NovelToon NovelToon

Steal Your Heart

Episode 01

...•••••...

"Enggak dong, nggak mungkin aku meninggalkan kamu, Sayangku~"

Hantara memejamkan mata, menahan mual yang datang secara tiba-tiba. Kesalahan. Seharusnya, dia tidak datang ke kedai minuman di dekat Taman Perak. Akhirnya, dia justru mendapatkan suatu pemandangan yang sangat tidak menyenangkan.

Sahabatnya, Lia, menyikut lengannya. Hantara menoleh. Masam sekali rautnya. Lia menatap cemas. "Tar, lo nggak apa-apa? Itu si---"

"Enggak apa-apa kok, Li." Hantara bersedekap, menatap sejoli yang duduk tiga meter darinya. "Emang ya, sekali buaya tetap buaya. Udah ah! Ayo pesan minuman dulu!"

Lia mencekal lengan Hantara. "Serius? Lo masih tetap mau beli di sini?"

Hantara mengangguk pasti. "Iyalah! Emangnya kenapa? Nggak boleh?"

"Bukan gitu ...."

Tak mengindahkan kekalutan yang melanda Lia, Hantara bergegegas melewati meja yang ditempati oleh---mantan---gebetannya. Menyadari kehadiran Hantara, cowok itu pun tersentak. Dia langsung melirik Lia yang melewati mejanya sambil meringis.

Lia mendekati Hantara, "Tar, Kak Seno lihatin lo terus tuh!"

"Bodo amat, Li."

Baru saja hendak mengucap minuman yang dipesan, seseorang menyerobot dengan tidak tahu diri. Hantara mengerutkan kening. Suara yang berada tepat di samping kirinya itu tidak asing. Dia pernah mendengarnya, entah di mana.

Dan benar saja, si penyerobot itu merupakan seseorang yang dikenalnya melalui Seno---mantan gebetannya.

Hantara mendengus kesal. "Heh! Lo nggak bisa lihat kalau ada orang yang mau pesan duluan ya?"

Si penyerobot yang berjenis kelamin laki-laki itu mendongak santai setelah memeriksa isi dompet. Cowok itu mengangkat bahu tak acuh. "Maaf, saya memang sengaja nyerobot."

Lalu datanglah si pengacau---Seno. "Rav, kok lo gitu sih? Main nyerobot aja?!" Hantara tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Jengah sekali melihat Seno yang datang berlagak seperti pahlawan kesiangan.

Lawan bicara Seno hanya menatap sekilas. "Lo mending urus cewek lo tuh! Dia lihatin Hantara terus sampai bola matanya mau keluar semua."

Seno membelalakkan mata tidak percaya. Sementara itu, Hantara dan Lia diam-diam ingin tertawa. Walaupun menyebalkan, boleh diakui bahwa Hantara puas dengan perkataan Ravendra tadi.

Ravendra menerima pesanan kilatnya yang sudah jadi. Dua gelas alpukat float yang terlihat segar dan menggugah selera.

"Oh," Hantara yang melihatnya pun ikut tertarik. "Jusnya kayaknya nggak banyak airnya tuh, mau pesan jus aja, Li?" tanyanya pada Lia yang masih menciut sambil menatap Seno yang tampak bingung.

"Bo-boleh, Tar." Lia mengelus punggung Hantara dengan cepat, agar sahabatnya itu mau menoleh. "Kak Seno kayaknya mau ngomong sesuatu tuh, ladenin dulu kenapa sih, Tar? Biar ayem permasalahannya."

Usai menyampaikan minuman yang dipesan, Hantara menoleh pada kakak tingkatnya yang hobi gonta-ganti cewek itu. Seketika, dia menyesal karena dulu mau-mau saja terjerat oleh gombalan tidak bermutunya. Pasti, diam-diam Seno selalu menertawakannya dulu.

"Ngapain masih di belakang gue? Kak Ravendra aja udah pergi tuh, udah deh, lo pacaran lagi aja sana!" Hantara berkata ketus. Tidak ada perasaan tersakiti atau cemburu sama sekali. Hanya saja, dia marah pada dirinya sendiri yang dengan mudahnya pernah jadi salah satu selingan Seno.

Seno menggigit bibir bawahnya. Cowok itu berdeham dua kali, lalu menata kemejanya yang tidak kenapa-napa. "Itu, Tar ... aku minta maaf ya, tadinya aku mau serius sama kamu, tapi---"

"Ya beneran deh," Hantara mengeluarkan uang sambil menyeringai. "Gue nggak mau diseriusin sama cowok kayak lo."

Seno tercekat. Rasa pahit menjalar begitu cepat memenuhi kerongkongannya. Entah mengapa, ada sesuatu yang memberontak untuk diperjuangkan. Namun Seno sendiri tidak yakin, sebab dia sedang berpacaran dengan cewek yang sudah menjadi incarannya pula sejak dulu.

Tapi kok, rasanya aneh?

Karena Seno terdiam seperti orang linglung, maka Hantara dan Lia memutuskan untuk pergi. Pacar Seno pun mendekati cowok itu yang betah melamun.

Di tempat parkir, Hantara tak kunjung melajukan motornya. Dia terdiam sejenak sambil memikirkan harga dirinya yang pernah kasmaran dengan Seno.

Lia memakai helm sambil menatap sahabatnya yang sedang kehilangan mood itu. "Tar ... udah dong, jangan mikirin Kak Seno lagi ya? Dia memang buaya. Tapi gue pikir, dia gebet lo karena mau serius di satu cewek dan nggak lari ke cewek lain. Eh, nggak tahunya ... sama aja ya ternyata,"

"Ck, sekali buaya mah tetap buaya aja, Li. Nggak ada tuh istilahnya buaya berubah jadi kupu-kupu." Kata Hantara, berlanjut menyalakan mesin motornya.

