Perancis, 20 Agustus 2003
Dorrr ... dorrr ... dorrr ....
Suara tembakan terdengar begitu nyaring dan bising. Suara-suara itu memekakkan telinga siapa saja yang berada di sana. Situasi yang terjadi ini tentu tak akan pernah di inginkan oleh siapapun.
Bagi mereka yang tak tahu menahu, tentu hal ini amat mengerikan untuk di hadapi. Tapi, berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah terbiasa akan keadaan ini. Mereka justru menikmatinya, seperti sedang bermain ala-ala perang di dalam video game yang mereka mainkan setiap hari.
“Apa yang terjadi di sini? Kenapa semua orang berbaju hitam itu membuat keributan di sini?” celetuk seorang pria yang kala itu tengah membawa istri dan anak-anaknya untuk menginap di hotel berbintang lima.
“Aku juga tidak tahu Mas. Apa sebaiknya kita pergi saja dari sini, Mas?”
“Iya, Mas setuju dengan saran mu. Ayo!” Ketika mereka hendak melangkah pergi. Ada sebuah tangan yang meraih pundak pasangan suami istri itu dengan angkuh.
“Hi ...! Where do you want to go?” ucap pria asing pada pasangan suami istri yang langkahnya di hentikan seketika itu jua.
(Hai ...! Kalian mau pergi ke mana?)
“Mas, bagaimana ini?” bisik Pauline pada suaminya.
Halim tidak dapat menjawab pertanyaan dari istrinya. Ia tampak tengah sibuk di alam pikirannya. Lekas otak Halim berpikir untuk segera mengambil keputusan apa yang harus ia lakukan saat ini. Mengingat, kalau-kalau ia salah langkah. Maka, bisa jadi nyawa anak dan istrinya dalam bahaya.
...----------------...
Surabaya, 2022
“Arghhh ... sssttt ...! Kepalaku rasanya sakit sekali setiap aku mengingat peristiwa mengerikan itu, Mbok. Entah, bagaimana keadaan putri ku saat ini. Apakah dia masih hidup? Atau ... ahhh, aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasib putri ku satu-satunya, Mbok. Hiks ... hiks ... hiks ....” Kembali air mata itu terus mengalir dan bergulir membasahi pipi mulus Pauline.
“Nyonya, sebaiknya doakan saja semoga nona di luar sana baik-baik saja, ya? Jaga kesehatan, Nyonya. Jangan sampai Nyonya jatuh sakit. Nanti, Tuan akan khawatir dan Den Habib juga pasti akan sedih.” ucap mbok Darmi mencoba menenangkan Pauline yang selalu bersedih hati setiap hari.
Bagaimana bisa seorang ibu dengan mudahnya akan melupakan peristiwa yang menyayat hati? Tentu, hal itu akan terus terbayang dalam otaknya. Apalagi, bila itu menyangkut tentang anak-anaknya.
Kembali Pauline bergelut dengan masa lalunya. Dan mulai berandai-andai di dalam angan-angan kosongnya. Ia seakan enggan untuk beranjak dari kursi goyang yang selalu menjadi tempat favoritnya.
Mata menerawang jauh, bibir terus berucap dengan getaran yang terus berlanjut. Hingga, bibir itu berkerut-kerut.
“Seandainya saja ... aaa-ndai saja aku dan anak-anak tidak ke sana. Pasti ... pasti peristiwa itu tak akan pernah terjadi.” Sesalnya yang tak pernah hilang, meski sudah puluhan tahun silam.
Masih teringat jelas dalam ingatan Pauline. Habibah saudari kembar dari Habib putranya itu, direnggut paksa tepat dalam dekapannya. Gadis kecil yang baru saja berusia 4 tahun tepat di malam kejadian itu terjadi. Harus merelakan dirinya di bawa paksa oleh geng mafia, yang tengah berulah dan membuat kekacauan di hotel berbintang lima nan megah.
Tahun terus menerus berganti, detik dan menitnya terus berputar. Namun, ingatan kelam Pauline masih belum jua memudar. Malah semakin lama semakin ia yakin akan takdir Allah itu benar.
Pauline percaya bahwa, apapun yang di ciptakan Tuhan beserta konsepnya yang tak dapat di jangkau nalar. Semua itu adalah rangkaian takdir yang terus bergulir. Ia juga yakin anaknya akan lekas hadir. Lalu, menatapnya dengan senyuman yang terukir.
“Habibah ....” ucapnya lirih.
“Assalamu'alaikum, Ma.” Habib lalu mencium kening ibunya dan menyalami tangan lembut nan suci itu dengan setulus hati.
Pauline menoleh dan tersenyum pada putranya yang sudah semakin dewasa. Ia membuka bibirnya untuk menjawab salam dari putra.
“Wa'alaikumsalam,” sahutnya yang mulai berdiri sejajar dengan putranya.
Pauline membawa dirinya dan putranya untuk duduk di sofa yang tersedia di sana.
“Duduk, Sayang! Mama akan membuatkan kamu minum, ya? Kamu pasti haus, 'kan? 'Kan, kamu baru pulang dari ngajarin ngaji anak-anak di masjid,”
“Ma ... gak usah. Habib mau langsung mandi dan siap-siap lagi untuk ke masjid shalat Maghrib. Waktunya udah hampir dekat, Ma. Jadi, Mama gak perlu repot-repot, ya? Mama sebaiknya juga harus mandi sekarang. Berhubung ini juga sudah sore, Ma.” Habib tersenyum dan lekas bergegas menuju kamarnya.
...----------------...
Sinar bulan selalu menemani akhir-akhir ini. Berhubung bulan ini belum turun hujan sama sekali di malam hari.
Seusai shalat Isya di masjid, Habib menaiki sepeda motornya menuju rumah temannya. Ban motornya pun berhenti bergulir. Motornya pun lekas terparkir.
“Eh, Bib. Cepet banget kamu sampainya? Aku baru aja selesai, nih buat tugas kuliah kita. Kamu udah makan malam?” Sebuah tanya terlontar ramah pada Habib tepat di depan matanya.
Turun dari kendaraan Habib langsung menuju ke arah temannya berada. Sejurus kemudian, ia juga melontarkan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang di sodorkan padanya.
“Iya, aku baru aja dari masjid dan langsung ke sini. Alhamdulillah, tadi aku udah makan malam di rumah,” jawab Habib.
“Oh, iya. Ada bagian yang aku kurang paham. Nah, kira-kira kamu ngerti, gak yang bagian ini?” Mata Habib mulai menelisik dan meneliti bagian yang di maksud temannya.
Habib dengan fasih menjelaskan bagian yang tidak di mengerti oleh temannya. Sehingga, masalah pun terselesaikan dengan mudah.
“Gimana? Sekarang udah paham, 'kan?”
“Iya, udah, kok, Bib. Eh, ... besok katanya akan ada seminar. Kamu ikut, 'kan?”
“Insya Allah. Ya, udah. Kalau gitu aku pulang sekarang, ya. Masih ada hal yang harus aku kerjakan. Salam untuk keluarga mu, ya, Kal!” Habib menepuk pelan pundak temannya yang bernama Vikal itu.
“Iya, hati-hati, Bib!”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam ....”
...----------------...
Perputaran waktu memang selalu tak pernah terasa. Pagi telah menjelang pula, membawa mentari untuk terbit lagi.
Habib bersiap-siap untuk pergi ke kampus hari ini. Pauline sang ibu dengan sigap menyiapkan sarapan untuk anak tampannya. Tak lupa pula ia juga menyiapkan segala keperluan sang suaminya untuk pergi bekerja.
“Pagi, Sayang!” sapa Pauline pada putranya.
“Pagi, Ma.” Habib selalu mengecup lembut kening ibunya hampir setiap pagi. Kebiasaan itu sampai detik ini tidak pernah hilang. Hal itu jualah yang membuat Pauline merasa senang.
“Pagi, Mas!”
“Pagi, Sayang.” Sama halnya dengan Habib, Halim juga mengecup lembut kening sang istri. Sungguh pemandangan yang terlalu manis jika dilewatkan. Bahkan, mbok Darmi selalu bahagia melihat kehangatan keluarga majikannya itu yang jauh dari kata, 'perpecahan'.
“Sarapannya harus di habiskan, ya! Jangan sampai kalian kurang tenaga saat memulai aktivitas nantinya. Paham?”
“Iya, Ma. Aku akan habiskan sarapannya.” celetuk Habib, sembari menyambar sehelai roti yang baru saja di olesi selai strawberry.
Sedangkan Halim, ia hanya menebar senyum seutas saja. Begitulah rutinitas sehari-hari mereka. Kendatipun Pauline masih belum bisa merelakan kepergian sang putri tercintanya.
Namun, ia berusaha untuk tetap terlihat tegar di hadapan anggota keluarganya yang lain.
...----------------...
UNESA Surabaya ....
Habib baru saja tiba di kampusnya. Pagi ini ada yang sedikit berbeda dari biasanya. Bila biasanya suasana kampus begitu tenang dan jauh dari kebisingan. Kali ini di beberapa titik di kampus terdengar sedikit gaduh.
Habib melepaskan helm-nya. Kebisingan itu semakin memekakkan telinga.
“Ada apa? Tumben, kampus terdengar begitu bising.” celetuknya. Ia pun mulai berjalan menuju koridor kampus.
Terdengar sebuah langkah kaki yang sedikit terburu-buru mendekati dirinya. Habib sontak menoleh dan melihat siapakah gerangan yang tengah berjalan ke arahnya?
“Hai, Bib! Kamu belum dengar, ya? Hari ini kampus kita akan kedatangan seseorang yang sangat tersohor, Bib.” terangnya pada Habib.
“Lalu, apa?” tanya Habib dengan terlampau santai.
“Kamu gak kaget sama sekali, gitu?”
“Haruskah aku lakukan itu? Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan, Ad. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal yang begitu-begituan.”
“Eh, jangan salah dia adalah salah satu mahasiswi yang telah berhasil dalam program pertukaran pelajar ke luar negeri. Dan ... hari ini dia akan berbagi cerita tentang pengalamannya selama menuntut ilmu di luar negeri. Bukankah, itu hal yang luar biasa, hmmm?”
“Ya ... ya ... ya ... terserah kamu sajalah! Aku mau ke perpustakaan sekarang. Sampai bertemu di kelas.” Adnan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya yang satu itu.
“Ckckck ... kalau orang smart memang rada aneh dikit kelakuannya. Lain dari yang lain.” keluh Adnan sendirian.
...----------------...
Perpustakaan adalah tempat terbaik bagi Habib untuk melepaskan kejenuhan. Buku-buku yang tertata rapi dan tampak menggodanya untuk membuka serta membaca isinya. Ia lekas menjelajahi berbagai macam genre buku yang berbeda-beda di sana.
Buku-buku yang ia pilih di antaranya adalah buku agama, filsafat, baik itu fiksi maupun non-fiksi. Semuanya ia baca tanpa pilih-pilih.
Bola matanya mulai menelusuri setiap inci buku yang ia baca. Di sela-sela waktu ketika ia tengah membaca. Ia kembali teringat akan pembicaraannya dengan Adnan tadi.
“Apa sebaiknya aku ikut serta dalam seminar itu? Tapi, bagaimana dengan tugas-tugasku yang belum selesai ini? Nanti sajalah aku ke sana. Ada baiknya aku siapkan pekerjaan yang memang harus aku selesaikan.
...----------------...
Kampus terdengar semakin bising di kala sang 'Bintang Kampus' berjalan di koridor. Tak lupa gadis cantik itu pun bertegur sapa dengan semua orang yang sudah menunggu kedatangannya.
“Halo, Semua ...!” sapa gadis cantik berhijab itu dengan keramahannya.
“Halo, juga.” balas semua orang yang di sapa olehnya.
Khadijah Amelia kini telah memasuki ruang seminar yang telah di siapkan oleh pihak kampus.
Betapa banyaknya orang yang telah berkumpul di sana. Ruangan itu seakan penuh sesak. Hingga bernapas pun serasa sulit. Fenomena ini sejatinya baru terjadi hari ini saja.
“Wah-wah ... tampaknya hari ini terjadi fenomena alam yang menggemparkan dunia per-kampus-an, nih.” celetuk Vikal dengan gayanya yang nyentrik dan unik.
“Bisa aja kamu. Eh, kok si Habib belum kelihatan, ya? Ke mana tuh anak? Di sini udah rame kayak gini, do'i malah asyik dengan dunianya sendiri.” celoteh Adnan yang cemas akan keberadaan Habib.
“Tenang, aja! Dia, ‘kan bukan anak kecil. Lagian dia juga tau kali tempat seminar di adakan. Jadi, kamu jangan cemas begitu, oke?” sambar Vikal yang memang tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi situasi.
“Ayo, masuk!” ajak Vikal tanpa basa-basi.
“Tapi, Kal ... Habib--”
“Udah, masuk aja dulu.” Kali ini Vikal tak ingin ada bantahan lagi dari Adnan.
...----------------...
Seoul, Korea Selatan 2022 ....
Hamparan bunga sakura terlihat cantik memenuhi pinggiran jalan raya maupun taman. Di sebuah kursi panjang yang ada di taman, terlihat seorang gadis dengan pakaian musim dinginnya.
Hembusan nafas panjang terdengar memburu dari balik bibir mungilnya. Tangan di bawa melingkarkan tubuh yang terasa begitu dingin. Akan tetapi, ia enggan untuk beranjak meninggalkan bangku taman.
“Chuwileul gyeondimyeo yeojeonhi yeogie meomulgo sipseubnikka?” tanya seseorang yang baru saja datang.
{Apa kamu masih ingin tetap bertahan di sini sambil menahan rasa dingin?}
“Mwoya... yeogiseo mwohae? Dasi naleul ttalawa, al-assji? Naega yeoleo beon malhaessji, geuleohji? Nal ttalaoji ma!” makinya pada pria yang di anggapnya sebagai penguntit.
{Kau ... sedang apa di sini? Mengikuti ku lagi, ya? Sudah aku katakan berkali-kali padamu, ‘kan. Jangan ikuti aku!}
“Mi Kyong, nae gamsiha-e iss-eo. geulaedo abeojilobuteo jayuleul eodgo sipdamyeon. Yeoleo beon seolmyeonghaeya habnikka, heum?”
{Mi Kyong, sebaiknya kau tetap berada di bawah pengawasan ku. Jika, kau masih ingin diberikan kebebasan oleh ayahmu. Apa aku harus jelaskan berkali-kali hal itu padamu, hmm?}
Gadis cantik itu bernama Lee Mi Kyong. Gadis yang selalu membuat seorang bos mafia kewalahan dalam mengasuh dan mendidiknya sampai sekarang.
“Hago sipji anhda. Naneun na jasin-eul dolbol su issseubnida. Geuleoni nahante jansoli jom geumanhae. Nan deo isang aiga anieyo. Ihaehaessnayo?!” jeritnya makin menjadi-jadi.
{Aku tidak mau. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jadi, berhenti mengomeli ku dalam hal ini. Aku bukan anak kecil lagi. Apa kau paham?!}
Tak ingin berdebat lebih lama, pria itu menggendong paksa Mi Kyong. Ia lekas membopong tubuh kecil Mi Kyong ke atas pundaknya.
Bagaimanapun Mi Kyong menolaknya, pria itu tetap tidak mempedulikan protes yang di layangkan Mi Kyong padanya.
“Naelyeo jwo! Seodulleo... jigeum gaja!” pekik Mi Kyong sembari memukul-mukul punggung pria tampan yang membopongnya.
{Turunkan aku! Cepat ... lepaskan aku sekarang!}
...----------------...
Kediaman keluarga Lee Joon Woo ....
Rumah megah bak istana yang hanya di tinggali oleh seorang pria paruh baya, beserta anak dan antek-anteknya.
Lee Joon Woo adalah seorang pria lajang yang sudah memiliki anak. Aneh memang. Tapi, itulah fakta yang ada. Sudah sejak lama dia menyandang status itu di tengah-tengah masyarakat. Tapi, tak ada satu orang pun yang berani menanyakan perihal tentang asal-usul Lee Mi Kyong padanya.
“Jigeumcheoleom goyohan sigan-eul jeulgineun geosdo olaenman-ida.” ucapnya sembari meneguk teh hijau yang menenangkan pikiran.
{Sudah lama sekali aku tidak menikmati waktu tenang seperti sekarang.}
Waktu tenang yang di impikan Lee Joon Woo, tampaknya tak akan berlangsung lama. Ya, bagaimana bisa hal itu berlangsung lama? Jika, sang perusuh dan biang onar telah tiba.
“Dohyeon-a...! Naelyeo jwo...! Dangsin-eun gwimeogeoli, eung?!” Lagi-lagi Mi Kyong berteriak di telinga Do Hyun.
{Do Hyun ...! Turunkan aku ...! Apa kau tuli, hah?!}
“Sesang-e, na-ege joyonghi sigan-eul jul su eobs-seubnikka?” ujar Lee Joon Woo tampak geram pada Mi Kyong dan Do Hyun.
{Astaga, tidak bisakah kalian memberikan aku sedikit waktu tenang?}
“Malhae juseyo! Ije geuneun mueos-eul haessseubnikka?”
{Katakan padaku! Sekarang apalagi yang sudah dia perbuat?}
Do Hyun pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa menunggu lama, Mi Kyong pun di berikan nasihat oleh Lee Joon Woo.
“Migyeong, Dohyeon-i majseubnida. Bakkat nalssiga johji anhseubnida. Dohyeon-ineun hal il-eul jalhaessda. Geuege hwaleul naeji mal-aya habnida. Teughi deo iljjig ssaulyeomyeon.” Mi Kyong sama sekali tidak mau mendengarkan omongan ayahnya. Dia menganggap itu bagaikan angin berlalu.
{Mi Kyong, Do Hyun benar. Cuaca di luar sedang tidak bagus. Do Hyun sudah benar menjalankan tugasnya dengan baik. Kamu tidak seharusnya marah padanya. Apalagi sampai melawan seperti itu tadi.}
“Oneul-eun jib-e iss-eoya habnida. Geudeul-i il-eul cheolihage hasibsio.” tambah Lee Joon Woo lagi sebelum Mi Kyong pergi meninggalkannya.
{Hari ini sebaiknya kamu tetap di dalam rumah saja. Biar urusan pekerjaan mereka yang handle.}
“Mueos-ideun.”
{Terserah saja.}
Tanpa ada rasa ragu, Mi Kyong lekas berlalu. Sedangkan Do Hyun yang berada di sebelah Lee Joon Woo, pria itu hanya menatap iba pada sang majikan yang di perlakukan tak beretika oleh putrinya. Hilang sudah wibawa seorang Lee Joon Woo bila sudah berhadapan dengan anak gadisnya.
“Do Hyun,”
“Ne, Sajangnim.”
{Ya, Pak Bos.}
“Iliwa, nawa hamkke i chaleul masige.”
{Kemarilah, temani aku minum teh ini.}
“Joh-a, Sajangnim.”
{Baik, Pak Bos.}
...----------------...
UNESA, Surabaya ....
Akhirnya, selesai sudah tugas kuliah Habib. Ia pun lekas menuju ruang seminar di adakan.
“Sepertinya masih belum selesai seminarnya. Aku masih punya sedikit waktu untuk mengikuti seminar itu.” gumam Habib ketika ia memandangi jam yang melingkar di tangannya.
Usai berkemas-kemas, Habib mempercepat langkahnya dengan sedikit berlari. Pelarian pun terhenti tepat di depan ruang seminar di adakan.
Nafas masih coba ia atur dengan perlahan-lahan. Kemudian ia mulai masuk dan mendekati perkumpulan. Lalu, ia duduk dengan posisi nyaman. Tentunya demi mendapatkan ilmu yang di sampaikan oleh seseorang yang sedang berbicara di depan.
Samar-samar ia mendengar di tengah kericuhan. Bahwa, sang moderator tengah menyampaikan sebuah pesan.
“Apapun yang menjadi tujuan. Maka berusahalah untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Dengan tekad yang kuat, serta niat yang sungguh-sungguh. Saya yakin semua orang yang ada di sini, bisa meraih kesuksesan yang sama seperti yang telah saya alami.” Begitulah kira-kira yang mampu di tangkap oleh indera pendengaran Habib dari kejauhan.
Seminar hari ini pun telah selesai. Sepanjang acara sungguh tak henti-hentinya kegemparan terjadi. Antusiasme yang terlampau tinggi, membuat para mahasiswa/mahasiswi menjadi berebut posisi. Semua orang ingin berada pada posisi paling depan. Sehingga, tak bisa di hindari keributan tadi sempat terjadi.
Ketika Habib hendak keluar dan pergi, langkah kakinya tertahan oleh sebuah genggaman seseorang. Pundaknya di tekan, sehingga membuat tubuhnya tertahan.
“Eh, Bib. Kami mencari-cari mu sejak tadi. Syukurlah, akhirnya kita bertemu juga di sini.”
“Ada apa?” jawab Habib sedikit acuh.
“Kapan kamu datang? Tadi, terjadi keributan yang menggemparkan di sini apakah kamu tau?” tanya Vikal memburu.
“Aku belum lama tiba di sini. Jadi, mana mungkin aku tau peristiwa itu.”
“Wah, asal kamu tahu, ya, Bib. Di sini tadi kacau sekali. Semua orang pengen posisi paling depan. Alasannya bikin kita gak nahan. Hanya karena supaya bisa melihat dan di lihat sama si mbak Moderator. Gak masuk akal, ‘kan?”
“Memangnya, sehebat itukah si mbak itu?” Habib mulai penasaran.
“Dengar-dengar, sih ... dia memang hebat dan jago banget, Bib. Eh, apa kita samperin dia, hmm?” usul Adnan.
“Buat apa? Gak usah lah, biarin dia pergi. Pasti dia capek banget, 'kan? Apa kalian masih mau mengganggu waktu istirahatnya, hmm?”
“Sebentar aja, Bib. Yuk!” Adnan dan Vikal pun menarik tangan Habib dengan paksa.
“Eh-eh ....”
Ketiga pria itu segera berlari mengejar Khadijah Amelia.
...----------------...
Habib, Vikal dan Adnan telah berhasil menghentikan langkah kaki Khadijah Amelia. Wanita cantik berhijab itu tak menyangka dirinya akan dihadapkan pada pria tampan dalam kurun waktu yang bersamaan.
“Assalamu’alaikum,” ucap salam mereka bertiga pada Khadijah.
“Wa’alaikumsalam. Maaf, ada apa, ya?” tanya Khadijah dengan raut wajah yang berkerut karena sedikit takut.
“Begini, Mbak. Kami sengaja menghampiri Mbaknya ke sini untuk sekedar menyapa dan sedikit bertanya. Apakah boleh, Mbak?” tanya Vikal yang paling berani di antara mereka bertiga.
“Ya, boleh. Masnya mau tanya apa ke saya?”
“Sebelumnya, perkenalkan saya Vikal dan ini teman-teman saya. Yang ini namanya Adnan,” tunjuk Vikal ke arah Adnan.
“Nah, yang itu namanya Habib.”
“Ya, salam kenal.” balas Khadijah sedikit kikuk.
“Jangan takut, Mbak. Kita semua anak baik, kok, Mbak. Oh, ya. Mbak sendiri namanya siapa?” tanya Vikal tanpa melihat poster besar yang terpampang di dekat mereka.
“Dasar buta! Nama dan wajahnya sudah terpampang sebesar itu masih saja basa-basi bertanya.” gumam Habib yang melihat kepolosan temannya.
“Eh, Kal. Lihat, deh! Itu, 'kan, foto dan namanya si Mbak ini. Kok, kamu masih nanya siapa namanya, sih? Apa kamu gak bisa baca, hah?” celetuk Adnan yang tentu saja membuat Vikal merasa malu bukan kepalang.
“Eh, iya. Maaf, Mbak. Kalau begitu, saya tanyakan hal lainnya saja. Jadi, kalau ingin menjadi mahasiswa yang bisa direkomendasikan untuk pertukaran pelajar itu, syaratnya apa, ya?”
“Oh, kalau masalah itu semua hanya pihak kampus yang berhak menentukan siapa yang layak untuk mendapatkan kesempatan itu. Dulu, saya bisa mendapatkan kesempatan itu dengan giat belajar dan selalu aktif dalam berbagai macam kegiatan di kampus.” terang Khadijah Amelia yang mulai sedikit santai.
“Oh, begitu, ya, Mbak.”
“Iya, apakah masih ada lagi pertanyaan berikutnya?”
“Maaf, menyela pembicaraan kalian. Saya hanya mau tanya. Berapa lama kamu belajar di luar negeri?” celetuk Habib di tengah-tengah perbicangan Vikal dan Khadijah.
“Alhamdulillah, saya belajar sampai beberapa bulan saja di sana.”
“Baik, terima kasih. Kalau begitu, kami permisi. Maaf, telah mengganggu waktu istirahatnya. Assalamu’alaikum,” Habib menyeret kedua temannya untuk segera pergi.
“Wa’alaikumsalam.”
...----------------...
Tak terima di seret begitu saja oleh Habib, Vikal mencecar Habib dengan beragam pertanyaan yang tak berkesudahan.
“Bib, kenapa kamu malah bawa kita pergi, sih? 'Kan, kita belum selesai ngobrol sama mbaknya. Kamu kenapa, sih, Bib? Apa salah kalau kita ngobrol lebih banyak lagi sama dia?” ujar Vikal menggebu-gebu.
“Udah selesai? Kalau belum, silakan lanjutkan. Tapi, aku akan pergi dan tidak akan menggangu kalian lagi untuk ngobrol sama dia.” Tak sekedar melayangkan ucapannya, Habib membuktikan apa yang baru saja ia katakan.
“Ck, lu apa-apaan, sih, Kal? Liat ‘kan, si Habib jadi marah dan pergi ninggalin kita? Ah, gak ngerti lagi gue sama sikap lu.” celetuk Adnan yang langsung mengejar Habib.
“Bib, tunggu aku, Bib ....!”
“Lah, kok jadi malah nyalahin gue, sih? Eh, tungguin gue, Bro ....!” jerit Vikal yang agak terlambat sadar.
Ini adalah kali pertama mereka ribut selama mereka kuliah. Hal itu pun terjadi di luar dugaan. Sungguh, bila telah menyangkut tentang wanita. Maka, pasti akan ada saja masalah yang di timbulkan setelahnya.
...----------------...
Seoul, Korea Selatan ....
Mi Kyong masih di kurung di dalam rumah tak boleh pergi kemanapun. Gadis itu amat kesal dan menyesal karena dia tidak melarikan diri tepat waktu tadi.
“Jenjang, nan wae domangchiji anh-assji? amado igeos-eun il-eonaji anh-eul geos-ibnida. Dohyeon-i jjeol-eo!”
{Sial, kenapa aku tadi tidak langsung lari saja? Mungkin hal ini tidak akan terjadi. Dasar Do Hyun menyebalkan!}
Tangan mulai membuka tirai jendela dan mengintip dari balik kaca, apakah di bawah sana ada penjaga yang bertugas di sana atau tidaknya. Ia mulai merencanakan sesuatu yang luar biasa. Apalagi kalau bukan kabur lewat jendela?
Ya, satu-satunya hal yang terpikirkan oleh otak Mi Kyong saat ini adalah ... melarikan diri dari rumah. Bagaimanapun caranya, dia akan perjuangkan hak kebebasannya.
“Alasseo, jinjeonghaeyagess-eo! Jeonhyeo wiheomhaji anhseubnida. Nan geunyang changbakk-eulo nagaseo ... alaecheung-eulo ttwieonaelimyeon dwae.”
{Oke, aku harus tenang! Ini tidak berbahaya sama sekali. Aku hanya perlu keluar jendela dan ... melompat turun ke bawah.}
Rencana telah di laksanakan, Mi Kyong menarik nafas dalam-dalam sebelum ia memberanikan diri untuk segera melompat ke bawah. Balkon kamar Mi Kyong sungguh terlampau tinggi. Tapi, tekadnya yang kuat tak melunturkan niatnya sama sekali. Rasa takut ia babat habis. Sehingga yang tersisa hanyalah keberanian yang tak pernah terkikis.
Pertama kali yang ia pikirkan adalah ... membuat sebuah tali. Ia pun membentuk sebuah kalin panjang seperti tali. Ia ikat kain panjang itu pada balkon. Kemudian, ia mulai menurunkan dirinya dengan kain itu.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya?
Pada saat Mi Kyong turun ke bawah, sialnya ia harus bertemu dengan dua berandalan yang merepotkan.
“Mi Kyong ....” ucap serempak kedua pria berbadan tegap dan tinggi tersebut padanya.
“Jenjang. Nae gyehoeg-i silpaehan geos gatseubnida.” bisiknya dalam hati.
{Ah, sial. Sepertinya rencana ku gagal.}
“Migyeong mwohae? Igeol ibgo wae naelyeoga?” tunjuk salah satu pria itu pada kain panjang yang terjuntai di hadapan mereka.
{Mi Kyong sedang apa kau? Kenapa turun memakai ini?}
“Hehehe ....” Mi Kyong hanya terkekeh tidak jelas menanggapi ucapan pria bertubuh atletis itu.
“Domangchilyeoneun geoya, eung?” timpal salah seorang pria yang sejak tadi diam saja.
{Apa kau mencoba untuk kabur, ya?}
“Ye ... eotteohge talchul hal su issseubnikka? Naneun uliga jigjang-eseo wiheom-e cheohaess-eul ttae haegyeolchaeg-eul chajgo issseubnida. Jega mandeun bangbeob-i neomu wanbyeoghan geos gatseubnida. Gwonli?”
