Misi Rahasia Si Kembar
Perancis, 20 Agustus 2003
Dorrr ... dorrr ... dorrr ....
Suara tembakan terdengar begitu nyaring dan bising. Suara-suara itu memekakkan telinga siapa saja yang berada di sana. Situasi yang terjadi ini tentu tak akan pernah di inginkan oleh siapapun.
Bagi mereka yang tak tahu menahu, tentu hal ini amat mengerikan untuk di hadapi. Tapi, berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah terbiasa akan keadaan ini. Mereka justru menikmatinya, seperti sedang bermain ala-ala perang di dalam video game yang mereka mainkan setiap hari.
“Apa yang terjadi di sini? Kenapa semua orang berbaju hitam itu membuat keributan di sini?” celetuk seorang pria yang kala itu tengah membawa istri dan anak-anaknya untuk menginap di hotel berbintang lima.
“Aku juga tidak tahu Mas. Apa sebaiknya kita pergi saja dari sini, Mas?”
“Iya, Mas setuju dengan saran mu. Ayo!” Ketika mereka hendak melangkah pergi. Ada sebuah tangan yang meraih pundak pasangan suami istri itu dengan angkuh.
“Hi ...! Where do you want to go?” ucap pria asing pada pasangan suami istri yang langkahnya di hentikan seketika itu jua.
(Hai ...! Kalian mau pergi ke mana?)
“Mas, bagaimana ini?” bisik Pauline pada suaminya.
Halim tidak dapat menjawab pertanyaan dari istrinya. Ia tampak tengah sibuk di alam pikirannya. Lekas otak Halim berpikir untuk segera mengambil keputusan apa yang harus ia lakukan saat ini. Mengingat, kalau-kalau ia salah langkah. Maka, bisa jadi nyawa anak dan istrinya dalam bahaya.
...----------------...
Surabaya, 2022
“Arghhh ... sssttt ...! Kepalaku rasanya sakit sekali setiap aku mengingat peristiwa mengerikan itu, Mbok. Entah, bagaimana keadaan putri ku saat ini. Apakah dia masih hidup? Atau ... ahhh, aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasib putri ku satu-satunya, Mbok. Hiks ... hiks ... hiks ....” Kembali air mata itu terus mengalir dan bergulir membasahi pipi mulus Pauline.
“Nyonya, sebaiknya doakan saja semoga nona di luar sana baik-baik saja, ya? Jaga kesehatan, Nyonya. Jangan sampai Nyonya jatuh sakit. Nanti, Tuan akan khawatir dan Den Habib juga pasti akan sedih.” ucap mbok Darmi mencoba menenangkan Pauline yang selalu bersedih hati setiap hari.
Bagaimana bisa seorang ibu dengan mudahnya akan melupakan peristiwa yang menyayat hati? Tentu, hal itu akan terus terbayang dalam otaknya. Apalagi, bila itu menyangkut tentang anak-anaknya.
Kembali Pauline bergelut dengan masa lalunya. Dan mulai berandai-andai di dalam angan-angan kosongnya. Ia seakan enggan untuk beranjak dari kursi goyang yang selalu menjadi tempat favoritnya.
Mata menerawang jauh, bibir terus berucap dengan getaran yang terus berlanjut. Hingga, bibir itu berkerut-kerut.
“Seandainya saja ... aaa-ndai saja aku dan anak-anak tidak ke sana. Pasti ... pasti peristiwa itu tak akan pernah terjadi.” Sesalnya yang tak pernah hilang, meski sudah puluhan tahun silam.
Masih teringat jelas dalam ingatan Pauline. Habibah saudari kembar dari Habib putranya itu, direnggut paksa tepat dalam dekapannya. Gadis kecil yang baru saja berusia 4 tahun tepat di malam kejadian itu terjadi. Harus merelakan dirinya di bawa paksa oleh geng mafia, yang tengah berulah dan membuat kekacauan di hotel berbintang lima nan megah.
Tahun terus menerus berganti, detik dan menitnya terus berputar. Namun, ingatan kelam Pauline masih belum jua memudar. Malah semakin lama semakin ia yakin akan takdir Allah itu benar.
Pauline percaya bahwa, apapun yang di ciptakan Tuhan beserta konsepnya yang tak dapat di jangkau nalar. Semua itu adalah rangkaian takdir yang terus bergulir. Ia juga yakin anaknya akan lekas hadir. Lalu, menatapnya dengan senyuman yang terukir.
“Habibah ....” ucapnya lirih.
“Assalamu'alaikum, Ma.” Habib lalu mencium kening ibunya dan menyalami tangan lembut nan suci itu dengan setulus hati.
Pauline menoleh dan tersenyum pada putranya yang sudah semakin dewasa. Ia membuka bibirnya untuk menjawab salam dari putra.
“Wa'alaikumsalam,” sahutnya yang mulai berdiri sejajar dengan putranya.
Pauline membawa dirinya dan putranya untuk duduk di sofa yang tersedia di sana.
“Duduk, Sayang! Mama akan membuatkan kamu minum, ya? Kamu pasti haus, 'kan? 'Kan, kamu baru pulang dari ngajarin ngaji anak-anak di masjid,”
“Ma ... gak usah. Habib mau langsung mandi dan siap-siap lagi untuk ke masjid shalat Maghrib. Waktunya udah hampir dekat, Ma. Jadi, Mama gak perlu repot-repot, ya? Mama sebaiknya juga harus mandi sekarang. Berhubung ini juga sudah sore, Ma.” Habib tersenyum dan lekas bergegas menuju kamarnya.