"Lo nggak kenapa-napa kan, Tar?" tanya Lia kembali memastikan.

Hantara menatap lamat. Lia itu sahabat terbaik. Hatinya begitu lembut, sampai-sampai malah Lia yang merasa bersalah. Padahal, pendekatan yang Seno lancarkan tidak terdapat campur tangannya. Lia hanya tidak mau melihat Hantara sedih. Hantara tahu itu.

"Seno itu bukan masalah besar, Li. Nggak ada gunanya sedih cuma buat buaya macam dia."

Lia tersenyum lega mendengar perkataan Hantara. "Oke deh, Tara yang gue kenal memang nggak bakal selemah itu. Eh, tapi---"

"Tapi apa, Li?"

Memicingkan mata, Lia naik ke boncengan Hantara. "Yang nyerobot lo tadi itu, siapa sih? Kok, kayaknya lo sama Seno kenal?"

"Oh, itu," Hantara mulai melajukan motornya dalam kecepatan sedang. "Dia emang gue kenal dari Seno. Cowok itu temannya Seno di tongkrongan kok. Namanya Ravendra, cowok nyebelin juga sih. Irit ngomong banget, cuma ngomong sama pacarnya."

"Ah, cowok itu udah punya pacar?" Lia meringis di akhir pertanyaan.

"Iya, kenapa? Lo naksir Ravendra?"

"Hahaha, enggak gitu, Tar," Lia berusaha untuk tertawa, meski garing sekali. "Gue pikir malah Ravendra itu naksir lo."

"What?!"

"Aduh!"

Bertepatan dengan rambu lalu lintas yang berpendar merah, Hantara menghentikan laju motornya mendadak. Kepala keduanya pun bertemu salam. Lia mengaduh sembari membenahi helm. Sedang Hantara tidak bisa merasakan sakit atas benturan kecil tersebut. Pikirannya sibuk mencerna ucapan Lia tadi.

"Eherm, Lia ...." Hantara kembali melajukan motor bersama pengendara yang lain. "Tolong kalau ngomong tuh jangan sembarangan,"

"Ya kan gue cuma mengira-ngira, Tar ...."

"Itu perkiraan yang tidak masuk akal, Lia Sayang."

Lia mengerucutkan bibirnya. "Iya iya, Tar. Maaf ...."

Sepanjang perjalanan, suasana hati Hantara yang tidak cukup baik berhasil membuat Lia kelabakan karena sahabatnya itu melajukan motor dalam kecepatan yang berubah-ubah.

Astaga, Lia membatin gemas. Semoga sampai rumah dengan selamat.

...•••••...

"Ck. Ada-ada aja si Ajeng, kan dia bisa beli sendiri. Ngapain titip gue segala," gerutu Ravendra saat memasuki salah satu gerai kosmetik yang menjadi kesukaan sang adik. Selagi berada di luar rumah, Ravendra mendapat titipan beberapa lip tint dan bedak padat yang katanya sih habis.

Ravendra paling malas kalau harus pergi ke tempat seperti ini. Belum lagi kalau harus memilih shade yang diinginkan sang adik. Padahal Rabu sore ini, seharusnya dia bisa bersantai setelah menyelesaikan latihan basket. Gagal sudahlah.

"Heh! Gue dulu ya! Jelas-jelas tadi tangan gue yang pegang dulu!"

Ravendra mengernyit. Tampaknya, cowok itu mengenal si pemilik suara. Parahnya lagi, dia baru saja bertemu dengan si pemilik suara kemarin siang.

Benar saja. Pemandangan seorang Hantara yang berebut kosmetik edisi terbatas dengan cewek berpakaian serba merah jambu, merupakan sebuah suatu hal yang tidak ingin dilihatnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga sebenarnya merasa bersalah karena kemarin menyerobot antrean cewek itu di situasi yang tidak baik. Sekarang, tidak ada salahnya sedikit membantu.

"Ini tadi siapa yang megang duluan?" tanyanya tiba-tiba.

"Saya du---lu ...."

Hantara melebarkan mata. Mulutnya mengucapkan 'lo' tanpa suara. Dari sekian tempat di muka bumi ini, bagaimana bisa dia kembali dipertemukan dengan sosok ketus Ravendra?

"Oke," cowok itu tak mengindahkan tatapan terkejut sekaligus penuh tanya Hantara. Ravendra menatap cewek yang mengenakan bandana merah jambu di samping kirinya itu. "Karena dia duluan yang pegang, Mbaknya harus mengalah."

"Iya."

"Hah?!" Hantara menganga, sedangkan Ravendra terdiam sejenak. Tidak berlama-lama, Ravendra kembali menguasai diri.

"Udah kan? Jadi, sekarang kalian nggak perlu memperebutkan barang ini lagi." Kata Ravendra final.

Cewek serba merah jambu itu---ajaibnya---mengangguk dengan mudah seakan-akan baru saja dihipnotis. Dihipnotis oleh ketampanan serta karisma seorang Ravendra.

"Aku minta maaf ya, Mbak. Maaf sudah membuat keributan," cewek merah jambu itu menunduk kecil sebagai permintaan maaf. Tidak hanya dengan Hantara, tapi beberapa pengunjung yang melihat keributan tadi.

Dan terakhir, cewek itu tersenyum manis kepada Ravendra. Disertai kedipan menggoda, Ravendra harus ekstra menyabarkan diri.

"Wah," Hantara menggeleng bingung. Diliriknya Ravendra yang kembali mengamati secarik kertas entah berisi apa. "Lo pakai ilmu apaan, kok cewek itu bisa langsung nurut dan pergi gitu aja?"

