalah kalimat yang sangat tidak ingin Ravendra dengar.
Gianna tak kunjung menjawab. Cewek itu juga kebingungan. Sebenarnya, dia tak mau Ravendra menikah dengan siapa pun kecuali dirinya. Dia mencintai Ravendra melebihi apa pun. Akan tetapi, mengapa keadaannya harus seperti ini?
"Gini aja, Rav ... coba kamu tanya dulu, berapa utang yang dipunya oleh temannya Ibu."
"Utang?"
"Iya!" Gianna mengangguk semangat. "Nggak ada angin, nggak ada apa-apa, kenapa tiba-tiba Ibu mau menjodohkan kamu sama cewek lain? Pasti karena utang, Rav. Zaman sekarang ini, kalau nggak bisa bayar utang, ya dinikahkan sama salah satu anggota keluarga si pemberi utang, lalu utang tersebut dianggap lunas."
Ravendra mencerna rentetan kalimat yang keluar dari mulut pacarnya. Ada benarnya, tapi Ravendra yakin jika Ibu bukan orang seperti itu. Ibu tidak pernah menagih utang dengan jaminan pernikahan. Apalagi, yang nantinya akan dinikahkan dengan anaknya sendiri. "Tapi, Gi, aku yakin Ibu bukan orang kayak gitu."
"Ah ... iya sih, Ibu baik banget, mana tega dia menukar utang sama pernikahan." Gianna ikut berpikir. "Tapi, Rav, nggak ada salahnya tanya lho. Kalau memang alasan utamanya karena utang, aku mau kok, membayar utang keluarga cewek itu atas namanya supaya kamu nggak jadi dijodohkan sama dia. Gimana? Ideku bagus nggak?"
Ini sulit. Bagaimana bisa dia menanyakan hal tersebut? Itu jelas tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi? Satu-satunya cara menggagalkan perjodohan ini adalah dengan menanyakan alasan yang sebenarnya.
Iya, demi cintanya terhadap Gianna, dia tidak boleh diam saja.
...•••••...
^^^bersambung ....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments