...•••••...
Kediaman keluarga Birusna tampak damai. Ravendra menerima telur mata sapi buatan Ajeng, yang katanya khusus untuk sang kakak tercinta. Di kepala meja, Ayah Hendra siap dengan pakaian dinasnya. Begitu juga Ibu Lusi yang membalas e-mail dari salah satu rekan kerjanya.
Keluarga Birusna dikenal dengan keluarga paling harmonis---oleh orang-orang kompleks. Sebab tidak pernah sekalipun mereka mendapati adanya cek-cok tidak penting antar keluarga. Jika ada kesalahpahaman kecil, mereka akan menyelesaikan semuanya dengan setenang mungkin agar tidak berlarut-larut. Bukan tanpa bukti, tentu mereka memiliki buktinya.
Tiga tukang kebun, dua pembantu, dan seorang sopir sudah menjadi saksi atas keharmonisan keluarga tersebut selama bertahun-tahun lamanya. Selama ini, tidak ada yang aneh-aneh. Baik Ravendra maupun Ajeng sangat bersyukur berada dalam keluarga Birusna.
"Rav, bentar lagi kamu sidang kan?" tanya Ayah Hendra setelah menghabiskan tiga suapan.
Ravendra mengangguk dengan mulut penuh. Tidak menaruh curiga sama sekali atas pertanyaan ayahnya. Itu pertanyaan biasa yang tidak patut dicurigai. Sayangnya, pertanyaan berikutnya berhasil membuat satu meja makan terdiam.
"Kamu mau Ayah jodohkan dengan anaknya sahabatnya Ibu nggak?"
"H-Hah?" Ravendra tergagap.
Ibu Lusi tersenyum manis. "Iya, Rav. Jadi, kemarin itu, Ibu ketemu sama sahabatnya Ibu dan ternyata dia punya anak perempuan. Cantik banget lho, sopan juga, katanya sih, dia juga satu kampus sama kamu. Kayaknya adik tingkat kamu, Rav."
Ajeng menoleh ke arah kakaknya yang masih bengong. "Ayah sama Ibu mau menjodohkan Kak Raven untuk tujuan jangka panjang, atau cuma buat pacaran aja?"
"Lho, ya buat jangka panjang lah! Menikah."
Ravendra tersedak. Ajeng cepat-cepat memberikan segelas air agar kakaknya bisa lebih menguasai diri terlebih dahulu. Ayah dan Ibu masih betah menatap anak cowoknya itu dengan setitik harapan. Iya, mereka berharap Ravendra mau menyetujui ide luar biasa ini.
"Ayah, Ibu, kalian tahu sendiri kalau aku udah punya pacar kan?" tanya Ravendra, begitu teringat dengan pacarnya yang sekarang masih menjalani KKN.
Ibu mengangguk santai. "Kami tahu kok, Rav. Tapi ... kalau kalian pacaran terus dan nggak kunjung melangkah ke jenjang yang lebih serius ... ya buat apa?"
"Siapa bilang, Bu? Kami pasti melangkah ke pelaminan kok." Kata Ravendra pasti.
Ayah Hendra menaikkan satu alisnya. Sebagai seorang ayah, dia bisa melihat bagaimana kesungguhan anaknya itu. Hanya saja, sama seperti Ibu Lusi, Ayah Hendra sedikit meragukan hal tersebut. Bukan karena kesungguhan yang diperlihatkan, namun tentang si pacar.
"Apa kamu yakin?" tanya Ibunya dengan tatapan menyelidik. "Apa Gianna setuju untuk melangkah ke pelaminan sama kamu, Rav?"
Ravendra termangu. Pertanyaan ibunya berhasil menusuk tepat pada hati kecilnya yang percaya bahwa dia akan bersama dengan Gianna sampai akhir hayat. Ravendra meletakkan sendoknya. Mendadak, semua rasa yang tertelan itu sirna. Makanan tidak lagi menarik. Kenyataan benar-benar menamparnya.
Berdeham, cowok itu memilih untuk pergi dari suasana yang cukup buruk ini. "Raven pergi dulu, Ayah, Ibu, Ajeng."
Menaiki anak tangga, dua pembantu yang berada di dekat tangga pun saling melempar pandang. Perdana. Permasalahan kecil yang terjadi dalam keluarga Birusna. Tidak kunjung diselesaikan seperti biasa, Ravendra memilih untuk pergi. Tapi melihat bagaimana tampang sang Tuan Muda, dua pembantu itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Selama ini, mereka tahu seberapa terbukanya keluarga Birusna. Ayah Hendra dan Ibu Lusi tidak pernah mempermasalahkan asmara anak-anaknya. Terserah mau berpacaran dengan siapa saja, asal jangan mau merusak dan dirusak.