Ravendra mengembuskan napas berat. "Sama-sama." Katanya sambil berlalu dari hadapan Hantara.

"Hah?" Hantara menelengkan kepala. Sama-sama? Apa maksudnya? Eh?

Namun sebelum Hantara berhasil mengucapkan terima kasih, getaran panjang pada ponselnya telah mengusiknya terlebih dahulu.

...•••••...

"Dan lo nggak balas chat-nya sama sekali?"

Hantara mengangguk sambil mengaduk es tehnya sesering mungkin---salah satu kebiasaannya yang tidak pernah hilang. Suasana kantin siang ini lumayan menghibur. Tidak seperti kemarin, dia harus menghadapi seribu alasan yang dibeberkan Seno mengenai hari itu.

Padahal, Hantara tidak sedih sama sekali lho. Dia sudah melupakan kejadian tersebut dan menganggap Seno hanya angin lalu. Tidak ada gunanya membahas hal yang tidak perlu. Tetapi, cowok itu terlalu berlebihan.

Jika memutar ingatan, pikirannya tertuju pada pertemuan pertama yang terjadi di antara dirinya dengan Seno. Bertemu di depan Fakultas Teknik, kala Hantara tengah menunggu salah satu tetangganya untuk menebeng pulang.

Satu persatu mahasiswa keluar, dan Hantara tak kunjung menemukan tetangganya keluar. Seno, yang pandai memanfaatkan wajah tampannya pun menawarkan tumpangan pada Hantara. Gagal tentu saja, sebab tetangganya yang ditunggu-tunggu itu sudah keluar.

Seno pasti menganggap Hantara sebagai objek menarik. Karena setelahnya, cowok itu selalu mencari dan mendekati Hantara di segala kesempatan.

Butuh beberapa pekan sebelum Hantara benar-benar mau diajak jalan, tapi ya ... cowok itu memang seperti yang dikatakan orang-orang. Cowok buaya, tukang ngerdus sana-sini.

Hantara tidak tahu, sudah ke-berapa kali memarahi diri sendiri karena hampir menambatkan hati pada kakak tingkatnya itu.

Tanpa sepengetahuan Hantara, Lia sibuk memandangi layar ponselnya yang menampilkan akun Instagram milik seseorang. Semalaman dia mencari, akhirnya pun ketemu.

Menahan senyum, sesekali melirik Hantara yang masih sibuk dalam isi kepalanya sendiri. Pokoknya, Lia berharap agar sahabatnya itu tidak mampu membaca gerak-geriknya. Sebab, Hantara pasti tahu apa pun tentang dirinya.

Termasuk ... saat Lia tengah jatuh cinta.

...•••••...

^^^bersambung ....^^^

Episode 02

...•••••...

Kediaman keluarga Birusna tampak damai. Ravendra menerima telur mata sapi buatan Ajeng, yang katanya khusus untuk sang kakak tercinta. Di kepala meja, Ayah Hendra siap dengan pakaian dinasnya. Begitu juga Ibu Lusi yang membalas e-mail dari salah satu rekan kerjanya.

Keluarga Birusna dikenal dengan keluarga paling harmonis---oleh orang-orang kompleks. Sebab tidak pernah sekalipun mereka mendapati adanya cek-cok tidak penting antar keluarga. Jika ada kesalahpahaman kecil, mereka akan menyelesaikan semuanya dengan setenang mungkin agar tidak berlarut-larut. Bukan tanpa bukti, tentu mereka memiliki buktinya.

Tiga tukang kebun, dua pembantu, dan seorang sopir sudah menjadi saksi atas keharmonisan keluarga tersebut selama bertahun-tahun lamanya. Selama ini, tidak ada yang aneh-aneh. Baik Ravendra maupun Ajeng sangat bersyukur berada dalam keluarga Birusna.

"Rav, bentar lagi kamu sidang kan?" tanya Ayah Hendra setelah menghabiskan tiga suapan.

Ravendra mengangguk dengan mulut penuh. Tidak menaruh curiga sama sekali atas pertanyaan ayahnya. Itu pertanyaan biasa yang tidak patut dicurigai. Sayangnya, pertanyaan berikutnya berhasil membuat satu meja makan terdiam.

"Kamu mau Ayah jodohkan dengan anaknya sahabatnya Ibu nggak?"

"H-Hah?" Ravendra tergagap.

Ibu Lusi tersenyum manis. "Iya, Rav. Jadi, kemarin itu, Ibu ketemu sama sahabatnya Ibu dan ternyata dia punya anak perempuan. Cantik banget lho, sopan juga, katanya sih, dia juga satu kampus sama kamu. Kayaknya adik tingkat kamu, Rav."

Ajeng menoleh ke arah kakaknya yang masih bengong. "Ayah sama Ibu mau menjodohkan Kak Raven untuk tujuan jangka panjang, atau cuma buat pacaran aja?"

"Lho, ya buat jangka panjang lah! Menikah."

Ravendra tersedak. Ajeng cepat-cepat memberikan segelas air agar kakaknya bisa lebih menguasai diri terlebih dahulu. Ayah dan Ibu masih betah menatap anak cowoknya itu dengan setitik harapan. Iya, mereka berharap Ravendra mau menyetujui ide luar biasa ini.

"Ayah, Ibu, kalian tahu sendiri kalau aku udah punya pacar kan?" tanya Ravendra, begitu teringat dengan pacarnya yang sekarang masih menjalani KKN.

Ibu mengangguk santai. "Kami tahu kok, Rav. Tapi ... kalau kalian pacaran terus dan nggak kunjung melangkah ke jenjang yang lebih serius ... ya buat apa?"

"Siapa bilang, Bu? Kami pasti melangkah ke pelaminan kok." Kata Ravendra pasti.

Ayah Hendra menaikkan satu alisnya. Sebagai seorang ayah, dia bisa melihat bagaimana kesungguhan anaknya itu. Hanya saja, sama seperti Ibu Lusi, Ayah Hendra sedikit meragukan hal tersebut. Bukan karena kesungguhan yang diperlihatkan, namun tentang si pacar.

"Apa kamu yakin?" tanya Ibunya dengan tatapan menyelidik. "Apa Gianna setuju untuk melangkah ke pelaminan sama kamu, Rav?"

Ravendra termangu. Pertanyaan ibunya berhasil menusuk tepat pada hati kecilnya yang percaya bahwa dia akan bersama dengan Gianna sampai akhir hayat. Ravendra meletakkan sendoknya. Mendadak, semua rasa yang tertelan itu sirna. Makanan tidak lagi menarik. Kenyataan benar-benar menamparnya.

Berdeham, cowok itu memilih untuk pergi dari suasana yang cukup buruk ini. "Raven pergi dulu, Ayah, Ibu, Ajeng."

Menaiki anak tangga, dua pembantu yang berada di dekat tangga pun saling melempar pandang. Perdana. Permasalahan kecil yang terjadi dalam keluarga Birusna. Tidak kunjung diselesaikan seperti biasa, Ravendra memilih untuk pergi. Tapi melihat bagaimana tampang sang Tuan Muda, dua pembantu itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Selama ini, mereka tahu seberapa terbukanya keluarga Birusna. Ayah Hendra dan Ibu Lusi tidak pernah mempermasalahkan asmara anak-anaknya. Terserah mau berpacaran dengan siapa saja, asal jangan mau merusak dan dirusak.

Saat berpacaran dengan Gianna pun, cewek anggun itu diterima di keluarga Birusna dengan tangan terbuka. Malahan, Ayah Hendra dan Ibu Lusi hampir menganggap Gianna sebagai anak sendiri. Tetapi sekarang ... apa yang terjadi?

Mengapa orang tuanya itu mendadak ingin mengadakan acara perjodohan yang tidak diinginkan itu?

Ravendra mengeluarkan motor dari garasi. Dia sudah dewasa. Tidak perlulah untuk bermarah-marahan, karena itu tidak akan memperbaiki suasana. Hanya saja, dia menyadari bahwa dia tidak pernah memikirkan pertanyaan Ibu tadi.

Dia terlalu sering hidup dalam kedamaian, sehingga membentuknya menjadi pribadi yang optimis dan tidak pernah berpikir buruk atas segala situasi. Itu pula kelemahannya. Dia tidak bisa memikirkan kemungkinan terburuk, padahal hal seperti itu bisa saja terjadi.

Baru saja hendak melaju, ponselnya mendapat satu chat baru. Ravendra memejamkan mata sejenak, mengumpulkan kekuatan. "Gianna."

...•••••...

Hantara hanya perlu menghadiri satu kelas saja hari ini. Kemudian, dia bisa kembali pulang atau mungkin mencari beberapa bahan di perpustakaan. Melewati taman, beberapa mahasiswa melakukan kesibukan masing-masing. Ada yang sendiri-sendiri, ada pula yang berkumpul dan membentuk forum diskusi kecil-kecilan.

Cewek itu mengembuskan napas secara perlahan. Meski kejadian aneh dengan Seno baru saja menyerang, dia tetap menyukai bagaimana hidupnya berjalan. Bebas. Selama ini, Mama selalu memberikan yang terbaik baginya. Termasuk bebas untuk melakukan segala sesuatu, asalkan tidak berujung malapetaka.

Hanya saja untuk urusan cinta, dia masih belum terbiasa. Seringnya, dia memendam sendiri perihal siapa yang mampu membuat hatinya bersemi. Dia selalu berada pada tahap pendekatan. Tidak pernah lebih. Entah mengapa, rasanya sesuatu merantainya untuk melangkah lagi.

"Tar? Ngelamun nih?" seseorang menepuk pundaknya pelan. Hantara terkesiap. Astaga, dia baru saja melamun di tengah taman seperti orang linglung.

Hantara tersenyum, mengalihkan pandang pada cowok berlesung pipi di sampingnya itu. "Hai, Sagara. Makasih udah buat gue kembali ke dunia nyata."

Sagara terkekeh. Satu tangan cowok itu menarik tali tas Hantara dan membawanya untuk duduk di salah satu bangku taman. "Ngelamun di tengah taman gini, Tar. Lo lagi syuting FTV apa gimana?"

"Ya nggak ngelamunin itu juga kali, Sa."

"Terus? Ngelamunin Bang Seno kah? Eh, tapi dengar-dengar nih, katanya dia udah putus sama cewek yang lo lihat itu."

Hantara mengernyit. "Putus? Kelihatan banget dong, betapa buayanya dia."

"Hahaha," Sagara mengangguk setuju. "Lo harusnya dapat cowok yang lebih bermutu daripada si Seno."

"Hmm, nggak tahu deh, Sa." Ucap Hantara sambil lalu. "Dari dulu tuh, gue susah banget buat pacaran. Mau pendekatan se-romantis apa pun, akhirnya juga, gue yang ngerasa nggak nyaman. Wajar nggak sih?"

Sagara mengulum bibir. Kesehariannya jika bertemu dengan Hantara memang seperti ini. Konsultasi singkat dadakan yang kadang tidak jelas. "Mungkin, hubungan kayak pacaran nggak cocok kali buat lo."

"Lha terus? Gue harus hubungan macam apa? Apakah gue harus mulai cari Sugar Daddy?"