...----------------...
Sinar bulan selalu menemani akhir-akhir ini. Berhubung bulan ini belum turun hujan sama sekali di malam hari.
Seusai shalat Isya di masjid, Habib menaiki sepeda motornya menuju rumah temannya. Ban motornya pun berhenti bergulir. Motornya pun lekas terparkir.
“Eh, Bib. Cepet banget kamu sampainya? Aku baru aja selesai, nih buat tugas kuliah kita. Kamu udah makan malam?” Sebuah tanya terlontar ramah pada Habib tepat di depan matanya.
Turun dari kendaraan Habib langsung menuju ke arah temannya berada. Sejurus kemudian, ia juga melontarkan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang di sodorkan padanya.
“Iya, aku baru aja dari masjid dan langsung ke sini. Alhamdulillah, tadi aku udah makan malam di rumah,” jawab Habib.
“Oh, iya. Ada bagian yang aku kurang paham. Nah, kira-kira kamu ngerti, gak yang bagian ini?” Mata Habib mulai menelisik dan meneliti bagian yang di maksud temannya.
Habib dengan fasih menjelaskan bagian yang tidak di mengerti oleh temannya. Sehingga, masalah pun terselesaikan dengan mudah.
“Gimana? Sekarang udah paham, 'kan?”
“Iya, udah, kok, Bib. Eh, ... besok katanya akan ada seminar. Kamu ikut, 'kan?”
“Insya Allah. Ya, udah. Kalau gitu aku pulang sekarang, ya. Masih ada hal yang harus aku kerjakan. Salam untuk keluarga mu, ya, Kal!” Habib menepuk pelan pundak temannya yang bernama Vikal itu.
“Iya, hati-hati, Bib!”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam ....”
...----------------...
Perputaran waktu memang selalu tak pernah terasa. Pagi telah menjelang pula, membawa mentari untuk terbit lagi.
Habib bersiap-siap untuk pergi ke kampus hari ini. Pauline sang ibu dengan sigap menyiapkan sarapan untuk anak tampannya. Tak lupa pula ia juga menyiapkan segala keperluan sang suaminya untuk pergi bekerja.
“Pagi, Sayang!” sapa Pauline pada putranya.
“Pagi, Ma.” Habib selalu mengecup lembut kening ibunya hampir setiap pagi. Kebiasaan itu sampai detik ini tidak pernah hilang. Hal itu jualah yang membuat Pauline merasa senang.
“Pagi, Mas!”
“Pagi, Sayang.” Sama halnya dengan Habib, Halim juga mengecup lembut kening sang istri. Sungguh pemandangan yang terlalu manis jika dilewatkan. Bahkan, mbok Darmi selalu bahagia melihat kehangatan keluarga majikannya itu yang jauh dari kata, 'perpecahan'.
“Sarapannya harus di habiskan, ya! Jangan sampai kalian kurang tenaga saat memulai aktivitas nantinya. Paham?”
“Iya, Ma. Aku akan habiskan sarapannya.” celetuk Habib, sembari menyambar sehelai roti yang baru saja di olesi selai strawberry.
Sedangkan Halim, ia hanya menebar senyum seutas saja. Begitulah rutinitas sehari-hari mereka. Kendatipun Pauline masih belum bisa merelakan kepergian sang putri tercintanya.
Namun, ia berusaha untuk tetap terlihat tegar di hadapan anggota keluarganya yang lain.
...----------------...
UNESA Surabaya ....
Habib baru saja tiba di kampusnya. Pagi ini ada yang sedikit berbeda dari biasanya. Bila biasanya suasana kampus begitu tenang dan jauh dari kebisingan. Kali ini di beberapa titik di kampus terdengar sedikit gaduh.
Habib melepaskan helm-nya. Kebisingan itu semakin memekakkan telinga.
“Ada apa? Tumben, kampus terdengar begitu bising.” celetuknya. Ia pun mulai berjalan menuju koridor kampus.
Terdengar sebuah langkah kaki yang sedikit terburu-buru mendekati dirinya. Habib sontak menoleh dan melihat siapakah gerangan yang tengah berjalan ke arahnya?
“Hai, Bib! Kamu belum dengar, ya? Hari ini kampus kita akan kedatangan seseorang yang sangat tersohor, Bib.” terangnya pada Habib.
“Lalu, apa?” tanya Habib dengan terlampau santai.
“Kamu gak kaget sama sekali, gitu?”
“Haruskah aku lakukan itu? Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan, Ad. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal yang begitu-begituan.”
“Eh, jangan salah dia adalah salah satu mahasiswi yang telah berhasil dalam program pertukaran pelajar ke luar negeri. Dan ... hari ini dia akan berbagi cerita tentang pengalamannya selama menuntut ilmu di luar negeri. Bukankah, itu hal yang luar biasa, hmmm?”
“Ya ... ya ... ya ... terserah kamu sajalah! Aku mau ke perpustakaan sekarang. Sampai bertemu di kelas.” Adnan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya yang satu itu.
“Ckckck ... kalau orang smart memang rada aneh dikit kelakuannya. Lain dari yang lain.” keluh Adnan sendirian.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
mampir di sini langsung favorit ❤️
2022-10-27
0
gegechan (ig:@aboutgege_)
jangan jangan itu sodaranya...
Pauline yang sabar ya, anakmu pasti masih hidup.
Salam dari "ARCTURUS" mari mampir dan saling mendukung
2022-09-20
2
Buna Seta
Aku hadir lagi thor
2022-09-20
0