Saat berpacaran dengan Gianna pun, cewek anggun itu diterima di keluarga Birusna dengan tangan terbuka. Malahan, Ayah Hendra dan Ibu Lusi hampir menganggap Gianna sebagai anak sendiri. Tetapi sekarang ... apa yang terjadi?
Mengapa orang tuanya itu mendadak ingin mengadakan acara perjodohan yang tidak diinginkan itu?
Ravendra mengeluarkan motor dari garasi. Dia sudah dewasa. Tidak perlulah untuk bermarah-marahan, karena itu tidak akan memperbaiki suasana. Hanya saja, dia menyadari bahwa dia tidak pernah memikirkan pertanyaan Ibu tadi.
Dia terlalu sering hidup dalam kedamaian, sehingga membentuknya menjadi pribadi yang optimis dan tidak pernah berpikir buruk atas segala situasi. Itu pula kelemahannya. Dia tidak bisa memikirkan kemungkinan terburuk, padahal hal seperti itu bisa saja terjadi.
Baru saja hendak melaju, ponselnya mendapat satu chat baru. Ravendra memejamkan mata sejenak, mengumpulkan kekuatan. "Gianna."
...•••••...
Hantara hanya perlu menghadiri satu kelas saja hari ini. Kemudian, dia bisa kembali pulang atau mungkin mencari beberapa bahan di perpustakaan. Melewati taman, beberapa mahasiswa melakukan kesibukan masing-masing. Ada yang sendiri-sendiri, ada pula yang berkumpul dan membentuk forum diskusi kecil-kecilan.
Cewek itu mengembuskan napas secara perlahan. Meski kejadian aneh dengan Seno baru saja menyerang, dia tetap menyukai bagaimana hidupnya berjalan. Bebas. Selama ini, Mama selalu memberikan yang terbaik baginya. Termasuk bebas untuk melakukan segala sesuatu, asalkan tidak berujung malapetaka.
Hanya saja untuk urusan cinta, dia masih belum terbiasa. Seringnya, dia memendam sendiri perihal siapa yang mampu membuat hatinya bersemi. Dia selalu berada pada tahap pendekatan. Tidak pernah lebih. Entah mengapa, rasanya sesuatu merantainya untuk melangkah lagi.
"Tar? Ngelamun nih?" seseorang menepuk pundaknya pelan. Hantara terkesiap. Astaga, dia baru saja melamun di tengah taman seperti orang linglung.
Hantara tersenyum, mengalihkan pandang pada cowok berlesung pipi di sampingnya itu. "Hai, Sagara. Makasih udah buat gue kembali ke dunia nyata."
Sagara terkekeh. Satu tangan cowok itu menarik tali tas Hantara dan membawanya untuk duduk di salah satu bangku taman. "Ngelamun di tengah taman gini, Tar. Lo lagi syuting FTV apa gimana?"
"Ya nggak ngelamunin itu juga kali, Sa."
"Terus? Ngelamunin Bang Seno kah? Eh, tapi dengar-dengar nih, katanya dia udah putus sama cewek yang lo lihat itu."
Hantara mengernyit. "Putus? Kelihatan banget dong, betapa buayanya dia."
"Hahaha," Sagara mengangguk setuju. "Lo harusnya dapat cowok yang lebih bermutu daripada si Seno."
"Hmm, nggak tahu deh, Sa." Ucap Hantara sambil lalu. "Dari dulu tuh, gue susah banget buat pacaran. Mau pendekatan se-romantis apa pun, akhirnya juga, gue yang ngerasa nggak nyaman. Wajar nggak sih?"
Sagara mengulum bibir. Kesehariannya jika bertemu dengan Hantara memang seperti ini. Konsultasi singkat dadakan yang kadang tidak jelas. "Mungkin, hubungan kayak pacaran nggak cocok kali buat lo."
"Lha terus? Gue harus hubungan macam apa? Apakah gue harus mulai cari Sugar Daddy?"
"Sugar Daddy apaan?! Heh! Coba deh nikah sana!" Seru Sagara tidak santai. Beberapa orang pun menengok ke arah keduanya.
Hantara kelimpungan. Cowok ini bicara apa sih?! Masalahnya, mereka berada di taman utama yang ramai dikunjungi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Kedua tangannya sibuk untuk membekap mulut Sagara yang memang butuh untuk dibenahi.
"Kalau ngasih jawaban nggak usah sambil teriak, Sagara!" Ujar Hantara setengah berbisik namun penuh penekanan.
Sagara mengerjap-ngerjap. Seketika sadar sudah menjadi pusat perhatian. "Ma-maaf, Tar. Kelepasan elah,"
"Ya tapi maksud lo apaan tadi? Nikah? Lo mau gue coba buat nikah? Nikah kok dibuat ajang percobaan, Sa? Yang bener aja dah!"