"Sugar Daddy apaan?! Heh! Coba deh nikah sana!" Seru Sagara tidak santai. Beberapa orang pun menengok ke arah keduanya.

Hantara kelimpungan. Cowok ini bicara apa sih?! Masalahnya, mereka berada di taman utama yang ramai dikunjungi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Kedua tangannya sibuk untuk membekap mulut Sagara yang memang butuh untuk dibenahi.

"Kalau ngasih jawaban nggak usah sambil teriak, Sagara!" Ujar Hantara setengah berbisik namun penuh penekanan.

Sagara mengerjap-ngerjap. Seketika sadar sudah menjadi pusat perhatian. "Ma-maaf, Tar. Kelepasan elah,"

"Ya tapi maksud lo apaan tadi? Nikah? Lo mau gue coba buat nikah? Nikah kok dibuat ajang percobaan, Sa? Yang bener aja dah!"

"Gue asal ngomong aja, Tar." Kata Sagara serta melihat layar ponselnya. "Gue nggak serius kok ngomong begituan, jangan diambil hati dan pikiran oke? Eh---by the way, kok nggak bareng Lia?"

Hantara menatap cowok itu malas. Dia dan semua orang di kampus tahu, kalau Sagara naksir Lia. Hantara mengendikkan bahu. "Nggak tahu! Tadi mampir ke rumahnya, katanya udah pergi duluan nggak tahu ke mana."

"Yah, kenapa sih tuh cewek sukanya menjauh dari cowok ganteng macem gue?" Gumam Sagara tidak tahu diri.

Hantara mendelik kesal. "Ya ini yang bikin Lia jenuh. Lo terlalu percaya diri sampai bikin gue ikutan enek." Tanpa salam dan semacamnya, Hantara berlalu dari sisi cowok itu.

Di tempatnya, Sagara terdiam dengan wajah polos. "Apa yang bikin enek? Kan percaya diri itu baik. Iya kan?" tanyanya pada diri sendiri.

"Sagara! Woy!"

Sagara mendongak. Tangannya melambai sebagai tanda bagi si pemanggil untuk mendekat. "Udah ke sini aja, Bang? Katanya mau ketemuan sama Gianna dulu,"

Ravendra menggeleng. Kepahitan yang cukup samar terlihat pada romannya. "Dia masih habisin waktu sama orang tuanya."

"Oh, gitu? Ya udah, daripada di sini, mending ke kantin aja, gue lumayan lapar nih, cuma sarapan roti." Sagara mendahului, diikuti Ravendra yang iya-iya saja menuruti tetangganya itu.

Di kantin, Sagara mendapati Hantara yang kini sudah duduk manis melahap mi ayam bersama Lia. Sagara tersenyum lebar. Melupakan eksistensi Ravendra, cowok itu melangkah cepat ke meja yang ditempati Hantara dan Lia.

Melihat hal tersebut, Ravendra mendengus sabar. Lagi-lagi, dia harus bertemu dengan Hantara. Mereka tidak satu fakultas, tapi seringkali bertemu. Entah itu karena pernah menjadi gebetannya Seno, atau di situasi biasa seperti ini.

"Halo, Cantik!" Panggil Sagara yang lebih ditujukan kepada Lia ketimbang Hantara.

Hantara mencibir pelan. Tak sengaja, sudut matanya menangkap kedatangan seseorang yang berjarak empat kaki. "Dia lagi ....?" tanyanya berbisik.

Ravendra membalas tatapan Hantara. Meski tak ada yang istimewa, diam-diam Hantara tersipu. Dia tidak pernah ditatap balik se-intens itu. Padahal, tatapan itu bermakna rasa malas karena telah melihatnya lagi. Ya, Hantara tahu itu.

Di seberang sisi meja, Lia tidak ragu untuk bermalas-malasan dalam menanggapi rayuan Sagara yang membuatnya sangat tidak nyaman. Sagara sudah mendudukkan diri di samping kirinya.

"Tadi kamu pergi duluan ya? Ke mana?"

Hantara sontak memutar kepala untuk memberi tatapan tajam pada Sagara. Tapi, cowok itu tidak meliriknya sama sekali.

Lia mengerutkan keningnya. Sedikit bertanya dalam hati bagaimana cowok itu bisa tahu kalau dirinya sempat pergi sebelum Hantara datang ke rumahnya tadi. Dia menoleh, mendapati Hantara yang menggeleng pelan sebagai tanda tidak perlu meladeni.

Tak diduga, Lia sempat melirik ke sekitar dan menemukan satu eksistensi yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Punggung cewek itu menegap, refleks karena adanya seorang Ravendra. Membasahi kerongkongan dengan es teh, Lia berusaha untuk tampil kalem---meski ada Sagara yang rusuhnya minta ampun.

Ravendra menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya. Cowok itu melangkah pelan ke meja tersebut. Hantara memijit pelipis. Manusia yang satu ini kenapa harus mendekat sih? Berbeda dengan Lia yang menahan degupan jantungnya, serta diam-diam menata rambut.

"Sa, kita harus rundingan lho." Peringat Ravendra yang lelah dengan tingkah Sagara.

Demikian, Sagara mengerucutkan bibir dan dengan berat hati harus meninggalkan cewek incarannya. Sagara dan Ravendra pun pergi ke salah satu meja yang masih kosong.

Lia mengulum senyum. Mendapati dirinya sempat dekat dengan Ravendra, membuat suasana hatinya benar-benar baik. Dan Hantara, sejujurnya tahu bahwa---sekali lagi---dia dan Ravendra bertukar pandang.

...•••••...

^^^bersambung ....^^^

Episode 03

...•••••...

"Kamu ingat Tante Lusi yang kita pernah ketemu di mal, nggak?" tanya Mama Nadya kepada anak cewek satu-satunya yang kini sedang membalik gorengan di dapur. Sementara Mama Nadya berada di meja makan.

Hantara memiringkan kepala mengingat-ingat. Tante Lusi dan mal. Hantara mengiyakan. Dia tidak sepikun itu untuk melupakan sesuatu yang baru saja terjadi lima hari yang lalu. "Memangnya kenapa Ma?"

Mama kembali bertanya, "Kamu tahu kalau Tante Lusi punya anak cowok nggak?"

"Lah? Ya nggak tahu lah, Ma. Aku aja baru ketemu sama Tante Lusi ya kemarin itu di mal. Aku mana tahu dia punya anak cowok atau nggak." Hantara terkekeh, bebarengan dengan Mama. "Ada apa sih, Ma? Kok tanya begitu?"

"Kamu ...." Jeda sejenak, Mama menatap Hantara dan berpikir lagi. Hantara menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan Mama, meski tangannya masih sibuk mengolah udang tepung yang akan digoreng.

" Kamu ... mau nggak, Mama kenalkan sama anak cowoknya, Tar?"

Hantara memutar tubuh. Satu alisnya terangkat, menatap Mama menyelidik. "Tumben, Ma. Mama kenapa ada ide kayak gitu?"

Melihat respons yang diberikan Hantara, Mama tersenyum manis. Wanita itu bisa menangkap adanya lampu hijau atas langkah selanjutnya. "Kamu mau? Kalau Mama kenalkan sama anaknya Tante Lusi itu, Tar?"

Hantara mengangguk tanpa memandang mamanya. Dia harus segera menyelesaikan masakannya ini sebelum pergi ke kampus.

"Dia satu kampus sama kamu lho, Tar. Sebentar lagi sidang, dia juga udah punya usaha sendiri kok. Dia pasti bisa membimbing kamu, menafkahi kamu dengan sepenuh hati. Mama kemarin lihat fotonya dan dia---"

"Bentar, Ma!"

Kali ini, Hantara memilih cara aman. Yaitu, mematikan kompor dan menghampiri Mama setelah mencuci tangan. Rautnya tak terbaca. Mama yang tidak menyadari adanya keanehan dalam perkataannya tadi, hanya melihat anaknya dengan penuh harapan.

"Mama tadi bilang apa? Menafkahi? Ma, memangnya kami mau meni ... kah ...?" Hantara terbelalak begitu menyadarinya. "Ma? Mama cuma bilang kalau Mama mau memperkenalkan aku sama cowok itu lho, aku nggak ingat tuh, pernah dengar kalau Mama mau menikahkan aku."

Mama terkekeh pelan. Diambilnya selembar foto yang sedari tadi sudah dipersiapkan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Lagi pula, Hantara sudah mengerti apa yang Mama bicarakan. Maka, tanpa berlama-lama lagi, Mama Nadya pun melancarkan aksinya.

"Ini fotonya," Mama membalikkan lembaran foto tersebut. "Gimana? Ganteng kan?"

Hantara membuka mulut lebar-lebar. Saking lebarnya, Mama langsung menutup mulut anak ceweknya itu sebelum lalat masuk. "Anak cewek kok mangapnya besar banget, Tar." Mama bersandar pada punggung kursi, diperhatikannya roman yang ada pada wajah Hantara. Mama mengernyit, ada sesuatu yang aneh. Kenapa wajahnya ikutan pucat? Apa anakku ini lagi lihat setan? Dia kan lagi lihat fotonya orang ganteng.

"Tara? Kamu kok kayaknya syok berat gitu sih?" tanya Mama heran. Benar-benar deh, ekspresi yang dihadiahkan Hantara itu tidak bisa dimengerti oleh Mama.

"Mama ...." gumam cewek itu nyaris berbisik.

"Hm? Iya, Sayang? Kenapa?"

Hantara kembali menujukan pandangan ke arah Mama. "Ma ... cowok ini ... benar-benar anaknya Tante Lusi?"

Hantara berharap mamanya akan menjawab 'tidak' atau menggeleng saja sudah melegakan. Di luar keinginan, Mama mengangguk mantap. "Iya, ganteng kan? Kamu mau nggak Mama jodohkan sama anak ini? Seperti yang Mama bilang tadi, dia udah punya usaha. Ada dua usaha; dia punya kafe yang lumayan sukses besar, dan dia juga punya toko baju yang ada di Mal Amberawa. Otomatis, soal nafkah dia sangat terjamin banget, Tara."

Bukan. Ini bukan soal nafkah. Mama sudah melangkah terlalu jauh. Masalahnya bukan terdapat pada nafkah yang dia inginkan atau sebagainya. Tetapi, tentang siapa yang akan dijodohkan dengannya itu. Menikah. Astaga, membayangkan dirinya berpacaran dengan cowok yang ada di foto itu saja tak mau, apalagi menikah?!

"Ma ...." Hantara terduduk lemas. Lupa sudah soal udang goreng tepungnya yang belum matang semua. Selera memasak sekaligus makannya telah menguap begitu saja.

"Aku mau siap-siap aja dulu ya," Hantara melirik jam dinding. "Udah jam segini, jam sepuluh aku ada kelas."

"Hah?"

Mama turut melihat jam dinding, sedangkan Hantara sudah berlari ke kamarnya secepat kilat. "Lho, kelasnya jam sepuluh? Tapi sekarang kan masih jam delapan ...."

...•••••...

Kafe Birusna. Tempat yang diinjakkan Ravendra begitu pergi dari rumahnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gianna. Setelah kemarin tidak bisa karena ada acara keluarga, akhirnya dia bisa mengeluarkan isi pikirannya.

"Bang Raven? Baru datang?" tanya salah satu pekerja yang kebetulan lewat di depannya. Ravendra mengangguk. Sudah jam sembilan pagi, kafenya mulai ramai. "Mau pesan apa, Bang? Saya buatkan, mumpung pelanggan yang tadi udah jadi pesanannya."

Ravendra menggeleng. "Saya nggak usah, buatkan aja minuman kesukaannya Gianna."

"Ah, siap! Mau ketemuan sama Mbak Gianna ya? Oke, saya pergi dulu mau buatkan minumannya ya, Bang,"

Begitu cowok yang lebih muda tiga tahun darinya itu pergi, Ravendra kembali berkutat dalam pikiran. Dia akan menanyakan segalanya. Iya. Dia siap untuk jawaban apa pun.

Pintu kafe terbuka, seseorang yang dinanti-nanti pun datang. Gianna tampil menawan dengan dress putih selutut bermotif bunga biru tua. Seperti yang kerap dikatakan oleh para pembantu di rumahnya, Gianna itu elegan. Tidak salah kalau banyak orang tua dari kalangan atas sangat menginginkan Gianna sebagai menantunya. Tapi entah bagaimana dengan Ayah dan Ibu, tampaknya mereka pengecualian. Sebenarnya mereka tidak menolak kehadiran Gianna, hanya saja mereka menginginkan yang mau diajak menikah.

"Hai, Raven! Maaf ya, Sayang. Kemarin Papi sama Mami sibuk bawa aku berkunjung ke rumah makan temannya, terus habis itu, kami harus belanja banyak karena beberapa keperluanku memang udah habis." Kata Gianna dengan senyum merekah. Senyum secerah mentari yang selalu disukai oleh Ravendra.

Sebab terlalu rindu, Ravendra berdiri menyambut Gianna ke dalam pelukannya. Biarlah dia dilihat oleh banyak orang dan pekerjanya sendiri. Dia terlalu merindukan sosok ceria Gianna.

Gianna menerima pelukan Ravendra dengan senang hati. Cewek itu juga merindukan Ravendra. Rindu mereka sama besar.

"Udah dong, Rav ...." suara Gianna tenggelam di antara bahunya. "Dilihatin banyak orang tuh ... aku kan malu ...."

Ravendra terkekeh, menuruti apa yang dikatakan sang terkasih. Minuman kesukaan Gianna telah diantar. Mereka duduk berhadapan, saling berpandangan. Dunia pun tahu, betapa saling memujanya dua manusia ini.

"Kamu makin cantik aja, Gi." Ravendra membuka suara. "Kamu tahu nggak, kalau aku udah kangen banget? Rasanya aku mau lari ke tempatmu KKN cuma buat lihat kamu."

Gianna menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ditatap oleh seorang Ravendra, ditambah kalimat rindu yang penuh cinta, mana bisa Gianna tidak tersipu malu.

"Dan kamu makin pintar bikin gombalan aja, Rav." Gianna menggapai minumannya. Bahkan saat minum saja, cewek itu tetap elegan. Entah Ravendra yang terlalu mencintai dan mabuk kepayang, atau dia memang berlebihan.

Kalau cintanya kepada Gianna saja sudah sebesar ini, bagaimana dia bisa menikah dengan cewek lain? Dia tidak bisa membayangkan diri berada satu atap, satu ranjang, dengan cewek lain. Cintanya hanya untuk Gianna. Akan begitu sampai seterusnya.

"Gi ...." panggil cowok itu pelan. Gianna mendongak, menanti apa yang akan diucapkan pacarnya itu. "Kamu ... cinta sama aku kan? Perlakuanmu selama ini ... bukan cuma permainan mesra yang kamu buat, kan?"

Kening Gianna mengerut. Sedikit tidak memercayai bahwa Ravendra bertanya demikian. "Rav ... kamu kok ... bisa berpikiran kalau aku pacaran sama kamu cuma buat main-main sih?"

Ravendra mendengus lega. Gianna memang berbalik tanya, tapi pertanyaan itu sudah membuktikan jika Gianna mencintainya sepenuh hati. "Kalau begitu ... kita pasti menikah, kan?"

"Hah? Menikah?"

Seperti terjatuh dari gumpalan awan, Ravendra berpikir yang tidak-tidak. Reaksi Gianna tak sesuai dugaan. Kenapa cewek itu malah terkejut? Seharusnya, cewek itu hanya perlu mengangguk, dan Ravendra akan senang sekali. Tetapi ... tidak seperti itu.

"Kamu kok, udah bahas soal pernikahan sih, Rav? Kita ini masih dua puluh lima lho," ujar Gianna setengah terkikik.

Nada suara Ravendra berubah, sendu dengan sendirinya. "Kamu nggak memikirkan hal itu sama sekali, Gi?"

Gianna menggeleng tanpa ragu. "Enggak, Raven. Soal pernikahan, aku mungkin bakal menjalani itu kalau sudah umur tiga puluh? Iya, mungkin saat aku sudah puas pacaran."

"Puas pacaran?" tanyanya tak mengerti, namun rahangnya perlahan mengeras.

"Iya, aku mau puas-puasin dulu buat pacaran. Bukannya kamu tahu sendiri, aku mau pacaran sampai puas dulu sama kamu. Kamu jangan berpikir kalau aku bakal pindah ke lain hati cuma buat pacaran lagi. Enggak, Rav. Sekarang aku udah nggak mau cari cowok lain. Cukup kamu, karena kamu yang aku sayang."

Sekarang, berbeda lagi sensasinya. Ravendra kembali melayang ke atas awan. Seakan-akan dia terbang secara perlahan setelah jatuh sebentar tadi. Bahkan, kini dia melihat pelangi yang menyambutnya bersama ribuan kupu-kupu. Katakan saja dia terlalu mendramatisir efek dari ucapan panjang lebar Gianna. Sebab, dia sudah terjatuh dalam pesona Gianna melebihi apa pun.

"Masalahnya, Gi ...." Ravendra harus mengatakannya sebelum terlambat. "Ayah dan Ibu mau menjodohkan aku sama anaknya temannya."

"Apa?!"

Gianna bangkit begitu saja. Matanya membulat sempurna. "Dijodohkan, Rav? Untuk menikah?"

Ravendra mengangguk lesu.

"Kenapa ...?" Gianna melemas. Dia kembali duduk dengan kesedihan yang tampak. Ravendra juga melihat adanya kekecewaan. "Terus, apa kamu setuju?"

"Belum. Aku belum kasih jawaban. Sejak kemarin Ayah dan Ibu bicara soal ini pun, rumah nggak kayak biasanya, Gi." Jawab Ravendra terus terang.

"Tapi, Rav ... kenapa Ayah dan Ibu mau menjodohkan kamu sama cewek lain? Mereka tahu dengan pasti kalau kita pacaran. Kenapa mereka nggak menanyakan soal pernikahan sama aku dan keluargaku aja? Kenapa mereka malah ... membicarakan itu sama keluarga cewek lain?"

Melihat tampang Gianna saat ini, Ravendra sangat ingin memeluknya lagi. Gianna merasa telah diduakan oleh Ayah Hendra dan Ibu Lusi. Tapi, Ravendra pun memiliki pertanyaan yang sama dengan Gianna. Mengapa kedua orang tuanya tidak membicarakan hal tersebut dengan pacarnya saja? Mengapa harus dengan yang lain? Bukannya Ayah dan Ibu sangat menerima kehadiran Gianna?

"Ibu berpikir ... kayaknya kamu nggak mau menuju ke pelaminan sama aku, Gi." Ravendra kembali berkata jujur, meski kesannya mengadu.

"Hah? Nggak gitu, Rav. Aku pasti mau kok menikah sama kamu." Balas Gianna membela diri.

"Kalau begitu ... kenapa kamu nggak mengganti impian menikahmu itu tadi?" Ravendra memajukan tubuhnya. Ini topik yang sangat penting sekali. "Jangan tunggu sampai umur tiga puluh, ayo menikah denganku akhir tahun ini, gimana?"

Gianna menggeleng sedih. "Nggak bisa, Rav. Akhir tahun ini, aku harus ikut Papi ke luar negeri. Kami ada tur singkat dan ketemu guru les pianoku. Kamu tahu sendiri kalau aku udah mengajukan diri ke lomba nasional kan? Kalau aku berhasil di tingkat nasional, aku bisa daftar untuk tingkat internasional."

Buntu. Ravendra hanya mampu memejamkan mata, memikirkan betapa tidak tepatnya waktu bagi dirinya dan Gianna untuk melangkah ke pelaminan.

Gianna mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan kanan Ravendra yang terkepal di atas meja. Genggaman itu begitu lembut, sehingga mampu meredakan kegusaran yang melanda. Gianna selalu bersikap dewasa, itulah yang disukai Ravendra dari cewek itu. Gianna tidak pernah bertingkah kekanak-kanakan, tidak pernah mau merepotkan orang lain, dan Gianna selalu mengambil keputusan dengan kepala dingin. Gianna itu paket komplit.

"Terus aku harus bagaimana, Gi?" tanya Ravendra serak. "Ayah dan Ibu mau mempertemukan aku dengan keluarga cewek itu."

Ibu Lusi memang berkata demikian tadi pagi sebelum Ravendra menyelesaikan sarapannya. Itu adalah kalimat yang sangat tidak ingin Ravendra dengar.

Gianna tak kunjung menjawab. Cewek itu juga kebingungan. Sebenarnya, dia tak mau Ravendra menikah dengan siapa pun kecuali dirinya. Dia mencintai Ravendra melebihi apa pun. Akan tetapi, mengapa keadaannya harus seperti ini?

"Gini aja, Rav ... coba kamu tanya dulu, berapa utang yang dipunya oleh temannya Ibu."

"Utang?"

"Iya!" Gianna mengangguk semangat. "Nggak ada angin, nggak ada apa-apa, kenapa tiba-tiba Ibu mau menjodohkan kamu sama cewek lain? Pasti karena utang, Rav. Zaman sekarang ini, kalau nggak bisa bayar utang, ya dinikahkan sama salah satu anggota keluarga si pemberi utang, lalu utang tersebut dianggap lunas."

Ravendra mencerna rentetan kalimat yang keluar dari mulut pacarnya. Ada benarnya, tapi Ravendra yakin jika Ibu bukan orang seperti itu. Ibu tidak pernah menagih utang dengan jaminan pernikahan. Apalagi, yang nantinya akan dinikahkan dengan anaknya sendiri. "Tapi, Gi, aku yakin Ibu bukan orang kayak gitu."

"Ah ... iya sih, Ibu baik banget, mana tega dia menukar utang sama pernikahan." Gianna ikut berpikir. "Tapi, Rav, nggak ada salahnya tanya lho. Kalau memang alasan utamanya karena utang, aku mau kok, membayar utang keluarga cewek itu atas namanya supaya kamu nggak jadi dijodohkan sama dia. Gimana? Ideku bagus nggak?"

Ini sulit. Bagaimana bisa dia menanyakan hal tersebut? Itu jelas tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi? Satu-satunya cara menggagalkan perjodohan ini adalah dengan menanyakan alasan yang sebenarnya.

Iya, demi cintanya terhadap Gianna, dia tidak boleh diam saja.

...•••••...

^^^bersambung ....^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!