{Ya ... mana mungkin aku kabur. Aku hanya sedang mencari solusi ketika nanti kita terjebak dalam bahaya saat bekerja. Sepertinya, cara yang ku buat ini begitu sempurna. Benar, ‘kan?}
Chung Hee dan Min Joon pun tertegun mendengar penjelasan Mi Kyong pada mereka. Tampaknya kedua pria itu mempercayai alibi Mi Kyong begitu saja.
“Jal haess-eo. Geuleom, sillyehagessseubnida. Yeonghon!”
{Kerja bagus. Kalau begitu, kami permisi dulu. Semangat!}
“Baboya!” ujarnya setelah kedua pria itu pergi.
{Dasar bodoh!}
Mi Kyong pun kembali melanjutkan langkahnya.
...----------------...
Surabaya ....
Pertemuannya dengan Khadijah tadi di kampus. Membuat Habib berpikir untuk mengikuti program pertukaran pelajar di kampusnya.
“Apa sebaiknya aku menawarkan diri untuk mengikuti program itu, ya? Siapa tau ... bisa di kabulkan. Tapi, ... apakah mama dan papa akan menyetujui rencana ku ini?” Monolog Habib di tengah kebingungannya.
Dibawanya tubuh berbaring di atas ranjang. Kembali otaknya menerawang. Membayangkan hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda jauh dengan lingkungannya selama ini.
Tiba-tiba saja Habib terpikirkan sebuah pertanyaan. Apakah ia akan sanggup hidup jauh dari orang-orang terkasih? Apakah ia akan bisa untuk beradaptasi?
“Ah, aku ini gimana, sih? Belum juga di terima sudah mengkhayal terlampau jauh. Astaghfirullah ....” ujarnya sembari meraup wajahnya.
...----------------...
Keesokan harinya di kampus ....
Seperti biasanya, Habib selalu menyambangi perpustakaan sebelum masuk ke kelas. Julukan kutu buku memang sangat tepat di sandang kan padanya.
Semua itu terbukti dari keseharian Habib yang rajin dalam hal membaca. Menurutnya, membaca itu bukan hanya sekedar mendapatkan ilmu. Tetap juga sembari merilekskan pikiran.
...----------------...
“Eh, Bib. Kamu tertarik gak sama program pertukaran pelajar itu?” tanya Vikal tiba-tiba seusai jam kelas telah berakhir.
“Kenapa memangnya?”
“Kalau aku sih tertarik. Tapi, mama ku tidak mengizinkan aku untuk mengikuti program itu.” ucap sendu Vikal pada kedua temannya.
“Sama, aku juga.” timpal Adnan pula.
“Kalau kamu, Bib?” tanya serempak mereka pada Habib.
“Belum tau. Aku belum bilang apa-apa sama mama dan papa. Rencananya hari ini aku akan tanyakan pada pihak kampus. Setelah itu baru aku ceritakan pada mama dan papa.” terang Habib panjang lebar.
“Kalau misalkan kamu terpilih nih. Kamu mau pergi ke negara mana?” tanya Vikal dengan antusias.
“Iya, aku juga mau tau.” imbuh Adnan.
“Ya, terserah pihak kampus saja mau meletakkan aku di mana. 'Kan, mereka yang berwenang. Udah, ya. Aku pamit dulu mau menanyakan hal ini.”
“Eh, kita ikut kamu, ya?” ucap mereka pada Habib.
“Ya, udah. Ayo, jalan!”
...----------------...
Seusai berbincang tadi, Habib jadi berpikir. Akan jauh lebih baik bila ia langsung pindah kampus saja. Daripada hanya belajar selama beberapa bulan saja.
“Bib, jadi gimana menurut kamu? Apa masih mau ikutan program pertukaran pelajar, hmm?”
“Kayaknya aku mantap gak ikut, deh, Kal. Lagi pula kan cuma beberapa bulan saja. Sementara, aku maunya belajar lama di luar negeri. Aku mau mencoba hidup mandiri sekaligus belajar untuk mencari uang sendiri, Kal, Ad. Lalu, kalau kalian bagaimana?”
“Sama, aku juga maunya begitu, Bib. Tapi, ...”
“Tapi, kenapa, Ad?”
“Ibuku sedang tidak sehat. Aku gak bisa ninggalin beliau gitu, aja.” Habib dan Vikal menepuk pundak Adnan sebagai bentuk menyemangati Adnan.
“Tetap semangat teman-teman!” ujar Adnan. Mereka pun saling tersenyum satu sama lainnya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!