"Gue asal ngomong aja, Tar." Kata Sagara serta melihat layar ponselnya. "Gue nggak serius kok ngomong begituan, jangan diambil hati dan pikiran oke? Eh---by the way, kok nggak bareng Lia?"
Hantara menatap cowok itu malas. Dia dan semua orang di kampus tahu, kalau Sagara naksir Lia. Hantara mengendikkan bahu. "Nggak tahu! Tadi mampir ke rumahnya, katanya udah pergi duluan nggak tahu ke mana."
"Yah, kenapa sih tuh cewek sukanya menjauh dari cowok ganteng macem gue?" Gumam Sagara tidak tahu diri.
Hantara mendelik kesal. "Ya ini yang bikin Lia jenuh. Lo terlalu percaya diri sampai bikin gue ikutan enek." Tanpa salam dan semacamnya, Hantara berlalu dari sisi cowok itu.
Di tempatnya, Sagara terdiam dengan wajah polos. "Apa yang bikin enek? Kan percaya diri itu baik. Iya kan?" tanyanya pada diri sendiri.
"Sagara! Woy!"
Sagara mendongak. Tangannya melambai sebagai tanda bagi si pemanggil untuk mendekat. "Udah ke sini aja, Bang? Katanya mau ketemuan sama Gianna dulu,"
Ravendra menggeleng. Kepahitan yang cukup samar terlihat pada romannya. "Dia masih habisin waktu sama orang tuanya."
"Oh, gitu? Ya udah, daripada di sini, mending ke kantin aja, gue lumayan lapar nih, cuma sarapan roti." Sagara mendahului, diikuti Ravendra yang iya-iya saja menuruti tetangganya itu.
Di kantin, Sagara mendapati Hantara yang kini sudah duduk manis melahap mi ayam bersama Lia. Sagara tersenyum lebar. Melupakan eksistensi Ravendra, cowok itu melangkah cepat ke meja yang ditempati Hantara dan Lia.
Melihat hal tersebut, Ravendra mendengus sabar. Lagi-lagi, dia harus bertemu dengan Hantara. Mereka tidak satu fakultas, tapi seringkali bertemu. Entah itu karena pernah menjadi gebetannya Seno, atau di situasi biasa seperti ini.
"Halo, Cantik!" Panggil Sagara yang lebih ditujukan kepada Lia ketimbang Hantara.
Hantara mencibir pelan. Tak sengaja, sudut matanya menangkap kedatangan seseorang yang berjarak empat kaki. "Dia lagi ....?" tanyanya berbisik.
Ravendra membalas tatapan Hantara. Meski tak ada yang istimewa, diam-diam Hantara tersipu. Dia tidak pernah ditatap balik se-intens itu. Padahal, tatapan itu bermakna rasa malas karena telah melihatnya lagi. Ya, Hantara tahu itu.
Di seberang sisi meja, Lia tidak ragu untuk bermalas-malasan dalam menanggapi rayuan Sagara yang membuatnya sangat tidak nyaman. Sagara sudah mendudukkan diri di samping kirinya.
"Tadi kamu pergi duluan ya? Ke mana?"
Hantara sontak memutar kepala untuk memberi tatapan tajam pada Sagara. Tapi, cowok itu tidak meliriknya sama sekali.
Lia mengerutkan keningnya. Sedikit bertanya dalam hati bagaimana cowok itu bisa tahu kalau dirinya sempat pergi sebelum Hantara datang ke rumahnya tadi. Dia menoleh, mendapati Hantara yang menggeleng pelan sebagai tanda tidak perlu meladeni.
Tak diduga, Lia sempat melirik ke sekitar dan menemukan satu eksistensi yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Punggung cewek itu menegap, refleks karena adanya seorang Ravendra. Membasahi kerongkongan dengan es teh, Lia berusaha untuk tampil kalem---meski ada Sagara yang rusuhnya minta ampun.
Ravendra menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya. Cowok itu melangkah pelan ke meja tersebut. Hantara memijit pelipis. Manusia yang satu ini kenapa harus mendekat sih? Berbeda dengan Lia yang menahan degupan jantungnya, serta diam-diam menata rambut.
"Sa, kita harus rundingan lho." Peringat Ravendra yang lelah dengan tingkah Sagara.
Demikian, Sagara mengerucutkan bibir dan dengan berat hati harus meninggalkan cewek incarannya. Sagara dan Ravendra pun pergi ke salah satu meja yang masih kosong.
Lia mengulum senyum. Mendapati dirinya sempat dekat dengan Ravendra, membuat suasana hatinya benar-benar baik. Dan Hantara, sejujurnya tahu bahwa---sekali lagi---dia dan Ravendra bertukar pandang.
...•••••...
^^^bersambung ....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments